NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 83
NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 83
Setelah pelantikan resminya, Sarada memiliki banyak ruang gerak. Rupanya, dalam gejolak politik yang sedang kacau banyak celah yang mereka gunakan untuk mencari keuntungan. Banyak dana pajak tidak terdata atau laporan palsu terlaporkan.
Beruntungnya, Shikadai, Karin dan Kakashi juga menyadarinya. Jadi mereka tidak akan heran dari mana Sarada tahu perkiraan kondisi dan pendapatan suatu wilayah. Tidak ada yang menyadari jika kecurigaannya berdasarkan buku catatan ayahnya. Begitu juga wilayah yang masuk ke dalam ruang kantor Boruto, terlalu banyak kecurangan.
Dalam rapat para menteri, Sarada mengancam posisi dan kebangsawanan mereka akan dicabut secara tidak terhormat. Apalagi, Sarada berhasil melobi Obito agar Klan Uchiha ikut menginvasi beberapa posisi di kekaisaran.
Sarada menang, Kakashi kalah dengan memendam kekesalan. Urusan Uchiha akan berkuasa dari kekaisaran itu sendiri, Sarada akan memikirkannya belakangan.
Ketika waktu telah tergenggam, Sarada menyempatkan diri untuk mampir di mansion besar milik Jiraiya. Satu per satu, seharusnya dia bisa mengurai pesan ayahnya. Meskipun benci, pasti ucapannya ada benarnya.
Sarada membuka penutup kepala begitu pemilik rumah melihat kedatangannya. "Selamat siang, Tuan Jiraiya!"
Jiraiya menatap sekelilingnya, hanya ada lima ksatria bayangan. Sama seperti Kaisar Sebelumnya. Namun kali ini, Jiraiya tidak tahu, milik siapa ksatria tersebut. "Anda datang sendiri?"
"Rahasiakan kedatangan saya!"
Jiraiya membantu Sarada mengamankan kuda miliknya. "Saya hanya pernah mendengar. Ternyata benar, Anda pandai melarikan diri."
"Saya tidak mungkin datang kemari terang-terangan dan membuat Anda repot." Sarada mendengar ucapan Kakashi agar tidak memalingkan wajah dari pria ini.
"Saya rasa kita tidak punya bisnis pribadi." Jiraiya sudah merasa cukup untuk ikut campur tentang politik.
"Anda dan Ayah saya punya bisnis rahasia."
Jiraiya menoleh pada Sarada. "Baru di saat seperti seorang anak memanggil pria yang menjadi darah dagingnya dengan panggilan ayah."
Sarada tercenung di tempat.
Jiraiya hanya tertawa tidak minat. "Dunia itu lucu."
"Masuklah! Apa yang Anda butuhkan!" Jiraiya berjalan lebih dulu.
Sarada menaiki teras sederhana. Rumah ini besar. Terlihat berantakan, tapi bersih. Tidak terlihat banyak pekerja. Gerbangnya pun mulai karatan. Namun Jiraiya dikenal sebagai tetua kaya dan lurus. Pemilik ballroom besar di tengah kota yang penuh tipu-tipu.
"Saya datang untuk melihat makam keluarga Haruno." Sarada tidak punya banyak waktu untuk berbasa basi. Namun sebisa mungkin dia bersikap tetap sopan. Dalam catatan ayahnya, Jiraiya tidak bisa menerima tamu kasar.
Jiraiya tidak jadi menuangkan air teh. Dia terdiam untuk sesaat. "Apa Kaisar memang tidak akan kembali hingga keturunannya datang kemari."
Sarada tidak tahu. Meskipun dirinya adalah pelakunya.
"Sampai kami berdua mati, seharusnya itu menjadi rahasia. Karena itu berbahaya bagi kami."
"Kenapa?" Kenapa keluarga ibunya selalu dianggap berbahaya.
Itu adalah sejarah kelam bagi semua orang. "Kami adalah bangsawan. Ini berlaku bagi Kaisar juga. Apa jadinya jika mereka tahu kami menyimpan jasad yang seharusnya sudah habis dimakan burung bangkai."
Kening Sarada mengkerut tidak terima. Dia menemukan bukti jika mereka tidak bersalah.
"Saya tahu, ini akan menjadi luka lama ketika Kaisar memutuskan untuk mempertahankan Permaisuri." Itu atas usulannya. Namun sepertinya, Jiraiya salah memberi usul.
"Sekali pun ada bukti yang mengatakan mereka tidak bersalah, itu mungkin hanyalah bukti palsu. Yang dibuat untuk membersihkan nama istrinya ketika bebas nanti."
"Bebas?" tanya Sarada.
"Anda tidak tahu? Permaisuri bukannya tidak memiliki batas masa hukuman, tapi sedikit orang yang membahas itu." Jiraiya memutuskan berdiri. Dia memberi kode pada Sarada untuk mengikutinya.
Sarada melewati taman tua yang terawat. Lumut alami. Rumput liar yang dipotong pendek. Juga genangan air dalam bebatuan. Mereka terus berjalan maju.
"Saat itu, Kaisar datang dengan diguyur air hujan deras. Hanya berbekal kuda biasa dan gerobak. Penampilannya seperti gembel layaknya penggali kubur. Aku tidak tahu mengapa beliau memilih saya. Namun ketika saya buka penutup gerobak itu, tanpa bertanya pun, saya tahu tujuan Kaisar berlaku demikian."
Sarada hanya mendengarkan.
"Saya menolaknya begitu keras. Tidak ada yang sebanding dengan apa yang dimiliki saya. Kehormatan, kekayaan dan hidup harmonis dengan ketiga mayat yang dibawa Kaisar. Meskipun Kaisar bersikeras mereka tidak bersalah, kenyataan mereka mati dalam hina tidak bisa terelakkan. Apalagi saya tidak mengenal mereka secara khusus."
Sarada menunduk. Dia juga tidak mengenal ketiga keluarga ibunya. Rasa benci ini tertanam kuat begitu saja.
"Namun melihat Kaisar saat itu, semua orang akan berpikir jika Kaisar sedang putus asa dan kelelahan. Saya bisa memulangkan Kaisar dengan benar dan berpura-pura menerima untuk memenangkan. Apa yang beliau katakan?"
Jiraiya menatap langit biru siang ini. "Dia tidak mau merepotkan saya katanya. Padahal itu sudah sangat merepotkan. Bahkan taruhannya adalah wilayah sebesar ini. Sungguh anak muda tidak terduga, padahal sampai saat ini pun aku selalu mengatainya Kaisar tanpa hati."
Jiraiya hanya tertawa ringan. Dia melihat tempat dimana Sasuke selalu datang setiap tahunnya untuk menabur bunga. Itu sangat berbanding terbalik dengan perintah Sasuke malam itu untuk membumihanguskan wilayah Haruno.
Sarada menutup mulutnya. Itu tidak seperti kuburan asal-asalan.
Jiraiya berhenti. Di depan makam dengan ketiga lukisan di atasnya. "Kaisar yang menggali tempat ini dengan tangannya sendiri. Dalam kondisi hujan. Dan dengan tubuh mereka yang mulai bengkak. Kami tidak bisa melakukan pemakaman lebih layak dari itu."
Jiraiya tidak membantu sama sekali. Pun ketika dia berinisiatif untuk memayungi pria muda itu, Sasuke berbalik memintanya agar memayungi ketiga mayat tersebut. Mengeluarkan air hujan dari lubang dengan teliti. Lalu merawatnya dari waktu ke waktu.
Sarada menyentuh lukisan besar pria tua dengan rambut merah muda berbentuk bintang. Selama ini dia hanya melihat lukisan kecil. Apakah ini keluarganya?
"Apa Anda yang akan merawatnya kali ini?" tanya Jiraiya.
"Saya ingin memindahkannya." Sarada yakin ini akan menjadi kado terindah untuk ibunya.
"Memindahkannya tidak mungkin." Karena Jiraiya akan terkena dampak.
"Tidak sekarang. Mungkin masih butuh bertahun-tahun lagi." Sarada tidak tahu, apa tangan ini bisa bergerak cepat atau lambat.
"Itu tetap tidak mungkin."
Sarada mengerti jika pria ini punya kekhawatiran. Lalu Sarada juga tidak bisa egois. Meski dia punya kuasa sebagai kaisar dalam lima tahun ke depan, dia akui, dia tidak bisa semena-mena pada bawahannya.
Namun mengetahui makam ini nyata adanya, itu sudah cukup. Dia tidak melupakan tujuan utamanya tetap pada ibunya.
.
.
.
.
.
Sarada berjalan di sepanjang lorong istana. Jubah bepergiannya sudah dia lepas. Yang tersisa hanya pikiran rumit untuk mengurai ini semua tanpa mempengaruhi orang-orang penting. Ternyata itu tidak mungkin.
Langit sudah mulai menguning di luar sana. Itu berarti, dia pergi sudah lumayan lama. Seharusnya rapat sore ini dibatalkan. Ketika mendongak, Sarada dibuat terdiam sesaat. Itulah Namikaze Boruto yang sedang melipat tangan sambil bersandar di luar ruang kantornya.
Sarada berhenti beberapa langkah di depan pemuda itu, karena memang menutupi jalannya.
"Tidak seharusnya Anda pergi tanpa pengawalan." Boruto membuka matanya yang biru. Tatapan sayu.
Sarada mengangkat dagu. "Sesuatu tentangku, bukan urusan Anda."
"Seharusnya Anda menyadari diri Anda sekarang ini. Bukan hanya saya saja, semua orang berkewajiban melindungi Anda. Anda seorang kaisar." Boruto berdiri tegak. "Dan urusan lapangan bukanlah bagian Anda."
Sarada menarik bibirnya. "Hanya karena Anda punya pembagian tugas kekaisaran, Anda merasa punya hak mengatur saya?" Sarada menggeleng. "Tuan Boruto, itu tetap milik kekaisaran, bukan hak milik diri Anda."
"Apapun itu. Anda tahu itu bukan maksud saya, tapi ini masalah keamanan," ujar Boruto tidak senang. Dia menerima titah Sasuke bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk melindungi wanita ini.
"Lalu itu bukan bagian dari pengaturan Anda. Menyingkir dari jalanku!" Perintah Sarada dingin.
Boruto menggeser tubuhnya setelah menghela napas panjang. Namun dia tetap mengikuti Sarada yang masuk ruang kantornya.
Begitu Sarada duduk di kursinya, semua orang termasuk Boruto dan asistennya menegakkan tubuh dari apa pun yang mereka kerjakan.
"Aku tidak akan mengubur kasus keracunan pada Ibu Permaisuri dan membuka kasus Ratu Hinata. Sesuai yang sedang Kaisar Terdahulu lakukan." Sarada menatap semua orang. "Kalian adalah wajah baru untuk membangun negeri ini. Jika kasus ini sampai berlarut-larut juga, kinerja kalian perlu dipertanyakan."
Kakashi menghela napas kasar. Jika itu Naruto dan Shikamaru, pasti sudah menentang. Bukan apa-apa, alasan mereka jelas karena peduli. Biaya dan pandangan bangsawan terhadap kekaisaran. Itu pasti berdampak besar. Sedangkan bukti itu aslinya mungkin tidak ada, dan mereka hanya melakukan hal sia-sia.
Sasuke terluka ketika semua orang sudah memandang pria itu buruk. Bisa dikatakan hampir semua bangsawan telah memalingkan wajah karena rumah mereka didatangi tim penyidik. Kakashi bukannya tidak tahu, jatuhnya Sasuke adalah harapan kerusuhan itu dihentikan. Jadi intinya, bukan hal aneh Sasuke dibunuh karena memiliki banyak musuh.
Lalu Sarada mencetuskan hal serupa. Itu tidak lain seperti menyerahkan diri untuk menjadi sasaran empuk berikutnya. Meskipun, Sarada adalah pelaku utama.
Kakashi menatap semua anak muda yang mengangguk-angguk saja sambil membuat strategi. Lalu dia melirik pada Karin, satu-satunya orang dewasa di kamar Sarada. Dia berharap banyak pada wanita itu untuk menasihati Sarada melalui pendekatan. Ah, andai ada kandidat lain yang lebih pantas.
Biar bagaimanapun mereka tidak kekurangan pekerjaan.
Di sudut lain, Boruto hanya menipiskan bibir. Seolah tidak puas, ini akan menjadi kasus berkepanjangan. Karena Sarada, menargetkan seseorang. "Siapa yang coba kau jatuhkan?" gumam Boruto lirih.
Sarada ingin langsung menunjuk Ino-jin sebagai ketua tim penyidik. Namun itu tidak mungkin, pemuda itu masih terluka. Lagi pula, Sarada tidak begitu tahu kinerja beberapa orang baru disini. "Siapa yang akan memimpin penyelidikan ini?"
Mata Boruto terangkat. "Sudah jelas, kan?" Pemilik tim militer besar saat ini jatuh padanya. Setelah jatuhnya Kaisar, itu tidak terelakkan jika dirinya meraih banyak keuntungan dari perputaran posisi bangsawan.
"Saya pikir itu bukan Anda, Yang Mulia." Shikadai ikut bersuara. Dia tidak ingin Boruto terlibat langsung.
Semua orang termasuk Sarada menoleh pada pemuda itu.
Shikadai berdiri. Siapa pun, ini hanya akan menciptakan kerusuhan internal. "Kita punya tim keamanan pusat sendiri."
Mendengar hal itu, Ino-jin berdiri. Dia harus bertanggung jawab atas posisinya.
Sarada menatap kedua pria yang berdiri, lalu pada ekspresi Boruto yang menahan kesal. "Kalau begitu, Tuan Ino-jin, kau bisa memulainya mulai besok. Katakan apa yang kau butuhkan?"
Shikadai kembali duduk dan membiarkan ini menjadi urusan Ino-jin.
Ino-jin menarik napas panjang. Karena dirinya sedang terluka, dia punya alasan. "Saya membutuhkan pasukan gabungan dengan jumlah besar. Sebagian kecil diantaranya adalah pasukan elit yang bisa memimpin tim kecil."
Sarada berkedip lugu. Itu berarti dia harus mengajukan proposal pada Boruto? Dasar! "Kau akan mendapatkannya."
Boruto menyeringai remeh. Bukankah urusan Sarada terlalu monoton untuk memegang kekuatan militer sendiri? Tidak. Wanita itu tidak punya. Semua milik Sasuke ada padanya. Sasuke memberi semuanya dengan syarat dia harus melindungi putri semata wayangnya yang bebal.
"Rapat sore ini dibubarkan!" Sarada menandatangani buku rapat. Lalu, dia menoleh pada Kakashi.
"Kita bicara di luar." Dari samping, Kakashi tahu Sarada banyak menyimpan kebingungannya sendiri. Padahal ada orang yang benar-benar peduli, tapi wanita ini abaikan.
.
Sekali lagi, atas saran Kakashi masalah militer yang diinginkan Ino-jin terselesaikan dengan baik. Meskipun Sarada memang harus beramah tamah dengan Boruto melalui makan malam khusus.
Bagaimana lagi, Sarada tidak mungkin mengeluarkan militer yang disembunyikan ayahnya secara tiba-tiba. Atau mengeluarkan pasukan-pasukan kecil yang Sarada dapatkan secara illegal.
Sedangkan, Sarada membutuhkan rencana ini untuk mengeluarkan semua bukti yang ada.
.
.
.
.
.
Kakashi menangkap kasar penyusup yang masuk ke kamar Sasuke dengan mencurigakan. "Siapa kamu?"
Penyusup dengan penampilan aneh dan menutup semua tubuh dari atas hingga bawah.
"Kakashi, ini aku." Merasa terancam dengan belati menekan ujung lehernya, Orochimaru tidak punya pilihan lain.
"Orochimaru?" desis Kakashi tidak senang.
"Lepaskan ini dulu!"
Suara serak pria itu membuat Kakashi semakin curiga. "Apa tujuan kamu?"
Orochimaru tetap tutup mulut. Dia tidak bisa ramah pada orang yang mengancamnya.
Hal itu membuat Kakashi teringat. Lalu menarik kasar pria itu untuk duduk di sofa, dan membuka kasar penutup kepalanya.
"Katakan, apa yang dokter istana coba lakukan tanpa pemeriksaan resmi?" Kakashi berkata tajam. Bahkan ksatria yang dia pasang bisa dilumpuhkan dengan obat tidur. Sialan!
Orochimaru mengetuk pegangan kursi dengan cepat, lalu menatap tubuh Sasuke yang semakin kurus dan pucat. "Baginda bisa benar-benar mati jika dibiarkan."
Alis Kakashi mengkerut. "Bukankah kalian berkata memang tidak akan ada harapan lagi?"
Mata Orochimaru langsung menatap mata Kakashi dingin. "Jika mereka dokter biasa, ya. Tapi bukan berarti aku bisa menyerah, sekali pun dengan cara yang salah."
Hanya karena tubuh kaisar yang diagungkan seluruh negeri, mereka bersikap protektif. Padahal siapa pun orangnya, tubuh itu tetaplah mayat.
"Katakan! Apa Baginda bisa sembuh?" Kakashi menarik kerah Orochimaru dengan tidak sabar.
Orochimaru hanya menggeleng. Gadis kecil polos itu telah berubah menjadi pembunuh. "Baginda Kecil tetap mengharapkan Kaisar Agung dalam kondisi seperti ini untuk mengekang kita, Kakashi."
Kakashi berjalan mundur. "Kau tahu, Kaisar saat ini..." Kakashi tidak berani melanjutkan. Sasuke tidak ingin ada orang yang tahu selain dirinya.
"Apa yang dikatakan Baginda sebelum menutup mata?" Dari ekspresinya, Orochimaru bisa menebak jika Kakashi sempat mendapatkan wasiat tidak tertulis.
Kakashi tidak bisa membuka mulut. Kesetiaannya hanya milik Sasuke.
"Apa pun caranya, sebelum semua terlambat, Kaisar harus kembali Kakashi! Negeri ini akan hancur! Putri Sarada tidak pernah dibimbing langsung oleh Kaisar." Orochimaru sudah memikirkannya. Perubahan dalam waktu dekat dengan keputusan nekat. "Kakashi?"
Kakashi tidak tahu, apakah dia bisa percaya pada pria ini? Bagaimana jika Orochimaru justru membahayakan Sarada? "Bagaimana caranya?"
"Aku akan menghentikan jantung Kaisar!"
Mata Kakashi melotot tajam.
.
.
.
.
.
Sakura masih menyembunyikan wajahnya pada lutut. Menangisi Sarada tanpa bisa menoleh ke belakang. Dia juga silau pada cahaya yang menyilaukan.
Tiba-tiba terdengar teriakan keras Sasuke. Pria yang menungguinya dan terus membujuknya agar keluar dari tempat ini.
Sakura mengangkat kepala dengan bingung. Dia menatap ke belakang dan melihat Sasuke yang ditarik paksa oleh kegelapan itu sendiri. Namun entah bagaimana, Sakura mengulurkan tangan. Bukankah katanya itu bukan tempat yang baik? Sakura tidak bisa melangkah, tapi dia tetap mengulurkan tangan. Siapa tahu, pria itu memang membutuhkannya.
Kening Sakura semakin mengkerut kala pria itu semakin menjauh. Padahal dia pikir bisa menggapainya.
"Sasuke!" Satu kata lolos dari bibirnya. Nama yang tidak pernah dia sebut dengan lugas. Sakura menatap tangannya yang kembali seperti semula. Kasar dan kurus. Lalu pada pria itu yang sudah pasrah, dan perlahan berbalik menjauhinya.
"Pulanglah, Istriku! Pulanglah!"
Sakura menatap dirinya yang kembali sendiri. Lalu suara pintu terbuka dari balik cahaya itu, menciptakan bunyi derik mengerikan. Tanpa sadar air mata kembali menetes dan Sakura merasakan rasa sakit di hatinya. Sesak dan pedih tiada ujung.
Hingga Sakura menjerit karena cahaya itu benar-benar menariknya secara paksa. Memisahkan mereka.
.
.
.
.
.
Suara nyanyian Pemakaman Nasional menyayat hati. Seluruh negeri kekaisaran berduka. Bunga-bunga bertaburan. Bendera-bendera kesedihan berkibar.
Uchiha Sasuke. Kaisar dari Konoha dinyatakan telah menghembuskan napas terakhirnya pada dini hari.
Di saat semua masalah internal sudah terurai. Kekaisaran kembali diramaikan kesibukan.
Tidak ada yang tidak menangis. Sekali pun mereka laki-laki sangar pada masa-nya.
Naruto bahkan sampai berteriak kalap sambil mengutuk pelakunya. Pelaku yang semua orang tahu sudah dieksekusi di depan mata Sarada.
Siapa pun yang berada dalam satu angkatan dengan Sasuke. Kakashi, Shikamaru, bahkan para Uchiha. Itachi hanya terus memeluk tubuh kaku itu sejak kedatangannya. Shishui, Obito. Jangan tanyakan keadaan Mikoto, Hinata dan Sarada.
Sebagian tetua yang pernah ikut turut merawat Sasuke kecil juga tidak bisa menyembunyikan air matanya. Bagi mereka yang pernah bersinggungan langsung dan mengobrol akrab.
Bahkan jika itu Orochimaru yang punya beribu rahasia, tangisnya bukan tangis kebohongan.
Sudah tidak bisa dijabarkan lagi bagaimana reaksi para wanita. Terutama mereka yang pernah merawat Sasuke bersama Mikoto di masa lalu.
Jangan lupakan mereka yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan Sasuke tapi tidak bisa melihat langsung saat pertemuan terakhir.
Bumi Konoha sedang ditutupi awan mendung.
Para ksatria di perbatasan ikut menangis tapi tidak bisa menurunkan senjata. Para ksatria penjaga pilar istana berduka tapi tidak bisa memalingkan wajah.
Dengan kondisi seperti itu, tidak ada yang bisa berpikir waras. Seharusnya orang-orang seperti Kakashi bisa mengendalikan emosi. Namun nihil. Hingga Minato harus menggerakkan beberapa tetua lainnya untuk membantu jalannya pemakaman. Untuk menyambut para tamu yang datang. Itu terjadi begitu saja. Anak-anak mereka ikut jatuh. Cucu-cucu mereka sibuk di kediaman Sarada yang pingsan terus menerus. Istri-istri mereka berada di kediaman Mikoto dan Hinata. Lalu hanya Tsunade dan keamanan istana yang turut berada di kamar Sakura.
Bagaimana tubuh Sasuke dibersihkan, akhirnya semua Uchiha turun untuk memandikannya.
Semua pekerja utama Sasuke yang memakaikan baju resmi terakhirnya. Naruto, Shikamaru dan Kakashi tidak bisa menghentikan penyesalan mereka. Mereka selalu bersama. Sejak kecil. Bekerja bersama. Menceritakan banyak hal bersama. Namun pada akhirnya, maut memang nyata adanya. Kebersamaan mereka berhenti sampai disini.
Ketika peti mati sudah dipindahkan ke altar. Tidak ada satu pun dari orang terdekat Sasuke yang berani memakai atribut mewah. Tidak ada. Tidak ada yang ingat jika pria itu punya keluarga dan anak. Tidak ada. Karena tidak ada yang bisa menenangkan mereka juga dari kesedihan ini. Tidak sedikit pun mereka melipir karena banyaknya pelayat berdatangan.
.
Di kediaman Sarada.
Sarada sudah beberapa kali jatuh sejak pertama kali kabar itu terdengar.
Sarada hanya sedang bekerja malam saat suara gaduh tim medis memenuhi area kamar rawat ayahnya.
Awalnya Sarada pikir itu hanya pergantian obat dan pemeriksaan seperti biasanya. Bahkan untuk beberapa saat Sarada hanya berdiri mematung saat mendengar tangisan Kakashi.
Sarada pikir itu masih berupa mimpi dan ayahnya masih koma seperti yang dia harapkan. Namun, semakin banyak yang hilir mudik, semua menjadi tampak jelas.
Sarada benar-benar kehilangan sosok itu. Dia tidak punya pegangan apa-apa untuk kelanjutannya. Tiba-tiba gambaran Konoha berputar-putar di kepalanya. Dia menjadi kaisar tunggal tanpa bisa mencekal bangsawan yang setia pada ayahnya lagi. Dia kehilangan pondasi negeri ini seutuhnya.
Sarada jatuh pingsan dan diungsikan menjauh. Kakashi tidak menyukai Sarada menodai tubuh Sasuke. Pun begitu dengan Hinata dan Mikoto yang langsung pingsan saja.
Sarada juga belum menjatuhkan perintah untuk pemakaman hingga sempat terjadi kendala. Namun para tamu yang berdatangan sudah mulai membludak dan itu tidak hanya dari dalam negeri saja. Minato tidak mungkin membiarkan Sasuke masih mengenakan selimut dan piyama. Tidak mungkin tidak ada yang mengurus.
Sarada membuka mata lagi dalam kondisi sudah bersimbah air mata. Tubuhnya lemas bagai jelly. Bajunya sudah berganti pakaian hitam. Pun semua orang. Boruto, Shikadai, Cho-chou, Karin dan yang lainnya.
Sarada bahkan menerima pelukan Izumi yang tidak begitu dikenalinya. Juga dari Setsuna sebagai istri Shisui.
"Baginda sudah dipindahkan ke altar, apa Anda bisa bangun?" Rin sebagai orang tua diantara mereka. Dia yang wara wiri dari istana Sarada dan istana Mikoto.
Sarada hanya terus menangis dan terisak. Dia ingin mereka mengatakan ayahnya masih bernapas saja. Koma. Seperti sebelum ini.
Izumi turut menangis. "Dengarkan, Bibi! Anda, adalah kaisar. Anda, tidak boleh jatuh! Anda, harus berdiri tegak!"
Tidak bisa! Sarada tidak bisa bahkan hanya untuk sekedar duduk. Dia tidak bisa bahkan untuk sekedar minum. Sakit hatinya dan berat pundaknya, tidak akan ada yang bisa merasakan.
"Sarada!" Setsuna mengingatkan. Akan repot jika para laki-laki Uchiha sampai datang dan menekan Sarada yang sudah terguncang seperti ini.
Sarada memaksakan diri untuk bangun. Hal itu membuat Boruto sigap untuk menghampiri Sarada bermaksud untuk memapahnya. Sarada pun tidak bisa pilih-pilih di saat seperti ini.
"Ayah!" Sarada jadi teringat lagi. Kepasrahan ayahnya saat tahu akan diracuni.
"Yang Mulia!" Boruto hampir kehilangan keseimbangan saat lagi-lagi Sarada menjadi lemas.
Boruto langsung menggendong Sarada lagi, tapi tidak ke arah kasur. Dia membawa wanita ini di sofa depan kamar Sarada. Untunglah kali ini tidak kehilangan kesadaran.
Cho-chou mengipasi Sarada. Pun dengan Izumi yang kembali mendekati gadis itu.
Sarada memijat keningnya yang nyeri. Karin tentu mengkhawatirkan penampilan Sarada di depan umum.
Shikadai memalingkan wajah. "Baginda tidak siap untuk tampil di depan umum," bisiknya di belakang Boruto.
Ino-jin tiba-tiba datang. "Permisi!" Dia tinggal lama disini, tapi dia juga sesekali berpatroli bersama bawahan Boruto yang bernama Mitsuki. "Anda kedatangan tamu, Baginda."
Tidak ada yang tidak kesal. Bertamu di saat seperti ini?
Sarada tidak menjawab, dan masih pada dunianya sendiri.
"Kau waras?" Boruto bertanya tidak suka. Siapa pun itu, mereka akan bertemu di aula.
Ino-jin menutup mulut menyadari kesalahannya.
Namun tamu Sarada seperti tidak mengenal tempat. Dia masuk begitu saja saat mendengar penolakan Boruto.
"Shinki?" ujar Shikadai panik.
Sarada hanya melirik sekilas dengan raut wajah yang tidak bisa diartikan. Dia malu, tentu saja.
Shinki mengabaikan semua orang. "Hai!" Dia mendekati Sarada.
Sarada menerima tawaran Shinki untuk masuk ke dalam pelukannya dan dia menangis kencang lagi. Tidak. Seharusnya dia tahu, dia tidak bisa seperti ini. Shinki hanya contoh tamu penting. Mungkin masih banyak tamu-tamu lainnya seperti Shinki.
Shinki mengusap rambut hitam Sarada. Seperti apa pun ucapan kebencian wanita ini, pada akhirnya Sarada hancur juga dengan kematian kaisar saat ini. Namun Shinki tidak ingin menjauhinya hanya karena perangai buruk. Mereka pernah dekat. Bahkan setelah mereka bercerai, Sarada menerima dengan baik tawaran kerja samanya. Bersama orang-orang yang mereka kumpulkan bersama.
Shinki berbalik, dia tidak datang sendiri. Dia dikenalkan dengan Sora melalui surat, dan mereka beberapa kali melakukan pertemuan. Pemuda itu sengaja menunggunya di gerbang karena tidak bisa masuk ke istana. Sora mengatakan keinginannya untuk bertemu Sarada. Dia juga bertukar kabar dengan pangeran dari Kirigakure, teman mereka saat menjadi putri mahkota Suna, Kagura.
Sarada melepaskan pelukan Shinki karena pria itu berdiri. Dia menatap Sora dengan tangisan menjadi. Dia telah membalaskan dendam semua Haruno dengan tangannya sendiri.
"Sarada!" Sora langsung memeluk Sarada yang hancur. Sepupunya. Meskipun Sarada hanyalah sepupu menyebalkan sepanjang dia mengenalnya. Sudah dia katakan, dia tidak mengenali ayah dan leluhurnya. Dia tidak meminta Sarada untuk melakukan hal-hal tidak berguna.
"Sora!" cicit Sarada pedih. Kini mereka sama-sama tidak punya ayah. "Sora!"
Boruto dan Shikadai saling berpandangan. Mereka mengenali Shinki dan bagaimana hubungannya dengan Sarada. Mereka juga mengenali Kagura, tapi tidak tahu mengapa bisa akrab dengan Sarada. Lalu, mereka sama-sama tidak mengenali pemuda berambut merah yang dipeluk Sarada dengan begitu erat.
Tangan Boruto terkepal erat. Sialan!
Mata Sora memerah begitu menatap mata sepupunya. Dia menghapus air mata Sarada berulang kali, tapi itu seperti omong kosong. "Tidak perlu ditangisi lagi!" Sora tidak tahu kenapa musibah ini berdekatan dengan pertemuan mereka. Di saat seharusnya mereka masih bisa bersenang-senang dengan cara aneh.
Sarada hanya bisa menunduk. Luka ini hanya bisa dia tanggung seorang diri. Seumur hidupnya. Namun dia tahu, kematian ayahnya tidaklah sebanding dengan seluruh Haruno. Tidak akan bisa. Dia malu, hanya ini yang bisa dia lakukan untuk balas dendam mereka. Dia malu, karena meskipun ini untuk balas dendam, Sarada tidak bisa membohongi dirinya sendiri jika dia juga kehilangan atas kematian ayahnya.
"Sarada!" bisik Sora begitu lirih. "Hei!"
Setsuna menepuk bahu Sora. Hingga membuat Sora mendongak pedih karena keadaan Sarada. "Ibu!" panggil Sora lirih. Dia tahu telah menyalahi banyak aturan saat ini, dan menumpang pada Shinki yang baru dikenalinya.
Setsuna menggeleng dan memberi kode untuk mundur. Pemuda yang akan ditunangkan dengan Sarada adalah Boruto. "Kita harus segera ke aula." Bahkan Rin sudah pergi lagi ke kediaman Mikoto.
Tidak ada anggota kekaisaran yang kooperatif sejak tadi. Itu menurut laporan dari para dayang.
"Sadarlah! Kekaisaran saat ini tidak memiliki laki-laki," ujar Izumi tegas.
Sarada mendongak dan baru menyadarinya. Jadi apakah dia yang harus berdiri tegak? Lalu kapan dirinya bisa merasakan dimanja? Kapan dirinya hidup tanpa beban? Bahkan sekarang pun, dirinya tidak boleh menangis, begitu? Biar bagaimana pun saat ini dirinya hanya seorang wanita biasa dan seorang anak. Apakah dia masih tidak boleh menangis?
Sarada menutup matanya erat, seolah memeras air mata hingga kering. Lalu kakinya mulai menuruni lantai.
Baik Sora atau Shinki ingin membantu, tapi Boruto sudah mendekat lebih dulu. Saat ini, Sarada masih menjadi manusia yang kapan saja bisa tersandung dan jatuh tanpa disadari.
Karin memakaikan jubah resmi kekaisaran pada Sarada maupun Boruto. Jubah yang semakin memberatkan Sarada untuk berjalan. Sapu tangan di tangan Sarada sudah berkali-kali berganti karena basah.
Namun begitu kedatangannya dan Boruto di umumkan, Sarada memilih menegakkan tubuh dengan menahan tangisnya. Air mata yang luruh bukan lagi tangis banjir yang membuat akal sehatnya hilang. Dia menggenggam tangan Boruto erat tanpa peduli statusnya apa. Yang jelas, yang berjalan saat ini di sampingnya adalah pria ini. Membelah lautan manusia dengan warna baju kematian yang sama.
Sarada menatap langit-langit tinggi dengan aroma kematian yang khas. Jika bisa, Sarada lebih baik menyusul ayahnya ke alam lain. Namun, tidak. Dia tidak akan ikut hancur saat ini. Saat akan ada banyak orang yang menertawakannya sebagai anak nakal tidak tahu diri.
Dada Sarada berdesir pedih saat mereka mengelilingi peti mati yang berisi wajah damai ayahnya. Betapa beruntungnya, pria yang dianggap bencana oleh Haruno memiliki orang-orang setia seperti Kakashi, Shikamaru dan Naruto. Memiliki sepupu yang dekat seperti Itachi, Shishui dan Obito. Mereka berenam masih berdiri tegak tidak jauh dari altar yang di tengahnya berbaring sang kaisar. Lalu Sarada hanya memalingkan muka untuk menekan rindu. Boruto menuntunnya agar dia menaiki kursi singgasana. Barulah Shikadai, Ino-jin dan Mitsuki menyusul dari belakang.
Dari jaraknya, Sarada bisa melihat keadaan neneknya yang tidak begitu baik, ditemani para nyonya dan nenek-nenek Uchiha. Sama kacau seperti Hinata di sisi berbeda, bersama para Hyuga.
Para tamu seperti raja dan ratu kerajaan tetangga. Para utusan resmi. Para putri dan pangeran. Para menteri. Para tetua. Para pengurus yang memiliki label berbeda.
Sarada melihat Shinki bergabung dengan Sabaku. Begitu juga dengan Kagura sebagai utusan dari Kirigakure. Dia bisa melihat Cho-chou bersama Karin masih dengan menahan tangis di kursi bangsawan. Dia juga melihat Sora bergabung dengan ksatria Suna.
Andai Sarada bisa memilih, dia ingin melihat tubuh kaku itu bersama Sora. Sama-sama menatap benci dan mengutuknya. Tidak peduli akan sebesar apa penyesalan yang akan dia tanggung. Tidak perduli jika dia bisa mati perlahan karena rasa bersalah ini.
Saat acara pemberkatan, Sarada banyak melihat kilas balik. Bagaimana dia melihat ayah untuk pertama kalinya. Pelukan menenangkan karena dia takut pada dunia barunya. Janji-janji kecil antara dirinya dan sang ayah. Bagaimana pria itu menggendong tubuhnya yang besar untuk berangkat ke akademi. Saat Sarada mendongak karena sakit, wajah ayahnya yang teduh yang dia lihat. Tarian pertama yang membuat semua orang iri, yang membuatnya terpesona. Lalu, senyum kesakitan ayahnya yang memintanya pergi tanpa berbalik. Apakah dirinya benar-benar tidak waras oleh kebencian? Apakah dia benar-benar dilahirkan hanya untuk membenci?
"Yang Mulia!" panggil Boruto lirih.
"Hn?" Sarada menanggapi tanpa minat. Dia mengusap matanya dengan sapu tangan. Matanya tidak lepas dari taman bunga tempat berbaring ayahnya.
"Saya tidak tahu mengapa Anda terlalu keras pada diri Anda sendiri. Padahal itu bukan harapan Baginda Terdahulu dan Yang Mulia Putra Mahkota. Saya berharap tidak terlambat memberitahu, jika keinginan Rakuzan adalah, sakit hati Anda sembuh tanpa membuat kegaduhan." Sayangnya, itu sudah terlambat. Mungkin sakit hati wanita ini sudah mengakar kuat.
Onyx Sarada menatap tubuh kaku itu lagi. Boruto hanya membual.
"Saya bersumpah di hadapan tubuh kaisar. Saya menerima wasiat beliau bukan untuk keegoisan pribadi, tapi untuk menjaga titipannya. Dan bersumpah setia pada putri tercintanya."
Sarada langsung mendongak tidak percaya pada pemuda ini. Apa untungnya melakukan hal seperti ini hanya diketahui berdua?
Boruto menatap onyx Sarada sendu. Ini pilihannya. Tidak ada yang tahu, jika, Sasuke menyusun surat itu disaksikan olehnya. Pria yang telah kehilangan kepercayaan pada orang-orangnya sendiri. Memilihnya yang mungkin bisa melakukan banyak kecurangan, pria itu sudah putus asa.
"Boruto!" panggil Sarada lirih. Tidak seharusnya pria ini mengatakan hal yang tidak perlu. Karena Sarada tidak ingin menggunakan pria ini dalam urusan pribadinya.
Namun Boruto tidak ingin ambil pusing. Dia menatap lurus ke depan. Pada para tamu yang masih mendengarkan pemberkatan sambil menangis. Dia telah mengatakan sumpahnya.
.
.
.
.
.
Sarada jauh lebih tegar saat mereka berjalan ke arah pemakaman. Berbeda jauh dengan mereka yang terguncang ketika peti mati Sasuke ditutup rapat. Entah mengapa firasat Sarada mengatakan bahwa ayahnya tidaklah pergi sejauh itu. Bahkan ketika tanpa sengaja menatap langit, dia tidak menemukan aura yang menggambarkan kematian.
Perasaan ini, berbeda saat dini hari tadi hingga peti itu tertutup. Itu jelas tubuh ayahnya. Bahkan Sarada tidak memalingkan wajahnya lagi hingga membuat formasi.
Sarada menutup mulut saat di hadapannya. Naruto yang dia kenal menakutkan. Bertubuh kekar dengan kekuatan tiada banding. Pria itu perlahan jatuh. Mengatakan ketidaksanggupannya membawa peti mati di pundaknya. Naruto menangis tergugu hingga Boruto pun ikut menutup mata menyaksikan pemandangan di depannya.
Shikadai dengan sigap mengambil alih barisan di depan. Naruto dirangkul beberapa seolah akan pingsan di tempat.
"Kenapa harus begini? Kenapa harus cara seperti ini?" Rasanya sia-sia Naruto punya ribuan pasukan untuk mengamankan kaisar mereka. Sasuke mati di istananya sendiri hanya oleh orang lemah.
Tidak ada yang akan menjawab. Shikamaru dan Kakashi lebih memilih tetap berjalan. Hari telah semakin sore.
Sarada pun ikut melanjutkan langkah. Jalan kaki seperti kebanyakan orang. Berbeda dengan neneknya yang menggunakan kereta kuda.
Undakan tangga itu begitu berat dipijak. Ini seperti kematian Rakuzan, Sarada tertahan bersama Boruto disini. Sesuai keinginan ayahnya, Sarada memaksa agar mereka sejajar.
Ketika mereka bertanya, apakah dirinya ingin melihat sang ayah untuk terakhir kalinya, Sarada memilih mengangguk. Dia tidak ingin berdiam diri hanya menyaksikan.
Sekali lagi, mereka memberi jalan padanya. Pada putri kaisar mereka. Sarada berjalan tanpa hambatan. Berbanding terbalik dengan mereka yang masih tidak rela dengan kematian sang tokoh utama.
Sarada menyaksikan, tubuh itu masih sama dengan balutan putih bersih. Tubuh gagah yang memejamkan mata erat. Bahkan ketika mati pun, ayahnya masih gagah dan berwibawa. Wajahnya pucat pasi, dan harum wewangian segar.
Sarada menurunkan tubuhnya, meraih tangan dingin itu untuk terakhir kalinya. Sarada menciumnya tulus. Dia benar-benar tulus memberikan penghormatan terakhirnya.
Namun air mata Sarada memang jatuh begitu saja. Dia merasakan seseorang mengusap rambut dan hingga punggungnya. Merasakan pundaknya ditepuk berulang kali.
"Sarada kuat, kan?"
Sarada tidak berani menyahut atau mendongak.
"Sarada bisa melakukan semuanya, kan?"
Mata Sarada terbuka, ayahnya masih tertidur damai. Lalu, siapa itu?
"Yang Mulia!"
Sarada menatap ke arah depan untuk mencari ayahnya yang sedang duduk sambil tersenyum padanya, tapi hingga keningnya mengkerut pun, dia tidak menemukan yang berbisik padanya. Oleh karena itu, Sarada mundur atas panggilan Boruto.
Peti mati kembali ditutup dan Sarada masih menjadi orang linglung. Dia ingat sering berpapasan dengan pria itu disini. Dia ingat kuburan Rakuzan masih terawat dan berbunga segar. Kilas balik seperti itu tidak pernah kunjung berhenti dalam kepalanya. Hingga Sarada lebih memilih menjatuhkan lututnya dan menutup wajahnya. "Ayah, aku akan mati dengan permainan ini. Aku akan mati atas sesal yang akan menimpaku nanti."
Mereka akan mati dalam duka yang sama.
Namun lagi-lagi punggung Sarada seolah ditepuk. Saat mendongak tanah-tanah mulai menenggelamkan peti ayahnya. Hanya untuk sesaat matanya kembali melihat ketidakwajaran.
Itu adalah senyum Rakuzan. Senyum Izana. Kedua orang itu turut membantu menurunkan tanah. Bahkan ketika waktunya menabur bunga. Bunga-bunga beraroma semerbak seolah terbang terbawa angin. Sarada masih melihat kedua orang itu turut menebar bunga.
"Boruto kau lihat itu?" Sarada langsung menoleh penasaran pada pemuda yang dipanggilnya. Apakah hanya dirinya?
Boruto langsung menghapus air matanya. "Siapa? Ada apa dengan Paman Shikamaru dan Ayah?"
Alis Sarada mengkerut. Dia alihkan kembali pandangannya, tapi hanya tatapan tajam Kakashi dan Orochimaru yang Sarada terima. Senyum meneduhkan yang dia saksikan tidak ada lagi.
Ketika Obito memboyong Sarada untuk meninggalkan pemakaman. Naruto dan Itachi masih tersisa. Satu persatu dari mereka bubar.
Minato menjadi orang tua yang menyambut tamu hingga akhir. Yang menguasai jalannya pemakaman. Karena, ketika Hyuga berinisiatif sendiri, mereka tertahan atas nama Sarada. Padahal, Sarada belum menurunkan perintah apa pun.
.
.
.
.
.
Sepanjang malam, tidur Sarada tidak mendapatkan ketenangan. Hujan turun dengan deras. Suara amukan petir seolah menghakiminya. Tubuhnya menggigil, tapi berkeringat. Meski begitu, Sarada tidak bisa membuka mata dan meraup kesadarannya.
Banyak dari mereka yang hanya memandang jendela dengan pilu. Bahkan malam ini, Boruto memilih pulang untuk menemani ayahnya yang hanya menatap hujan.
Shikamaru terusik dengan photo masa kecil mereka yang jatuh lebur di ruang kerjanya. Bagaimana pun mereka berlogika, rasa sakit kehilangan membuat siapa saja putus asa.
Mikoto jatuh demam tinggi hingga membuat Izumi dan Rin sibuk.
Hinata jatuh terpuruk di pojokan karena akan menghadapi kejatuhannya. Apa pun yang Sarada ucapkan, para menteri tidak akan sepenuhnya ada di pihaknya.
Orochimaru dan Kakashi tanpa takut dan lelah menggali kuburan Sasuke. Di tengah petir dan badai yang seolah akan membunuh keduanya.
Lalu, di tempat berbeda tubuh Sakura terguncang dan menemukan kesadarannya.
"Yang Mulia Permaisuri!"
.
.
.
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰