Ex- fantastique dufan

0
0
Terkunci
Deskripsi

Live drawing pertama hasil karya saya

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
150
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Bebas Dari Penjara
0
0
Suara gerendel pintu besi besar yang memisahkan dunia luar dengan penjara dibuka. Suaranya terdengar begitu nyaring, membuat siapa pun yang ada di dalam penjara itu melongok sedikit ke arah pintu. Hanya untuk sekedar melihat apakah ada tahanan masuk atau keluar. Mahesa Dananjaya menatap tajam pada pintu besi pemisah dua dunia yang membatasi kebebasan dan hukuman. Masih teringat jelas dalam ingatannya, sekitar empat tahun lalu ketika pertama kali dirinya dijebloskan ke dalam neraka dunia ini. Padahal saat itu statusnya masih bekerja di kepolisian. Malam di saat kejadian, lelaki berusia dua puluh satu tahun itu ditugaskan untuk melakukan tugas penyamaran. Menjadi seorang pembeli pada seorang pengedar narkotika yang paling dicari oleh seluruh polisi di negeri ini, Surya Bringas. “Lo yakin, enggak ada yang ngebuntutin?” ujar Bringas ketika mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan. Tempat yang pernah dijanjikan oleh Bringas di ujung telepon beberapa hari lalu memang benar-benar tempat yang sangat jarang dilalui oleh orang. Karena letaknya yang berada di bawah jembatan layang, ditambah tempat itu adalah lokasi pembuangan limbah dari beberapa bangunan gedung tinggi di sekitar yang kebanyakan hotel dan restoran. Salah satu alasan Bringas mengajak transaksi di tempat itu adalah keamanan dan juga tidak bakal ada orang yang mau ke sana. Semua itu karena bau dari limbah yang lumayan menyengat. Mahesa menggelengkan kepala. “Aman, gue bisa jamin!” jawabnya singkat, sembari menunjukkan koper dalam genggamannya. Di dalamnya berisi uang yang akan dipakai untuk membeli narkotika dari Bringas. Surya Bringas menyalakan rokok dengan korek api. Lelaki bertubuh tambun itu menghirup dalam-dalam rokoknya, kemudian dihembuskan asapnya ke atas. Ini adalah ciri dari Bringas kalau sedang bertransaksi, atau sedang dalam keadaan tegang. “Mana barangnya?” ujar Mahesa lagi, memecah keheningan yang sempat terjadi ketika Bringas menyalakan api rokoknya. Jakarta malam itu terasa sejuk, sebab hujan baru saja selesai turun, menyisakan jalanan aspal yang basah dan warna yang apik jika diabadikan dalam gambar potret. Begitu juga pemandangan tempat Mahesa dan Bringas melakukan transaksi. Selain berada di kolong jembatan layang, di dekat mereka juga ada laut yang airnya memantulkan cahaya dari gedung sekitar. Meskipun bau amis bercampur bau limbah lumayan menusuk hidung, akan tetapi pemandangan laut yang indah dan udara yang berhembus membuat nilai tambah tempat itu. Bringas menjentikkan jarinya, dari balik peti kayu bekas tempat membawa barang-barang kebutuhan restoran itu muncul seorang lelaki bertubuh kurus. Orang itu membawa koper yang juga mirip dengan yang dibawa oleh Mahesa. Diangkatnya koper itu, untuk menunjukkan kalau barang yang akan dibeli Mahesa ada di sana. Jantung Mahesa berdetak cepat ketika melihat orang yang dibawa oleh Bringas. Dia benar-benar takut kalau orang itu mengetahui rencana yang akan dilakukan olehnya. Pasalnya, di luar sana, beberapa polisi siap untuk menyergap transaksi ini. Yang Mahesa takutkan adalah, orang itu melihat keberadaan para polisi. Sehingga menyebabkan penyamarannya akan gagal. “Barang lo, ada di sini!” ujar lelaki bertubuh kurus itu sembari membawa koper ke arah meja yang terbuat dari tong besi besar, dan di atasnya ditaruh sebuah tripleks kotak untuk alas menaruh barang. Ada senyuman mengembang dari bibir Bringas yang besar, membuat matanya jadi hanya terlihat segaris karena tertiban bentuk pipi yang besar dan bulat. Lelaki bertubuh kurus itu menaruh koper di atas meja buatan, dibukanya kunci yang menjadi penghalang agar koper itu tak bisa terbuka ketika dibawa. Kemudian ditunjukkan pada Mahesa barang yang akan dibelinya. “Emas putih!” ujar Bringas sembari tertawa senang, terlebih ketika menunjukkan isi koper yang menunjukkan beberapa bungkus besar serbuk putih yang dijualnya. Tidak mau kalah, Mahesa menaruh koper yang dibawanya. Dibukanya koper itu sehingga menampakkan isi dalam koper yang dibawanya. Beberapa ikat uang pecahan seratus ribu. Bukan beberapa ikat, tapi banyak dan hampir memenuhi koper yang dibawanya. Tangan Mahesa baru akan menyentuh plastik berisi serbuk putih yang dibawa oleh Bringas dan anak buahnya. Namun, belum sampai tangannya mengenai bungkusan. Koper yang tadinya dibuka itu sontak ditutup oleh Bringas saat mendengar ada suara orang melangkah di dekat mereka. “Siapa itu?” ujar Surya Bringas, matanya langsung menyapu sekeliling. Di dekat mereka ada seorang petugas kebersihan yang sedang beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Namun sialnya, dia tidak sengaja melihat transaksi yang seharusnya tidak dilihatnya. “Ma—maaf, maaf. Sa—saya tidak sengaja ada di sini!” katanya dengan getaran ketakutan. Petugas kebersihan itu mundur beberapa langkah dan bermaksud ingin meninggalkan lokasi. “Brong, tangkap!” tukas Bringas pada orang bawaannya yang bernama Jambrong.  Tanpa menunggu waktu lama, Jambrong langsung mengejar si penyusup yang akan berusaha pergi dari tempat mereka berada. Tanpa perlawanan berarti, petugas itu pun sudah tertangkap dan dibawa ke tempat di mana Bringas dan Mahesa berada. Kepalanya dihantam ke atas tripleks yang menjadi alas meja buatan untuk mereka bertransaksi. “A—ampun, ampun. Jangan sakiti saya!” Petugas kebersihan itu memelas, meminta diberikan ampunan. “saya janji enggak akan membocorkan ini semua!” ujarnya lagi. Bringas mengeluarkan pisau besar dari pinggang bagian belakangnya, kemudian disodorkan ke arah Mahesa. “Bunuh dia!” ujarnya tegas. Mahesa mengernyitkan dahi, dia benar-benar kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh Bringas. “Bunuh dia!” ujarnya lagi, kali ini dengan nada yang tinggi. “buktiin kalau ini bukan orang bawaan lo!” sambungnya sembari menunjuk ke arah lelaki yang wajahnya terlihat sangat ketakutan. “Hey, gue di sini cuma mau beli barang lo. Bukan mau ngebunuh orang!” protes Mahesa. “Dia yang mati, apa lo yang mati!” bentak Bringas. Transaksi obat terlarang malam ini, berubah menjadi sebuah malam berdarah. Sebenarnya ini bertentangan dengan prinsip Mahesa yang tidak mau melukai orang yang tidak bersalah, apalagi sampai membunuh. Batinnya menolak, tetapi ancaman dari Bringas lebih menyeramkan. Sebagai polisi muda, sebenarnya bisa saja Mahesa melawan. Namun, melawan juga percuma, sebab nyawanya tidak akan aman. Pisau yang dibawa Bringas sudah menunjukkan kalau orang ini punya senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak bisa diduga. Dengan sangat terpaksa, Mahesa mengambil sebilah pisau yang diberikan oleh Bringas. Tanpa menunggu lama, ditusukkan pisau itu ke bagian yang tidak vital. Niatnya hanya sekedar melukai dan tidak sampai membunuh.  Namun sialnya ketika Mahesa melakukan aksinya, polisi mulai menyergap mereka bertiga. “JANGAN BERGERAK, KALIAN DITANGKAP!” ujar para polisi itu dengan senjata yang ditunjukkan ke arah dirinya, Bringas dan juga Jambrong. Entah apa yang ada di pikiran Mahesa saat itu. Alih-alih mengangkat tangan, lelaki bermata elang yang baru saja menjalani misi penyamaran pertamanya malah melarikan diri dari sergapan polisi.  Dengan berbekal pengalaman latihan fisik dan halang rintang yang dimiliki olehnya, Mahesa berhasil melewati sergapan para polisi dengan masuk ke restoran, melompati dari satu kapal ke kapal nelayan yang sedang bersandar. Memanjat ke lantai atas restoran, kemudian melompat turun kembali. Hingga akhirnya pelariannya terhenti karena dia memang sudah tersudut. Pistol para petugas kepolisian mengarah langsung kepadanya. Pelarian Mahesa Dananjaya harus berakhir di sini. * * *  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan