Possessive Brother 1-5 [Free Coin]

3
0
Deskripsi

Apa jadinya jika seorang kakak memiliki perasaan cinta pada adiknya sendiri?! Damian Wijaya– Pria itu jatuh hati kepada orang yang salah. Ia mencintai Amelia– Adiknya. Akan kah Damian dapat memiliki Amelia seutuhnya? Atau kah perasaan tersebut harus dirinya kubur sampai akhir hayat?! 

Karena kata mereka, “Darah yang sama tak seharusnya bersatu dalam cinta..” 

Maka nikmatilah kisah memilukan dari sepasang saudara yang terlibat dalam cinta. 

1 Sebuah Rahasia Kelam

Jika cinta untukmu merupakan sebuah dosa yang teramat besar, maka akan aku biarkan mereka menyebutku sebagai pendosa yang bahagia.

Jika rasa ingin memilikimu harus aku bayar dengan panasnya api neraka, maka biarkanlah bara itu bersaing dengan besarnya rasa cintaku yang membara..

Sayang, melebur pun aku tak apa.. Asal bisa memilikimu seutuhnya.

.

.

Amelia, nama wanita itu adalah Amelia.

Damian tak bisa melepaskan netranya dari sosok yang kini duduk di hadapannya sekarang. Wanita itu terus saja membuka mulut, menceritakan semua hal tentang apa yang menurutnya lucu. Almost all story— termasuk cerita tentang betapa konyol kelakuan kedua orang tua mereka selama menetap di Negara Kincir Angin selama ini.

Ya! Mereka! Amelia, Mami dan Papinya tinggal di Belanda. Selain mengurusi anak cabang perusahaan, kepindahan Tuan dan Nyonya Wijaya tersebut juga ditujukan untuk menemani putri bungsu keluarga Wijaya yang tengah menyelesaikan studi disana.

“Tapi nih Kak, selain kekonyolan mereka, Amel juga mau cerita tentang ketidakadilan mereka sama Amel.” 

Alis-alis Damian terangkat. Apakah kedua orang tuanya tidak memperlakukan Amelia dengan baik? Tidak mungkin! Amelia Wijaya adalah anak kesayangan mami dan papi mereka. Bahkan maminya akan menangis satu malam penuh hanya karena melihat goresan kecil ditubuh putri tercintanya.

“Kak... Dengerin aku nggak sih?!”

“Ah, ya, gimana?!” Damian mendengarnya. Ia hanya berpura-pura abai saja.

Sebenarnya Damian rindu dengan wanita dihadapannya ini. Adiknya— satu-satunya saudara yang ia miliki di muka bumi ini. Kata adik adalah sebuah kenyataan paling pahit yang membuat Damian marah pada sang Pencipta. Ia merasa Tuhan tidak adil padanya, karena menjadikan Amelia bagian dari darah yang sama dengan dirinya.

“Kak!! Tuh, kan! Aku cerita ditelepon, Kakak selalu sibuk! Aku cerita disini, Kakak malah bengong, nggak nyimak!” amuk Amelia merasa diabaikan. “Kakak bener-bener nggak dengerin aku kan?! Makanya nggak ada kasih respon dari tadi?!”

“Kakak tadi merespon Amel. Kamu nggak liat alis kakak yang satu gerak naik ke atas?” Amelia mendengus. Selalu saja seperti itu. Bibirnya mengerucut saking kesalnya dengan sang Kakak. 

‘Bibir itu— Bibir yang dulu setiap malam ia kecup meski sang pemilik tak pernah menyadari,’ batin Damian sembari menatap bibir ranum milik Amelia.

“Kak Dam, Astaga!”

“Ya…” gagap Damian saat Amel memanggil namanya. Shit! Kakak rindu Amel, makanya kakak lebih fokus sama wajah kamu.

“Tau ah! Dua tahun nggak ketemu, dua tahun itu juga kakak mengabaikan semuanya.. Saat aku pulang ke Indo, Kakaknya malah ambil perjalanan bisnis. Sekalinya aku pulang selamanya, kakak kayak nggak seneng gitu. Mending aku pulang ke rumah!”

Selamanya? Apa maksud kamu, Mel?! 

“Amel..” Damian menahan lengan Amelia saat wanita itu bangkit dari sofa. Sayang, cekalan tangan itu dihempaskan kasar hingga terlepas.

“Kakak menghindari aku!” lirih gadis itu merana. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu apa yang membuat kakak tercintanya itu terus saja menghindar. Selama ini ia tak pernah merasa membuat kesalahan. Lantas mengapa ia diperlaukan seperti ini?

Ada Apa?— merupakan jenis pertanyaan yang selalu Amelia simpan di dalam hatinya. Kenapa sang kakak selalu bersikap acuh? Bahkan terus saja mencari celah agar mereka tak bisa bersama?!

“Aku mau pulang ke apartemen Kakak! Orang rumah, mereka nggak tahu aku pulang. Mami-Papi..” Amelia sengaja menggantung kata-kata, gadis itu takut Damian akan marah jika mengetahui hal yang sebenarnya. Lagipula jika dia pulang ke rumah, Damian tidak akan berada di sana. Laki-laki itu sudah lama keluar dari rumah utama bahkan jauh sebelum ia dan kedua orang tua mereka pindah ke Belanda. 

“Mami, Papi apa?” Damian mengulang kata-kata terakhir Amel, membuat Amel menundukkan kepala.

“Me.. Mere.. Ka.”

“Mereka apa Amelia?” hardik Damian keras. Ia terlanjur marah karena tak mengetahui kepulangan Amel kali ini. Jujur saja Damian merasa kecolongan.

Benar seperti kata Amel, ia selalu mencari banyak alasan kala wanita itu berada di Indonesia. Perjalanan bisnisnya adalah rangkaian sikap yang biasa Damian ambil. Sebisa mungkin Damian berusaha agar tak semakin larut dan hilang kendali.

“Amelia Wijaya, mereka Apa?!”

“Mereka nggak tahu aku pulang ke sini!” jelas Amelia dengan suara kencangnya. 

“AMEL!”

Tubuh Amelia berjengit, karena kaget. Tangan yang masih dalam genggaman Damian bahkan bergetar saking takutnya. Lamat-lamat wanita itu menarik lengannya, beringsut mundur. Ia takut dengan tatapan tajam yang ditujukan Damian untuknya.

“Tunggu disini! Kakak akan telepon orang kita buat siapin Helly. Kamu harus pulang Amel.”

Amelia menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh sang kakak. Air mata bahkan sudah menetes, menunjukkan rasa kecewanya. Kenapa kakaknya seakan enggan untuk ia ikuti?! Toh selama ini dia tidak pernah mengganggu. Ia hanya ingin dekat, itu saja! Tidak salah bukan jika adik perempuan ingin terus berdekatan dengan kakak laki-lakinya?

“Nggak! Aku mau tetep disini. Kalau kakak nggak mau nerima Amel, Amel akan hidup sendiri.” teriak Amel sebelum ia berlari keluar dari kantor Damian dengan air mata yang membasahi pipinya. 

Melihat itu, Damian buru-buru berjalan menuju meja kerjanya. Ia menelepon langsung para karyawan di lobi, meminta orang-orang di bawah sana menahan kepergian sang adik dari hotelnya. Damian lantas menugaskan asisten kepercayaannya untuk membawa paksa Amel ke dalam unit khusus miliknya.

“Jangan sampai ada luka satu senti pun! Suruh pelayan menyiapkan keperluan Amel.” titah Damian sebelum menutup panggilan teleponnya.

“Aarrgghh.. Kamu nggak tahu Amel! Kamu nggak tahu apa-apa!” erang Damian frustasi. Ia tidak menyangka Amelia kabur dari kedua orang tua mereka. Kalau begini apa yang harus Damian lakukan untuk menekan perasaannya.

*

AMEL ada di sini Pi.. Indonesia..” Ujar Damian melalui sambungan interlokal. Suara yang keluar dari speaker ponselnya menyentak Damian. Mereka tahu. Kedua orang tuanya tahu tentang kepulangan Amel bahkan disaat ia sendiri begitu terkejut mendapati sosok sang adik di dalam kantornya.

Setelah menghubungi kedua orang tuanya, mengabari dimana keberadaan sang adik yang ternyata sudah diketahui oleh papi dan maminya mereka, Damian lantas meninggalkan kantor. Ia berjalan memasuki lift khusus yang dibuat untuk sampai ke lantai paling atas gedung. Sebuah tempat dimana ia tinggal setelah bertahun-tahun memutuskan hengkang dari istana megah keluarganya.

“Tuan…” Damian mengangguk saat kepala pelayan di apartemennya menyapa. “Non Amelia ada di kamar milik Tuan,” lapor laki-laki itu pada Damian. 

“Kosongkan tempat tinggal Saya. Saya tidak ingin ada orang, tidak terkecuali kamu,” suara beratnya memberikan perintah, “beritahu mereka untuk kembali pagi hari. Kamu bisa memesan kamar di bawah.”

Rumah?! Begitulah Damian menyebut unit apartemennya. Sebenarnya disebut sebuah unit pun, ukuran apartemen itu terlalu besar. Seluruh lantai atas di gedung yang ia miliki adalah tempat tinggalnya- sebuah pelarian yang Damian pilih selama ini.

“Baik, Tuan. Saya akan memerintahkan semua pelayan untuk turun ke bawah,” ucap si Kepala Pelayan sebelum pamit undur diri. 

Setelah memastikan tempat tinggalnya kosong, Damian berjalan pelan menuju kamarnya. Ia membuka pintu perlahan, tanpa meneruskan langkahnya. Lama Damian berpikir. Berperang batin dengan dirinya sendiri.

Haruskah ia masuk? Rasanya sungguh keterlaluan memperlakukan Amelia yang tidak tahu apa-apa, sedangkan apa yang ia rasakan adalah murni kesalahannya. Bukan salah sang adik.

Tapi dimana letak kesalahan mencintai seorang wanita?!

‘Dia adikmu, Bodoh!’ Kewarasannya menyeruak! Memaki kala pemakluman yang selalu ia pertahankan, ternyata memang sebuah kesalahan.

Damian meluruskan pandangan ke atas ranjang. Di sana seorang gadis, ah wanita maksudnya, tengah terbaring. Mungkin kata damai tidak terselip pada tidur wanita tersebut, karena sesekali Damian masih bisa mendengar isakan yang masuk ke dalam gendang telinganya. 

Ya, dirinya penyebab isakkan itu ada. Amel pasti menangis karena ulahnya tadi di bawah.

Mata Damian terpejam. Entah apa yang harus dirinya lakukan. Haruskah ia kembali mendorong Amel menjauh atau kah menahan wanita itu untuk tetap tinggal disisinya?! Sebagai wanitanya, sama seperti yang ia idam-idamkan selama ini.

Ia menginginkan Amel disisinya. Hanya disisinya tanpa embel-embel kata saudara. Tapi sepertinya semua itu adalah hal yang tidak akan mungkin dapat terjadi selagi orang tua mereka masih bernapas di dunia.

Ia tampan, itu sudah pasti. Bahkan ketika wanita itu pergi karena dorongannya kelak, para wanita lain mungkin akan berlomba-lomba untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh Amel.

Andai saja uang bisa membuat wanita itu tetap bertahan disisinya, pasti akan Damian berikan, berapa pun yang Amel minta. Bahkan jika wanita itu ingin semua kekayaan pribadi yang ia miliki, pasti akan Damian sanggupi.

Sayangnya, uang pun tidak menjadi minat wanita itu. Ia memiliki warisan yang sama besarnya dengan dirinya. Orang tua mereka cukup adil selama ini dalam membagikan harta kekayaan. 

Wanita?

Ya wanita! Selama ini dirinya telah merenggut apa yang seharusnya adiknya jaga. Malam dimana ia tidak bisa menahan gairahnya. Hari dimana esoknya sang adik harus berangkat, Damian merebut segalanya. Secara sadar ia menuangkan obat tidur pada minuman sang adik. Itulah alasan mengapa Amelia mengeluh sakit di selangkangannya beberapa tahun lalu.

Damian tergelak karena kembali mengingat hal itu. 

Bajingan? Dia akui itu. Tidak apa. Ia akan menerima julukan tersebut dengan senang hati.

Damian melangkahkan kakinya. Langkahnya begitu pelan, namun pasti mengarah pada ranjang di depannya. Dibaringkannya tubuhnya disamping sang kekasih hati. “Kau milikku Amel. Akan selalu menjadi milikku bahkan ketika mereka berkata darah yang sama tidak seharusnya bersatu dalam cinta.”Ucap Damian mengecup kening Amel dalam, hingga lambat laun matanya ikut terpejam. Mengikuti sang pemilik hati yang mereguk mimpi.

Anehnya, isakkan Amel terhenti saat Damian semakin mempererat pelukan.

Mungkin kah ini yang dinamakan cinta?!

 

2 Bangkitnya Jiwa yang Telah Mati

Amelia menggeliat dalam tidurnya. Wanita itu memimpikan kehidupan yang nyata bersama kakaknya. Kehidupan indah, dimana ia dan sang kakak bersama demi merajut asa. Menjalankan rumah tangga yang secara sembunyi ia idam-idamkan.

Dosa! Sekali pun dalam mimpi, nyatanya satu suku kata itu juga melintas dalam benak Amelia. Sejauh apa pun Amelia pergi, nyatanya ia ingin terus kembali. Biarlah hanya darah yang menjadi alasan untuk ia tak bisa bersatu dengan sang kakak. Asal masih bisa melihat kakaknya, Amel sudah cukup bahagia. 

Cukup!

Amelia membuka mata perlahan saat merasakan ada seseorang yang memeluk tubuhnya. Ia menatap sendu wajah Damian yang berada di hadapannya. Jemari tangan Amelia terulur menyentuh wajah itu. Wajah damai yang beberapa tahun ini tidak ia lihat dalam kesehariannya.

“Aku berdosa Kak.” lirihnya, sangat pelan. 

“Aku berdosa. Tolong ampuni aku Kak. Biarlah hanya aku yang merasakan sakit ini.” Bisik Amel mulai tercekat. Amel memajukan bibirnya, mengecup bibir Damian singkat. Dalam hati ia merasa takut jika Damian terbangun lalu mempertanyakan akan hal yang ia lakukan baru saja.

“Aku mencintaimu Kak. Sangat,” lirih Amelia lagi, sebelum kembali memejamkan mata. Ia ingin terus berada dalam dekapan Damian. Jadi sebelum semuanya berakhir, biarkan dirinya kembali terlelap dengan tenang dalam dekapan pria yang ia cintai, meski dengan status yang sama. Sebagai seorang adik belaka.

Lima belas menit setelah Amelia benar-benar kembali terlelap, Damian membuka kedua matanya. Hatinya menghangat saat Amelia masih berada disampingnya. Wanita itu masih tertidur damai dalam dekapan tubuhnya. 

“I love you,” adalah kata pertama yang Damian ucapkan ditelinga dan wajah wanita itu. Meski pelan, ia harap wanita itu dapat mendengar pernyataan cintanya. Sesekali Damian mengendus wangi dari rambut sang adik. Ia terbuai dengan harum itu sampai tak sadar bahwa indera penciumannya itu saat ini berpindah, meninggalkan kecupan pada ceruk leher milik wanita tercintanya. 

Amelia melenguh membuat darah Damian berdesir hebat. Lenguhan itu, lenguhan yang Damian rindukan. Lenguhan yang ia dengar kala ia mencuri-curi bibir dan harta berharga yang dimiliki oleh wanita yang dirinya cintai.

Amelia mengernyitkan kening saat merasakan sesuatu yang basah tengah bergerak diatas kulit lehernya. Tangannya bergerak, meremas baju Damian yang kini telah menindih tubuhnya. Matanya terbelalak, merasa terkejut atas apa yang Damian lakukan.

“Kak..” tegur Amelia sembari mendorong tubuh Damian. 

Damian menggelengkan kepala, membawa kedua tangan Amelia ke atas kepala wanita itu agar sang adik tak banyak bergerak. Karena demi apa pun, ia tak ingin kehilangan wanitanya lagi. Damian ingin Amelia terus berada di ranjangnya kala ia membuka mata untuk esok dan seterusnya.

“Kak, apa yang Kakak lakuin Kak>! Berhenti, kita kakak-adik, Kak!”

“Kakak cinta kamu.” Ujar Damian berani, membuat Amelia bungkam tanpa kata. Tubuhnya mematung mendengar kata cinta yang keluar dari bibir Damian. 

“Kakak cinta kamu Amel. Kakak pengen milikin kamu.” Papar Damian jujur. Ia tahu apa yang mulutnya katakan adalah sebuah kesalahan. Apa yang ia lakukan juga merupakan dosa besar karena ingin menggauli adiknya sendiri. 

Tapi bukankah dosa tersebut sudah ia lakukan dulu? Dosa itu tak berarti lagi setelah ia berhasil memiliki Amelia pada malam itu. Dan untuk pagi ini, ia kembali ingin berada di dalam tubuh itu secara sadar. Mengulang indahnya waktu mengarungi indahnya dunia cinta.

“Kak.. Jang...” Amelia terus menggerakkan tubuhnya, menolak apa yang akan kakaknya itu lakukan. Ia bukan wanita bodoh yang tidak tahu apa arti kata memiliki dari bibir Damian. 

Cinta? Benar, dia mencintai Damian. Namun untuk melakukan hubungan badan, bukankah hubungan terlarang itu terlalu jauh? Tidak! Semua itu adalah dosa. Dosa yang amat besar dan Amel tak siap menanggung resikonya.

“Amel nggak mau Kak. Ini dosa. Amel mau kasih semua ini buat suami Amel, Kak! Jangan!” Mendengar kata suami diucapkan, rahang Damian mengeras. Baginya tidak boleh ada kata suami dihidup Amelia jika itu bukan dirinya.

“Suami? Untuk suami kamu? Perawan kamu maksudnya?” Damian terkekeh kala Amelia mengangguk. 

“Sayang, listen. Kakak udah ambil itu dari kamu tiga tahun yang lalu. Pagi dimana kamu bilang itu kamu sakit, saat kamu merengek untuk kakak gendong. Kamu masih ingetkan, Amel?” tanya Damian sembari menampilkan seringaian mencekamnya.

“Nggak, kakak bohong!” 

“Kakak nggak mungkin setega itu sama Amel.” Amelia menangis. Ia memalingkan wajah saat Damian ingin mencium bibirnya. Mencoba menghindar tentu saja.

“Ayo kita buktikan,” bisik Damian sembari menggerakkan tangannya ke bawah. Amelia mencoba memberontak saat Damian memasukkan tangannya ke dalam mini dress yang ia kenakan. 

“Kamu nggak akan bisa lepas, Sayang. Ini kamu.. Lihat.” Ucap Damian sembari mengangkat pelindung bawahnya ke udara. 

“Kak.. Jangan.” Mohon Amelia saat Damian tengah berusaha membuka celana laki-laki itu sendiri, “jangan, Kak. Amel mohon, kakak nggak boleh seperti ini.”

“Kakak cinta kamu Amel. Kakak nggak sanggup nahan sakit ini sendiri. Kakak butuh kamu.” Menulikan pendengarannya akan permintaan Amel, Damian meneroboskan miliknya tanpa izin ke dalam wanita yang ia cintai. Rasanya masih sama seperti pertama kali ia masuk. Memabukkan— membuatnya ingin terus berada di dalam sana.

“Kamu masih seluar biasa dulu Amel. Kakak tahu, kamu juga cinta Kakak kan?” Amelia menggelengkan kepala. Berdusta untuk kesekian kalinya atas rasa yang hatinya rasakan pada sosok yang kini tengah memaksanya.

“Kak.. Please!” Iba Amel. Semuanya terasa tidak benar. Apa yang mereka lakukan terasa menyakitkan. Bukan hanya pada inti tubuhnya, tapi juga pada hatinya yang entah mengapa juga terasa perih.

“Kakak akan menikahi kamu setelah ini.” Ucapan Damian itu sukses membuat kesadarannya menghilang ditengah usaha laki-laki itu menyalurkan hasrat terlarangnya. “Kakak janji, Sayang. Kakak akan menikahi kamu secepatnya. Persetan kalau kita memiliki darah yang sama..”

Tidak ada yang boleh memilikimu.. Tidak ada yang boleh merenggutmu dariku, karena kamu hanya milikku. Takdir akan aku lawan, meski Tuhan akan mengutukku dikehidupan yang akan datang. 

Damian telah berserah. Pada api neraka yang kelak akan membakarnya di kehidupan abadi mereka, ia memasrahkan rasa cintanya. Menghidupkan perjuangan yang dirinya padamkan untuk sang adik tercinta dahulu kala.

*

Habiskan! Setelah meeting kakak akan naik ke atas.

Amelia meremas kertas kecil yang Damian letakkan di atas nampan. Nampan berisi makanan itu diantarkan oleh pelayan pribadi Damian sepuluh menit yang lalu padanya.

Catat! Pelayan Damian, bukan Damian sang kakak.

Amelia tak bisa menahan air mata mengingat apa yang Damian lakukan semalam. Setelah merenggut kehidupannya, laki-laki yang berstatuskan kakak itu meninggalkan dirinya sendiri di dalam kamar. Tanpa sedikitpun rasa bersalah, karena telah menghancurkan kehidupannya. 

Kata-kata Damian entah mengapa terngiang ditelinga Amelia. Hal itu membuat Amelia semakin terisak karena pada nyatanya omongan sang kakak benar adanya.

Sampai detik ini, Amelia tak bisa menghapus ingatan pada pagi dimana daerah intimnya terasa kelu. Ia bahkan harus merengek pada Damian agar membantunya masuk ke dalam kamar mandi. Tangisnya pecah kala tak menemukan bercak darah di atas ranjang usai pertempuran mereka semalam.

Merasa terluka, Amelia menarik keras nampan berisi makanan yang pelayan Damian letakkan di atas nakas. Suara pecahan keramik lantas terdengar selaras dengan isakkan kepedihannya.

Bagaimana ia bisa menghadapi kematiannya nanti, jika mati pun ia akan disiksa di panasnya api neraka karena mencintai Damian?! Karena ia dan kakaknya melakukan hubungan terkutuk yang seharusnya tak mereka dilakukan.

“Kenapa Kakak lakuin ini sama Amel?! Kenapa Kak? Kita satu darah Kak, nggak seharusnya kayak gini. Ini dosa besar!” Isak Amelia sembari memeluk lututnya sendiri. Amelia menenggelamkan kepala disana. Jujur hal ini terlalu berat untuk dirinya lalui.

“Aku nyesel cinta sama Kakak!” Isaknya lagi, tidak sadar jika laki-laki yang tengah ia jadikan penyesalan berdiri dengan rahang terkatup hebat. Tangan lelaki itu mengepal mendengar penyesalan keluar dari bibir wanita yang ia cintai.

“Aku mau pulang!” Racau Amel.

“Ini rumah kamu!”

Suara berat penuh penekanan itu membuat laju darah Amelia terhenti. Amelia menengadahkan wajah, melihat sorot tajam sang kakak yang biasanya teduh. Takut adalah satu-satunya rasa yang mendominasi diri Amelia kala melihat mata itu menggelap.

“Tidak ada rumah, kecuali kakak ada di dalamnya Amelia Wijaya!” Sentak Damian.

Amelia menggelengkan kepalanya kuat. Ia tidak setuju dengan pemikiran itu, karena tempat dimana sang kakak berada adalah satu-satunya tempat yang harus ia hindari mulai detik ini.  

“Jangan mendekat!” Teriak Amelia saat Damian melangkah mendekatinya, “jangan mendekat, Amel bilang! Pergii! Pergiiii!” Jeritnya ketakutan.

Bukan Damian Wijaya jika menghentikan langkah kakinya. Ia sudah bertekad, jika apa pun yang terjadi, Amelia harus menjadi miliknya sepenuhnya.

Amelia meronta saat Damian menyentuh wajahnya. Ia terus saja menghempaskan jemari sang kakak. Merasa kotor dengan jemari yang biasanya terasa nyaman untuk ia genggam dulu.

“Jangan sentuh.. Jangan sentuh Amel dengan tangan kotor Kakak!” Semakin Amelia menolak, jemari-jemari Damian justru semakin lancang membelai pipi putih wanita cantik itu. Bibirnya menyeringai mendengar penolakan sang wanita.

Kotor, eh?

“Bukan kah kamu sama kotornya dengan kakak, Amel?”

“Bukan kah bibir cantik ini mengakui perasaannya pada laki-laki kotor ini?”

Dengan seringaian yang masih melekat, jemari Damian turun membelai bibir yang menjadi candunya. Damian mendekatkan wajahnya ke telinga kiri Amelia, membisikkan kalimat yang membuat mata indah Amelia tertutup, “bibir yang menggairahkan ini mengakui kejujuran hatinya. Menyatakan rasa yang sama dengan rasa yang laki-laki kotor ini miliki.” Senyuman kepuasan jelas terpatri dibibir Damian setelah membisikkan kalimat menohoknya pada sang adik.

“Darah yang sama ini tidak akan bisa merubah perasaan kita, Amel. Perasaan Kakak padamu, bukanlah sebuah dosa. Jika memang dosa, Kakak akan menarikmu untuk masuk dalam neraka yang sama.” Ucapnya sebelum mendaratkan ciuman-ciuman kecilnya di leher sang adik.

Amelia membuka mata cepat. Ia tersentak dengan apa yang Damian lakukan. Tidak lagi, batin wanita itu. “Kak!” Kardik Amelia keras mendorong tubuh sang kakak agar menjauh.

“Kakak tidak akan membiarkan dia menikahi kamu, Amel. Tidak ada laki-laki yang bisa menikahi kamu kecuali kakak.” Tegas Damian sebelum membalikkan tubuhnya, meninggalkan Amelia yang menangis dengan raungan keras.

Amelia akan dijodohkan? 

Damian mengerang marah kala memilih memutuskan sepihak komunikasi terakhir yang ia lakukan dengan sang mami. Keluarga mereka mengira Amelia kabur karena akan dijodohkan dan itu menjadi keuntungan besar bagi Damian untuk melancarkan rencana yang semalam telah ia susun. 

Dijodohkan ya?! Jangan harap wanitanya itu bisa dimiliki oleh orang lain selain dirinya. Amelia hanya untuknya, Amelia hanyalah miliknya. Damian tidak rela melihat Amelianya hidup dengan laki-laki lain. Terlebih laki-laki yang Damian tak tahu benar perangainya. 

“Buat Amelia seolah-olah menghilang tanpa jejak. Jangan sampai orang-orang Papi Saya menemukan istri saya.”

Meski heran, kepala pelayan sekaligus orang kepercayaan Damian itu menganggukkan kepala. Mengerti dengan tugas yang kali ini Tuannya berikan padanya. Laki-laki itu memang tidak bekerja pada orang tua Damian, melainkan dengan Damian langsung, menjadikan titah Damian adalah sebuah keharusan yang harus laki-laki itu laksanakan.

“Siapkan semuanya. Saya tidak ingin orang-orang melihat saya membawa Amelia pergi nanti malam. Buat senatural mungkin jadikan seolah istri saya itu kabur dari saya dengan kekasihnya.”

“Baik Tuan.”

Damian mengetukkan jemarinya di atas meja kerja. Membuat Amelia hilang bagai ditelan bumi adalah keputusan paling tepat yang bisa ia lakukan. Setelah ini ia akan menyembunyikan keberadaan wanita itu dari semua orang yang ia kenal. Termasuk kedua orang tua mereka yang jelas-jelas akan menjadi penghalang terbesar cinta keduanya. 

Penolakkan Amelia? 

Haruskan Damian merasa terhina dengan penolakan sang adik? Ah! Untuk apa dianggap. Toh menolak sekeras apa pun Amelia akan tetap menjadi miliknya. Satu-satunya miliknya yang tak seorang pun bisa merenggut wanita yang menempati tahta hatinya itu. 

Mau tidak mau, Amelia harus ikut dengannya. Menerima kenyataan bahwa wanita itu adalah kepunyaan dirinya. Calon ibu dari anak-anak yang telah ia rencanakan keberadaannya di dalam rahim wanita itu. 

“Kata cinta dari kamu sudah cukup membuktikan bahwa kamu juga memiliki rasa yang sama dengan kakak Amel.” Kekeh Damian. Laki-laki itu menyandarkan tubuh di kursi kebesarannya. Menyeringai dengan aura kepuasan karena kebahagiaannya nampak begitu nyata di depan mata. 

“Kakak jadi tidak sabar membawa kamu ke istana kita, Sayang. Kamu benar-benar akan menjadi ratu dan Kakak rajanya. Kita akan bangun mimpi bersama anak-anak kita kelak.” 

Membayangkannya saja darah-darah Damian terasa mengalir ketempat yang semestinya.

Jiwanya yang mati kini telah bangkit kembali karena Amelianya..

 

3 The Crazy Damian

 

Dimana ini? 

Pertanyaan tersebut muncul saat Amelia pertama kali membuka kelopak matanya. Ia ingat benar setelah memakan makanan yang dipaksa masuk ke dalam mulutnya oleh sang kakak, rasa kantuk yang dahsyat menyerang dirinya. Hingga tanpa sadar Amelia terlelap tak lama setelah suapan terakhir yang diberikan Damian.

Laki-laki itu mencekkokinya obat tidur?!

Ya Tuhan! Amelia tak menyangka kakaknya akan segila ini.

Lantas dimana ia sekarang?! Pertanyaan itu terus berputar di dalam benaknya. Amelia merasa asing dengan kamar yang ditempatinya saat ini. Kamar ini tidak seperti kamar di apartemen Damian, tak seperti kamar di rumahnya juga.

Lalu dimana sebenarnya dirinya sekarang?

“Selamat datang di istana kita Istriku.” Mata Amelia membulat. Suara kata terakhir kakaknya terdengar begitu mencekam, membuat seluruh tubuhnya bergidik ngeri. Ia melihat sosok itu berjalan santai memasuki kamar yang dirinya tempati.

Welcome home, My Wife!” lagi. Pria itu menekankan kata istri dipenghujung kalimatnya. 

“Selamat pagi, Sayang. Tidur kamu nyenyak banget sih, sampai kakak gendong buat pindah ke rumah kita, kamu sama sekali nggak bangun.” Ucap Damian tak memperdulikan keterkejutan wanitanya.

Rumah?

Rumah siapa maksudnya?

Orang tua mereka?

Kening Amelia sampai mengerut memikirkan ucapan ambigu Damian. Ia sama sekali tak mengerti dengan ucapan sang kakak.

“Ini rumah kita. Tempat dimana kita akan membangun rumah tangga kita, Sayang.” Seolah tahu apa yang tengah membebani pikiran kekasih hatinya, Damian menjelaskan dimana dan untuk apa mereka disini.

“Gila! Kakak gila!” Teriak Amelia. Bagaimana mungkin mereka akan membangun rumah tangga. Demi Tuhan, mereka ini kakak-beradik, meski sekeras apa pun ia menolak rasa itu memang ada untuk kakaknya. Tapi darah yang sama tak mungkin bisa mereka elakkan keberadaannya.

“Segila itu kakak Amel. Kakak memang segila itu kalau menyangkut kamu, Sayang. Selamat pagi.” Damian mencium kening Amelia. Laki-laki itu sudah siap dengan setelan kerjanya. Ia memang pindah rumah, tapi bukan berarti meninggalkan pekerjaannya di hotel milik keluarganya. Bagaimana pun dia adalah penerus usaha milik sang papi.

“Kamu mau sarapan apa, Sayang? Biar pelayan kita yang siapin.” Damian duduk disamping tubuh Amelia. Meski ia tahu makanan kesukaan adiknya itu, ia tetap akan bertanya. Menjadikan Amelia ratu di istana mereka adalah tujuan hidupnya.

“Dimana kita?”

Damian melipat kulit keningnya. Menautkan kedua alisnya setelah pertanyaan sang adik. ‘Dimana mereka?’ Ulang Damian dalam hati. “Kakak sudah bilang bukan. Kita berada di Istana milik kita. Tempat dimana kelak kita akan membesarkan buah hati tercinta kita, Sayang.”

“Sinting!” Maki Amelia membuat mata Damian melotot. Sejak kapan adiknya yang manis pintar memaki orang.

“Amel mau pulang. Amel mau sama mami papi aja. Kakak udah nggak waras, Amel takut.” Ujar wanita itu tegas. Tak ada keraguan dalam ucapannya kala meminta untuk dipulangkan ke tempat mami dan papinya berada. Ia tahu setelah ia pulang kebebasannya mungkin akan terenggut karena rencana perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Tapi itu jauh lebih baik jika dibandingkan harus menjalani hubungan sedarah dengan sang kakak.

“Bagi mereka kamu sudah mati Amel. Begitu juga dengan Kakak. Amelia adik kakak sudah mati. Yang ada hanyalah Amelia istri dari Damian Wijaya.” Desis Damian mencengkram rahang Amelia. Ia tidak suka jika Amelia meminta untuk dikembalikkan.

“Kita nggak boleh gini Kak..” Lirih Amelia.

“Kenapa nggak? Kita saling mencintai. Tentu kita bisa Amel. Apa lagi kita sudah melakukannya. Apa kamu tidak berpikir jauh, jika saja benih yang kakak sebarkan di dalam rahim kamu membuahkan hasil?”

Amelia mual seketika kala mendengar ucapan Damian. Mengingat-ingat kembali bagaimana laki-laki itu terus menebarkan cairan ke dalam dirinya saat melakukan hal menjijikan itu, membuatnya ingin muntah kala mengingat hubungan yang mereka lakukan itu terlarang.

“Mungkin saja penerus Papi dan Mami sedang tumbuh disini, Sayang,” bisik Damian sembari membelai perut ramping Amelia.

“Menjijikkan.” Dengus Amelia menyentakkan jemari Damian dari bagian tubuhnya.

Damian terbahak, merasa lucu dengan kemarahan wanita yang dicintainya. Laki-laki itu bangkit dari duduknya. Sembari membenarkan jas yang ia kenakan, laki-laki tampan berwajah dingin itu menatap sang wanita. “Kakak bahkan masih mengingat jelas bagaimana desahan kamu kemarin sore Amel. Jika bukan karena ada tamu penting, Kakak pasti akan menunjukkan pada kamu, seberapa kerasnya suara desahan yang kamu keluarkan saat Kakak mengisi rahim kamu dengan hal yang kamu sebut menjijikkan itu.”

Amelia mengepalkan kedua jari-jari tangannya. Kakaknya ini benar-benar sudah tidak waras. Bagaimana laki-laki itu bisa berbuat seperti ini padanya. Sungguh keji! Binatang sekali pun tahu kepada siapa ia harus mengembangkan keturunan.

“Jangan lupa untuk makan. Sepulang kerja nanti Kakak tidak mau mendengar pelayan mengadu jika kamu menolak makanan yang mereka sajikan.” Peringat Damian.

“Satu lagi,” Damian menunjuk-nunjuk Amelia, “jangan mencoba untuk kabur, Sayangku. Karena seinci pun, kamu tidak akan bisa keluar dari rumah ini.” Damian tertawa terbahak-bahak. Ia senang sekali melihat rona merah pada wajah kekasihnya.

Semakin Amelia marah, maka wanita itu semakin terlihat menggoda di matanya.

*

DAMIAN MEREMAS RAMBUT DI KEPALANYA, berpura-pura menjadi sosok kakak yang tidak berguna karena tak berhasil menjaga adik satu-satunya. Di hadapan maminya yang menangis di pelukan sang papi, ia terus mengucapkan kata maaf karena tidak berhasil menahan kepergian Amel dan kekasih wanita itu.

“Damian, kenapa kamu nggak nahan adik kamu, Dami?! Dimana anak Mami?! Dimana adik kamu?!” Lirih sang Mami.

Theodore— Papi Damian hanya bisa memeluk istrinya. Laki-laki itu sudah meminta anak buahnya untuk mencari dimana keberadaan sang putri, tapi nihil. Para orang yang biasanya cepat dalam bergerak itu bahkan belum mampu menemukan dimana keberadaan dan dengan siapa anak kesayangannya itu pergi.

“Damian, suruh orang-orang kamu untuk mencari Amel. Papi tidak ingin putri Papi menjadi pembamkang seperti ini. Seret dia pulang Damian, beri pelajaran pada laki-laki yang membawa lari adikmu itu.”

Damian menganggukkan kepalanya. Ada rasa bersalah yang menghantam relung hatinya melihat keadaan kacau kedua orang tuanya. Tapi apa yang bisa ia lakukan jika dengan kembalinya Amelia juga menjadi penentu berakhirnya kisah cinta suci mereka.

“Iya, Pi. Papi dan Mami tenang aja. Dami pasti akan bawa anak nakal itu Pi. Dami janji.”

Dami janji akan membahagiakan Princess kita, Pi. Dengan seluruh jiwa, Dami. Jadi tolong berikan restu kalian.

“Papi dan Mami harus istirahat dengan tenang. Jangan terlalu memikirkan Amel, biar Dami yang urus ini. Papi bisa pulang ke Bel..”

“Damii!” Sentak sang Mami dengan nada tingginya, “bagaimana bisa kamu meminta kami kembali ke Belanda saat adik kamu saja entah berada dimana sekarang! Kami akan disini sampai Amelia ditemukan. Jadi temukan adik kamu itu secepatnya.”

Jemari Damian mengepal. Matanya terpejam sebelum mengangguk, “baik, Mi.”

“Temukan adik kamu, Damian! Kami tidak akan tenang jika Amel belum ditemukan.”

Setelah mengucapkan itu kedua orang tua Damian berlalu. Mereka memutuskan untuk kembali menempati rumah mewah yang telah beberapa tahun ini mereka tinggalkan. Harapan mereka begitu tinggi agar putranya itu menemukan sang adik, membawa putri mereka kembali pulang pada mereka.

“Sialan!” Amuk Damian menjerit sejadinya. Ia menghempaskan apa pun yang berada di atas meja kerjanya. Ia tidak menyangka orang tuanya akan kembali menetap di Indonesia sampai Amelia berhasil ditemukan.

‘Bagaimana ini?’ Pikir laki-laki itu.

“Hallo!” Damian mengangkat panggilan teleponnya dengan sisa-sisa emosi yang masih bercokol dalam dirinya. Emosinya kembali tersulut kala kepala pelayannya memberitahukan situasi seperti apa yang saat ini tengah pelayan-pelayannya itu hadapi di tempat pelariannya bersama Amelia.

“Satu senti luka di tubuh istri ku, berarti satu nyawa anak buahmu Jaka!” Peringat Damian, melakukan pengancaman kepada anak buahnya kesayangannya.

 

4 Penjara Buatan Damian

 “Nyonya..” Panggil Jaka, “saya mohon jangan lakukan ini.” Jaka memohon kepala Amelia. Apa yang wanita itu lakukan tak hanya membahayakan dirinya sendiri, tapi juga semua orang yang bernapas di dalam kastil buatan majikannya. 

“Nyawa kami bergantung pada Anda, Nyonya.” Jaka mengiba dengan sangat. Ia masih ingat jelas kalimat terakhir yang ia yakini bukanlah ancaman belaka— mengenai luka tubuh sang nyonya. Tuan mereka tak pernah main-main, terlebih jika itu berkenaan dengan adik yang laki-laki itu obsesikan.

“Pergi Jaka!! Saya bilang pergiiii! Jangan halangi saya untuk keluar dari rumah ini. Pergiii kalian semua!” Begitulah teriakan yang menggema. 

Amelia mengarahkan pisau ditangannya tepat pada kulit leher wanita itu. Sembari berjalan ke arah pintu utama, sang nyonya besar terus mengancam akan menggoreskan pisau itu ke lehernya andai mereka berani melangkah— even itu satu ketukan saja.

Melihat itu tentu saja semua pelayan di istana baru Damian menyingkir. Meski terus mengikuti langkah Amelia, mereka tetap memberi jarak— takut jika nyonya mereka berbuat nekat dan pisau itu menggores kulit indah sang nyonya.

“Berikan jalan pada Nyonya. Menyingkirlah dari sana!” Titah Jaka pada empat orang yang menjaga pintu utama rumah mewah Damian.

“Tapi, Pak..” Mereka terlihat ragu. Perintah yang tuannya berikan sudah sangat jelas, dan mereka mendengarnya sendiri. Amelia Wijaya tak boleh melangkahkan kakinya keluar dari gerbang.

“Biarkan!” Suara tegas itu membuat seluruh kepala menunduk termasuk juga Jaka. Laki-laki yang baru saja memberikan izinnya tersebut berjalan angkuh menuruni tangga rumah.

Kenapa Kakak dari dalam sana? Bukankah tadi Kakak pergi bekerja?— tanya Amelia di dalam hati. Tangannya bergetar, begitu pun dengan genggaman pada pisau yang ia arahkan ke batang lehernya kala melihat sorot mata tajam Damian. 

“Bukalah pintu itu Amel! Katanya kamu mau pergi. Ya pergi saja kalau kamu ingin!” Ucap Damian datar. Langkah kakinya masih menuruni anak tangga dengan kedua lengan yang ia lipat di depan dadanya. 

“Menyingkir kalian dari tubuh Istriku. Biarkan dia pergi. Buat seluruh penjaga di luar menundukkan kepala pada kepergiannya,” begitulah titah Damian. 

Satu anak buah Damian yang ia tugaskan menjaga pintu utama bagian dalam rumahnya berjalan mendekati pintu, membukakan pintu bergagang kan emas itu untuk sang nyonya. 

“Silahkan Nyonya.” Ujarnya penuh rasa hormat.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan Amelia membalikkan tubuhnya, berlari keluar dari rumah yang ia sebut sebagai neraka itu. Seluruh orang yang melihat Amelia berlari menundukkan kepalanya, mereka mendengar perintah dari sang tuan dari alat yang dipasang untuk tahu keadaan di dalam rumah. Alat canggih itu bahkan terpasang pada pelayan kebersihan. Mereka dibekali peralatan super agar setiap pergerakan Amelia dapat sampai ke telinga Damian dan Jaka.

Kaki Amelia terhenti di depan pintu gerbang yang menjulang. Ia menggelengkan kepalanya saat melihat banyaknya pepohonan yang mengelilingi rumah. Tak ada kehidupan layaknya perumahan mewah yang kedua orang tuanya tinggali. Tidak ada tetangga atau pun kendaraan yang melintas. 

Dirinya.. Dirinya ada di..

“Larilah jika kamu ingin binatang buas menerkam mu Amel, atau jika beruntung, kamu bisa menemukan lautan dan berenang untuk meminta bantuan nanti.” Damian dengan ketenangannya memberikan saran. Pria itu menyeringai melihat bahu wanitanya yang naik turun karena menahan kesal.

Amelia membalikkan tubuhnya, ia menatap sang kakak dengan pandangan tidak percayanya. Ke tempat seperti apa ia dibawa lari sebenarnya?! 

“Dimana kitaaaa, Sialaaan!” Jerit Amelia. Kepalanya hampir pecah sekarang.

“Ini pulau pribadi Kakak. Tak seorang pun dari keluarga kita yang tahu keberadaan pulau dan rumah ini. Jadi kamu masih mau pergi?” tanya Damian sembari mempertahankan seringaiannya. 

“Lihatlah ke atas, hanya dengan itu kamu bisa kabur dari rumah ini. Itu pun jika helikopter itu tidak kakak ledakkan saat mengudara.” 

Kaki-kaki Amelia melemas. Sosok yang berjalan mendekat ke arahnya bukanlah sosok kakak yang selama ini selalu menjaganya. Bukanlah sosok hangat yang selalu menjadi penopang dalam hidupnya. Sosok di depannya ini juga bukan sosok laki-laki yang selama ini ia cintai. Dia adalah..

“Monster!”

Bukannya terhina dengan makian Amelia yang menyebutnya monster— kalimat itu justru membuat Damian terbahak, “monster inilah yang kamu cintai, Sayang.” Ujar Damian sembari membelai rambut panjang Amelia. 

“Masuklah atau kamu ingin melihat salah satu diantara mereka mati karena lalai menjaga kamu, Sayang.” Suara indah yang biasanya membius Amelia itu kini berubah bak suara malaikat yang ingin mencabut nyawa setiap orang. 

Benar-benar mengerikan.

“Mari Nyonya, ikut kami.” Amelia mengikuti langkah para pelayan yang tadinya berjalan dibelakang Damian. Dengan seluruh tubuh yang masih bergetar, Amelia memaksakan kakinya untuk masuk ke dalam penjara yang Damian buat untuk dirinya.

*

Amelia memalingkah wajahnya kala melihat Damian keluar dari bilik kamar mandi. Laki-laki itu sama sekali tak merasa risih keluar hanya dengan berbalutkan selembar handuk yang membungkus bagian bawah tubuhnya. Meski mereka saudara, tak pernah sekali pun Amelia melihat tubuh setengah telanjang sang kakak. Kecuali beberapa hari lalu disaat sang kakak merenggut semua hal darinya. 

“Terbiasalah,” hanya satu kata itu yang Damian ucapkan sebelum tangan kekar laki-laki itu membuka satu-satunya kain penutup di tubuhnya, membuat dirinya sendiri telanjang di depan sang adik. 

“Lihat Kakak Amel.” Amelia memejamkan matanya saat merasakan ranjang yang ia tempati bergerak.

“Untuk apa kamu menutup mata kamu, Amel? Bukankah kemarin kamu sudah melihatnya? Merasakannya juga bukan?” 

Amelia buru-buru menarik tangan kanannya yang Damian letakkan di atas milik laki-laki itu. Ia risih dengan apa yang kakaknya lakukan. Hal itu tentu saja membuat seringaian diwajah Damian kembali terbit. 

“Kakak merindukan kamu, Sayang.” 

Tubuh Amelia bergidik saat Damian memeluk tubuhnya. Demi Tuhan, ia ingin berteriak saat tubuh telanjang kakaknya itu menempel pada tubuhnya, meski ia masih dengan pakaiannya yang utuh. 

“Kamu tahu Sayang. Sedetik berpisah dengan kamu bagaikan seribu tahun. Kakak merindukkan berada di dalam milikmu yang sempit, Amel.” 

Mual.. Begitulah respon tubuh yang ia tunjukkan. Seribu tahun? Bukankah selama tiga tahun mereka tidak bertemu? Bahkan bukan hanya tidak bertemu, lebih tepatnya kakaknya selalu menghindar kala orang tua mereka membuat pertemuan keluarga.

“Kakak ingin berada di dalam kamu, Sayang,” bisik Damian sensual ditelinga Amelia. Air mata Amelia turun. Ia tidak menginginkan semua ini. Tidak! Kewarasannya masih berada di jalur yang semestinya.

“Katakan jika kamu menginginkan kakak, Amel.” Pinta Damian dengan suara paraunya yang jelas dijawab gelengan kepala dari Amelia. 

“Amel..” Lirih Damian.

“Nggak.. Amel nggak mau. Lepas Kak.” Tolak Amelia membuat rahang Damian mengeras. Kedua mata Damian menunjukkan kemarahan karena terus saja ditolak oleh wanita yang ia cintai.

“Baiklah, sepertinya kakak harus kembali memaksa kamu sampai kamu terbiasa dengan semua ini, Sayang.” Damian kembali berbisik dengan dengan seringai tajamnya. Ia tidak main-main dengan ucapannya. Laki-laki itu berharap apa yang ia lakukan dapat membuahkan hasil seperti yang ia harapkan.

 

5 Benarkah Seperti Ini Cinta?!

 Amelia saat ini sedang mencari apa pun yang dapat ia gunakan untuk menghubungi kedua orang tuanya di Belanda. Ia harus segera keluar dari penjara yang kakaknya buat agar tak semakin larut dalam melakukan dosa. Entah dimana keberadaan ponselnya, ia tidak tahu tempat Damian menyimpan barang penting tersebut. Jadi satu-satunya cara yang bisa ia tempuh sekarang adalah menemukan persegi panjang canggih milik sang kakak. Ia harus segera menemukan pesawat telepon pribadi Damian. Hanya itu cara untuk mencari pertolongan orang tuanya.

Hampir putus asa merupakan satu-satunya hal yang mendera dirinya. Amelia terduduk di atas lantai sembari meratapi hidupnya yang kacau. Setelah mengutuk tubuhnya yang tak bisa menolak sentuhan sang Kakak— Demi Tuhan, Damian adalah kakaknya dan Amelia bisa mengeluarkan desahan menjijikkannya saat kakak laki-lakinya itu memompa dirinya. Ia benar-benar kotor.

“HP Kakak juga nggak ada dimana-mana!” Lirih Amelia. Apa lagi yang bisa ia perbuat sekarang, saat tak menemukan satu pun alat untuk keluar dari penjara yang Damian buat untuknya?

Menangis dan menangis itulah hal yang bisa ia lakukan. Amelia menatap benci laki-laki yang tertidur lelap di atas ranjang bekas percintaannya mereka tadi. Ranjang itu adalah saksi kebuasan sang kakak atas dirinya. Saksi dimana ia meneriakan nama Damian Wijaya saat laki-laki itu mengisi dirinya dengan cairan menjijikan milik pria itu.

“Aku kotor. Aku menjijikkan!” Isak Amelia dalam tangisnya. Tangannya ia gunakan untuk mencakari dirinya sendiri. Ia merasa menjadi manusia yang menjijikan karena melalui semua hal yang jelas-jelas dikutuk dan dilarang untuk dilakukan sepasang saudara. 

“Mami, Papi.. Tolong Amel,” isaknya lagi. Amelia bahkan tak memperdulikkan keterlanjangan dirinya. Keluar dari kungkungan menjijikan sang kakak adalah satu-satunya hal yang terpikirkan di benak wanita cantik itu. 

Amelia kembali naik, mencari ponsel Damian disekitaran laki-laki itu. “Mana telepon kak Dami. Kamu dimana HP?” Racaunya mulai merasa frustasi. Tubuhnya menegang saat merasakan lengan seseorang melingkar di tubuh telanjangnya. 

“Kamu cari apa, Sayang?” tanya Damian. Damian membelai setiap jengkal tubuh Amelia, membuat wanita itu kembali menjerit dalam hatinya. 

“Sayang, kamu.” Ucap Damian tidak tahu diri.

“Kak,” lirihan terdengar Amelia saat Damian dari belakang memasuki dirinya. Laki-laki itu seakan tidak puas dengan apa yang mereka lakukan di ranjang beberapa jam lalu. 

Tidakkah kakaknya itu melihat kesedihannya? Keterlukaannya karena kelakuan bejat sang kakak ini?

“Mendesah Sayang, bukan menangis. Kamu lihat, kamu pun menginginkan Kakak Amel. Lihat Sayang, Kakak begitu mudah memasuki kamu.” Damian yang masih terus memaksakan keinginannya untuk menggauli adiknya sendiri. 

“Kak..”

“Ya, Amel. Ya, Cintanya Kakak,” lirih Damian sembari melakukan segala hal yang menurutnya bisa membuat adiknya itu merintih nikmat di bawah kendali tubuhnya. 

“Kak, please.”

“Kakak datang Sayang. Ah, Amel. Kakak cinta kamu.” Racau Damian. Laki-laki itu menyemburkan benih-benihnya ke dalam tubuh sang adik, membuat Amelia kejang karena menerima rasa yang tidak bisa wanita itu jelaskan. Sebelum wanitanya terjatuh karena menikmati sisa-sisa percintaan mereka, Damian menahan tubuh wanitanya, mendekapnya erat.

“Makasih, Cintaku. Kamu selalu tahu cara membuat Kakak mengerang,” bisik laki-laki itu ditelinga wanita yang jelas-jelas adalah adiknya sendiri.”

“Kakak mencintai kamu, Sayang.” Entah kata cinta keberapa yang keluar dari bibir laki-laki beraura dingin itu. Amelia tak bisa menghitungnya. Sejak laki-laki itu memaksakan kehendaknya, Damian tak pernah absen menyatakan rasa cintanya. 

Cinta?

Benarkah ungkapan tersebut?

Tapi mengapa semuanya terasa salah bagi Amelia. Apa yang harus Amelia lakukan? Ini semua terasa tidak benar, meski ia sendiri tak bisa memungkiri rasa cinta di hatinya untuk sang kakak.

Kenapa ia begitu menjijikkan? Mengapa Tuhan membuat hidupnya menjadi sulit, disaat ia ingin melupakan rasa cintanya untuk laki-laki yang jelas-jelas memiliki darah yang sama dengannya?

Apa yang harus Amelia lakukan sekarang?! Menerima keadaan tanpa berbuat sesuatu? Tapi ini merupakan dosa yang mungkin akan membakar mereka di panasnya bara api neraka kelak.

“Kita mandi berdua, Sayang. Kakak masih belum puas.” 

Amelia tersentak saat tubuhnya melayang dalam gendongan Damian. Laki-laki itu tersenyum, sembari membawanya berjalan masuk ke dalam kamar mandi di kamar yang beberapa hari ini ia tinggali. Amelia memalingkan wajahnya tak ingin melihat senyum kemenangan diwajah sang kakak saat ini.

Setelah membersihkan diri dengan beberapa adegan yang membuat Amelia kembali mengeluarkan tangisnya, Damian menitipkan pesan agar Amelia tak berulah lagi. Pria itu harus pergi ke hotel karena beberapa urusan.

“Jaka taruhannya, Sayang. Kakak tahu kamu wanita yang baik. Kamu pasti tidak akan bisa hidup tenang jika mengorbankan nyawa orang lain untuk kebebasan kamu.” Damian mengecup kening Amelia, “Kakak pulang sore. Kamu bisa melakukan apa pun yang kamu mau, asal tidak pergi dari Kakak.” Ujarnya memperingati.

*

Di tempat kerjanya, Damian terus meremas ponsel ditangannya. Papinya— Theodore tak pernah absen datang ke hotel untuk menanyakan sejauh mana perkembangan pencarian sang adik. Laki-laki yang memiliki kesamaan dalam segi wajah dengan Damian itu begitu menekan dirinya untuk membawa Amelia pulang ke rumah secepat mungkin. Sebuah hal yang jelas-jelas tak bisa Damian penuhi permintaannya.

“Damian, ini sudah satu bulan! Dimana adik kamu Damian! Kenapa orang-orang kamu belum juga menemukan keberadaan dia?!” Bentak Theodore. Ia tidak menyangka putrinya itu menghilang tanpa jejak. 

Kepergian Amelia begitu rapi sampai-sampai orang-orang kepercayaannya tidak bisa menemukan dimana posisi putrinya itu berada. Belum lagi Damian yang biasanya dapat ia andalkan, terlihat enggan untuk mencari dimana keberadaan sang adik. Jika pria itu mau, Theodore yakin putrinya sudah berada di hadapannya sekarang.

“Jika kamu tidak menyayangi Amel, setidaknya untuk Papi Damian. Ada apa dengan kamu, kenapa kamu berubah?! Dulu melihat adikmu terluka saja, seluruh orang rasanya ingin kamu bunuh.” Amuk Theodore membawa-bawa kisah masa lalu.

“Pi,” erang Damian.

Don’t Pi! Kamu benar-benar tidak seperti Damian yang kami kenal. Dalam wajah kamu saja nggak ada gurat kesedihan, apalagi khawatir!” Theodor kembali menaikkan suaranya. Ia heran mengapa Damian bisa setenang ini disaat Amelia menghilang tak tentu rimbanya. 

“Temukan adikmu secepatnya, Damian! Ini perintah! Papi tidak mau tahu! Mamimu jatuh sakit karena merindukan putrinya Damian. Apa kamu ingin melihat dia mati hanya karena putrinya?!”

Damian memejamkan matanya. Ini adalah hal tersulit baginya. Dia pasti akan mengembalikkan putri dari keluarga Wijaya yang hilang. Tapi tidak sekarang. Nanti setelah sang adik melahirkan keturunannya. Ia harus mempersiapkan banyak hal agar mereka tak dipisahkan oleh mami dan papinya.

“Papi mengandalkan kamu Dami…”

Tolong jangan andalkan Dami, Pi. Dami nggak bisa mengabulkannya!

“Tolong jangan kecewakan Papi. Ada Mami yang terus menunggu kepulangan adik kamu di rumah.”

Damian menunduk sedih. Jari-jarinya mengepal karena secara sadar, ia telah mengecewakan kedua orang tuanya tanpa mereka ketahui. Kesedihan sang mami, dirinyalah yang menciptakan semua itu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Possessive Broter [6-58]
1
0
6 Bunuh Saja Aku!Damian menyerngitkan alisnya saat melihat Amelia yang terduduk dengan kepala menunduk di atas ranjang mereka. Lagi-lagi dia harus melihat air mata itu. Damian benci mengakuinya. Ia benci mengakui jika ia paling tidak rela melihat air mata itu jatuh meski ia tahu mata itu menangis karena dirinya. “Amel..” Panggil Damian. Laki-laki itu berlutut di hadapan tubuh sang adik, menggenggam jemari adiknya yang terasa dingin. “Please, jangan nangis. Kamu menyakiti Kakak, Amel,” lirih Damian. Hatinya begitu pilu menyaksikan keadaan sang wanita tercinta. Apa kamu nggak mencintai kakak? Setelah semua hal yang kita lakukan, apa rasa cinta kamu nggak bisa tumbuh seperti kakak mencintai kamu, Amel? tanya Damian sembari menatap nanar Amelia.“Apa kamu tidak bisa menginginkan Kakak, sebesar Kakak menginginkan kamu?” Pinta Damian hampir putus asa. “Amel.. Kakak mencintai kamu.” Ribuan kali ia telah menyatakan perasaannya agar wanita itu memahami cintanya. Tapi Amelia bahkan tak pernah tergerak untuk membalas meski hanya secuil. Wanita itu selalu mencoba keluar dari segala usaha yang dirinya lakukan.“Kita dari darah yang sama. Bagaimana bisa aku mencintai kamu Damian Wijaya?” Sentak Amelia. Wanita itu menghempaskan tangan Damian, membuat genggaman dari jemari hangat sang kakak terlepas begitu saja. “Persetan dengan darah yang sama! Persetan dengan kamu adikku. Aku mencintai kamu!” Bentak Damian yang akhirnya malah membuat Amelia menangis semakin keras. “Bagaimana bisa kamu masih memikirkan darah sialan itu disaat setiap malam saja, kamu selalu bergerak di atas tubuhku!” Ucap Damian tajam.Amelia membekap mulutnya. Kebenaran yang Damian ucapkan baru saja tak bisa dirinya sangkal. Ia memang melakukannya, menikmati setiap cumbuan yang pada awalnya dipaksakan oleh kakaknya.“Kamu menginginkan Kakak dan Kakak tahu itu, Amelia.” Seribu kali Amelia mencoba membohongi dirinya, Damian mengetahuinya dengan baik. Disini, hati mereka yang berbicara. Bukan mulut yang terus saja mendendangkan dusta untuk menampik kenyataan yang ada.“Nggak! Kakak yang memaksaku menerima setiap hujaman kakak. Kakak yang memaksaku melakukan hal menjijikan itu.”Damian terbahak. Memaksa? Ya dia mengakuinya. Awalnya memang dialah yang memaksa Amel setiap kali ia menginginkan berada di dalam wanita itu, tapi bukankah setelah itu nafsu manusia mereka yang berbicara? Menuntun mereka untuk mencari kenikmatan yang mereka kehendaki?“Bunuh kakak saja kalau begini. Bagaimana? Mau?” Tawar Damian. Laki-laki begitu mudah dalam mengucapkan kata itu. Seolah nyawanya benar-benar memang tidak berharga di hadapan seorang Amelia, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati dan kewarasannya itu. “KAKAK!!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan