
REBORN, MY LORD — 4
"Anda tidak menginginkannya." Kata Sakura parau. Entah mengapa, padahal ini bukan tubuh aslinya tapi perasaan yang selalu berdatangan seolah terjadi pada dirinya.
"Aku tidak pernah mengatakan itu," sahut Sasuke cepat. Masih membelakangi Sakura.
"Soal perjanjian itu." Sakura memulai. "Anda bisa mempercepat prosesnya."
Sasuke berbalik cepat, meneliti ekspresi apa yang direncanakan istri pertamanya.
"Lalu?"
"Yang Mulia, Anda hanya tidak perlu menahan kami lebih lama di kekaisaran." ucap Sakura mantap. Soal nama dia bisa dengan mudah menggantinya di pengasingan. Ini hanya jenis pikiran sederhana Sakura.
"Kami? Maksudnya kau dan Sarada?" Sasuke menggeleng tegas. "Tidak, Sakura. Kau pergi tanpa Sarada."
Sakura menatap kosong gundukan guling di depannya. Tiba-tiba pikirannya bingung. Bukankah dia akan tetap hidup untuk mencari keluarga baru bagi Sarada? Jika begini, apa yang harus dia lakukan? Dia telah membunuh ibu Sarada di tubuh aslinya. Lalu sekarang, apakah tidak satu pun dia berguna untuk membantu ibu dan anak itu? Jika dia memilih meninggalkan Sarada memang akan mudah untuk proses bunuh dirinya. Namun Sarada di istana tanpa perlindungan dan perbedaan kasta keturunan adalah kemalangan.
Tidak sedikit pun Sakura membuat rencana kedua. Jika di dunia dulu ada namanya sidang perebutan hak asuh anak. Namun disini, jika pun memang ada, lawannya adalah kaisar. Kaisar?
"Ra... Sakura..." Sasuke mengguncang tubuh Sakura yang membeku. 'Apakah dia tertekan?'
"Berbaringlah!" Setelah Sasuke mendapatkan sedikit respon. "Kau sangat lelah." Sebenarnya Sasuke tahu sejak awal, tapi dia kira tidak separah ini.
Sakura yang tidak berontak saat akan dipisahkan dengan Sarada cukup mengganggu Sasuke. 'Sakura tertekan?' vonisnya lagi. "Tidurlah!" Saat Sakura mengikuti perintah Sasuke untuk berbaring. Sasuke melihat Sakura masih hanyut dengan pikirannya sendiri.
"My Lord!" Panggil Sakura dengan meraih tangan Sasuke saat akan beranjak pergi meninggalkan ranjang.
"Hn." Jika Sasuke berbicara sekarang hanya akan melukai Sakura lebih jauh. "Tidurlah! Masih ada banyak waktu."
"Adakah penawaran lain untuk Sarada?" Sakura tidak mengindahkan.
Sasuke berpikir, dia salah jika Sakura tidak berontak tentang perpisahannya dengan Sarada. Sakura tetaplah Sakura. Perempuan cerdas karena rajin membaca. "Tidak akan. Dia bukan barang."
Sakura mengangguk. "Saya harap Anda menyayanginya. Seperti kata Anda tadi. Dia tetap darah daging Anda walaupun perempuan. Meskipun saya telah mengutuk bahwa Anda tidak akan pernah menjadi bagian dari Sarada. Jangan membuat saya menjadi sia-sia karena melahirkannya tidak mudah, dan itu rasanya sakit."
Sasuke memandang Sakura yang sedang menutup mata lelah. Ada perasaan aneh karena Sakura menyerah begitu saja. Namun bukankah ini yang dia inginkan untuk membuat lady pertama turun. Menyayanginya? Bahkan dia tidak pernah tahan berada di tengah anak kecil. Akan jadi apa putri sulungnya itu tanpa sang ibu.
Baru satu hari. Namun Sasuke sudah menyaksikan pemandangan yang hangat saat putrinya yang lahir telah melahap rakus makanan dari ibunya. Melihat bayi yang merengek dan ditenangkan dipangkuan ibunya. Mendengar celotehan lucu ibu untuk anaknya. Selaku seorang Ayah yang telah terhipnotis pada pandangan pertama pada mata onyx kecil nan cantik, dia bahagia bisa melihat Sarada mendapatkan kasih sayang yang melimpah di Istana Blossom.
Pertanyaannya, apakah dia puas Sakura terusir dari kekaisaran? Ahh, nanti juga Sasuke akan punya setidaknya satu dengan Hinata.
"Selamat malam, Baginda! Semoga segala yang terbaik menghampiri Kaisar Sarada."
Sasuke memandang Sakura penuh arti, kemudian beranjak pergi setelah Sakura tertidur.
.
.
.
Sakura terbangun di dini hari. Kondisi di luar masih gelap. Teringat percakapan yang menggores hati dengan pria yang dia cintai. Tidak ada artinya dia hidup lagi. Harapan terhadap Sarada pun telah pupus. Sakura hanya meminta maaf pada Lady Sakura yang asli karena tidak bisa menepati janjinya berkali-kali.
Mengedarkan pandangan ke sekitar. Mencari dengan cara apa dia bisa bunuh diri. Sakura berpikir, akan melakukan di luar istana pada awalnya. Tidak buruk juga membuat cerita angker tentang hantu di istana terkucilkan. Sakura terkekeh, dia tidak ahli membuat nama aneh agar terdengar lucu. Sekaligus membuat kaisar yang menolak cinta tulus pemilik tubuh asli Sakura merasa bersalah membunuh ibu anaknya. Ehhh, tidak membunuh, tapi berpikir untuk bunuh diri. Padahal, kan, dia memang sejak awal sudah mati karena bunuh diri. Jika gagal, ya, bunuh diri lagi. Salah mereka sendiri yang kejam. Ternyata tidak hanya putrinya, wanita itu pun malang karena mendapatkan penolakan terus menerus.
'Maafkan Ibu kedua kamu ini, ya, Sarada Sayang!' batin Sakura menjerit.
Sakura mengarahkan pisau buah, dan…
Cressss
Darah berceceran dari pergelangan tangan Lady Sakura. Tiada henti Sakura meminta maaf pada wanita yang telah dia gores tangannya.
'Ah, diambil nyawa dengan cara seperti ini sangat menyakitkan. Lama. Tidak langsung mati. Sakit. Napasku mulai sesak. Semua terasa buram. Lemas. Ah, aku masih bernapas walaupun tersendat dan tidak bisa melihat sekitar. Sa… Ra... Da...'
Di kamar Sarada
Oekkk oekkk oekkk
"Oh, Tuan Putri sudah bangun? Cup… Cup… Sayang! Mau bertemu Ibunda, ya? Haus, ya? Iya, Sayang, kita ke kamar Ibunda. Iya, sabar." Temari berjalan sambil menenangkan Bayi Sarada yang meraung mencari sang ibu. Temari gemas karena bayi berusia dua hari telah tahu siapa pangkuan ibu yang sebenarnya.
"Yang Mulia, Anda telah bangun?" panggil Temari diambang pintu.
"Apa Anda bisa mendengarnya? Tuan Putri tidak bisa ditenangkan tanpa Anda, sepe—." Temari menghentikan semua ucapannya, dan membekap mulut. Taburan air mata tidak bisa dibendung melihat sang lady sedang merenggang nyawa. Darah bercucuran dimana-mana dengan deras. Darah segar. Sarada dalam gendongan pun semakin keras menangis.
"Pelayan, cepat panggil dokter! Kemari! Cepat! Cepat panggil dokter kemari kalian semua!" teriak panik Temari menggelar di dalam istana. Belum sempat mengerti apa yang terjadi, semua orang cepat-cepat mengikuti instruksi untuk memanggil dokter kekaisaran.
Salah satu maid mengungsikan Sarada yang Temari letakan dengan aman di sisi ranjang lain. Masih meraung seolah tidak rela ditinggalkan sang ibu.
Temari meminta kain bersih untuk membebat sayatan yang masih mengeluarkan darah segar, mengalir deras. Masih baru. Di tengah kekalutan. Temari bersyukur masih bisa berpikir jernih untuk mengambil tindakan, meski hanya membantu sedikit.
"Ame, cepat pergi ke Istana Onyx! Sampaikan pada Kaisar! Bawa teman kamu untuk menyampaikan juga pada Ratu Mikoto dan distrik Klan Haruno, cepat!" Temari menatap tubuh Sakura dengan tubuh menggigil.
Ame yang diminta menyampaikan berita duka hanya mengangguk patuh.
"Mana dokternya?" teriak Temari tidak sabar.
.
.
.
Seketika kekaisaran menjadi ricuh karena aksi nekat lady pertama mereka. Semua penghuni Istana Blossom menunggu keluarnya dokter dengan sedih. Semua menunggu di depan istana sambil duduk berbaris rapih dan memanjatkan doa bersama.
Sarada diungsikan ke Istana Anggrek bersama Mikoto. Menenangkan bayi malang yang jika terlambat saja, akan benar-benar kehilangan ibunya.
Di luar kamar Sakura diperiksa, ada keluarga Sakura—Kizashi, Mebuki dan Sasori—kakak Sakura yang datang. Serta Sasuke yang kaget saat kabar duka itu disampaikan. Disampinygnya ada Naruto—sang jenderal kepercayaan Sasuke dan Kakashi—sekretaris sekaligus penasehat Sasuke.
Tidak ada interaksi berarti antara keluarga Haruno dan Kaisar. Karena memang mereka tidak sedekat itu. Hubungan Sakura dan keluarga Haruno merenggang sejak menikah dengan Kaisar Sasuke. Begitu pun dengan Kaisar Sasuke dengan keluarga Haruno. Hanya terdengar isakan Mebuki yang meratapi anak bungsunya di pelukan Kizashi.
"Putriku, ya, Tuhan! Hiks… Hiks..."
"Tenanglah!" Kizashi menenangkan, dan menepuk-nepuk punggung istrinya.
“Tenang? Tahu apa kau soal mengurus anak? Putriku di dalam sana sedang merenggang nyawa…” Mebuki memelas. "Anak yang aku lahirkan dengan susah payah ingin mendahului aku untuk mati. Dan kau masih ingin aku bersikap tenang? Sudah aku bilang seharusnya kita tidak menginjakan kaki di negara ini."
“Mebuki! Sabar, dan tenangkan pikiran kamu!” Memang apa yang bisa Kizashi lakukan di saat seperti ini. "Sekarang kita hanya bisa berdoa."
"Jika sampai putriku tidak selamat, jangan harap kau bisa menemui aku dalam keadaan hidup!" Ancam Mebuki putus asa.
"Ibu!" ucap Sasori penuh peringatan.
“Kau juga sama saja.” Tuding Mebuki pada Sasori. "Sia-sia aku melahirkan bayi laki-laki yang aku didik dengan apik. Tetap saja, tidak bisa buka mata dari mana kau keluar."
"Ibu, tolong jangan berbicara seperti itu!" Sasori memeluk ibunya penuh sayang.
"Harusnya kalian membangun negara yang berisi laki-laki semua! Biar merasakan pedang beradu pedang, apakah bisa menghasilkan bayi?"
Naruto dan Kakashi berpandangan, bergidik ngeri. Sasuke menutup wajah dengan tangan sebelah. Lelah. Dia merasa menjadi pemimpin yang gagal, bahkan hanya dalam taraf kekaisaran.
"Sudah, ya, Ibu! Aku masih suka Ibu. Bukan Ayah."
Kizashi berdehem kaku.
"Hah? Bilang saja kaum kamu takut musnah, kan?"
Apakah Sasori yang terkenal dingin sebelas dua belas dengan Sasuke benar-benar lahir dari perut Mebuki. Ya, ampun… Tahukan kondisi Sakura masih belum diketahui, adik malangnya?
"Ya, Tuhan, Sakura." Mebuki kembali histeris dan tidak sadarkan diri.
"Ibu?" Sasori memeluk tubuh lunglai ibunya.
"Mebuki!" Kizashi panik.
"Sebaiknya Nyonya Besan dibawa ke kamar kosong saja, Tuan. Saya akan segera memanggil maid." Kakashi mewakili sikap yang akan diambil Sasuke.
"Ah, baik, terima kasih!" ucap Sasori seraya membopong ibunya.
.
.
.
Hari telah beranjak di puncak siang saat dokter dan perawat yang membawa kain dan air penuh noda darah keluar.
"Bagaimana kondisi Adik Saya, Dokter?" tanya Sasori cepat. Kelewat cepat, bahkan berhasil membungkam pertanyaan yang akan Sasuke tanyakan.
Dokter Tsunade melirik ke arah Sasuke dan membungkuk. Sasuke mengangguk tanda boleh menjelaskan.
"Lady Sakura selamat. Tadi bahkan sempat sadarkan diri. Namun karena kekurangan darah, beliau kembali pingsan. Beruntung Lady cepat ditemukan. Kami sempat kehilangan detak jantungnya hampir satu menit. Biarkan beliau hanya untuk istirahat. Kondisinya yang baru saja melahirkan bisa menjadi komplikasi lain pada kesehatan Lady. Tolong jangan biarkan Lady Sakura stress! Apalagi jika kejadian seperti ini terulang lagi. Saya yakin, saat itu terjadi tidak akan ada kesempatan lagi." Dokter Tsunade menjelaskan sejelas mungkin.
"Kami mengerti. Terima kasih, Dokter! Tolong resepkan saja obat untuk beliau, dan tempatkan beberapa perawat di sekitar! Kami akan menjaganya," ujar Sasori tenang.
"Sudah tugas kami, Tuan Sasori."
.
.
.
"My Lord, kami akan membawa Lady Sakura ke dist—"
"Itu tidak akan pernah terjadi." Ucapan yang akan terlontar dari mulut Sasori mendapat bantahan tegas dari Sasuke.
"Untuk apa Anda masih mau mempertahankan beliau setelah kejadian ini?" Sasori tidak akan terpengaruh oleh tatapan tajam Sasuke.
“Seolah akulah pelakunya.” Sasuke bahkan tidak akan berpikir Sakura melakukan ini setelah mendapatkan bayi yang mereka inginkan. "Jika pun aku lepaskan, dia tetap tidak akan bisa masuk ke distrik Haruno." Sasuke melontarkan kata mengejek.
"Itu lebih baik. Jadi lakukan itu sekarang!" tantang Sasori dengan angkuh.
Sasuke mendengus kasar. "Lalu setelah itu kalian para Haruno bisa sesuka hati minggat dari Kekaisaran Uchiha? Percaya diri sekali."
"Itu tidak akan menjadi keputusan Anda untuk berhak ikut campur." Sasori masih menantang Sasuke.
Siapa yang tidak akan geram ketika diprovokasi. "Ha…? Bukannya di sini kau yang ikut campur urusan rumah tangga kekaisaran? Ingat, Sakura adalah tawanan yang harus kalian bayar. Sekali milik kaisar tidak ada kesempatan lagi untuk pulang."
"Bahkan Kaisar Terdahulu sangat menghormati pendampingnya. Begitu juga Kaisar Pertama yang memiliki lima istri. Tidak ada satu pun dari mereka yang dianggap rendah. Sekali pun Lady Natsumi berasal dari negara luar. Oh, ya, saya lupa Anda hanyalah pewaris cadangan saat pewaris sesungguhnya pergi, tidak heran jika—"
Bughhh! Bughhh!
Sasuke memukul kuat wajah Sasori dua kali.
Hal itu dibalas seringaian mematikan dari Sasori. "Sayang sekali kau adalah kaisar masa kini." Sasori memberikan tatapan mencemooh.
"Jangan pernah berharap untuk bisa membawanya pergi!" Ancaman Sasuke menjadi nyata. Kebenciannya pada keangkuhan Haruno semakin menjadi. Termasuk membuat Sakura menderita dalam cengkramannya.
“Baiklah!” Sasori merapikan penampilannya. "Lagi pula mengapa saya harus merepotkan diri untuk membebas manusia tidak diuntung itu." Sasori mengangkat tangan keatas. Sakura sudah baik-baik saja.
"Diberi nyawa gratis malah dirusak."
Gumaman Sasori membuat kening Sasuke mengkerut bingung.
"Ingatkan pada istri cacat kamu itu, untuk tidak pernah merepotkan lagi Klan Haruno! Ajari pelayan dia untuk tidak pernah datang ke Distrik Haruno lagi sekali pun dia sudah membusuk di tanah!" ucap Sasori sarkas. Dia hendak menjauh.
"Kurang ajar! Begitu perlakuan kamu pada adik kamu sendiri?" Urat wajah Sasuke menonjol karena marah.
"Kenapa Anda marah? Ikatan kakak adik dunia bangsawan sudah tidak asing jika merenggang. Ikatan ayah dan anak yang lebih kental saja bisa. Mengapa aku tidak? Contohnya akan sangat nyata, dan akan ditiru oleh seluruh rakyat Uchiha yang terhormat." Sasori tertawa keras. Melambaikan tangan. Puas setelah menyindir telak sang kaisar.
.
.
.
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
