NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 79
NOT YOU, YOU ARE NOT MY SALVATION — 79
Sarada memijat keningnya yang terasa pening. Sejak kepulangan Shinki, tidak ada yang berjalan dengan baik. Termasuk perceraian itu. Desakan pihak kekaisaran sampai membuat Kerajaan Suna resah sendiri. Bahkan Gaara, jadi menatapnya sebelah mata. Jika dirinya sampai kehilangan kepercayaan raja Suna juga, ayahnya benar-benar menghancurkan hidupnya.
"Shinki!" panggil Sarada tenang. Pria itu masih tidur membelakangi meja kerja Sarada. Rapat pagi baru saja usai, tapi Shinki memilih bermalas-malasan.
"Hm," Shinki hanya menyahut singkat. "Biarkan aku tidur sebentar lagi! Semalam benar-benar harus bergadang."
Sarada menghela napas berat sekali lagi. "Kau tidak melupakan kesepakatan kita, kan?" Shinki adalah harapan satu-satunya, karena hanya pria itu orang luar yang dia percaya.
"Tentu saja." Shinki berbalik dan tersenyum hangat. "Kau masih memikirkannya? Aku yakin ini akan segera reda."
Sayangnya, tidak terlihat begitu. Masalah ini sudah memanas di kalangan para bangsawan Suna. Bahkan bisa dikatakan, Sarada tidak punya wajah untuk tampil di hadapan publik. "Apa pun yang terjadi?"
Shinki membuka matanya lagi dan menatap langit kamar dengan bengong. "Apa pun yang terjadi, Cantik." Ini adalah hutangnya pada Sarada. Meskipun saat ini, namanya ikut digunjingkan oleh rumor yang tidak menyenangkan.
Kemudian, keduanya terdiam lama. Sarada menatap langit ruangan dan terbengong. Sarada mengusulkan untuk membuat dirinya hamil lagi, tapi Shinki menolak tegas. Kesehatan katanya? Saat ini, Sarada bahkan rela mati untuk melawan kekaisaran.
.
.
.
Keesokan harinya, setelah dipikir sepanjang hari tanpa istirahat berarti, Sarada membuat keputusan sendiri. Dia tidak bisa hanya terkurung dan menunggu laporan. Sarada merasa dirinya sehat, dan Shinki terlalu berlebihan. Namun bukan karena itu, dia memutuskan meninggalkan kursinya untuk tujuan baru yang belum jelas. "Persetan! Semua sudah rusak dan kacau." Bahkan Sarada tidak tahu, apakah bisa diperbaiki. Atau bisa menemukan patner lain selain Shinki.
Ini masih pagi seperti hari kemarin saat terakhir kali Sarada mengobrol dengan Shinki. Dia tidak mengikuti rapat pagi. Dikatakan Shinki juga akan pergi keluar istana untuk urusan penyelidikan. Lagi.
Sarada meminta pelayan untuk tidak mengganggunya setelah mengantarkan sarapan ke kamar. Sarada tidak bisa keluar melalui pintu depan secara terang-terangan. Namun dia tidak lupa cara melarikan diri. Dia lebih handal melakukannya. Berbekal barang bawaan dalam ransel ukuran sedang dan berpakaian lebih santai, Sarada meninggalkan istana.
Tujuan Sarada tidak pasti. Namun pada akhirnya dia menaiki kereta cepat antar negara dengan identitas samaran. Dia hanya menghela napas sesak. "Maafkan aku, Shinki!" Sarada tahu, ini akan menyulitkan Shinki, tapi dia juga tidak ingin pulang ke kekaisaran. Jadi, dia tidak bisa melalui jalur depan.
Sarada turun di salah satu kota di Konoha. Bukan bagian ibukota memang, tapi ini cukup ramai. Bagaimana lagi, Sarada mengurangi resiko untuk bepergian ke negara lain selain Konoha dan Suna.
Setelah memilih penginapan yang sesuai dengan keuangannya, Sarada mencari tempat-tempat perkumpulan para mafia berada. Setidaknya, sesuatu yang terlihat seperti itu. Sarada butuh informasi lebih akurat, dan orang-orang seperti mereka selalu tahu sisi gelap setiap yang terjadi di antara para bangsawan.
Dari satu tempat ke tempat lainnya. Begitu sampai berhari-hari dengan sikapnya yang natural. Sebagai pengunjung biasa.
Kemudian, Sarada hanya menjadi gadis tanpa arah setiap waktu senggang. Dia duduk di tepi sungai yang ramai pengunjung. Terutama suara anak-anak yang sedang bermain riang. Tempat ini menyenangkan. Tidak terlalu kotor, dan tidak begitu asri. Padahal ini sebuah kota dengan beberapa bangunan kumuh tidak jauh dari tempat yang Sarada duduki. Langit sore menemani kesepian Sarada. Namun Sarada tidak melunturkan senyumnya saat melihat tingkah lucu mereka.
"Kau sendirian?"
Sarada tiba-tiba tersentak. Cepat-cepat dia menutupi wajahnya dengan topi. "Ya."
"Tidak perlu ditutupi! Saya mengenali wajah Anda."
Sarada tidak bisa tidak merasa waspada. Wanita itu hanya tersenyum lembut. Apa selama ini wajahnya memang mudah dikenali?
"Saya melihat Anda sudah dua hari. Saat Anda memasuki apotek."
Wanita itu seolah menjawab tanda tanya di kepalanya. Lalu, memang kenapa jika wanita itu mengenalinya? Apa dirinya akan diculik? Sarada mengedarkan matanya, barang kali ada orang lain selain wanita ini. Namun, wanita itu hanya tertawa lembut.
"Siapa Anda? Dan ada keperluan apa?" Sarada menipiskan bibirnya.
"Hm..."
Wanita itu hanya menggeleng sambil bergumam. Setelah Sarada perhatikan, orang ini, mirip ibunya?
Ya, setidaknya dari bagian rambut merah mudanya.
"Perkenalkan, saya adalah Uchiha Saara!" Saara tersenyum lebar melihat mata Sarada yang terbuka lebar. "Jangan khawatir, mungkin hanya sebagian kecil yang menyadari jika itu adalah Anda. Putri Mahkota."
"U-chiha?" Bukankah, Klan Besar Uchiha itu sangat pemalu? Lalu apa ini? Uchiha di tengah-tengah kota? Memang bukan hal aneh seorang Uchiha mengenali dirinya.
Sarada mengedarkan mata pada pinggiran sungai yang masih ramai. Bahkan Uchiha ada di tempat seperti ini?
"Uchiha? Siapa saudara saya?" Wanita ini mungkin bukan yang berdarah asli. Sarada tidak tahu sebanyak apa kerabat asli kekaisaran. Mereka yang hanya bertemu sesekali, dan itu mungkin hanya sebagian kecil.
"Rahasia." Saara menatap ke depan dengan tatapan lembut. "Apa yang Anda lakukan di tempat ini? Disini mungkin berbahaya."
Sarada mendengus pelan. Orang ini serius bertanya begitu? Di saat wanita itu juga merahasiakan identitasnya.
Saara melirik Sarada yang hanya diam tanpa membalas. "Sebaiknya kita pindah tempat, mungkin ada sesuatu yang bisa kita bicarakan."
Sarada memeluk lututnya sendiri dengan erat. "Tidak ada jaminan jika kau adalah orang baik."
"Begitukah?" Saara menatap Sarada polos. "Apa wajah saya terlihat seperti orang penipu?"
Sarada melirik sekilas. "Bisa saja."
"Yare... Yare..." Saara menghela napas panjang. Kemudian dia mengeluarkan kalung miliknya. "Kau tahu ini?" Saara hanya bertaruh.
Mata Sarada melotot tajam. "Itu..." Tidak. Sarada tidak jadi bisa marah. Itu bukan milik ibunya. Itu berbeda, tapi mengapa?
Saara tersenyum lembut, lalu membuka bandul tersebut. "Aku tidak bisa bicara disini, wahai putri Uchiha Sakura."
Kening Sarada mengkerut bingung. Dia memperhatikan lukisan yang sama dengan lukisan pada liontin milik ibunya. Lalu menatap Saara ragu-ragu. Uchiha, ya? Dia tidak mengenal baik dengan salah satu dari mereka selain nenek dan ayahnya.
.
.
.
Di sinilah mereka. Rumah bambu sederhana dan terawat. Memiliki halaman kecil dan nampak hidup dengan tanaman. Sarada memasuki rumah tersebut sambil menatap sekeliling.
"Sejujurnya, saya tidak menyangka akan bertemu Anda di tempat seperti ini." Saara mengambil minuman dan cemilan setelah memastikan Sarada duduk. "Mungkin ini kebetulan, tapi bagi saya, mungkin memang sebaiknya kita bertemu. Istana itu terlalu tinggi untuk saya datangi."
"Sebenarnya Anda siapa?" Sarada memperhatikan gerak gerik Saara. Dia sebenarnya tidak mau perduli dengan kegiatan wanita itu. "Bukankah kau seorang Uchiha?"
"Saya hanya orang lain." Saara tersenyum sambil menghampiri. "Yang selamat dari insiden Haruno."
Sarada menutup mulutnya untuk beberapa saat. Jadi memang ada sesuatu yang besar terjadi di sana. "Kenapa kau bisa mengenaliku?"
Saara menatap arah lain. "Saya tahu menoleh pada masa lalu itu tidak diperlukan. Namun..." Saara menghela napas berat. "Permaisuri Sakura adalah orang yang begitu penting bagi seseorang. Saya mendengar beliau punya dua orang anak dan saya penasaran. Saya melihat putra mahkota sejak kecil, tapi saya melihat Anda setelah agak besar. Dari media berita, tapi saya tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di sana. Anda tahu? Saya hanya sedikit rajin membaca rumor pemerintahan." Karena itu sebuah rumor, Saara tidak bisa menebak kebenarannya.
Sarada menatap Saara. "Tetap saja, aku tidak bisa mengerti apa tujuan Anda." Membuang waktu saja.
Saara menghela napas pendek. "Dulu, saya adalah tunangan Haruno Sasori. Paman Anda." Sudah dia katakan, dia hanyalah orang asing yang masih terluka oleh masa lalu. Saara tidak bermaksud apa pun. Entah. Dia hanya merasa senang melihat Sarada. Seperti menemui saudara setelah sekian lama hanya hidup dalam pelarian.
Sarada menunduk dalam. Jadi begitu? Akan adil jika Saara punya dendam terhadap dirinya. Anak dari kaisar yang menjatuhkan Haruno.
"Bagaimana keadaan Permaisuri Sakura?" tanya Saara lirih. Begitu banyak korban jatuh, tapi Saara mendengar Sakura masih hidup.
Sarada hanya menggeleng pelan, tanda tidak tahu.
"Aku merindukannya." Mata Saara berubah nanar.
Sarada mendongak. Masih ada yang perduli pada ibunya? "Kau tidak membencinya?"
Saara hanya terkekeh parau. "Sebagian dari kami mungkin membencinya, tapi aku..." Saara menggeleng pelan. "Sekali pun ingin, tetap tidak bisa." Satu bulir air mata jatuh di pipinya. "Karena beliau adalah adik kesayangan Sasori." Ketika mengingat pria itu, yang ikut berjuang membela keluarganya, yang menyelamatkan sebagian kecil orang-orang Haruno, bahkan di saat memiliki kesempatan untuk kabur, Sasori tidak melakukannya. Pria itu pria jujur. Saara mengenali keluarga Sasori dengan baik. Bahkan jika Sakura bertingkah sedikit bar-bar, Saara tidak percaya baik Haruno inti dan Sakura melakukan kejahatan yang dituduhkan.
Sarada tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di masa lalu. Dia juga tidak bisa merasakan kesedihan Saara. Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu kata maaf. Namun Sarada juga tidak tahu harus melakukan apa. Sarada menatap Saara yang masih menghapus air matanya sendiri.
"Setidaknya, aku ingin memeluknya sekali." Saara menangis lagi. "Mungkin... Dia tidak baik-baik saja." Sakura tidak pernah muncul lagi ke permukaan. Selain citra buruk yang berulang-ulang. Namun sekali lagi, Saara ingin percaya, Sakura tidak seburuk yang dirumorkan. Bunuh diri dan menggugurkan bayi seperti yang terdengar dari gosip baru-baru ini, tidak masuk akal.
"Ibu... Sedang sakit." Sarada hanya menunduk.
"Begitukah?" Air mata Saara semakin tumpah banyak. "Astaga... Apa yang terjadi..." Ada lebih banyak waktu terlewati. Namun kenapa yang dia dengar juga bukan hal baik.
"Entah..." Sarada menggeleng pelan. "Entah itu lumpuh karena stroke atau memang mental. Ibu tidak bisa merespon apa pun di sekitarnya."
Saara menyesal mendengarnya. Dia menggenggam erat kalung pemberian Sasori. "Sakura..." bisiknya lirih.
Dulu, Sakura hanya gadis lucu yang terlampau ceria. Anak super manja bahkan setelah menikah dan menjadi permaisuri. Saat itu, bahkan Saara takut menghadapi Sakura karena tingkahnya yang terkenal. Namun ternyata segala kekhawatirannya sirna, Sakura bisa menerimanya. Dia disambut sebagai kakak ipar bahkan saat masih status pacar Sasori.
"Aku tidak bisa mempertemukan kalian." Entah Sarada akan kembali ke kekaisaran atau kerajaan. Saat ini, Sarada ada di titik buntu dan bersikap bagai pecundang melarikan diri. Sarada akui itu.
"Aku tahu." Semangat Saara menjadi redup. Apa yang bisa dia harapkan? Lalu apa yang akan dia lakukan pada Sakura ketika bertemu? Itu tidak akan merubah nasib apa pun.
Tiba-tiba pintu terbuka dari luar membuat Sarada dan Saara menoleh.
"Ibu, apakah ada tamu?"
Terjadi keheningan untuk beberapa waktu. Orang yang berbicara tiba-tiba bergeming.
"Sora!" Saara memanggil nama putranya, dan berdiri.
Sora? Sarada mengulang nama itu. Nama yang telah lama terlupa. Karena nama adiknya adalah Rakuzan. Ya, Sora adalah nama adiknya sebelum Rakuzan diketahui sebagai adik kandungnya. Huh? Lelucon macam apa ini?
"Kau sudah pulang? Kau mau langsung mandi?"
Pertanyaan Saara tidak terlalu diindahkan. Sora dan Sarada masih saling memandang dengan pikiran berbeda.
"Oh, ya." Saara menyadari itu. "Ini tamu Ibu." Saara berkata pada Sora. "Maaf! Ini putra saya, Akasuna Sora." Saara kemudian memperkenalkan pada Sarada.
Sarada memiringkan kepalanya penuh tanda tanya.
Saara hanya tertawa bodoh dengan ketidakcocokan ini.
"Jadi, apa yang dilakukan Sang Putri di tempat kumuh seperti ini?" Sora akhirnya bersuara lagi. Dia tidak pernah perduli dengan tamu ibunya, kecuali berasal dari Uchiha. Kali ini, bahkan putri kekaisaran sendiri yang bertamu.
"Jangan salah paham! Seolah aku senang bertamu di sini." Sarada memalingkan wajah. Mereka orang-orang yang mungkin akan membodohinya, jika Saara tidak menjelaskan. Ah, apa kabur dari tempatnya memang begitu berbahaya? Apa yang dikatakan ayah dan ibunya benar? Tentang keamanan.
Saara segera menghentikan Sora begitu berjalan terburu-buru menuju Sarada, lalu dia menggeleng. "Kau bisa disini jika bersikap tenang, tapi jika ingin mengacau, pergi ke kamar kamu, Sora!"
Sora membuang muka. Ibunya jika sudah berbicara tegas, tidak bisa Sora bantah lagi.
Sekali lagi, Sarada tidak tahu tujuan Saara mengundangnya. "Ngomong-ngomong, apa aku begitu terkenal hingga mudah dikenali?"
Sora menatap Sarada tajam, dan Saara hanya tersenyum lembut. "Ya, sepertinya tidak sulit mengenali sang putri mahkota." Saara sengaja mengatakan ini karena memang seorang putri mahkota tanpa pengawalan berkeliaran bebas akan berbahaya. Meski pada kenyataannya hanya orang-orang tertentu yang bisa mengenali orang dalam istana.
Sarada langsung murung, lalu menaikkan topi hoodie miliknya. Ini tidak baik.
Sora hanya berdecih pelan.
"Anda pasti bingung." Saara meraih telapak tangan Sarada, dan menatapnya yang masih menunduk. "Sora, adalah putra Haruno Sasori."
Sontak saja Sarada mendongak. Meneliti sekali lagi postur tubuh Sora. Rambut merah dan mata caramel. Jauh sekali dari kata Uchiha, dan tidak mirip Saara sama sekali. Ya, tidak ada mata onyx di sana. Namun, di Uchiha juga ada yang mengikuti gen luar.
"Kami memberinya nama Akasuna, nama orang tua dari klan Haruno yang mungkin telah sebagian orang lupa." Saara mendengar dengusan Sora. Ini adalah cerita lama yang telah putranya dengar.
Saara terpaksa menceritakan masa lalu klan mereka karena tidak sedikit orang yang selamat dari tragedi itu menaruh dendam, dan mempengaruhi Sora. Saara hanya tidak ingin putranya salah paham, dan mendengarkan cerita salah. Setelah itu, Saara menerima apa pun keputusan Sora.
"Kami?" tanya Sarada.
"Uchiha Shisui... Suamiku..." Saara menunduk murung. Meskipun hanya berupa istri simpanan.
Sarada menutup mata erat. Dia mengenali nama petinggi Uchiha itu. Mereka hanya tidak pernah bertegur sapa. "Uchiha Setsuna adalah istri dari Uchiha Shisui, apakah kalian bersembunyi karena takut ayahku tahu?"
Saara menggeleng pelan. "Kami takut dengan warga Konoha."
Sora masih berdiri dan memperhatikan keduanya. Dia tidak takut, tuh.
"Hah? Konyol..." Sekelas tunangan pamannya pasti dikenali, Sarada pahami itu. Bahkan seorang Uchiha tidak mungkin mengambil resiko. "Tetap saja, kau takut Kaisar dan tidak takut Uchiha." Semua cara akan dilakukan jika dalam kondisi genting. Mungkin begitu.
Saara mendongak. "Kaisar tahu. Jauh di masa lalu. Beliau juga... Yang mengharuskan salah satu tiga Uchiha menikahi saya."
Kali ini, Sarada benar-benar dibuat terkejut. "Tidak... Mungkin."
.
.
.
Sarada hanya melamun sendiri di sudut ranjang penginapan. Dia pernah mendengar dari Cho-chou, Haruno cukup tabu untuk dibicarakan. Namun pada akhirnya, Sarada mendapatkan cerita penuh dari versi Saara. Sangat mengerikan dan membuat bulu kuduk merinding.
Ayahnya sendiri yang membiarkan Saara dan Sora hidup. Apa pembantaian Haruno hanya lelucon? Tidak. Tidak begitu. Ada banyak selentingan gosip jika peristiwa itu benar terjadi.
"Saya bertemu dengan Kaisar tanpa sengaja. Mungkin saat itu, jarak saya melarikan diri belum jauh. Kami diburu oleh orang yang mengenal kami. Entah itu bangsawan atau orang biasa. Saat itu, saya belum tahu pasti apa yang terjadi."
Sarada tahu, Saara tidak benar-benar menceritakan semuanya.
"Kaisar membiarkan saya melarikan diri bersama sejumlah rombongan kecil. Saya pikir itu aneh, tapi saat bertemu sekali lagi, itu nyata. Kaisar memang meloloskan Haruno yang tersisa. Saya tengah berbadan dua, dan itu cukup kentara. Kaisar tahu, Sora adalah anak Sasori. Hanya ada tiga Uchiha di belakang Kaisar saat itu. Tidak ada orang lain lagi. Lalu, tiba-tiba Uchiha Shishui harus menjadi suami saya."
Sarada tidak tahu apa yang ada dalam pikiran ayahnya saat itu.
"Ya, kami memang menikah secara mendadak. Tapi selain hari itu, kami jarang bertemu. Bahkan hampir tidak bisa menetap dalam satu atap. Hanya saja, kebutuhan kami terjamin. Saya punya tempat tinggal yang bisa menampung banyak orang dan uang saku setiap bulan. Lalu, identitas kami disamarkan."
Sarada menghela napas lelah. Niat hati pergi untuk menenangkan pikiran dari kegilaan, Sarada justru semakin pusing. Saat ini, bahkan Sarada masih menggigil. Dia bertanya-tanya, apa membuat ayahnya marah bisa menghancurkan banyak orang?
Tok tok tok
Sarada mendongak karena terkejut. Dia menatap pintu itu penuh waspada. Dia sedang sendiri. Kedatangan tamu adalah sesuatu yang mustahil. Apakah Saara? Atau dia sudah ketahuan? Ini sudah beberapa hari sejak dirinya pergi. Atau orang lain?
"Sarada, buka pintunya!"
Sontak saja wajah Sarada menjadi masam. Dia mengenali suara nyaring tersebut. Lekas dia berjalan ke arah pintu. Pemandangan di depannya tidak menyenangkan. "Apa mau kamu, Sora?"
"Cepat berkemas dari sini! Orang bawah sedang menargetkan kamu." Sora tidak ingin ikut campur. Dia hanya tidak sengaja mendengar komplotan di restoran bawah. Para penculik yang menargetkan untuk dijual atau dimintai tebusan. Sora sanksi, mereka mengenali Sarada.
Sarada melipat tangan di depan dada. Apa karena alasan ini, Sarada merasa diintai? "Jadi, kemana aku harus pergi?"
Sora mendengus dan berbalik pergi. "Bodo amat!"
"Hah?" Sarada menghela napas kasar. Matanya mengikuti langkah pemuda itu yang semakin jauh.
Sarada tidak bisa membiarkan bahaya mengintai dirinya. Dia harus bergegas. Tidak banyak yang dia bawa. Sarada akan pergi ke rumah Saara. Dia memutuskan untuk menemui Cho-chou di dekat Academy Alastair besok.
Sarada kembali memandang bangunan bambu di depannya. Tas kecilnya tergantung di punggung. Setelah sampai sejauh ini, Sarada justru merasakan keraguan. Ada yang berbeda dari rumah ini.
"Sudah aku duga."
Sarada melirik melalui ekor matanya. Ada Sora yang sedang melipat tangannya di depan dada.
"Kenapa kau datang ke sini dan bukannya pergi menjauh?"
Sarada mendengus. "Aku butuh penginapan untuk malam ini."
"Itu bukan di rumahku!"
"Kenapa bukan? Ini tempat yang aman." Sarada melengos pergi meninggalkan Sora.
"Kau..."
Namun setelah pintu berulang kali diketuk, tidak kunjung ada jawaban. Apa Saara sedang pergi ke luar? "Sora, pintu rumah ini terkunci."
Sora membuang muka. Tidak akan dia masukan wanita ini ke dalam rumahnya.
Sarada tidak menyerah. Dia duduk di undakan tangga teras dan lebih memilih menunggu Saara. Dia menatap Sora yang bersandar di tiang pagar.
"Kau membenciku?" tanya Sarada pelan. "Atau membenci ayahku?"
Sora menatap langit sore. Dia baru mengenal Sarada kemarin. "Untuk apa?" Segala hal tentang ayahnya, klan-nya, tidak Sora kenali. "Aku tidak mengenal Kaisar. Aku juga tidak mengenalmu."
Begitu. Sarada pikir, Sora punya pasukan pemberontak yang lebih kuat. Delapan belas tahun cukup untuk menghimpun pasukan, dan menjadikan Sora pemimpin saat pemuda ini sudah dewasa.
Sora tidak ingin bersembunyi lagi. Hanya itu keinginannya. Biarkanlah semua orang mengenalinya sebagai Haruno, bukan nama samaran. "Tentara yang kau pikirkan ada."
Sarada mendongak. Dia meneguk ludahnya susah payah. Padahal Sarada menyadari tubuh Sora adalah bentukan dari latihan fisik. "Kau akan..."
"Kemana pun aku membawanya, itu urusanku." Balas dendam hanya akan menghabisi sisa keluarga yang dia miliki. Sora tahu, pasukannya tidak sebanding.
Sedangkan Sarada tidak berpikir begitu. "Jika bisa aku ingin menggunakannya."
Sora tidak terkejut. Namun, dia juga tidak menanggapi.
Tatapan keduanya beralih ke arah depan. Pada kedatangan Saara, dan satu orang di belakang Saara yang membuat Sarada hampir menjatuhkan rahang.
"Sora!" panggil Sarada geram.
Sora langsung bereaksi dan mengangkat tangan. Tidak. Jelas dia tidak tahu akan kedatangan tamu.
"Jadi, Tuan Putri... Anda bersembunyi di sini?"
Sarada mengeraskan rahang saat kalimat mencekam itu keluar dari bibir... Uchiha Shisui.
.
.
.
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰