Bab 01 Sekali Lagi, berujung kekecewaan #UnlockNow

0
0
Deskripsi

“Sayang, bisa bantuin aku ganti tabung gas?” Aku bertanya padanya yang sedang duduk menonton tv.

“Apa? Aku capek, tidak bisakah aku istirahat di hari libur?” balasnya tanpa menoleh ke arahku.

“Tapi, kamu bilang akan menggantinya minggu lalu dan sampai sekarang belum diganti.”

Kata-kata yang saling berbalas, satu kata menjadi satu kalimat, satu kalimat menjadi satu paragraf. Pembicaraan yang bervariatif, kamu mengungkit kesalahanku, aku yang tak mau kalah juga mengungkit keegoisanmu. Aku tidak menyangka...

“Sayang, bisa bantuin aku ganti tabung gas?” Aku bertanya padanya yang sedang duduk menonton tv.

“Apa? Aku capek, tidak bisakah aku istirahat di hari libur?” balasnya tanpa menoleh ke arahku.

“Tapi, kamu bilang akan menggantinya minggu lalu dan sampai sekarang belum diganti.”

Kata-kata yang saling berbalas, satu kata menjadi satu kalimat, satu kalimat menjadi satu paragraf. Pembicaraan yang bervariatif, kamu mengungkit kesalahanku, aku yang tak mau kalah juga mengungkit keegoisanmu. Aku tidak menyangka pembicaraan sederhana ini berujung akhir yang mengenaskan. 

“Cukup! Sudah terlambat untuk menyesal!”

“Siapa yang menyesal?! Satu-satunya yang kusesali adalah tidak melakukannya dari dulu.” Katanyanya mengakhiri pertengkaran dan menyodorkan kertas kepadaku.

Aku muak dengan pertengkaran ini, aku tahu kamu juga capek, terlebih kamu tiap malam harus pulang larut malam. Terlalu lelah untuk meneguk kopi yang tersedia di meja makan, padahal aku berusaha untuk tidak membiarkannya dingin.

Saat kamu pergi dan kembali menemuiku, aku takut dengan firasat buruk yang aku alami beberapa hari ini. Sebuah kertas yang terlihat agak lusuh seraya kau genggam agak keras. Aku pernah melihat kertas sejenis itu di tas kantormu, aku berharap yang kau bawa bukanlah dari tas kantor itu. 

Aku mengambil kertas yang kau sodorkan padaku, membacanya dari atas hingga bawah. Bagian atas kertas tertulis “Surat cerai,” dua kata yang menerangkan semuanya. Sayang sekali, firasat burukku tepat sasaran.

“Kamu yakin dengan ini?” Aku bertanya tanpa melepaskan pena yang kau beri, menatap kedua bola mata pria yang menjadi suamiku selama 8 tahun, sudah bisa disebut 1 windu, sudah terlalu lama kami terikat dalam ikatan suci. Tetapi saat ini ia sedang berada di depanku, duduk di kursi ruang makan, menggerutu dan bergumam sendirian. 

Rasa kecewa dan harapan bercampur, aku pikir ini akan berakhir seperti hari-hari sebelumnya, walaupun pernah ada pembicaraan mengenai perceraian, tapi tidak pernah terjadi.

Tapi, kedua bola mata yang menatap balik ke arahku tidak terpancar keraguan sedikitpun. Di saat itulah harapanku luntur, meninggalkan eksponensial rasa kecewa.

Aku merasa kosong, tidak ada yang dapat kubicarakan. Aku merasa kehilangan, tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa kesepian, tidak ada yang dapat kusandarkan. Aku merasa terluka, tidak ada yang dapat menyembuhkan. Namun, aku harus mengambil keputusan, apakah aku akan menerima atau menolak tawaran perceraian yang dia berikan. Aku harus berpikir matang-matang, mempertimbangkan semua hal sebelum mengambil keputusan yang akan menentukan masa depan hidupku.

Tetapi, sepertinya Rendra tidak memberiku banyak waktu. Bola mata seolah menyala terus menyorotiku. Aku menutup mataku, memori tentang aku di masa lalu terlintas cepat. Aku ingat saat aku bersama Rendra di sekolah yang sama, saat kami pertama kali berkenalan, saat kami menjadi kekasih, saat kami menikah, dan saat kami mulai merasakan masalah dalam rumah tangga. Aku juga ingat saat-saat indah yang kami lewati bersama, saat kami berlibur ke pantai, saat kami menonton film bersama, dan saat kami berbagi makan malam di rumah.

Setelah berpikir sejenak, aku merasa sedih dan kesepian saat mengingat semua kenangan indah yang kami lewati bersama. Namun, aku juga sadar bahwa perceraian adalah keputusan yang tepat untuk kami berdua. Meskipun aku merasa kecewa dan terluka, aku pikir ini adalah keputusan yang tepat untuk kami berdua. Kami sudah tidak bahagia bersama lagi dan perceraian adalah solusi terbaik untuk mengakhiri permasalahan yang terus berlarut-larut.

Hanya perlu satu tarikan pena, tanda tangan dengan atas namaku, Aira Nabila. Tertulis jelas di samping tanda tangan milikmu yang bertuliskan Rendra Adinata, sudah ada sejak ia menerima kertas itu. Berarti ia sudah menyiapkan kertas ini dari lama.

Aku merasa dikecewakan dan dipermainkan, seolah-olah kamu sudah tidak peduli dengan perasaanku lagi. Namun aku berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh perasaanku yang sedang tidak stabil dan memfokuskan diri pada apa yang harus kulakukan selanjutnya.

Aku memutuskan untuk tidak memperpanjang pertengkaran kami, dan mencari jalan untuk menyelesaikan perceraian ini dengan baik. 

Aku menyerahkan kembali kertas yang baru saja aku dapatkan. Sedangkan kamu yang menerimanya memeriksa seluruh isi kertas, dari atas hingga akhir, berharap tidak ada yang terlewatkan sama sekali.

Semua berganti terlalu cepat, biasanya kita saling mengerjakan urusang masing-masing, tidak peduli dengan satu sama lain. Tetapi kali ini kita berada di mobil yang sama, tujuan yang sama. Menyerahkan kertas perceraian.

Sepanjang perjalanan kita tidak bicara sama sekali. Kamu memfokuskan pandangan dan pikiran ke arah jalanan, memutar setir ke kiri dan kanan untuk menggerakkan mobil hingga berhasil menyalip kendaraan lain. Sedangkan aku mengalihkan pikiran dengan membuka instagram, beberapa detik kemudian, sepertinya aku melakukan tindakan yang salah, apa yang lewat di berandaku adalah orang-orang dengan wajah tersenyum di tempat wisata ataupun menikmati momen dengan seseorang.

Di sana akhirnya kita berbicara, tetapi bukan kita yang saling berbicara, melainkan ke arah staff yang mengurus berkas perceraian. Hanya berbicara seperlunya seakan kau mengubah status facebookmu dari Relationship menjadi Stranger. 

Kita berdua seperti orang asing saat mengurus berkas perceraian. Hal-hal yang pernah kita ingat bersama seperti tanggal lahir ataupun tanggal pernikahan, kita butuh membuka galeri ponsel dan mencari tanggal kapan foto itu diambil.

Tak butuh waktu lama untuk selesai mengurus berkas perceraian. Kemudian kau mengantar ku pulang, di dalam mobil kita kembali diam tanpa bicara sama sekali. Kita seperti orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Seperti tukang taksi dan penumpang, bedanya arah tujuan kita sama dan aku tidak perlu membayar biaya perjalanan.

Di rumah, kita seperti menghindar dari satu sama lain. Aku merasa kesepian dan kesal karena kita tidak lagi seperti dulu, kita tidak lagi seperti pasangan yang saling menyayangi. Aku merasa kita sudah tidak lagi seperti keluarga.

Walaupun perceraian ini dipicu oleh hal-hal sepele, tetapi aku merasa bahwa hubungan pernikahan kita sudah dingin sejak lama. Kita sudah tidak lagi seperti pasangan yang saling menyayangi dan merawat satu sama lain. Kita seperti orang asing yang tidak lagi merasa nyaman bersama.

Tanpa aku sadari, semakin bertambahnya usia, semakin menghabiskan waktu bersama, semakin aku menyadari bahwa kita tidak lagi seperti yang kita impikan saat masih muda. Kita sudah tidak lagi seperti pasangan yang saling mendukung dan mencintai satu sama lain.

Perceraian ini mengingatkan aku bahwa kebahagiaan dalam sebuah hubungan tidak bisa diukur dari lama atau pendeknya masa pernikahan, tetapi dari seberapa baik kita saling memperlakukan satu sama lain. 

Walaupun ada yang menolak bercerai saat ini seperti yang sudah-sudah, sepertinya suatu hari nanti pasti tetap akan terjadi. Lebih baik mengambil tindakan sekarang daripada menunggu masalah semakin parah dan menyakitkan. Walaupun perceraian memang menyakitkan, tapi ini adalah cara terbaik untuk mengakhiri hubungan yang sudah tidak sehat dan memulai kembali hidup masing-masing dengan lebih baik. Lebih baik mengambil tindakan sekarang daripada menunggu masalah semakin parah dan menyakitkan.

Dan juga, perceraian tidak selalu menjadi akhir dari segalanya. Ada kesempatan untuk kita berdua untuk belajar dari masa lalu dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya di masa depan. Kita dapat belajar dari kesalahan kita dan menjadi orang yang lebih baik dalam hubungan selanjutnya. Selalu ada harapan dan kesempatan untuk kebahagiaan di masa depan.

Kita berdua duduk di ruang tengah, tanpa ada suara apapun, bahkan suara tv di saluran animasi favoritnya pun tidak menyala.

Perlahan, suara pelan keluar dari mulutnya. Sambil sedikit mendongak sehingga kepalanya tepat ke arahku.

“Kau tahu, aku berpikir kenapa kita tidak melakukannya dari dulu.”

Dia menatapku dengan perasaan campur aduk. Aku dapat melihat rasa sakit dan kekecewaan di matanya. Namun, aku juga melihat harapan dan keyakinan di matanya. Kita berdua tahu bahwa perceraian adalah tindakan yang sulit dan menyakitkan, tapi kita juga tahu bahwa ini adalah tindakan yang harus diambil.

Setelah itu, dia terus menceramahi aku. Dia sendiri frustasi dengan keadaan sekarang. Itu bisa dimengerti. Sudah beberapa tahun sejak kita lulus kuliah lalu menjalin kisah bersama. Namun, kita masih membuat banyak kesalahan.

Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku tidak menyangka kamu bisa berpikir seperti itu. Aku tak bisa menahannya lagi, mataku menjadi waduk dengan tanggul yang bocor. Aku lelah secara mental, jadi aku hanya mengangguk dengan tepat.

“Fine, aku tidak perlu melihat wajah jelekmu lagi.” Aku kesal, menggebrak meja, dan pergi berjalan menuju kamar.

“Apa?! Seharusnya kau melakukannya dari dulu, jadi aku bisa bebas darimu!” Rendra tidak mau kalah.

“Bebas? Tidak ada kebebasan dengan menjadi budak korporat.” Aku menoleh ke arah Rendra.

“Lebih baik daripada terikat denganmu!” 

Perang verbal tidak pernah berakhir, hanya berhenti sementara itupun karena Rendra tidak pulang, antara tidur di warnet karena terlambat pulang dan transportasi umum sudah berhenti beroperasi.

Aku membanting pintu kamar, meninggalkan Rendra di ruang tengah sendirian menonton tv. Di kamar, aku menenggelamkan diri dalam kesedihan. Aku mencari koper yang cukup besar, memasukkan segala barang yang bisa aku bawa, seperti baju, perlengkapan kosmetik, perhiasan, hingga charger handphone. Sejenak sebelum aku pergi, aku melepaskan cincin nikah yang masih menempel di jari dan memasukkannya ke dalam koper. Aku tidak ingin Rendra menjualnya, aku tak rela.

Karena aku masih terbawa emosi, aku membuka pintu cukup keras, menuruni tangga dan aku melihat dia yang masih ada di ruang tengah. Kepalanya menoleh, seakan setengah burung hantu yang bisa memutar kepalanya hampir 90 derajat.

Sebelum Rendra bisa membuka mulutnya, aku sudah menyebutkan tujuanku.

“Aku akan pulang ke rumah orang tuaku.” Aku berjalan melewati Rendra tanpa menoleh ke arahnya, tidak ingin berlama-lama lagi di sini.

“Ya, ya, tentu. Pergi sana dan jangan kembali,” Rendra kembali menghadap tv dan hanya sibuk mengganti saluran tv.

Sekali lagi aku membanting pintu, kali ini pintu depan yang menjadi korbannya. Aku sengaja memperkeras suaranya agar ia bisa mendengarnya, suara tv yang tadi menggema ke seluruh rumah terdistorsi dengan suara pintu. Semakin jauh aku melangkah, semakin tidak lagi bisa aku dengar suara tv ataupun gema pintu.

Saat aku melangkah di trotoar, aku merasa seolah aku baru saja dibebaskan dari sebuah penjara. Suaranya bagaikan sipir penjara, setiap hari ada saja yang ia permasalahkan. Aku tidak pernah menyangka udara kotor perkotaan terasa lebih segar dibandingkan udara di rumah, mungkin karena tidak perlu berbagi udara dengannya lagi. Udara ini menyegarkanku setelah sekian lama tinggal di dalam rumah yang penuh dengan konflik. Matahari yang terik menyinari wajahku, walaupun panas tetapi terasa seperti memberiku kekuatan untuk melanjutkan perjalanan. Orang-orang yang lewat di sekitarku terlihat sibuk dengan kegiatan mereka, tapi aku merasa tidak terganggu oleh hal itu. Aku merasa bebas dan siap untuk mengejar kebahagiaan yang sebenarnya.

Aku rasa telah melangkah cukup jauh dari lingkungan rumah, tetangga tidak ada yang melihatku. Aku memesan gocar untuk mengantarkanku ke bandara, tak butuh waktu lama sebuah mobil berwarna hitam dengan plat nomer hitam menghampiri dan berhenti di dekatku. Kaca mobil itu perlahan turun, sosok pria pengemudi itu sekarang terlihat jelas, ia menanyakan namaku dan aku mengiyakannya. Tak lama ia membuka pintu mobilnya sendiri, turun dan menemuiku sambil menawarkan bantuan untuk mengangkat tas koper ke bagasi miliknya.

Tak lama ia kembali ke arahku dan membuka pintu untukku, walaupun aku bisa sendiri entah kenapa dia mau melakukannya. Sambil berucap “silahkan mbak,” ia mempersilahkan aku masuk. Sampai aku benar-benar masuk barulah ia menutup pintu dengan pelan.

Aku baru bertemu dengannya sebentar, tetapi perlakuan baiknya sudah melebihi apa yang biasa Rendra lakukan.

‘Aduh, kenapa aku masih memikirkan Rendra lagi, sudahlah, lupakan-lupakan.’ aku mencoba mensugestikan diriku sendiri untuk segera melupakannya.

Mobil pun bergerak, Selama perjalanan menuju bandara, aku mengamati suasana trotoar yang kulewati. Ada beberapa orang yang berlalu lalang dengan sibuk, beberapa orang yang duduk di bangku taman sambil menikmati matahari yang masih terik, dan beberapa pedagang yang menjual makanan dan minuman di pinggir jalan. Ada juga beberapa anak-anak yang bermain bola di taman kecil. Suasana ini terasa sangat normal dan biasa, tapi untukku ini merupakan suasana yang sangat berbeda dibandingkan dengan suasana di rumah yang penuh dengan pertengkaran dan kekecewaan.

Aku merasa lega karena sudah meninggalkan rumah dan siap untuk memulai kehidupan baru. Aku merasa senang dengan pemandangan di luar sana yang begitu indah dan menyegarkan. Aku merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru dan menyenangkan.

Aku fokus pada pencarian tiket penerbangan dan akhirnya menemukan satu yang tepat. Aku segera membeli tiket yang tak jauh dari waktu estimasi aku tiba, setidaknya mendekati 2 jam agar ada waktu untuk boarding.

Aku menghela nafas panjang sambil mengingat kembali kejadian yang baru saja terjadi beberapa jam lalu. Pernikahan yang telah aku jalani selama lebih dari delapan tahun, akhirnya runtuh juga. Meskipun aku merasa kecewa dan sakit hati, aku sadar bahwa perceraian adalah tindakan yang harus diambil untuk mengakhiri hubungan yang sudah tidak sehat dan memulai kembali hidup dengan lebih baik.

Aku membuka kontak ponselku, menggulirkan layar hingga tulisan ‘Suami Tercinta’ terpampang. Aku menekannya beberapa detik hingga muncul pilihan lain di layar, aku mengubah nama kontak Rendra menjadi “Mantan Suami”

Aku mengembalikan layar ke menu utama, menekan sekali tombol power hingga layar menghitam. Aku menggumam pelan, “Sekali lagi, aku kecewa denganmu.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 02 Sekali lagi, reuni
0
0
“Kalau begitu sampai sini dulu. Saya tunggu progresnya 3 hari lagi, bisa?”Tidak ada orang di dekatku yang aku ajak bicara, hanya ada aku dan laptopku, meskipun benda mati tapi aku ajak bicara. Layarnya menampilkan beberapa persegi yang berisi manusia yang duduk dan memiliki pose yang sama. Mereka terdiam, hanya menatap balik. Tak lama jawaban “bisa pak,” terucap dari arah laptop. Aku pun melanjutkan pembicaraan dan menyingkirkan  mereka dari layar laptop.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan