NOT YOU — 41

8
2
Deskripsi

NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 41

NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 41

 

 

 

Keesokan harinya, Sarada kabur menemui Sakura. Dia tidak bisa tidur semalaman. Air matanya mengalir melihat muka pucat sang ibu yang sedang tertidur.

"Maafkan Sarada, Ibu!" Bibir Sarada menipis getir.

Sakura perlahan membuka mata. Menyadari kehadiran seseorang. Senyumnya terbit saat mendapati putrinya semakin pangling. "Kenapa menangis?" Sakura mengusap pipi basah Sarada.

"Kenapa Ibu tidak bilang jika sedang sakit?" Sarada memeluk Sakura. Dia tahu, dia bodoh jika mengatakan itu.

"Ibu hanya terkena demam. Dikompres sebentat juga sembuh." Sakura berbaring menyamping, mengusap surai halus dan tebal milik putrinya.

Sakura pikir, begitu Sarada pulang lagi dia bisa menemukan wajah ceria Sarada lagi. Ini salahnya yang sakit ketika Sarada akan pulang.

Sarada memberengut, apa yang dia dengar dari putri Kakashi tidak sesederhana itu. Boruto bilang bahkan ibunya sekarat. Keterlaluan, pemuda itu menyumpahi ibunya. "Ibu tahu, Sarada sangat khawatir. Tolong, jangan menyembunyikan apapun dari Sarada!"

Sakura hanya terkekeh ringan. "Tidak ada yang bisa Ibu sembunyikan, Putri Cantik. Dokter hanya bilang Ibu kekurangan nutrisi. Karena demam, Ibu tidak masak dan hanya makan buah yang ada di kebun." Sakura mengusap punggung Sarada yang semakin terisak.

"Aku semakin yakin akan membawa Ibu pergi." Sarada tidak tahu kapan tepatnya itu. 

"Sssttt... Ayahmu tidak akan suka. Ingat! Sarada adalah tuan putri. Tempat tinggalnya hanya di istana. Bukan di tempat lain, oke? Sudah! Ibu sudah lebih baik karena Sarada sudah datang." Sakura mengecup pipi Sarada penuh kasih. "Putri Ibu jangan sedih lagi!"

"Ibu sudah makan?" tanya Sarada lagi. Dia tidak berpikir membawa makanan tadi.

"Sudah. Tadi Ibu tertidur karena habis minum obat." Sakura tersenyum melihat Sarada memastikan apa yang dia makan.

"Boruto datang lagi?" tanya Sarada kesal. 

Sakura mengangguk. "Katanya untuk terakhir kali karena dia akan di kirim ke Suna."

Sarada mendengus. Boruto tidak mendengarkan ancamannya, dan ternyata lebih memilih tidak lagi melihat wajahnya. Pria itu tidak sebaik saat mengajukan diri akan menjadi tunangannya. Boruto tidak meminangnya atas nama cinta, tapi kekuasaan. 

"Apa ketahuan Baginda ketika Boruto membawa seorang dokter?" Sakura bertanya karena waktu itu Boruto tidak menjawab.

"Lupakan soal Boruto, Bu! Baginda memang suka seenaknya jika memberikan perintah. Bahkan Sarada juga sedang kabur." Sarada berkata jujur.

Mata Sakura terbelalak. "Apa yang Sarada lakukan?"

"Percayalah, Bu! Baginda sekali-kali harus dijahili agar tidak kaku." Sarada menjawab cuek.

Mata Sakura mengerjap tidak percaya. Itu mengingatkannya pada dirinya yang dulu.

"Saki!" Panggil Mebuki dengan nada tidak percaya.

Sakura memberikan cengiran tanpa dosa pada ibunya. Disusul dengan adanya ayah dan kakaknya.

"Saki, kenapa bisa disini?" Sasori menghampiri adiknya. Dia sangat yakin, tadi Sakura ditinggal di istana.

Setelah menerima undangan makan siang bersama di istana, keluarga Haruno akan menginap di salah satu motel ibukota yang sudah dipesan jauh hari.

"Kita datang bersama tadi. Tidak ada yang melihat Saki? Jahat sekali!" Sakura memasang raut wajah bersedih.

Ketiganya saling memandang dan menggeleng satu sama lain.

Sakura semakin mendumel tidak jelas. Dalam hatinya, Sakura bersorak riang karena tidak ketahuan. Dia memang menyuap pelayan di kereta barang yang akan masuk lebih dulu ke dalam area motel.

"Saki!" Kizashi akan memulai bicara dengan nasihat panjang lebarnya.

"Iya, Ayah Saki yang tampannya mengalahkan Baginda Kaisar!" Sakura tersenyum puas dengan reaksi ayahnya yang tertawa kesenangan.

"Ayahmu itu Sasori, dipuji sedikit lupa salah anak gadisnya." Mebuki duduk di sofa di depan putrinya.

"Saki mungkin bukan gadis lagi, Ibu." Sasori mengikuti ibunya. Mengabaikan sang ayah yang masih dalam eforia tampannya.

Satu bantal sofa terlempar tepat di kepala Sasori. "Itu rahasia kamar, Kakak."

Sasori berbisik kencang ditelinga ibunya. "Nah, calon cucu sudah diproses."

"Kakak, tolonglah!" Sakura memelas.

"Kemari, Saki!" Mebuki menepuk pangkuannya agar Sakura berbaring.

Sakura tertawa senang. Harum ibunya adalah harum paling nyaman sedunia. Pelukannya hangat tidak bisa ditandingi.

Sakura mendongak, melihat Sasori yang juga bersandar di bahu ibunya.

"Jadi, Ayah tidak diajak?" Kizashi duduk di atas karpet untuk menjahili putrinya yang keenakan memeluk perut istrinya.

"Ayah itu, kumisnya sudah panjang." Sakura selalu gemas dengan jambang milik Kizashi.

"Saki, ingat!" Mebuki memperingatkan.

Sakura tersenyum lebar. "Iya, Ibu, maaf!"

"Kenapa kabur dari istana?" tanya Mebuki lagi.

Sasori membuka matanya, menoleh pada adik satu-satunya.

“Tidak ada salahnya. Saki bosan di istana. Sudah pernah Saki bilang, ekspresi Baginda itu begitu begitu saja. Senang hn, marah hn, diam hn, hn, hn, hn, hn terus. Sekali-kali memang minta dijahili biar tidak kaku," gerutu Sakura.

"Hus... Sembarangan!" Kizashi menyentil dahi Sakura.

"Aduh... Ayah... Memang yah, status permaisuri tidak ada harganya." Sakura mengomel.

Tawa Sasori paling nyaring di antara keempatnya.

"Ada, yah, Yang Mulia Permaisuri masih manja di pangkuan ibunya?" Sasori mencubit pipi adiknya.

"Ibu..." Sakura merengek manja.

"Sudah! Kalian tidak capek habis jalan jauh, hm?" Mebuki menghentikan keduanya.

Bersamaan dengan itu, seorang pelayan masuk dan menyampaikan rombongan kaisar datang. Sasuke sendiri yang datang bukan para ajudannya.

"Yah, ketahuan secepat ini. Aku harus kabur." Sakura bersiap-siap menggunakan jalur belakang.

"Eh... Mau kemana?" Mebuki memasang wajah galak.

"Aduh... Ibu.. Tolong bantu Saki sekali ini saja!" Sakura memelas.

"Selamat sore, Ayah dan Ibu Mertua!"

Empat orang di ruang tamu menoleh ke arah asal suara. Sasuke berdiri gagah dengan setelan hitam yang pas di tubuhnya.

Sakura berdiri tegak, menyambut Sasuke dengan senyuman ceria.

Kizashi menyambut Sasuke untuk berbicara basa basi.

Sakura berbisik pada Mebuki. "Baginda sedang marah."

Sasuke melirik sekilas ke arahnya. Suara istrinya itu tidak benar-benar sedang berbisik. 

"Ada-ada saja, Baginda terlihat santai," bisik Mebuki. Meniru Sakura. 

Sasori hanya menggeleng pelan dengan tingkah adik dan ibunya.

"Waktunya kembali ke istana, Permaisuri!" Sasuke menghampiri Sakura setelah sebelumnya meminta izin pada Mebuki.

Sakura mengikuti dengan terpaksa. "Saya pamit, Ibu!" Dia mengecup kedua pipi ibunya dengan sayang.

Sasuke menuruti Sakura yang katanya ingin naik kuda. Lagi pula, jarak menuju istana memang tidak terlalu jauh.

Sakura mencubit kecil pinggang Sasuke yang duduk di belakangnya. Dia mendongak ketika Sasuke menunduk. "Coba saya lihat ekspresi marahnya!" Sambil tersenyum lebar, Sakura mencubit pipi Sasuke pelan.

Sasuke hanya diam. "Kita sedang di jalan, Sakura! Pegang tali kekangnya! Atau kita bisa terjatuh," sahut Sasuke datar.

Sakura mendengus. Sampai masuk istana pun Sakura tidak memperdulikan Sasuke.

Sakura menatap Sarada. "Asal jangan kelewat batas, ya?"

"Mereka mungkin akan segera menyadari jika Sarada tidak ada di kamar. Tidak apa-apa, kan, jika Sarada tinggal lagi?" Sebenarnya Sarada masih khawatir.

Sakura mengangguk. "Ibu agak mengantuk, jadi tidak apa-apa."

Sarada tersenyum manis. Dia lekas berdiri setelah mengecup lembut kening ibunya dengan sayang.

"Sarada!" panggilan Sakura menghentikan langkah Sarada.

Sarada menoleh untuk mendengarkan kata ibunya.

"Jangan sampai keluar istana tanpa pengawasan! Di sana sangat berbahaya." Setelah kematian Rakuzan, pasti tidak sedikit orang untuk membuat Sarada celaka. Di antara orang-orang itu, pastilah mereka yang ingin mengirimkan putrinya ke istana.

Sarada tersenyum kecut dan mengangguk terpaksa.

TBC

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya NOT YOU — 42
8
6
NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 42
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan