When I Fall in Love PART 13-15

3
0
Deskripsi

Karya ini berisikan When I Fall in Love PART 13 - PART 15

When I Fall in Love - PART 13

Laura terbangun ketika mendengar dengkuran kecil yang diciptakan oleh seorang di sampingnya. Matanya terbuka dan melihat Arthur masih sama dengan wajah polos dan mata tertutup. Semalam, ketika dia selesai mandi, Arthur sudah terlelap tidur sehingga ia tak bisa berbincang dengannya. Laura tidak menyangka akan tidur di sebelah lelaki yang baru dikenalnya kurang dari sebulan.

Dahinya berkeringat, dia menarik napas dan melihat fitur wajah Arthur dengan jelas. Dia kecewa tak bisa melihat bola mata biru Arthur yang membuatnya tertarik. Bajunya terbuat dari satin sutera berwarna putih, dia tidak punya pilihan selain mengenakan itu. Telapak kakinya turun menginjak lantai yang begitu dingin. Laura mengatur suhu AC dan segera menuju meja laptopnya yang berada di sudut ruangan.

Layar laptop terbuka dan sinarnya menyilaukan matanya yang masih terkantuk. Dia tidak bisa melewatkan pekerjaannya begitu saja setelah menikah. Rapat pagi ini cukup penting dihadirinya, dia tak ingin Tyson memutuskan sesuatu yang tidak baik menurutnya.

Hanya kurang beberapa slide presentasi dan selesai. Laura melirik pada jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Matanya melirik sekali lagi pada Arthur yang masih nyenyak dengan tidurnya. Koper hitam mencuri perhatiannya, dan dia yakin itu miliknya. Laura kembali melirik laptopnya yang sudah mati karena sudah menyelesaikan bahan presentasi meeting.

Perkataan Fiona kemarin sore terngiang di dalam pikirannya.

“Jangan pernah menjadikan dia seperti pelarianmu, Laura. Dia juga manusia yang memiliki kehidupan dan impian. Tolong jangan buat dia menderita karena menikahimu.”

Matanya terpejam, mengingat tujuan dan rencana yang dia bangun sendiri di dalam dirinya setelah menikahi Arthur. Dia tidak ingin menikah, tetapi kenyataan membawanya untuk melakukan itu. Tidak ada pilihan lain selain menjalani takdir. Tapi dia mempunyai pegangan sendiri, dia tak akan melakukan apapun yang dilakukan layaknya sepasang suami istri. Dia akan menjadikan Arthur hanya sebagai teman serumah, tidak lebih.

Laura tidak ingin Arthur mengendalikannya karena dia seorang suami. Tapi sebaliknya, Laura yang berkuasa di rumahnya, tidak ada bulan madu ataupun yang lainnya. Dia rasa Arthur memahaminya, lagipula dia tak tahu bagaimana perasaan Arthur setelah menikahinya.

Laura merasa semakin frustasi. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi untuk merendam dirinya.

Sinar matahari mulai terlihat, Arthur mengernyitkan dahinya dan perlahan matanya terbuka. Tidurnya sangat lelap sehingga dia bisa merasakan seluruh tubuhnya segar bugar. Ruang besar dengan warna hitam yang mendominasi mengalihkan perhatiannya. Dia tersadar jika sudah menjadi seorang suami dari Laura Schiffer.

Bahkan dia sendiri tidak ingat jam berapa dia tertidur, yang dia ingat adalah sepasang senyuman Laura yang ke luar dari kamar. Tubuhnya merasa hangat dan dia melihat AC yang sudah mati. Tubuhnya disandarkan pada kepala kasur dan ponselnya diambil untuk melihat berapa pesan teks yang masuk.

Tidak ada.

Arthur telah mereset dan mengganti kartunya pada hari sebelum pernikahan. Dia mengakui dirinya pantas disebut sebagai Pecundang. Dia teringat dengan reaksi Celine ketika diputuskan. Wanita itu bahkan tidak membujuk atapun menangis di hadapannya, sungguh aneh.

*Krreekkk*

Pintu terbuka dan menampilkan Laura dengan kimono putihnya dengan rambut basah terurai. Arthur terpana dibuatnya, wanita itu masih terlihat cantik dengan hanya mengenakan pakaian itu.

“Oh, maaf. Aku tidak terbiasa ada orang di kamarku,” katanya dengan mencoba kembali menutup pintu.

Arthur bangkit dari kasurnya dan mencoba untuk mendekat. “Tidak, aku yang akan ke luar.”

Keduanya merasa canggung. Mereka berpapasan di depan pintu tanpa saling pandang. Arthur yang sudah di luar kamar merasa dirinya bodoh. Dia mengusap kasar rambutnya dan berjalan menuju sofa.

Waktu berlalu beberapa menit dan Laura ke luar dengan pakaian kantornya yang menyegarkan. Kemeja berwarna kuning dengan rok hitam, itu terlihat sangat elegan. Rambutnya terkuncir kuda dengan kunci mobil yang siap di genggamannya.

“Kau pergi ke kantor?” tanya Arthur terheran setelah melihat pakaian Laura.

“Ya, apa ada masalah?” Laura mulai merasa tidak canggung berbincang dengannya.

“Ti-tidak, maksudku, kamu baru saja menikah dan bagaimana bisa…”

Arthur menghentikan ucapannya setelah melihat mata dingin wanita itu tiba-tiba muncul. “Pekerjaanku adalah yang terpenting. Aku harap kamu bisa menerima itu,” ucapnya seraya melenggang pergi.

Untuk kesekian kalinya Arthur dibuat terpana dengan semua tingkah laku yang dibuat Laura. Kali ini dia sangat menyetujui ucapan Will seratus persen. Semua lelaki normal menginginkannya untuk dinikahi dan sekarang dia termasuk lelaki normal seperti yang dikatakan sahabatnya.

~o~

Ketukan sepatu Laura menggema di lorong lantai 18 Siemens Group. Lantai itu cukup[ sepi karena rapat sudah dimulai 15 menit yang lalu. Semakini dekat dengan ruangan yang dituju, semakin besar suara tawa orang-orang yang menghadiri rapat pagi itu.

Laura memutar kenop pintu dan semuanya menjadi senyap.

“Selamat pagi. Maaf saya terlambat. Lalu lintas semakin padat pagi ini,” sapanya. Semua orang tercengang terutama Tyson yang sedari tadi tertawa paling keras. Direktur itu membuka sedikit mulutnya dan Wiliana menyenggol bahunya pelan disaat semua mata tertuju pada Laura.

“Uh, saya pikir kamu tidak hadir. Kamu perlu istirahat setelah melangsungkan pernikahan, Laura.” Tyson kembali normal dan berbicara dengan formal.

“Itu tidak jadi masalah untuk saya, Tuan Tyson. Saya bisa mengatasinya, dan presentasinya sudah siap di sini.” Laura mengangkat sebuah flashdisk berwarna hitam.

Semua pandangan masih tertuju padanya ketika menggapai kursi paling ujung. Wiliana yang berada di sampingnya memasang wajah kesal karena merasa kecantikannya tertandingi.

Laura memasukkan flashdisk pada Laptop Tyson. Tidak ada suara yang tercipta di antara mereka. Proyektor menyala dan menampilkan presentasi yang sudah disiapkan. Rapat pun dimulai dengan tenang.

Setelah tiga orang melakukan presentasi, sampailah pada keputusan terakhir yang disampaikan Laura. Perusahaan Laduardu yang tengah hadir tidak bisa menjalin hubungan kerjasama karena perbedaan visi dan juga kesetaraan asset yang tidak sebanding dengan Siemens Group.

Orang-orang yang menjadi perwakilan merasa kecewa karena proposal mereka berbeda dari yang disampaikan oleh Tyson sebelumnya. Akhirnya terjadilah perseteruan yang memanas di ruangan itu.

“Saya tidak bisa terima dengan ini. Kami sudah datang jauh dari Inggris untuk kerja sama yang saling menguntungkan. Pernyataan perusahaan kalian berbeda dan aku merasa dikecewakan, terutama dengan anda Nona Laura,” kata Frank, ketua divisi marketing perusahaannya.

“Maaf Tuan Frank. Saya tidak pernah menjanjikan anda sebelumnya dan inilah keputusan yang sesuai. Saya sudah menjelaskan mengenai perbedaan perusahaan kita dari segala macam aspek.” Laura membela dirinya dan perusahaan. Dia tidak mau perusahaan ini semakin menurun ke depannya karena keputusan dan janji palsu yang sering dibuat Tyson.

“Tenang dulu semua! Laura, aku Direktunya dan aku yang seharusnya memutuskan,” sela Tyson dengan nada tinggi. Frank kembali duduk setelah dia menatap tajam pada Laura.

Sedangkan Laura masih mengendalikan dirinya. “Saya sudah memaparkan perbedaan di antara kedua perusahaan, Tuan Tyson. Itu sangat jelas tergambar,” bantahnya. “Tapi aku yang masih memegang kendalinya, Laura. Terima kasih atas presentasi yang kamu buat.”

Laura memutar bola matanya dan kembali fokus pada kertas di depannya. “Maaf Tuan Frank. Sepertinya kami harus menunda rapat ini untuk beberapa hari ke depan. Kami akan mengadakan rapat internal dahulu, sebelum menerima proposalmu. Sekali lagi aku minta maaf,” kata Tyson dengan lembut. Mencoba untuk membujuk Frank agar bisa mengendalikan emosinya.

Frank bangkit dari kursinya dan mengambil berkas-berkas di meja. Dia beranjak pergi ke luar ruangan diikuti dengan tiga rekannya dari belakang. Tyson dan beberapa orang kantornya menjadi khawatir dan takut bersamaan. Sehingga mereka berusaha mengejar Frank dan kawan-kawan. Sedangkan Laura tidak menampilkan ekspresi bersalah karena sudah merusak rapat pagi ini.

 

When I Fall in Love - PART 14

Sore ini tidak seperti sore-sore biasanya. Laura pulang tepat waktu dan itu membuat para karyawan yang melihatnya cukup terkagum. Sopir kantor membukakan pintu mobil untuknya dan Laura masuk tanpa memperdulikan orang di sekitar gedung utama. Mobil melaju cukup lambat membuat Laura sedikit kesal. Supir kantornya berbeda dari supir pribadinya, yaitu Greg. Greg lebih ramah dan tahu kondisi disaat harus berkemudi cepat, normal ataupun lambat.

“Bisa kau percepat kemudinya?!” Laura bertanya tapi lebih seperti memerintah. Supir itu hanya mengangguk dan melakukan apa yang diperintah.

Rumah besar yang sudah disinggahi lebih dari 9 tahun lamanya masih tetap memiliki kesan dingin seperti pemiliknya. Laura turun dari mobil sebelum supir itu berhasil membukakan pintu mobil. Laura sedikit marah terhadapnya karena mengemudi dengan semberono. Jelas saja, supir itu adalah pilihan Tyson, pamannya.

Laura meninggalkan supir itu sendiri tanpa pamit dan melangkah masuk ke area depan rumahnya. Matanya terkunci dengan kotak surat yang berada di depan pintunya, itu cukup banyak. Dia berpikir jika itu adalah surat-surat yang berisikan ucapan selamat atas pernikahannya. Tangannya merauk sura-surat itu hingga tak ada yang tersisa.

“Apa yang kau bawa?” Arthur bertanya ketika Laura berhasil membuka pintu kamarnya. Mendengar pertanyaan darinya, cukup menambah esmosi di dalam dirinya.

“Kau pikir apa? Koran atau majalah?”

“Hum, tapi itu seperti tumpukan surat,” ujar Arthur seraya bangkit dari tempat tidurnya.

Laura menghela napas panjang dan sekali lagi memperhatikan lelaki di hadapannya, terlihat ada yang berbeda.

“Apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya Arthur dengan menaiki satu alisnya.

“Kau terlihat berbeda, habis potong rambut?” Laura melepaskan mantel tebalnya dan menaruh tumpukan surat di meja kerjanya.

Arthur terkekeh geli dan sedikti menyeringai tanpa sepengetahuan Laura.

“Ya, Kakek datang dan mengajakku untuk merubah gaya rambut. Aku pikir itu ide yang tidak terlalu buruk. Dan ternyata itu benar,” katanya lagi.

“Kakekku datang? Kapan dan di mana dia sekarang?” Laura menjadi sedikit terkejut.

“Tepat satu jam setelah keberangkatanmu ke kantor. Dan dia langsung pulang begitu saja dengan supirnya.

Laura melirik ke belakang melihat Arthur yang duduk di tepi kasur. Dia kembali disibukkan dengan beberapa surat yang sudah rapi di atas meja. Mungkin dia akan membukanya nanti malam, dia sangat butuh mandi saat ini.

~o~

Suara perpaduan antara pisau, garpu dan piring menghiasi ruang makan. Keduanya hanya saling terdiam tanpa ada yang mau memulai percakapan lebih dahulu. Bannyak persoalan yang dipikirkan Laura di dalam otaknya, terutama masalah pekerjaannya.

Arthur sendiri bingung untuk memulai perbincangannya dengan Laura darimana. Tapi dia harus memberitahu apa yang dikatakan oleh Jon Schiffer tadi pada Laura. Mulutnya masih ragu untuk berbicara dan hanya ada kontak mata yang dia lakukan pada wanita yang sama sekali tidak menatapnya.

Laura telah selesai makan malam dan dia sedang memotong buah apel sebagai pencuci mulut. Arthur sendiri masih belum menyelesaikan makanannya.

“Sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan,” ujar Arthur dengan pelan. Laura hanya membalasnya dengan bergeming.

“Kakek menyuruh kita untuk … pergi honeymoon,” ungkapnya dan saat itu juga gelas yang berada di samping Laura terjatuh.

Laura dengan gerakan cepat berusaha untuk membereskan pecahan beling.

“Jangan sentuh! Biar aku saja yang bersihkan,” kata Arthur berlari ke arahnya. Laura terpaku, tidak menolak perintah yang diberikan suaminya itu.

Arthur dengan hati-hati membersihkan pecahan beling dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Keduanya masih berada di ruang makan.

“Kakek mengatakan hal itu?” Laura tidak jadi memakan apel yang sudah dipotong. Dia lebih tertarik dengan perkataan Arthur. “Iya, dia bilang tadi. Tiket perjalanannya kusimpan di kamar,” ucap Arthur seraya mengambil gelas.

“Aku tidak bisa. Pekerjaanku sangat banyak dan itu tidak memungkinkan jika aku harus cuti.” Laura menatap Arthur. Lelaki itu hanya memasang wajah sedikit kecewa karena penolakannya. “Kau bisa bicara dengan kakek. Aku tidak enak padanya,” balas Arthur seraya meletakan piring-piring ke wastafel.

Laura meninggalkan ruang makan dan beranjak masuk ke kamar. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya. Dia kembali menimang keputusannya untuk menghubungi Jon, karena dia tidak pernah menolak keinginan kakeknya. Tumpukan surat kembali mencuri perhatiannya. Dia mengambil semua surat itu dan membawanya ke kasur.

Surat-surat yang membuatnya sama sekali tidak bahagia. Dia hanya membaca tulisan dengan raut wajah yang datar. Itu semua dari karyawan dan juga beberapa teman. Tapi surat dengan amplop berwarna hitam mencuri perhatiannya. Seperti surat itu sangat istimewa baginya. Dia membuka amplop dan mendapatkan secarik kertas putih dengan tulisan tintan berwarna hitam.

Selamat menikah! Aku harap kamu segera keluar dari perusahaan.

Jantungnya seketika berhenti berdetak. Siapa yang berani mengiriminya surat seperti ini. Apakah karyawannya? Atau lawan bisnisnya? Laura tidak tahu. Dia sedikit meremuk kertas itu tapi terhenti ketika Arthur membuka pintu.

Laura kaget. “Bisakah kita buat peraturan? Mengetuk sebelum membuka pintu.” Laura menatapnya dengan tajam. Arthur masih terhenti di ambang pintu.

“Mengapa aturannya tidak mengunci pintu jika berada di dalam?” Arthur memberinya pilihan. Mata Laura membesar membuatnya sedikit ketakutan. Jadi, dia mengalah karena tahu Laura sepertinya sedang ada di kondisi yang buruk.

“Oke, aku rasa mengetuk sebelum membuka pintu adalah ide yang bagus. Aku ulangi, yah,” katanya seraya mundur ke belakang dan menutup pintu kamar.

*Tok tok tok*

“Kamu bisa masuk!” teriak Laura. Arthur membuka pintu dan masuk dengan raut wajah yang masih sama.

Surat-surat yang tergeletak berantakan di kasur diberesinya. Laura tidak ingin Arthur membaca isi dari semua surat itu karena takut merasa seperti pasangan yang sesungguhnya.

Arthur menuju cermin yang berada di samping kasurnya. Dia menatap dirinya sendiri dengan penuh rasa kagum. Potongan rambutnya sangat bagus. Tidak ada poni yang menutupi dahinya lagi. Dia terlihat seperti seorang Fotografer atau Pengusaha ternama. Rambutnya benar-benar klimis dan tertata rapi. Tapi ada rasa sedikit kecewa karena istrinya tidak memuji perubahannya rambutnya setelah menikah.

Laura ke luar dari Toilet kamarnya. Dia habis memakai masker rutinitasnya. Tapi langkah kakinya terhenti ketika melihat hewan kecil yang berlari ke arahnya.

Kecoa!

“AAAAAA!” teriaknya seraya melompat-lompat. Arthur yang kaget langsung berjalan ke arahnya. "Ada apa?” tanyanya khawatir. “Itu ada kecoa! Bagaimana bisa hewan menjijikan itu masuk ke dalam kamar?! Sebelumnya tidak pernah.” Laura naik ke atas kasurnya, sedangkan Arthur berusaha menagkan hewan kecil yang lari dengan lincah.

*Happp*

Kecoa berhasil ditangkap oleh Arthur dengan kedua tangannya yang lebar. Dia menyeringai lebar karena telah berhasil menangkap hewan itu.

“Sudah. Turun! Ini hanya kecoa, kenapa harus berteriak?!” Arthur memajukan kedua tangannya yang terkatup dengan kecoa di dalamnya. Laura semakin merasa jijik karena lelaki itu berusaha memberikan hewan kecil itu padanya.

“Menjauh dariku! Itu benar-benar menjijikan! Kecoa di tanganmu,” geramnya seraya menunjuk pada Arthur.

“Oke, oke. Aku akan membuangnya di luar. Tunggu sebentar!” Arthur berlari menuju luar rumah diikuti dengan Laura di belakangnya. Laura ingin memastikan jika suaminya itu tidak menyentuh benda apapun di rumahnya setelah membuang hewan kecil yang menjijikan itu.

Udara dingin kembali masuk ketika Laura membuka pintu dan Arthur melewatinya untuk membuang makhluk kecil itu.

“Nah, sekarang, jangan sentuh apapun sebelum kamu mencuci tanganmu sebanyak sebelas kali!” Laura memperingatinya dan Arthur seperti seorang anak yang hanya menuruti perintah ibunya.

“Sebanyak itu?” tanya Arthur seraya membuka kedua telapak tangannya lebar.

“Ya, cepat bersihkan!”

Keduanya sudah berada di dalam Toilet. Dengan hati was-was Laura menunggunya untuk menghitung berapa banyak Arthur mencuci.

“Sudah sepuluh kali. Ayo cuci sekali lagi!” katanya memerintah.

Sabun cair keluar lagi dan Arthur mengusap-usap hingga berbusa.

“Selesai,” ujar Arrthur.

Laura merasa lega karena tangan lelaki itu sudah sepenuhnya bersih. Dia kembali menatap mata Arthur yang sedari tadi seperti menggodanya karena takut akan kecoa.

“Masalah permintaan kakek tadi, kita bisa pergi. Tapi, jangan berharap dengan hal itu…”

“Tidak masalah bagiku. Aku mengerti keadaanmu, Laura. Aku hanya tidak ingin menolak permintaan kakek, dia sangat baik pada keluargaku.”

Laura merasa tenang karena Arthur selalu bisa mengeti keadaannya.

 

When I Fall in Love - PART 15

Greg membawakan koper kecil milik Laura ke dalam bagasi mobil. Sedangkan Arthur hanya membawa tas ransel hitam kecilnya ke dalam mobil.

“Bersenang-senanglah untuk kalian!” Jon memberikan kecupan pada dahi Laura dan yang terakhir pada Arthur. Lelaki tua itu tidak kehabisan senyumannya karena melihat cucu satu-satunya bahagia.

“Kakek, aku akan merindukanmu. Jaga dirimu baik-baik, karena aku telah melakukan apa yang kamu inginkan,” ucap Laura sebelum masuk ke dalam mobil. Arthur masih menunggu istrinya dengan membukakan pintu mobil untuknya.

“Nah Arthur, jaga cucuku, oke?” Arthur hanya mengangguk tersenyum padanya.

Greg melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Dia akan mengantarkan kedua orang ini ke Bandara untuk melakukan perjalanan honeymoon-nya.

Tiba saatmya mereka di Bandara. Greg sudah meninggalkannya, dan lagi-lagi hanya ada kecanggungan di antara keduanya. Laura berusaha membaca Tour Planning Book mereka yang sudah dia siapkan sendiri.

“Mari lihat rencana liburan kita …,” kata Laura. Matanya menerawang setiap kata yang tertera di atas kertas itu.

“Mettlach. Itu cukup menarik, banyak kebun anggur di desa itu. Ada sungai Saarschleife juga,” jelasnya. “Jadi, kamu lebih tertarik yang mana?” tanyanya pada Arthur yang ada di depannya.

Lelaki itu tersenyum melihat antusias Laura yang cuku bagus. Setidaknya wanita itu tidak sedingin kemarin. Arthur melirik pada buku yang dipegang Laura. “Kebun anggur sepertinya menarik, kamu sendiri lebih suka yang mana?” Laura menatap Arthur yang tengah tersenyum ramah padanya. Dia membalas senyuman itu dengan raut intimidasi, “tidak keduanya. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di hotel.”

Raut wajah Arthur berubah seketika seperti diterjam tombak. Laura berjalan mendahuluinya ke dalam Bandara.

~o~

Sebuah Desa yang tidak mencolok di wilayah tiga perbatasan, yaitu Prancis, Jerman, dan Luksemburg itu tidak terlalu terkenal. Kebun-kebun anggur dan sungai Saarschleife yang menakjubkan menghiasi tempat itu. Hotel Gastehaus Schloss Saareck yang ada di Mettlach itu seperti rumah dengan gaya bangunan kastil kuno. Halamannya luas dipenuhi dengan rumput-rumput hijau yang cantik.

Mereka masuk ke dalam bangunan itu dan meninggalkan koper hitam Laura di ambang pintu. Arthur berusaha untuk membuka kunci kamar itu.

“Bisakah kamu membukanya? Aku harus pergi ke Toilet secepat mungkin,” kata Laura menahan panggilan alamnya. Arthur tertawa ringan mendengarnya dan masih berusaha untuk membukanya.

Pintu terbuka dan menampilkan properti kamar yang sangat unik dan bernilai estetik. Laura langsung lari ke Toilet, sedangkan Arthur membawa koper beserta tas ranselnya ke dekat lemari.

Fyuhhh!” Laura berjalan membuka jendela yang ada di kamar dan betapa kagumnya dia melihat rumput hijau bertebaran dengan bebas di pelataran hotel Desa itu.

Arthur hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dari belakang Laura. Semilir angin yang masuk terasa alami, derunya air pancur yang berada di pelataran menambah suasana indah Desa ini.

Hari sudah mulai gelap dan burung-burung yang berterbangan melewati jendela kamar mereka. Tidak ada percakapan yang terjadi antara keduanya. Arthur memutuskan untuk pergi mandi dahulu.

Seperti biasa, Laura akan mementingkan urusan pekerjaannya. Jadi, dia membuka laptopnya dan menerima beberapa e-mail yang datang dari staff-nya. Matanya terfokus pada semua surat elektronik yang masuk dan terhenti pada satu nama pengirim.

Matthew!

Dear Laura Schiffer

Selamat Menikah. Itu kabar yang paling mengejutkan selama hidupku. Aku tidak tahu kenapa kamu menikah dengan pria seperti itu. Tapi percayalah, cintaku tidak akan pernah habis untukmu. Cintaku sudah tumbuh lebih lama dari priamu itu. Jadi, jangan berharap jika aku akan berhenti mencintaimu.

Dan satu lagi, aku tidak tahu mengapa kamu sangat membenciku. Karena cintaku sangat tulus untukmu. Aku sabar menunggu penantianmu, tapi kamu sekarang sudah menikah. Jika kamu membenciku karena persoalan skandal antara kedua perusahaan kita, itu sangatlah salah. Jadi, tolong beritahu aku, dimana letak kesalahanku sehingga kamu sangat membenciku.

Your Love

Matthew

Satu kata yang bisa Laura gambarkan setelah membaca surat darinya adalah menjijikan. Dia tidak pernah mengira jika lelaki itu bisa mencintainya sangat dalam. Tapi dia jadi berpikir kembali, kenapa Matthew selalu mengatakan jika dia tidak mencampuri urusan skandal sepuluh tahun lalu. Padahal Laura sangat yakin, jika itu adalah pekerjaan busuk dari keluarganya.

*Krreeekkk*

Arthur ke luar dari kamar mandi dengan celana tidur dan kaus oblong berwarna coklat yang ia bawa dari rumahnya. Lelaki itu menggosok kasar rambutnya menjadi berantakan sehingga Laura hanya menatapnya dengan diam. Mata Arthur teralihkan pada istrinya yang kini menatapnya lebih dari sepuluh detik. Seolah jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Apa? Kau tidak ingin mandi?” Arthur mencoba untuk membuyarkan lamunannya.

“Apakah ada air panasnya?” tanya Laura yang berusaha mematikan laptopnya. Dia sudah cukup memeriksa e-mail yang masuk. “Ada, tapi mandi dengan air dingin lebih menyegarkan,” saran Arthur dengan raut wajah yang gembira.

Laura beranjak mengambil keperluan mandinya dan berjalan melewati Arthur. “Tapi aku lebih menyukai air panas.”

Arthur sekali lagi tertegun dibuatnya. Kenapa wanita itu selalu bisa mendominasi dalam percakapan?

Dia memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei berwarna merah. Rasa canggungnya sedikit berkurang, mungkin karena terbiasa dekat dengan Laura. Dia tak pernah habis pikir, jika menikah akan seperti ini rasanya. Sangat lucu dan menegangkan di waktu yang bersamaan.

~o~

Suara bel berbunyi. Arthur segera membukanya, karena Laura sedang mandi pagi.

“Selamat pagi, Tuan Arthur. Ini ada kiriman bunga beserta vasnya yang sudah dipesan khusus oleh Jon Schiffer,” ucap seorang wanita muda. Usianya terlihat sama seperti Arthur.

“Oh, terima kasih.”

“Oh iya, satu lagi. Kamu bisa mengambil air untuk vas bunganya di dekat air pancur itu. Jadi, bersenang-senanglah untuk bulan madu kalian. Salam hangat dariku, kakekmu sangat baik.” Arthur terheran melihat tingkah laku wanita muda itu yang terlalu bersemangat. Mungkin Jon sudah merencakan semuanya, tapi jujur ini sangat mengangumkan.

Pintu kembali ditutup dan dia masih disibukkan dengan bunga beserta vas itu. Laura muncul dengan gaun santainya berwarna putih yang panjangnya selutut, Itu membuat kaki jenjangnya terlihat. Rambut coklatnya yang panjang diikat bergelombang, menyisakan beberapa helaian rambut di wajahnya dan … itu terlihat sangat cantik.

Oh my god! Apakah itu bunga Ostara?” Laura membelalakkan kedua matanya setelah melihat bunga yang dipegang oleh Arthur.

“Ya, tadi ada kiriman dari hotel ini. Kakekmu yang menyuruhnya,” jelas Arthur.

Mata Laura masih berbinar dan mencoba untuk merebut bungan beserta vas yang masih dipegang erat oleh Arthur.

“Hei, hati-hati!”

“Aku sangat suka bungan Ostara, itu sangat cantik.”

“Katanya, kamu bisa mengambil air di pancuran itu!” Arthur menunjuk ke arah pancuran yang ada di pelataran rumput hijau. Laura terlihat sangat tertarik untuk segera ke sana. Jadi, dia berlari ke luar kamarnya menuju air pancur. Arthur mengejarnya, untuk memastikan jika tidak ada hal buruk yang terjadi pada Laura karena berlari sangat kencang dan juga bersemangat.

Keduanya sudah sampai di air pancur dan Laura berusaha duduk di tepian kolam besar itu.

“Biar aku saja yang mengambil air,” pinta Arthur berusaha mengambil alih vas bunga.

Laura mengelak, “tidak, aku saja.” Keduanya menjadi rebutan vas bunga satu sama lain. Anak kecil yang sedari tadi memperhatikannya dari jarak yang cukup jauh terkekeh geli. Seperti Tom dan Jerry yang sedang memperbutkan daging.

“Lepaskan tanganmu!” bentak Laura, tapi malah membuat Arthur semakin tertantang untuk menggodanya. “Tidak akan, biar aku saja, Laura,” tutur Arthur yang masih berusaha mengambil benda yang terbuat dari tanah liat itu.

*Plunggg*

Vas bunganya terjatuh dan keduanya menjadi diam. Mata Laura sudah terbakar seperti api, sehingga membuat Arthur menjadi takut.

“Sudah kubilang aku saja. Kau sangat menyebalkan!” oceh Laura, tapi malah membuat Arthur terkekeh geli sehingga dia tertawa.

Laura menggeleng ringan kepalanya melihat kelakuan Arthur yang semakin seperti anak kecil. Arthur bangkit dari tepi air pancur karena serangan pukulan ringan Laura pada bahunya. Arthur tertawa semakin geli.

“Tidak ada yang lucu!” bentak Laura. Sekarang dia harus mengambil vas bunga itu dari kolam cetek pancuran. Tidak ada pilihan lain selain mengangkat sedikit gaunnya yang berumbai sehingga memperlihatkan pahanya pada Arthur.

Raut wajah Arthur berubah menjadi sedikit gerogi ketika melihat aksi Laura yang memasukkan dirinya ke dalam air pancuran itu untuk menyelamatkan vas bunga. Laura berhasil membalas perbuatannya dengan cara yang sungguh menyiksa dirinya. Wanita itu seakan menggodanya tanpa berusaha. Arthur sedikit frustasi.

Laura kembali ke dengan vas yang sudah berisikan air dan bungan yang sudah dimasukkan. Dia melangkahkan kakinya dengan cepat melewati Arthur tanpa berbicara sepatah kata pun.

Sedangkan Arthur, masih terdiam bodoh mengingat betapa seksinya wanita itu bertindak tadi.

Baju Laura menjadi basah, dia memutuskan untuk mengganti pakaiannya. Setelah pertengkaran kecilnya dengan Arthur, dia tidak pernah bisa melupakan tingkah bodoh lelaki itu. Ponselnya berdering ketika dia memandang kagum pada bunga Ostara.

“Halo!” jawab Laura pada penelepon.

“Nona Laura, maaf aku harus bicara sekarang dengamu. Tapi, ini sangat gawat. Tuan Jon dilarikan ke rumah sakit. Dia tidak membiarkanku untuk memberitahumu, tapi aku tidak bisa karena keadaannya sangat parah.”

Mulutnya terbuka lebar dan jantungnya merasa lemas. Disaat seperti ini, Arthur datang membuka pintu dan menyaksikan dirinya yang masih tertegun dengan sambungan telepon. Tidak ada yang bisa ia katakan lagi selain menutup panggilan telepon dan bergegeas menuju kakeknya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya When I Fall in Love PART 16-18
3
0
Karya ini berisikan When I Fall in Love dari PART 16 - PART 18
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan