PELET CINTA LOLITA! [28] Loli Pikir Adnan Keren

6
2
Terkunci
Deskripsi

“Dapet berapa Lol?”

Lolita mengerjapkan mata. Ia menangkap arah pandang Melisa yang mengarah pada uang di dalam genggamannya.

Penasaran seperti hal-nya Melisa, Lolita pun menghitungnya. Bola matanya seketika melotot, “gopek, Anjing!” kemudian terpekik hebat usai mengetahui besarnya uang jajan yang Adnan berikan.

“Gop-Gopek?” Ulang Melisa ikut terkejut. Sahabat Lolita itu bahkan sampai tergagap.

1,204 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Paket
65 konten
Akses seumur hidup
650
Karya
1 konten
Akses seumur hidup
20
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Gus! I Lap Yuh! [CH 1-40]
1
0
BlurbKarena kenakalannya, Tatiana dibuang oleh sang papa ke pondok pesantren. Tatiana yang rebel kerap membuat ulah dengan melanggar peraturan-peraturan yang ada. Alhasil Tatiana sering mendapatkan hukuman. Siapa sangka dibalik hukuman tersebut, Tatiana memendam kesal terhadap salah satu anak Kiainya. Pria yang tak mau disentuh oleh seorang gadis itu, menumbuhkan kejahilan dalam diri Tatiana. Akibatnya keduanya justru harus dinikahkan secara paksa karena ulah Tatiana yang mencium paksa si Gus. Bagaimana nasib Tatiana yang biang rusuh setelah menikahi putra seorang pemilik pesantren? Temukan jawabannya hanya di, ‘Gus! I Lap Yuh!’[1] Run Bestie, Run!Tatiana— Lengkapnya Tatiana Sujatmiko. Gadis berusia delapan belas tahun itu merupakan anak tunggal dari pengusaha mebel asal Semarang. Meski demikian, Tatiana lahir dan besar di Jakarta.Seperti kebanyakan anak Metropolitan lainnya, Tatiana dekat dengan hiburan malam. Setiap malamnya ia bahkan tak pernah berada di rumah. Ia dijuluki sebagai The Girl of Senoparty. Selain itu Tatiana cukup rebel alis suka sekali memberontak. Seluruh larangan orang tuanya merupakan hal yang harus ia laksanakan. Ibarat kata— larangan adalah suatu perintah untuk dilakukan.Contohnya seperti malam ini,“Muach!!” Tatiana mencium pipi Soraya. Gadis itu meninggalkan bekas saliva di pipi putih sang mama.“Mau ke mana kamu Tiana?” tanya Januar yang tak lain merupakan papa Tatiana. Pria berusia empat puluh enam tahun itu menelisik penampilan sang putri. Tak ada satu pun bagian yang terlewat dari pengamatan Januar.“Biasa, Pah.”“Biasa apa?!” Sentak Januar. Jangan katakan putrinya akan berpesta sampai pagi di kelab malam. Sungguh Januar tak rela putrinya terus terjerumus pada lembah kemaksiatan. “Naik! Ganti pakaian kamu!” Dengan nada tingginya, Januar memerintah.“Apa sih, Pah! Kan udah nggak terbuka kayak yang semalem!” Decak Tatiana. Ia sudah meladeni amukan papanya. Mengganti dress mini yang membentuk lekukan tubuhnya dengan crop top long sleeve dan ripped jeans. Kurang apa dirinya menjadi anak coba.“Nggak terbuka?!” Januar berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu mendekati sang putri, “lihat Tiana! Lihat!” Ujung kaos yang Tatiana kenakan ia tarik, “baju macem apa ini, Nak?! Puser kamu keliatan!”Tatiana memutar bola matanya, merasa jengah dengan kecerewetan papanya. Kemarin pria itu mengomentari kedua aset berharganya yang katanya menonjol sampai ingin tumpah, sekarang pusar bodongnya. Sepertinya ia lebih baik telanjang tak mengenakan apa pun agar papanya tak bisa lagi berkomentar.“Pah! Gaul dong! Dandanan anak jaman sekarang emang begini!” Ucapnya lalu mencium pipi Januar, “udah ya! Tiana udah ditungguin sama Brandon di depan. Papa jangan kunciin pintu depan, ntar Tiana pecahin kaca ruang tamu kalau dikunciin lagi!” Ancamannya supaya papa tak lagi menghukumnya untuk tidur di taman depan.“Jangan berani-beraninya kamu keluar rumah, Tatiana! TATIANA!”Tatiana melambaikan tangannya tanpa mau repot menghentikan langkah. Gadis itu terus berjalan, tak mempedulikan Januar yang berang dibelakangnya.“Hi, Sweety..” Sapa Brandon— Sahabat Tatiana. Dari balik jendela mobilnya yang terbuka pemuda itu melirik penampilan sahabatnya. “Anjing, tumben banget casual, lo Titi? Ajeb-Ajeb loh kita, bukan ngemall, Cuy!”“Gara-Gara Pak Ustad Januar, Anjing!! Kesel gue!! Gimana gue pamer tete kalau kayak gini?” Tatiana menaikan sepasang gunung kembarnya. Menyangganya ke atas sembari memasang tampang muak.Brandon terbahak di joknya. Ucapan Tatiana hanyalah guyonan yang pantas ia tertawakan. Berpenampilan seterbuka apa pun, sahabatnya itu selalu memasang kuda-kuda untuk melancarkan bogeman ketika ada tangan-tangan jahil yang ingin menyentuhnya.“Masuk deh! Udah ditungguin bocahan kita. yang punya acara katanya nggak sabar pengen ketemu lo!”Menyimak rambutnya ke belakang, Tatiana sukses meledakan tawa Brandon. Gadis itu memutari mobil hitam kesayangan Brandon, masuk ke dalam, “let’s go, Brody! Kita guncang lantai dansa Senopati malam ini,” serunya dengan tangan terjulur ke depan, seolah seperti superman yang ingin terbang.Di rumahnya kedua orang Tatiana dibuat tak tenang. Januar sedari tadi berjalan mondar-mandir, memikirkan cara supaya dapat membawa pulang putrinya.“Pah gimana ini? Tiana makin nggak bisa diatur. Apa kita masukin ke pesantren aja ya?”Usulan tersebut sempat tercetus dalam pembahasan keduanya mengenai kelakuan sang putri yang semakin jauh dari kata baik. Mereka takut Tatiana semakin terbawa arus pergaulan muda-mudi Jakarta, lalu menjerumuskan gadis itu ke dalam akhir kehidupan yang disesalinya.“Mama nggak apa-apa?” Januar memandang sang istri lekat. Ia sangat tahu jika Soraya tak pernah bisa berjauhan dengan sang putri. Setiap putrinya pulang dalam keadaan setengah teler, wanita itulah yang setia merawat Tatiana. Sebelum Tatiana sampai di rumah, Soraya tak akan bisa memejamkan matanya.Dengan pandangan sedih, Soraya membalas tatapan Januar. “Demi kebaikan Tiana,” ucapnya lirih. Tak apa jika harus menahan rindu kepada sang putri. Asalkan Tatiana kembali menjadi putri mereka yang manis dan meninggalkan gemerlapnya dunia malam.“Mama yakin?” tanya Januar, menuntut kepastian. Ia memiliki seorang teman yang kebetulan merupakan penerus suatu pondok pesantren di Jawa Tengah. Saat berkonsultasi mengenai putrinya, temannya tersebut menawarkan diri, tentu saja jika ia berkenan, untuk menitipkan putrinya dibimbing di pondok.“He’em,” kepala Soraya mengangguk. “Tapi anak kita nggak akan jadi teroris kan, Pah?”“Hus, ngawur Mama!” Januar mengayunkan tangannya. Pemikiran istrinya ini ada-ada saja. “Ya nggak-lah! Mereka belajarnya agama. Ngaji Mah, bukan rakit bom!” Jelas Januar.“Mama mau sekalian tah?” tawar Januar, siapa tahu istrinya pun ingin belajar lebih dalam tentang agama mereka.“Nanti dulu deh, Pah. Tiana dulu aja. Mama kan nggak dugem, Pah. Arisan aja paling. Kan nggak nyusahin Papa,” cicit wanita itu.Malam itu Januar dan Soraya membereskan barang-barang yang mereka persiapkan secara diam-diam. Banyak pakaian muslim serta khimar-khimar panjang, mereka masukan ke dalam koper. Tak ada satu pun pakaian terbuka milik Tatiana yang terselip di sana. Seluruhnya hanya pakaian-pakaian layak pakai.“Jadi kita nunggu sampai jam tiga, Pah?”Januar membenarkan. Mereka harus menunggu Tatiana sampai benar-benar setengah sadar, baru mulai melakukan misi penculikan. Jika gadis itu sadar, tentu akan sangat sulit menyeretnya untuk pergi ke pesantren. Hanya cara ini-lah yang bisa mereka tempuh.“Setengah jam lagi kita berangkat, Mah. Mama juga harus pakai jilbab ya. Nanti nggak boleh masuk ke sana.”“Demi Tiana, Demi Tiana,” racau Soraya membuat Januar terkekeh.Baiklah— kali ini mereka sudah mantap akan menceburkan putri kesayangan mereka ke pondok pesantren. Semoga saja setelah itu, Tatiana akan bertaubat dan menjadi anak rumahan yang baik dan taat beragama.*“Kin, kamu ikut saya masuk, ya.”“Baik, Pak.” Sadikin menuruni mobil, mengikuti langkah majikannya. Pria itu langsung diserang pusing ketika memasuki pintu kelab. “Astagfirullah,” ucapnya pelan sembari mengelus dadanya. Baru kali ini Sadikin memasuki tempat dimana ia biasa menjemput anak majikannya. Dibayar mahal pun Sadikin tak akan mau lagi masuk. Matanya sakit melihat gemerlapnya lampu warna-warni ditengah gelapnya ruangan. Belum lagi musik yang mengalun melebihi speaker orang hajatan di kampungnya.“Habisin!! Habisin!!”Mata Januar membulat. Di atas sebuah panggung, putrinya terlihat menenggak cairan yang ia ketahui sebagai alkohol. Pria itu berlari menerjang lautan masa yang menyoraki putrinya. “TIANA!!” Teriaknya membuat Tatiana menyadari kedatangannya.“Eh, Anjir! Bokap gue!” Gadis itu berjalan sempoyongan mendekati sang papa, “Pah, ngapain di sini? Mau cari sugar baby? Mama ngambek loh nanti!” Ujarnya keras. Alkohol benar-benar sudah menguasai dirinya.“Sama temen Tiana, mau Pah?” Ia malah menawarkan teman kuliahnya. Kali-Kali saja papanya berminat. “Seksoy, Pah. Body-nya kayak… Eh.. Eh!!”Brakk!!Suara gedubrak akibat terjatuhnya tubuh Tatiana terdengar membuat teman-temannya meringis.“Hehe.. Tiana jatoh, Pah!” Cengirnya mendongakkan wajah. “Selow.. Selow!! Bisa berdiri kok.” Satu detik kemudian, Tatiana berdiri lalu memberi hormat, selayaknya sang papa adalah tiang bendera, “Indonesia…”“Liriknya gimana sih?” Ia menoleh ke arah Brandon. “Lupa gue udah lama nggak sekolah, Nyet!! Spill coba!”Brandon menutup wajahnya. ‘Anying! Gobloknya ke DNA,’ batinnya. Di tempatnya berdiri ia sudah gemetaran— keringat dingin karena kedatangan mendadak papa sahabatnya.“Bawa Tiana keluar, Brandon! Bantuin Om, atau Om laporin kelakuan kamu ini ke Papa kamu!!”“Om, iya, Om! Jangan Om!”Dibantu Brandon, Januar akhirnya berhasil memboyong tubuh sang putri keluar. Pria itu lantas memberikan peringatan kepada anak sahabatnya. “Setelah ini, awas kamu bantuin Tiana kabur. Om mau anterin dia ke pesantren.”“What the fuck?” Cepat-Cepat Brandon menyadari kesalahannya. Ia membekap mulutnya karena telah lancang mengumpat disela keterkejutannya atas informasi yang papa Tatiana sampaikan.“Seriusan Om?”“Nggak liat kamu muka, Om? Pulang sana! Apa kamu sekalian mau ikut mondok?”Brandon mengangkat kedua tangannya ke udara, “ampun, Om!” Kakinya melangkah mundur sebelum lari terbirit-birit.Di sepanjang perjalanan menuju Jawa Tengah, Tatiana tak bisa diam. Selayaknya orang mabuk, gadis itu bertingkah konyol. Bernyanyi, menangis bahkan juga mengajak Soraya berghibah tentang Januar yang ingin mendekati sahabat seksinya.“Udah bener Pah dia dimasukin pesantren. Mama ikhlas!” Seloroh Soraya.Rombongan Januar sampai pukul sepuluh pagi. Pondok Pesantren Al Hidayah menjadi destinasi mereka meninggalkan ibu kota. Mobil mewah milik pengusaha mebel tersebut terparkir di depan bangunan besar yang sederhana.Tidurnya Tatiana memberikan Januar dan Soraya waktu untuk bertegur sapa terlebih dahulu dengan sang pemilik pondok. Keduanya terlarut dengan pertemuan yang lama tak tersanggupi karena kesibukan Januar. Sedangkan di dalam mobil, kelopak mata Tatiana perlahan-lahan terbuka. Sudah saatnya ia terbangun dari tidur lelapnya.“Kok gue di mobil?” Heran Tatiana. Kepalanya bergerak kesana-kemari, menyadari jika dirinya berada di mobil milik sang papa.“Anjir!! Kok pada jilbaban semua! Gue dimana, Taik!!” Pekiknya. Tatiana lalu mencari tas miliknya. Gadis itu melompat turun, mencoba menanyakan titik lokasi yang kakinya pijak.“Mbak ini dimana ya?”“Eh, iya Mbak, gimana?”“Congekan ini orang,” monolog Tatiana, ngawur. “Tempat ini, namanya apaan?!” Ngegasnya.“Oh ini, Mbak? Ini pondok pesantren Al Hidayah, Mbak.”“PESANTREN?!” Teriaknya, maha dahsyat.“Tiana!!”Tubuh Tatiana menegang. Suara papanya terdengar begitu horor sekarang. Tidak. Ia harus kabur. Keberadaannya saat ini sudah sangat menggambarkan niat jahat papanya. Ia tahu sekali jika dirinya sebentar lagi akan diasingkan.“Anjinglah, Bangsat!! Papa nggak sayang gue lagi! KABUUUURRR!!!” Ucapnya lalu berlari terbirit-birit. Tatiana tak memikirkan apa pun. Di otaknya hanya tertulis satu kata, yaitu lari. Ia tidak mau dibuang ke pondok pesantren. Bisa-Bisa tubuh dan jiwanya terbakar nantinya.Merasa sudah jauh berlari, Tatiana menyandarkan dirinya pada sebuah batang pohon beringin. Napasnya ngos-ngosan. Ia membutuhkan amunisi untuk menyejukan pikirannya yang carut marut akibat ulah jahanam sang papa.“Udud dulu lah! Papa nggak mungkin bisa nangkep gue.” Dari dalam sling bag-nya, Tatiana mengeluarkan sebungkus rokok dan korek. Ia mulai menyelipkan lintingan tembakau pada sudut bibirnya. Menyalakan bara api ke ujung rokok.“Astaga! Apaan dah ini,” lirihnya nelangsa. Perasaan semalam ia masih asyik berpesta bersama teman-teman kampusnya. Ia cukup tercengang usai melihat titik lokasi dimana tempatnya berada saat ini.“Brandon taik! Kenapa dia nggak jagain gue. Gue harus telepon dia buat minta jemput.”Sembari berjalan untuk meneruskan agenda kaburnya, Tatiana terus menghisap rokoknya. Tangan kirinya sibuk memegangi ponsel— mencoba menghubungi Brandon.Bruk!!“Allahuakbar!!”Tatiana berjengit. Bola matanya seakan ingin terlepas dari sangkarnya saat seorang laki-laki terus menyeka tangannya.“Heh!! Lo pikir gue najis!” Amuk Tatiana tak terima.“Astagfirullah!”Pria itu menundukan kepalanya, seakan menghindari tatapan dengan Tatiana. Tentu saja Tatiana dibuat berang olehnya.“Nggak sopan ya lo! Gue ngajak lo ngomong ya, Nyet!!”“Innalillahi!!”“Gue belum mau mati, Bangsat!!” Semakin menjadi emosi Tatiana dibuatnya.“Ya Allah..”Tanpa Tatiana sadari, sosok yang sedari tadi mengingat Tuhannya karena celetukan-celetukan kasarnya itu merupakan anak dari pemilik pondok pesantren, tempatnya akan dititipkan secara paksa.“Itu dia anaknya!! Kin.. Tangkep anak saya!!”“Aaaaa!! Nggak mauuuu!!! Omaaa, anakmu durhakaaaaa!!!”Run Bestie, RUN![2] Berat ini, Berat!“Dikin, lepasin gue!!”Tatiana meronta-ronta ingin dilepaskan. Dikedua sisi tubuhnya, Sadikin dan papanya memegangi lengannya. Mereka mengangkat dirinya, membuat kakinya terseret-seret hingga mengikuti langkah keduanya.“Papa, Tiana nggak mau. Papa jahat!” Tatiana seakan tahu mengapa ia sampai berada di sebuah pondok pesantren ketika terbangun. Tak mungkin papanya ingin menjadi donatur. Pria itu pasti ingin meninggalkannya di negeri entah berantah ini.“Papa! Lepas, Papa!” Pinta Tatiana, mengiba.“Diam, Tiana! Papa lakuin semua ini karena sayang sama kamu.” Sebenarnya Januar tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Putrinya harus mendapatkan pendidikan agama agar jalan hidupnya berubah. “Satu tahun aja, Sayang. Tolong sekali ini aja, kamu nurut sama kata Papa, ya?”“Nggak mau! Papa nggak sayang Tiana!”Apa yang Tatiana alami sukses menjadi tontonan warga pondok pesantren. Banyak anak yang tengah menuju ke masjid, berhenti berjalan untuk menonton aksi Tatiana.Mereka memekik kala Tatiana menggigit lengan Sadikin dan menghempaskan lengan papanya. Gadis itu memutar tubuhnya, berniat kabur untuk kedua kalinya dari jerat kekejaman sang papa.“Demi Allah, Tatiana! Selangkah lagi kamu jalan, Papa pastiin nama kamu nggak ada lagi di Kartu Keluarga kita!” Ancam Januar mulai kehilangan akal. Kesabarannya terasa diuji sebab putrinya yang tak lagi semanis masa kecilnya dulu.“Jangan kamu pikir Papa cuma asal gertak!”Langkah kaki Tatiana kontan terhenti. Gadis itu membeku mendengar ancaman papanya. Tak pernah sebelumnya ia dengar ancaman yang sama. Semarah-Marahnya sang papa, pria itu tak sampai hati menghapus dirinya dari keluarga. Air matanya meluruh, jatuh membasahi pipinya yang putih.“Papa bener-bener nggak bercanda, Tiana. Tinggal di sini satu tahun, atau kamu pergi dan jangan anggap Papa, Papa kamu lagi!”Soraya mendekati putrinya. Tangan lembut wanita itu membelai punggung anak semata wayangnya. “Nurut sama Papa ya, Nak. Sementara aja, sampai marahnya Papa hilang,” rayu wanita itu, berharap kelembutannya mampu meluluhkan hati permata hidupnya.“Papa melakukan ini demi kamu, Sayang. Kamu anak kami satu-satunya. Ya, Sayang, ya?”Tatiana memeluk tubuh Soraya erat. Ia memang sulit diatur, tapi bukan berarti dirinya tak menyayangi kedua orang tuanya. Andaikan bukan karena dirinya yang ingin dihilangkan, kepalanya tak akan terangguk, menyetujui permintaan mamanya.“Sementara kan, Mah? Papa nggak akan buang Tiana selamanya, kan?”Senyum di wajah Soraya terbit. Ia tahu putrinya tak akan berani melawan kehendak suaminya lebih lama. “Mana mungkin Pak Januar buang anak kesayangannya, hem? Nanti kalau Tiana kangen, Papa Mama pasti jengukin di sini,” ucapnya sembari membelai rambut sang putri.Januar membuang mukanya ke samping, menguatkan diri untuk membendung tangis yang juga ingin keluar. Tidak! Jangan sampai! Ia harus kuat untuk masa depan putrinya. Kalau ia lemah, akan jadi apa Tatiananya nanti.“Pah, ke sini dong,” panggil Soraya. “Kita anterin anaknya baik-baik, biar ilmunya jadi berkah, Pah.” Pungkasnya, melambaikan tangan. Keduanya memeluk Tatiana, mencium kening gadis itu secara bersamaan.“Papa sayang Tiana,” bisik Januar.Usai drama menghebohkan tersebut, Tatiana diantarkan menuju rumah anak sekaligus penerus Pondok Pesantren Al Hidayah. Kebetulan sosok yang kelak akan menggantikan ayahnya, dalam meneruskan tempat menimba ilmu agama tersebut merupakan teman lama Januar. Keluarga kecil itu lantas memasuki area ‘ndalem,’ yang tidak sembarang orang dapat masuki.“Pripun Mas Janu, Dek Tatiana purun?” tanya Kiyai Sholeh. Ia tidak dapat menerima calon santrinya jika yang bersangkutan ternyata tak memiliki keikhlasan dalam menuntut ilmu. Hasilnya kelak akan percuma. Ilmu yang diajarkan pun tak mungkin dapat merasuk ke dalam hati santrinya.“Purun Mas.”“Alhamdulillah.” Ucap Kyai Sholeh, merasa lega dengan keridhoan putri sahabatnya.“Cuman itu, kalau boleh saya minta, Tatiana disatukan saja dengan santri-santri lain. Jangan diistimewakan dengan tinggal disini,” pinta Januar, menolak putrinya diperlakukan berbeda. Januar benar-benar ingin putrinya belajar tanpa adanya keistimewaan. Tatiana harus merasakan bagaimana sesungguhnya belajar menjadi seorang santri di pondok pesantren sahabatnya.“Nggih.. Kalau memang begitu maunya, Mas. Saya nderek mawon,” Kyai Sholeh tak memaksa. Ia akan ikut dengan kemauan sahabatnya. “Nanti biar diantar sama anak saya yang gadis ke asrama putri,” tuturnya sebelum meminta seseorang untuk memanggilkan akan perempuannya.“Nggih, Bi?” Seorang gadis dengan abaya coklat susu datang menghadap. Gadis itu mencium tangan abinya lalu menangkupkan tangan untuk menyapa tamu yang bertandang di rumahnya.“Nduk, Abi minta tolong ya. Tolong diantarkan Mbak Tatiana ke asrama perempuan. Ditempatkan ke kamar yang santrinya masih dua orang saja.”“Iya, Bi. Nanti Zahra antarkan Mbak Tatiana ke asrama santriwati.”“Oh iya, ini anak kedua saya Mas Januar. Namanya Zahra. Sepertinya sepantaran dengan Dek Tatiana.”Gadis bernama Zahra itu mengulas senyumnya demi menghormati tamu abinya.“Tuh, Sayang. Ada temennya,” seloroh Soraya agar putrinya tak lagi takut jika harus hidup tanpa teman. Sedari tadi putrinya itu hanya diam, memainkan ujung selendang yang digunakan untuk menutupi atasan terbukanya.“Ganti dulu ya bajunya, Nak.”Tatiana menggeleng. Ia memegang lengan Soraya, “nanti ditinggalin,” cicitnya. Arogansinya menghilang seiring dengan ketakutan yang merasuk ke dalam sanubarinya.“Nggak, Mama antar sampai ke asrama!”“Janji?”“Iya, Sayang,” balas Soraya, menyakinkan.“Mari Mbak. Berganti saja di kamar saya,” ajak Zahra, ramah. Pagi tadi ketika menyarap, abinya memang telah memberitahu jika mereka akan kedatangan satu anggota baru dari Jakarta. Tadinya ia sempat kaget ketika ada keributan di pelataran ndalem. Ia sempat tertegun melihat penampilan terbuka gadis yang akan dititipkan di pondok pesantren keluarganya.“Mama tungguin Tiana. Jangan pergi.” Rengek Tatiana.“Iya, Sayangnya Mama,” lagi Soraya mengiyakan permintaan putrinya.Ucapan tersebut rupanya hanyalah angin yang tak dapat Tatiana rengkuh. Secepat apa pun ia berganti, kedua orang tuanya telah pergi meninggalkannya tanpa sempat mengucapkan pamit. Mereka hanya meninggalkan pesan yang disampaikan oleh Kyai Sholeh.“Nduk.. Sekarang tanggung jawab kamu ada pada Bapak. Tatiana boleh memanggil Bapak dengan panggilan Pak Kyai seperti santri lainnya, tapi kalau mau, Tatiana boleh panggil Abi seperti Zahra.”Di dalam pelukan Zahra, Tatiana menangis, tergugu. Gadis itu terisak pilu, merasakan pedihnya perilaku kedua orang tuanya yang tega membuangnya.Satu tahun— waktu selama itu akan dirinya habiskan dengan tumpukan rindu. Sebengal apa pun dirinya, tak pernah sekali pun ia berjauhan dengan kedua orang tuanya. Pagi dan malamnya, mereka selalu bertegur sapa, melihat wajah satu sama lain dan sekarang ia hanya dapat mengenangnya dalam ingatan.“Ponselnya boleh dipegang,” Kyai Sholeh tersenyum, menyodorkan ponsel Tatiana yang dititipkan padanya. “Karena kamu santri kesayangan kami, ndak apa-apa. Tapi diusahakan jangan sampai ketahuan teman-teman santri lainnya ya. Nanti Bapak di demo bagaimana?”Tatiana tertawa dalam tangisnya. Bapak-Bapak berjubah di depannya ternyata tak seseram pikirannya.“Nah begitu kan cantik anak wedoknya, Abi.”*Zahra membantu Tatiana memakai jilbab. “Mbak cantik,” ucapnya, memuji kecantikan gadis yang tadinya sempat menolak mengenakan penutup auratnya itu.“Aneh!” Decak Tatiana. Seumur-Umur baru kali ini Tatiana menggunakan penutup kepala selain topi. “Gue keliatan kayak lontong tau, nggak!”“Belum terbiasa saja Mbak. Tapi sungguh, saya nggak bohong kok.”“Lo mah!” Tatiana tersipu.“Yuk, Mbak. Saya antar ke asrama putri.”“Hem.. Karena gue udah ditinggal, nggak ada alasan lagi, buat gue nggak ke sana. Ya udah deh!” Tatiana bangkit. Ia mengangkat bagian bawah gamisnya tinggi, membuat Zahra terpekik hingga bersitigfar.“Mbak, jangan diangkat gitu,” tegurnya. “Auratnya kelihatan, Mbak.”“Tapi gue nggak bisa jalan, Zahra! Bisa-Bisa gue keserimpet saking panjangnya.”Zahra menurunkan gamis Tatiana, “belum terbiasa, Mbak,” sekali lagi Zahra memberi pengertian yang sama. “Dicoba ya, Mbak? Di atas mata kaki itu sudah masuk ke dalam aurat yang tidak boleh dipertontonkan, kecuali dengan mahramnya.”“Anjinglah ribet banget!”“Astagfirullahaladzim, Mbak Tatiana.”Dibalik tembok ruang tengah, Kyai Sholeh menepuk keningnya. Sepertinya akan sangat sulit merubah Tatiana seperti keinginan sahabatnya.“Ya Allah, kuatkanlah kami. Ketuklah pintu hati Tatiana agar dapat menjadi seperti yang ayahnya kehendaki,” rapal Kyai Sholeh.“Pelan-Pelan saja Mbak, jalannya.”“Hu—,”Bruk!!Baru akan menjawab, Tatiana sudah terjerembab ke atas lantai. Gadis itu mendudukan dirinya, menendang-nendangkan kaki hingga gamisnya tersingkap.“Bangsat! Papa nggak mau!! Arrrgh!!”Tidak bisa dibiarkan. Tatiana belum dapat dilepaskan begitu saja tanpa sebuah pengawasan di dalam asrama putri. Anak itu masih memerlukan bimbingan.“Le.. Mriki.”Khoiron— anak pertama Kiyai Sholeh mendekat ke arah sang abi yang memanggilnya. “Wonten nopo, Bi?” tanya pria muda berusia dua puluh tujuh itu.“Panggil adekmu. Abi mau ngomong sesuatu ke dia.”“Nggih..” Khoirun— Pria itu tak sekali pun pernah mengatakan tidak atas ucapan abinya. Ia merupakan anak yang sangat berbakti, sama halnya dengan sang adik.“Dek, dipanggil Abi.” Kepalanya berpaling ke sisi lain, menghindari gadis yang saat ini tengah mengamuk di lantai ruang tamunya. Untung saja uminya sedang pergi bersama adik dan juga kakeknya. Kalau wanita itu menyaksikan perilaku tamu abinya, sudah dipastikan sang tamu akan mendapatkan kultum satu hari penuh.“Teman kamu,” Khoirun merekahkan telapak tangan, menutupi pelipis sampai pada separuh wajahnya, “antarkan saja ke kamar kamu dulu, Dek.”“Iya, Mas.”“Heh! Ra! Kok makhluk itu ada disini?!” Teriak Tatiana. Ia mengingat wajah pria yang membuatnya sampai tertangkap dari kejaran papanya. Kalau bukan karena pria itu, dia pasti bisa kabur tadi.“Si Anjing ini! Harus gue kasih pelajaran!”Tatiana mencoba bangkit, sayang, ia memang benar-benar belum terbiasa menggunakan gamis. Flat Shoes yang dirinya kenakan menginjak ujung kain, membuatnya terjatuh dengan posisi terlentang. “Huwaaa Papaa!! Tiana nggak sanggup!!” Jeritnya, keras sekali.“Taik Babik!”“Ya Allah.. Astaghfirullah.. Astagfirullah..” Kyai Sholeh, Khoiron dan Zahra melafalkan istighfar bersamaan. Ketiganya memegang dada karena ucapan kasar Tatiana.Berat, ini berat![3] Hukuman Menanti..Menyaksikan bagaimana perilaku dan lugasnya Tatiana dalam mengumpat, Kyai Sholeh telah memutuskan hal besar. Pria itu akan membimbing Tatiana secara privat bersama keluarganya, sebelum melepaskan Tatiana pada khalayak umum, ke tengah-tengah para santrinya.Hal tersebut turut Kyai Sholeh beritakan kepada Januar. Dengan dalih demi kebaikan Tatiana sendiri, ia meminta restu papa Tatiana. Mengharapkan ridho pria itu selagi dirinya memberikan keistimewaan.Beruntung Januar dapat mengerti keputusannya. Laki-laki yang sedang menempuh perjalanan kembali ke Jakarta itu secara penuh memasrahkan putrinya ke tangan Kyai Sholeh. Apa pun yang sekiranya baik untuk sang putri, ia menyertakan izinnya tanpa harus dipertanyakan kepadanya.“Alhamdulillah kalau begitu Mas Janu. Untuk sementara, Tatiana akan tinggal di ndalem bersama saya dan keluarga. Untuk sementara, biarkan kami yang menangani Tatiana.” Ucap Kyai Sholeh ditengah-tengah sambungan teleponnya.‘Nggih, Mas Sholeh. Pangapunten kalau saya merepotkan Mas dan keluarga.”“Mboten, Mas. Saestu, mboten merepotkan,” balas Kyai Sholeh karena memang tak merasa direpotkan, dititipi Tatiana oleh temannya. Ia senang karena dirinya masih diingat. Dengan begitu, silaturahmi mereka tak lagi terputus oleh jarak.“Nggih sampun, Mas. Itu saja. Mas Janu dan rombongan hati-hati nggih, berkabar kalau sudah sampai di rumah. Assalamualaikum,” pesan Kyai Sholeh sebelum memutus sambungan teleponnya. Pria dengan peci putih dikepala itu meletakkan ponselnya ke atas meja. “Nduk, bagaimana Zahra?” tanya-nya kepada sang putri yang menduduki sofa keluarga disebelahnya.Setelah mengamuk dan mencoba menyerang putranya— Khoiron, Tatiana menangis, mengingat akan betapa tega sahabatnya yang merupakan ayah gadis itu.Lama Tatiana dan Khoiron saling kejar. Gadis itu lantas dibawa ke kamar pribadi putrinya untuk ditenangkan.“Tidur, Bi. Sepertinya kelelahan,” jawab Zahra. “Jadinya Mbak Tatiana di sini dulu ya, Bi?”“Iya, Nduk. Takutnya nanti para santri mengadu ke orang tuanya. Kita juga yang repot, Nduk,” papar Kyai Sholeh. “Ditatar dulu bahasanya ya, sama sekalian nanti kita tanya, sudah sejauh apa Tatiananya bisa ngaji. Kalau turun ke asrama, yang lain hafalan, dianya nggak kan, jadi buah bibir. Kasihan Tatiananya.”“Umi sampun ngertos, Bi?”Kyai Sholeh menggelengkan kepalanya. Pria bersahaja itu melepaskan peci dari kepalanya. “Biar jadi urusan Abi. Insha Allah, Umi nggak akan keberatan. Sedikit spot jantung saja nanti pasti,” kelakarnya membuat sang putri tertawa.Zahra sendiri tidak bisa membayangkan, akan jadi seperti apa Tatiana ketika berhadapan dengan ibunya. “Mbak Tatiananya kuat mental nggak ya, Bi?”“Loh, ya itu, sepertinya kuat sih,” ujarnya dengan kekehan. Kyai Sholeh juga menanti bagaimana respon istrinya. Kebetulan bersama abah dan ayah mertuanya, perempuan kesayangan setelah almarhum uminya itu tengah pergi.“Habis Mbak Tatiana ditatar Umi, Bi, hehehe..”“Dibantu ya, Nduk, Mbaknya. Amanah untuk kita dia. Nanti setengah jam lagi dibangunkan untuk sholat. Kamu bimbim dia,” pinta Kyai Sholeh. “Pelan-Pelan saja. Nggak usah memaksa dia. Abi yakin kamu bisa, Nduk.”“Serahkan sama Zahra, Bi. Kalau untuk belajar sholat sama ngaji, Zahra bisa. Urusan lain biar Mas, nanti Zahra temani kalau sempat.”“Ya harus sempat. Mereka bukan mahrom, tidak baik hanya berdua-dua saja. Nanti ada setan menggoda,” peringat Kyai Sholeh agar putrinya senantiasa menjaga kakak dan tamunya. “Minta santri atau sepupu kamu kalau sedang berhalangan membantu.”“Nggih, paham, Bi.”Setengah jam kemudian, Zahra benar-benar menjalankan perintah Kyai Sholeh. Gadis cantik itu membangunkan Tatiana dari lelapnya.“Mbak, bangun. Mendekati waktu magrib.”“Berisik! Ganggu aja lo, Njing!!” Bentak Tatiana lalu mengubah posisi tidurnya.‘Astagfirullah,’ Zahra mengusap dadanya, beristighfar di dalam hati. Sudah benar tamunya diasuh di ndalem. “Mbak Tatiana,” ulangnya kembali mencoba peruntungan.“Apaan sih! Gue ngan.. Eh, loh! Lo siapa?” Tatiana menemui setengah kesadarannya. Kelopak matanya mengerjap menatap Zahra, sebelum bertraveling mengabsen seluruh isi kamar yang dirinya tempati.“Bukan kamar gue,” gumamnya.“Saya Zahra, Mbak. Anaknya Pak Sholeh, temannya Papa Mbak Zahra.”Barulah setelah itu Tatiana menjerit, “huwaaa!! Ternyata bukan mimpi! Gue beneran dibuang ke pesantren! Omaaa!!! Cepetan bangkit dari kubur, Omaa!!”Suara Tatiana yang menggelar membuat Aisyah— Istri Kyai Sholeh memasuki kamar putrinya. “Ya Allah, ada apa ini? Kok teriak-teriak, Nak?” Songsongnya, menanyakan apa yang telah terjadi. Wanita yang sudah diberitahu oleh suaminya tersebut mendekati ranjang, tempat dimana tamunya masih betah merebahkan diri.“Nak Tatiana, ayo bangun! Mandi sekarang,” ia menepuk lengan Tatiana. “Dibantu Mbaknya berdiri, Zahra!” Perintahnya tegas kepada sang putri.“Weh! Apaan ini, Ra! Zahra!”“Mbak, saya nggak berani ngelawan Umi. Maaf ya,” lirihnya ketika membangunkan tubuh Tatiana secara paksa. “Mbak Tatiana nurut aja. Nanti malah diceramahin Umi sampai subuh,” gadis itu berucap pelan agar uminya tidak mendengar informasi yang dirinya bagikan.“Umi?” Beo Tatiana, mengarahkan wajahnya untuk melihat wanita yang Zahra sebut sebagai umi. “Ibu lo, maksudnya? Bininya Kyai Sholeh?”“Iya!” Sela Aisyah. “Sekarang jadi Umi kamu juga. Cepat bangun! Apa Zahra tidak memberitahu kalau tidur selepas Ashar itu tidak baik?”“Maaf Umi, Zahra nggak tega. Mbak Tatiana kelihatan lelah sekali,” cicit Zahra menyampaikan argumentasinya mengapa santri mereka bisa terlelap saat sore hari.“Ya kan saya ngantuk,” terang Tatiana, terdengar seperti tengah melawan Aisyah. Gadis itu memang tengah berusaha membela Zahra. “Nggak baik lagi kalau saya tetep melek ya, Tante! Saya cosplay jadi reog ntar!”“Mau Tantenya saya makan?!” tanyanya dengan mata membola.“Nak Tatiana yang saya makan hidup-hidup! Jangan membantah lagi, masuk ke kamar mandi! Jangan lupa ambil wudhu sekalian. Setelah Umi sholat, Umi akan lihat, Nak Tatiana bisa sholat atau tidak.”“Wah, Anjing! Gue diejek nggak bisa sholat!” Padahal kenyataannya Tatiana memang tidak bisa. Di sekolahnya tidak pernah ada tugas mengenai sholat. Maklum ia bersekolah di Yayasan Katolik. Seruan misa biasanya yang ada, itu pun untuk yang beragama non muslim.“ASTAGFIRULLAHALADZIM! Kamu baru saja mengumpati Umi? Menyamakan Umi dengan hewan, Nak Tatiana?!”“Umi, sabar, Umi,” Zahra memegang lengan Aisyah. “Abi bilang pelan-pelan,” ia mengingatnya uminya supaya lebih sabar lagi menghadapi Tatiana.Aisyah menarik napasnya dalam. Sama seperti Tatiana, ia dulu pun tidak berasal dari lingkungan pesantren. Dirinya jatuh cinta pada anak seorang Kyai hingga membuatnya memperdalam agamanya. Perbedaannya dengan Tatiana, ia sukarela belajar dan tinggal di lingkungan pondok, tidak seperti gadis itu yang masih mereka diasingkan.“Nak Tatiana,” panggil Aisyah lembut, “seorang gadis tidak baik mengumpat. Setiap kata yang keluar dari lisan kita, suatu hari akan dimintai pertanggung jawaban, Nak. Kamu harus belajar menjaganya sekarang atau kalau tidak…”Perasaan Tatiana mendadak tidak enak. Jantungnya berdebar sangat keras sekali. Terlebih wanita yang Zahra panggil dengan sebutan umi tersebut sengaja menggantung kata-katanya.“Umi akan menghukum kamu membersihkan setiap toilet di pesantren ini.”“What the..”“Dimulai dari detik ini,” serobot Aisyah, memotong umpatan yang sebentar lagi akan diterimanya.Cara tersebut rupanya cukup ampuh. Aisyah tersenyum kala Tatiana membekap bibirnya. Hal tersebut membuatnya tersenyum. Sepertinya tidak akan sulit mengubah si bar-bar, anak teman suaminya. Tatiana cukup takut hidup ditengah kesulitan.Sepanjang ber-wudhu, Tatiana tak henti-hentinya mengumpat di dalam hati. Ia selalu lupa urutan sampai-sampai dimarahi oleh Aisyah. Perempuan yang tampak sebaya dengan mamanya itu sungguh membuat emosinya meroket. Meski begitu ia tak dapat meluapkan kekesalannya. Tatiana tidak ingin dihukum. Ancaman Umi Zahra sepertinya akan benar-benar dijalankan jika ia berkata kasar.“Ulang lagi, kamu lihat bagaimana Zahra wudhu.”Sudah sampai pada tahap membasuh kening dan Tatiana gagal lagi. Proses itu terlewat karena Tatiana langsung membasahi daun telinganya.“Contohkan Zahra. Umi pantau!!”Usai perkara mensucikan diri selesai, Aisyah menanyakan seputar bacaan-bacaan apa saja yang harus Tatiana baca ketika sholat. Pertanyaan ini ditujukan untuk melihat seberapa jauh pengetahuan Tatiana akan gerakan-gerakan dalam ibadah wajib tersebut.Jawabannya tentu saja— buta bacaan serta gerakan sholat. Aisyah dibuat memejamkan matanya, untuk menenangkan gemuruh di hatinya.“Nggak apa-apa, Nak Tatiana. Umi akan ajari kamu sampai bisa,” cakap Aisyah.‘Nggak mau, huweee!! Ribet banget dah!’ Jerit hati Tatiana, membatin. Belum genap satu hari ia sudah merasa tidak sanggup. Ia rindu kehidupannya di Jakarta. Disana ia tidak perlu susah-susah untuk belajar sholat. Orang tuanya tak pernah memaksa seperti Umi Zahra.“Kita tunggu para laki-laki selesai jamaah, setelah itu kita makan. Zahra akan peragakan gerakan-gerakan sholat, sekaligus mencontohkan surat-surat pendek yang mudah dihafalkan.” Kilat dimata Aisyah membuat Tatiana mereguk hambar salivanya.Adakah cara untuk kabur dari pesantren?!*Nasi yang Tatiana telan seakan terasa seperti jarum-jarum tak kasat mata yang melukai kerongkongannya. Tatiana rindu mamanya. Ia ingin mendengar mamanya mengomel karena ia makan terlalu sedikit, atau menyaksikan papa dan mamanya saling melempar kemesraan di meja makan.Makan malam yang dirinya lalui sekarang sungguh berbeda. Tak ada suara selain denting sendok yang mungkin tak sengaja beradu dengan piring. Bahkan dalam keramaian anggota keluarga teman papanya, Tatiana merasakan apa itu yang dinamakan kesepian.Kehampaan itu memeluk relung hatinya. Kunyahan dalam mulutnya semakin memelan dan butir demi butir air mata keluar dari sudut-sudut matanya. Tatiana kemudian terisak.“Mama,” ucapnya tak jelas. Tangannya yang kecil mencoba menghapus deraian air matanya. “Papa,” kali ini ia memanggil Januar.Aisyah yang melihat itu meletakan peralatan makannya. Wanita itu meninggalkan kursi makan. Merengkuh tubuh Tatiana. Ia dekap kepala Tatiana, “ada Umi, Nak. Tatiana punya Umi di sini. Jangan sedih lagi,” ungkapnya seakan tahu apa yang membuat Tatiana menangis.“Sudah ya.. Nanti cantiknya hilang.”Pembelajaran sholat yang sejatinya akan dilakukan setelah makan malam tak jadi dilakukan. Aisyah mengerti kondisi Tatiana. Istri Kyai Sholeh itu menundanya, menetapkan hari esok selepas sarapan. Tatiana lalu diminta untuk beristirahat supaya dapat menyerap pembelajaran besok pagi.Nahasnya, untuk sekedar menutup kedua matanya saja Tatiana tak bisa. Rutinitas hariannya terbiasa dimulai usai matahari terbenam. Ia termasuk ke dalam golongan nokturnal, bedanya setiap pagi di hari kerja, ada mata kuliah yang harus ia hadiri ke kampus.“Zahra udah molor, bisa kali nyebat.”Tatiana mengambil tas miliknya. Ia berjalan mengendap, berharap aksinya tak ketahuan Zahra. Rasa mulutnya sudah asam. Ia membutuhkan nikotin untuk menormalkan enzim-enzim dimulutnya.Gadis itu keluar dengan tak mengenakan hijabnya. Ia berpikir jika seluruh penghuni rumah sudah melanglang buana menuju mimpi mereka.“Aman nih kayaknya,” pekiknya senang karena tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Tatiana semakin percaya diri jika misi merokoknya akan berhasil. Untung saja sewaktu berpesta terakhir kali ia sempat membeli tiga bungkus rokok. Orang tuanya juga tak merampas tasnya. Keberuntungan memihaknya.Apakah ia harus menangisi rokoknya yang selamat?Sepertinya, iya!Hahahaha!Bruk!!“Anjing!” Umpat Tatiana ketika tubuhnya menabrak seseorang. Orang tersebut langsung berpaling, membalikan tubuhnya untuk menghindari Tatiana. Kepalanya menunduk.“Maaf saya tidak sengaja,” lontar si pria— yang ternyata merupakan anak pemilik rumah, Khoiron. Ia memang terbiasa pulang pada tengah malam, setelah menyelesaikan sholatnya di masjid pondok pesantren.“Lo lagi, Lo lagi!” Tatiana mengamuk. Ia menyimpan kekesalan yang begitu mendalam pada sosok dihadapannya. “Sini lo! Gue masih pengen nempeleng pala lo!” Tatiana berusaha meraih lengan Khoiron. Gadis itu mengerang, merasa semakin kesal karena Khoiron menghempaskan tangannya.“Mbak maaf, jangan sentuh saya. Kita bukan mahrom.”“Muna banget nih laki, Njrot!” Geram Tatiana. “Hidup dijaman Babik-Lonia ya, lo?”Tatiana tak menyerah. Satu kali saja. Ia benar-benar ingin memukul anak Kyainya. Ia tak mau mati penasaran nantinya. Jadi sebelum ia berpulang karena penderitaannya hidup di pondok pesantren, Tatiana akan membalaskan dendam kesumatnya.“Kena nggak lo, Anying! Mampus lo!!” Tania memberikan hadiah-hadiah kecil berupa tonjokan ke punda Khoiron.Khoiron sama sekali tidak kesakitan, ia terus menghindar bukan karena rasa sakit, melainkan ketakutannya kepada Sang Pencipta. Selama ini ia terus menjaga dirinya dari makhluk yang bukan mahramnya, berharap dapat mengikis dosa-dosa yang ada.“Buahahaa… Puas gue! Makan nih bogem mentah, Sat!!”Lampu ruang tamu menyala. Tatiana kontan melepaskan tangannya. Darah ditubuhnya berhenti tiba-tiba, melihat Aisyah berdiri sembari memandangnya lekat.“Dimana jilbab kamu, Tatiana? dan apa yang kamu lakukan malam-malam begini?!”Hening, Tatiana tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia justru mendekap erat tasnya. Di dalam otak kecilnya— Tatiana sedang menyelamatkan harta paling berharganya.“Khoiron, masuk ke dalam kamar!” Titah Aisyah.“Nggih, Umi.” Khoiron berjalan cepat. Ia harus segera meminta ampun kepada Sang Khalik.“Sebentar,” tahan Aisyah, menghentikan langkah putranya. “Ingatkan Umi besok untuk menghukum Tatiana. Umi mendengar umpatan kasarnya ke kamu tadi.”‘The fuck!’Sudahlah! Tamat riwayat Tatiana. Hukuman menantinya besok.[4] Nikahkan Mereka!Khoiron, pria itu mengangguk, “baik Umi. Akan Khoir ingatkan besok,” ucapnya sebelum melangkahkan kakinya cepat. Ia sungguh takut jika Tatiana akan menyentuhnya lagi. Selama ini, memandang wanita pun ia tidak berani, kecuali itu keluarga dan mahramnya. Khoiron begitu menjaga dirinya. Menghindari dosa sekecil apa pun untuk mendapatkan keridhoan serta kemurahan hati Sang Ilahi pada kehidupan kekalnya kelak.“Astagfirullah, Ya Allah. Ampunilah dosa-dosa, Hamba. Jauhkanlah Hambamu ini dari hal-hal yang menjerumuskan Hamba pada kemurkaanmu, Ya Rabb.” Panjatnya merasa telah melakukan hal yang salah.Khoiron membersihkan dirinya. Pada sepertiga malam menuju datangnya waktu subuh, pria itu tak pernah melelapkan diri. Ia menghabiskan penantiannya untuk menghadap Sang Pencipta dengan lantunan ayat suci. Sampai waktu itu tiba, Khoiron sama sekali tidak beranjak dari sajadahnya. Barulah ketika adzan subuh berkumandang, ia bergegas menuju masjid bersama ayahanda dan kakeknya.“Abi dengar dari Umi, Tatiana tadi pukul kamu, Le?”Kyai Dahlan, beliau mengulum senyumnya ketika sang putra bertanya kepada cucu kesayangannya. Ia menyimak sembari meneruskan langkah kecilnya yang dibantu dengan tongkat.Sejak melihat wajah santri baru yang dititipkan kepada keluarganya, Kyai Dahlan menaruh minat hingga memperhatikan gadis itu. Melihatnya membuat ia teringat akan Khoiron. Ada kilasan yang dirinya lihat dan kilasan tersebut memang bersinggungan dengan sang cucu.“Njih, Bi. Mbak Tatiana sepertinya masih marah kaleh kulo,” jawab Khoiron membenarkan.“Kalau bisa dihindari, Le. Jangan dibuat marah. Minta maaf saja biar hatinya Tatiana adem. Abi nantinya ingin kamu ikut membimbing dia, Cah Bagus,” pinta Kyai Sholeh, ingin menitipkan Tatiana kepada putra sulungnya.“Nyuwun ngapuro itu ndak mesti harus melakukan kesalahan. Kalau tujuannya baik, mengalah memang menjadi jalan yang harus ditempuh, Khoiron.”Khoiron menatap Kyai Dahlan. Pria itu berhenti berjalan, memberikan anggukan atas permintaan kakeknya.“Dibantu dia. Kalau kamu berhasil, Insha Allah, pahalamu berlipat, Le.”Khoiron akan mengingat amanah abi dan kakeknya. Ketika dua lelaki tersayangnya membuka mulut, itu tandanya kebaikan telah menyertainya. Tidak sekali pun yang mereka ucapkan menjerumuskannya pada kemudaratan. Keduanya selalu menyertakan berkah untuk dirinya.“Wis, ayo,” ajak Kyai Dahlan. “Gus, kamu imami subuhan kali ini ya,” tutupnya meminta Khoiron mengambil alih tugasnya.*“Bu Nyai, wonten nopo nggih kulo dipanggil ke ndalem?”Seorang santriwati menghadap kepada Aisyah. Perempuan muda itu tak berani mengangkat kepalanya ketika berhadapan dengan istri Kyainya.“Lia, Bu Nyai mau minta tolong, ini Tatiana. Teman baru kalian.”Santriwati bernama Lia itu mengangkat kepalanya, memandang sosok yang namanya baru saja disebutkan. Ia tersenyum sembari menganggukkan kepalanya kecil, “saya Lia, Mbak,” ucapnya memperkenalkan diri.“Tatiana.”“Salam kenal Mbak Tatik,” ulang Lia, menyapa Tatiana.Mendengar nama indahnya berubah menjadi panggilan gadis kampung, seperti biasa, mulut tanpa rem Tatiana melayangkan kata mutiara andalan. Seekor hewan peliharaan yang kerap dijadikan penjaga rumah lolos dari bibir ranumnya.“Tatiana!”“Um-Umi,” gagap Tatiana. “Tiana nggak sengaja. Dia yang mulai duluan,” rengeknya. Masa hukuman karena war-nya dengan anak Nyai-Nyai di depannya saja belum ia kerjakan. Sekarang ia malah kembali kelepasan.‘Umi?’ batin Lia, memikirkan panggilan yang teman satu jawatnya sebutkan untuk memanggil Aisyah. Di pondok pesantren Al Hidayah, hanya keluarga yang memanggil perempuan ayu itu dengan sebutan Umi. Semua santriwan dan santriwati memanggilnya dengan panggilan Bu Nyai— mengingat perempuan itu merupakan istri dari Kyai mereka.‘Apa kerabat jauhnya Bu Nyai, ya?’ pikirnya, ingin tahu.“Umi loloskan untuk yang ini,” Aisyah menghela napasnya. Seperti kata suaminya, ia tidak boleh terlalu keras mendidik Tatiana. Anak itu harus diajarkan dengan segenap kasih sayang, dianggap anak sendiri agar merasa nyaman dan ikhlas menapaki kehidupan barunya.“Jadi lupa kan Umi,” decak Aisyah, lalu mengembalikan atensinya kepada santrinya. “Lia, Tatiana sedang Bu Nyai hukum. Tolong kamu temani karena Zahra sekolah. Dilihatin saja. Kamu nggak sedang sibuk kan, Nduk?”“Mboten Bu Nyai, kebetulan saya sudah setor hafalan ke Ustadzah. Sedang libur kuliah juga.”Kuliah?!Tatiana menunduk. Ia jadi rindu Brandon dan teman-temannya yang lain.“Kenapa, Nduk?” tanya Aisyah peka terhadap perubahan Tatiana. “Sudah to, jangan sedih terus. Kenalan sama Lia. Dia setiap hari ke ndalem bantu-bantu Umi. Jadi kalau Zahra sekolah, kamu masih ada temennya.”‘Lia bisa gue sogok nggak ya? Biar gue bisa nyebat? Ngutang dulu ampe setahun ntar gue bayar,’ pemikiran licik itu bersarang usai Tatiana teringat akan nasib bungkusan rokok-rokoknya.Oh, pemilik semesta alam. Mulut gue kecut, paru-paru gue nggak smile— Tatiana memejamkan matanya, kedua tangannya terentang ke depan. Dadanya membusung tinggi, “nyebaattt!!” Tuturnya, tidak dalam hati.Hal tersebut membuat Aisyah geram. Ibunda Khoiron itu menarik daun telinga Tatiana dari luar jilbabnya. “Ada-Ada saja kamu, Tatiana! Sudah! Umi aja yang jagain kamu langsung,” ia menyeret Tatiana, diikuti oleh Lia dibelakangnya.“Umi sakit, Umi! Aw, lepasin jewerannya!!” Terkutuk Anjing! Mama nggak pernah begini!Apa yang Aisyah lakukan sukses menarik perhatian santri-santrinya. Seperti Lia, mereka berbisik-bisik menanyakan siapa gerangan yang Aisyah tarik telinganya. Mengapa gadis itu sampai bisa memanggil Ibu Nyai mereka dengan sebutan Umi.“Umi, ini kenapa Tatiana dieret-eret begini?” Kyai Sholeh dan rombongan menghadang jalan sang istri. Beliau menanyakan sebab sang istri menjewer Tatiana.“Abi..”Abi?Bisik-Bisik tersebut semakin keras terdengar. Tidak hanya kepada Bu Nyai, namun kepada Pak Kyai pun panggilan itu berbeda.“Habis mengumpat lagi, Nduk?” Kyai Sholeh bertanya penuh kelembutan. Ia membelai puncak kepala Tatiana yang terlapisi jilbab.“Nggak Abi!”“Terus kenapa, hem?”“Lebih parah, Bi. Umi nggak bisa cerita disini. Nanti saja dirumah,” sela Aisyah. Ia tidak mungkin mempermalukan Tatiana dengan menceritakan jika gadis itu merokok. “Sekarang biar Umi hukum dulu, Tatiananya.”“Bi nggak mau bersihin toilet. Tiana nggak bisa! Nanti muntah,” ia memasang raut wajah memelas. Tatiana yakin Kyai Sholeh akan iba padanya. Tolonglah, adakan keajaiban. Membersihkan kamar saja ia memiliki pembantu di rumah. Kenapa di pesantren ia malah mendapatkan training untuk menjadi babu anyaran?Katanya belajar ngaji, wey?!Kyai Dahlan mendekat, ia melakukan hal yang sama pada kepala Tatiana, “Mbah ganti hukumannya, Nduk. Hafalan surah-surah sama Khoiron ya. Gimana?”Petir dan halilintar menyambar diri Tatiana. Ditengah teriknya panas matahari pagi, Tatiana merasakan kobaran api yang membakar tubuhnya.“Bersihin kamar mandi aja, Mbah,” pilih Tatiana mantap. Ia lebih rela disebut sebagai babu semok-semlohay dibanding mati berdiri karena kesal dengan anak teman papanya. “Umi,” Tatiana meraih lengan Aisyah, “ayo Umi! Kita bikin cling toiletnya.”Kyai Dahlan tertawa— sebuah pemandangan yang hampir jarang dinikmati khalayak umum. Pria paruh baya itu sampai mengetuk-ngetukan tongkatnya ke tanah.“Mpun Aisyah, dibawa masuk ke ndalem lagi cucuku. Mosok ayu-ayu dikon ngosek WC. Dihukum berdiri saja satu kaki, sambil hafalan. Abah yang jagain bareng Khoiron.”‘Dia lagi,’ bibir Tatiana mengerucut. Mengapa semuanya serba manusia muna-puck itu? Apakah ia sedang terkena kutukan?Bagaimana caranya untuk melepaskan diri jika ia memang benar-benar dikutuk?!“Hahaha, Cah Ayu. Nggak ada yang mengutuk.”Selorohan Kyai Dahlan membuat diri Tatiana terperanjat. Gadis itu mematung dengan saraf-saraf tubuhnya yang tegang. ‘Mbahnya bisa baca pikiran gue, Anjrot!’ Sadar telah berkata-kata kurang ajar, Tatiana menampar mulutnya secara mandiri.Tawa Kyai Dahlan meledak lagi— membuat keluarga intinya tersenyum senang. Kedatangan Tatiana di rumah mereka, meredakan lara di hati sang Kyai besar karena kepulangan istrinya ke pangkuan Sang Khalik.*“Nggak bisa Surah Al Ikhlas?”Kyai Dahlan memukul meja di depan Khoiron dengan tongkat bambu yang dirinya genggam. “Khoiron,” tegurnya. “Memang kenapa kalau Tatiana belum bisa? Sudah menjadi tugas kita mengajari sampai dia hafal,” timpalnya sebelum memalingkan wajah, “jangan dimasukan ke hati ya, Nduk. Nanti biar Khoiron, Mbah yang marahi.”Tatiana mengacungkan 2 ibu jarinya. Ia bahagia karena memiliki antek-antek terkuat di bumi. Hidupnya sepertinya tidak akan terlalu menderita di pondok pesantren. Ia mempunyai Kyai Sholeh dan Kyai Dahlan dibelakangnya.‘Backingan gue nggak maen-maen ya! Mantabs jiwa!’ Kikiknya.“Paringi contoh, Khoir. Putu wedok ku ndak boleh dihukum lebih dari angkat kaki. Mbah mau masuk dulu,” amanatnya lalu menarik diri.“Angkat lagi kaki kamu, Mbak Tatiana! Hafalan dulu baru bisa diturunkan!”Rasengan Tatiana kirimkan melalui pelototan matanya. “Siapa lo?” bentaknya menantang Khoiron. Di rumah yang ia tempati sekarang, Tatiana hanya akan menurut pada 3 manusia.Pertama, Kyai Sholeh.Kedua, Umi Aisyah,Terakhir, Kyai Dahlan. Selebihnya tak boleh mengaturnya.“Haruskah saya memanggil Mbah Yai agar kembali ke sini?” tantang Khoiron balik.Tatiana mengacakkan lengannya dipinggang, “nantangin ya lo,” berangnya sembari melangkah lebar.Khoiron pun memasang kuda-kudanya. Ia sudah siap berlari, mengamankan diri jika seandainya Tatiana ingin menyentuh tubuhnya. “Mbak, tolong jangan mendekat,” halaunya menjulurkan tangannya.Khoiron panik. Ia langsung menyambar sebuah buku, menjulur-julurkannya ke arah Tatiana. “Demi Allah, Mbak. Jangan! Kita tidak boleh bersentuhan,” terdapat getar dalam suaranya dan itu membangkitkan setan-setan di dalam diri Tatiana.Iblis yang bersemayam itu melahirkan seringaian di wajah cantik Tatiana. Roket kejahilan terpasang untuk lepas landas. Khoiron dimatanya tampak seperti anak ayam yang akan disembelih. Tatiana suka sekali melihatnya.Akhirnya! Dendam kesumat itu bisa dicicil pelunasannya.“Muehehehe..”Tatiana si atlet lompat jauh dadakan, menyingsingkan gamisnya sebatas paha. Gadis itu melompat tepat dihadapan Khoiron, membuat sang pejantan jatuh terduduk bersandarkan tembok ditengah ketidakberdayaannya.“Abis ini mandi besar lo, Bosque! Gue akan mengotorimu wahai manusia sok suci!!” Tatiana memenjara kedua pipi Khoiron. Menangkupnya erat-erat, memastikan buruannya tidak akan terlepas.“Ya Allah, Ya Allah,” tukas Khoiron berulang kali mengingat Sang Maha Kuasa. Matanya terpejam dengan bibir dikulum.“MUAAAACHHH!!”“Allahuakbar!! Tatiana, Khoiron! Apa yang sedang kalian lakukan?!”Tatiana yang kaget tak dapat menahan bobot tubuhnya. Gadis itu terjatuh ke atas pangkuan Khoiron.“Abi ada ap… ASTAGFIRULLAH! KALIAN!”– itu suara Aisyah. Disusul dengan perintah tegas Kyai Dahlan yang menyusul setelah dirinya, “nikahkan mereka berdua!”“Anying! Nggak mau!!”“TATIANA!!!” [5] Mati Aja Gue, Nyet!“Nggak mau! Tiana nggak mau nikah sama dia!!”Tatiana kabur. Ia mendorong tubuh Aisyah, mencari celah supaya bisa berlari menjauh. Sumpah menikah muda tidak pernah ada di dalam kamus Tatiana. Ia dibuang papanya untuk berguru, mencari kitab suci ke barat, bukannya dipinang dengan bismilah oleh pria yang dirinya benci.“Le! Kok malah dlongop! Dikejar calon istrimu,” sentak Kyai Sholeh melihat keterdiaman putranya.Jujur— Khoiron masih belum dapat mengumpulkan nyawanya. Kesadarannya seakan ditarik naik ke awang-awang, setelah mendapatkan perilaku tidak terpuji santriwati sang ayah. Pria itu mengerjap, mencoba menata puing-puing jiwanya yang berserakan ke segala arah.“Ya Allah,” desah Kyai Sholeh.“Umi, tolong. Minta bantuan ke anak-anak. Tatiana nggak tahu daerah sini, Umi,” kepanikan menjalari Kyai Sholeh. Ia takut hal buruk menimpa Tatiana. Putri sahabatnya itu dititipkan kepadanya, menjadi amanah yang begitu besar untuk dirinya jaga.“Ndak akan jauh, nanti dia papasan dengan Zahra,” ucap Kyai Dahlan menenangkan keresahan anaknya. “Kamu lebih baik hubungi orang tua Tatiana. Mintalah putrinya kepada beliau, Nang. Sudah sepantasnya mereka dinikahkan.”Umi Aisyah menatap sendu putra kebanggannya. Tersimpan rasa tidak rela, tetapi apa yang dapat dirinya lakukan. Keduanya tak hanya saling bersentuhan dan mereka menjadi saksi atas apa yang anak-anak muda itu perbuat.“Anakku,” lirih Umi Aisyah, merengkuh tubuh Khoiron, “yang sabar ya, Le. Ujian kamu,” bisiknya sembari mengusap punggung sang putra.“Nggih, Umi.”Kepasrahan tersebut justru meledakan tangis Umi Aisyah. Putranya yang bagus menikah dengan Tatiana— gadis yang ditatar saja masih begitu sulit. Akan menjadi seperti apa rumah tangga mereka kelak? Mampukah putranya membimbing calon menantunya itu?“Assalamualaikum.. Umi, Abiii!” Jeritan Zahra terdengar. Gadis dengan seragam SMA-nya itu berlari memasuki area ndalem. “Mbak Tatiana!” Zahra melambai-lambaikan tangannya mengarah pada pintu luar ndalem, “Mbak mau bunuh diri nyemplung kolam lele!!”Khoiron mengusap wajahnya. Mimik mukanya yang keruh semakin terlihat carut-marut, mendengar informasi dari adik perempuannya. Apalagi yang gadis kota itu lakukan sekarang— pikir Khoiron.“Abi, kalau sedo kepatil lele, pripun Bi?”“Innalillahi, Zahra! Ampun bilang begitu, ndak elok, Nduk,” Kyai Sholeh menegur lembut putrinya yang berkata sembarangan.Pasalnya ucapan merupakan sebuah doa. Tidak baik berkata sesumbar. Bagaimana jika ucapan buruk tersebut diaminkan oleh penghuni langit, lalu terjadi menimpa diri Tatiana?!Sungguh, mereka semua akan merasakan perasaan bersalah sepanjang usia.Sedangkan ditempat lain, Tatiana menimbang-nimbang keputusan. Haruskah ia melompat seperti apa yang dirinya katakan kepada Zahra.“Lompat tidak ya?” gumamnya, meragu.Tapi jika melompat, apa dia akan benar-benar log in ke alam lain? Kalau cuman mandi lumpur, bagaimana?!Dirinya kan lupa membawa ponsel untuk siaran langsung. ‘Nggak dapet benefitnya dong!’ Gemasnya teracuni oleh oknum-oknum peminta-minta yang sedang happening sekarang ini.“Kolam apaan sih ini? Ada ikannya nggak?” Tatiana melongokkan kepalanya, mencoba mengintip isi di dalam kolam.“Tatianaaaa!! Jangan lakukan itu, Nduk!!”“Mbak Tatianaa! Jangaaan!!”Teriakan dibelakang tubuhnya menyebabkan keseimbangannya tak terjaga. Tatiana oleng. Niat bunuh diri itu terlaksana walau ia telah mengurungkannya.Byur!!“Aw! We, Anjing! Apaan ini! Papaa!! Adoh! Syakiiit!! Ey, Bangsat!!”“Ya Allah, Nduk!” Cemas Kyai Sholeh menyaksikan tragedi di depan matanya. Keadaan ini jauh lebih buruk dari apa yang ia saksikan tadi di ruang keluarga.“Abiii, tolongin Tianaaa!!” Tangan dan kepalanya menyembul-nyembul ke atas permukaan air. “Ada yang sundut Tiana, Abiii!!”“Panggil santriwati!! Anak wedok ku!!”Belum genap dua puluh empat jam Tatiana diungsikan, sudah tak terhitung banyaknya kehebohan yang disebabkan olehnya.Para santri datang berbondong-bondong atas seruan Ning Zahra mereka. Semuanya tercengang hebat, namun tak pelak juga mencoba menyembunyikan tawa.Memerlukan waktu 15 menit untuk mengangkat Tatiana. Santri-Santri berjenis kelamin perempuan dikerahkan demi menolong calon menantu keluarga Kyai Dahlan. Mereka bersusah payah, menarik-narik Tatiana dan gadis itu berakhir pingsan, hingga dibawa ke rumah sakit terdekat.*Tatiana membuka indera penglihatannya. Gadis itu mengerang kesakitan, merasakan perih disekujur tubuhnya.“Papaaa!!” Teriaknya, menangis memanggil Januar. Ingatan akan dirinya yang tersengat patil ikan-ikan di kolam membuatnya ingin bertemu dengan sang papa. Tatiana ingin protes tentang jalan hidupnya yang kini menjadi sesat.Zahra meninggalkan sofa kala mengetahui Tatiana telah sadar dari pingsannya. Gadis cantik itu memberondong Tatiana dengan pertanyaan-pertanyaan seputar keadaannya sekarang.“Apa yang dirasa, Mbak? Zahra panggilkan dokter ya?”“Ra—,” panggil Tatiana tersendat oleh air matanya sendiri, “ badan gue kok rasanya bengkak, ya?”‘Ya Allah, Mbak. Memang bengkak. Mbak kan habis dipatil ikan lele,’ ingin rasanya Zahra menjawab seperti itu, akan tetapi ia tidak tega jika Tatiana akan semakin menangis nantinya. “Nggak kok, Mbak. Lebam-Lebam aja dikit, Mbak. Dipakein salep pasti hilang.”Tatiana tahu Zahra berdusta. Kondisi tubuhnya— ialah yang merasakan. Saat ini ia seperti tengah membawa tumpukan lemak, sayangnya lemak-lemak itu terasa begitu nyeri.“Mau pulang, Ra. Nggak mau di sini! Pengen ketemu, Papa,” cicit Tatiana memelas. Biasanya ketika sakit, papa akan langsung meninggalkan seluruh kegiatannya. Menemaninya di atas ranjang bersama sang mama. Tak peduli sedang melakukan rapat penting atau berada di luar negeri, pria itu tetap akan menjadikannya prioritas utama.Tapi sekarang?Kesedihan mencengkram diri Tatiana. Tidak ada papanya ketika ia membuka mata. Sosok asing yang baru dikenalnya-lah, yang menjaganya.‘Tiana senakal itu ya, Pah? Nyampe sakit aja, Papa nggak nengok ke sini?’ batinnya, semakin membuat ruang-ruang di dadanya menyempit, menebalkan rasa sakit yang dideritanya.Zahra menjadi begitu iba melihat ekspresi sedih Tatiana. Anak kedua Kyai Sholeh itu berniat menghapus air mata calon kakak iparnya. Namun hal tersebut ia urungkan karena pintu ruang perawatan yang terbuka dari luar.“Sudah siuman?” tanya Khoiron bukan kepada pasien yang harus dirinya jaga, melainkan pada sang adik. Ekor matanya melirik Tatiana yang dibalas gadis itu menggunakan pelototan maut.Cepat sekali mood Tatiana berubah jika berhadapan dengan Khoiron. Entah apa yang membuatnya begitu mendendam pada pria beraura hangat itu— yang Tatiana tahu, pria itu-lah sosok yang membuatnya harus terjerat dan ditinggalkan oleh orang tuanya.“Sampun, Mas. Nembe ntes siuman, Mbak Tatiananya.”“Dek, Mas mau bicara dengan Mbak Tatiana, tapi kamu tetap di sini ya,” pinta Khoiron, melarang adiknya untuk pergi meski ia ingin membahas perihal penting, bersama gadis yang sebentar lagi akan berubah status menjadi pendamping hidupnya.“Nggih, Mas. Adek duduk di sofa kalau gitu.”Khoiron sempat menepuk puncak kepala Zahra ketika sang adik melewatinya. Ia menempati kursi disamping brankar Tatiana. “Mbak..”“Lo kalau ngajak ngomong, tatap orangnya! Ngomong sama semut lo!”Hohoho... Rasa sedih akibat merindukan papanya sudah sirna, ditelan kobaran kejengkelannya yang terpendam pada diri Khoiron.“Maaf Mbak. Untuk sekarang biarkan saya tetap menundukan pandangan. Saya akan memandang Mbak Tatiana, setelah Mbak Tatiana halal untuk saya.”Tatiana menyibak selimut yang membungkus kakinya, membuat Khoiron semakin menunduk dalam.“Lo kira gue makanan, Hah? Harus ada sertifikat halalnya?!”Zahra— Adik Khoiron itu mencengkram ponselnya. Bukan karena marah sang kakak diperlakukan kasar. Gadis itu hanya sedang mengontrol keinginannya untuk tertawa. Calon kakak iparnya begitu lucu masalahnya.“Bukan begitu, maksud saya selepas saya menikahi, Mbak Tatiana,” jelas Khoiron.Khoiron tidak menyalahkan tindakan Tatiana kepadanya. Ia memahami benar dengan apa yang dinamakan garis takdir manusia. Ia tak ingin menghindar, apalagi menyangkal ketentuan yang digariskan untuk dirinya. Sebagai makhluk, ia akan mengikuti apa yang Tuhannya tetapkan untuk dirinya. Menjalaninya dengan keikhlasan agar mendapat keridhoan-Nya.“Emang siapa yang mau nikah sama lo? Gue sih, no ya!” Tatiana mengibaskan tangannya yang tidak tertusuk oleh jarum infus. Gadis itu tampak seperti Anang yang tengah menolak calon peserta audisi ajang pencarian bakat.“Saya yakin, Mbak Tatiana cukup dewasa. Mbak pastinya mengerti kalau sebuah tindakan memiliki konsekuensi.”“Nggak usah lebay deh. Ciuman itu wajar kok! Bukan cuman lo yang gue cium.” Setidaknya Tatiana tidak berbohong. Dahulu ketika ia masih memakai pampers, ia suka sekali mencium pipi gembil Brandon— sahabatnya.“Ap-pah?” tanya Khoiron, tertegun.Tatiana bersikap tenang. Ia justru menampakan kepongahan di depan laki-laki sealim Khoiron. Menurutnya Khoiron pasti akan langsung jijik kepadanya. Hal tersebut begitu Tatiana nantikan. ‘Nehik ya kalau gue kawin ama bentukan macem dia! Ganteng sih, tapi nggak menantang!’ Ia menilai Khoiron dari atas ke bawah.‘Cupu banget elah! Masa kemana-mana pake baju koko! Dikira lagi lebaran apa!’ Tatiana geleng-geleng kepala, ‘sama Brandon aja kalah jauh!’ Sudut bibir kanan Tatiana berkedut usai membandingkan Khoiron dengan sahabatnya.“Kita lupain aja deh kejadian itu! Nggak perlu nikah-nikahan segala! Hidup di zaman apa sih kalian!” Decak Tatiana. Ya kali hanya karena sebuah ciuman ia dinikahkan secara paksa? Dengan orang yang dibenci pula-lah!Khoiron mengucapkan istighfar di dalam hatinya. Mungkin itu istighfar yang ke ribuan kali setelah ia mengenal Tatiana.“Tidak bisa Mbak,” jawab Khoiron tegas, “Mbak adalah satu-satunya perempuan, yang bagian tubuhnya saya sentuh secara intim. Saya tidak mau lebih berdosa lagi jika tidak mempertanggung jawabkan dosa-dosa kita.”“Gue tuh cuman mau nakut-nakutin lo aja, ya!! Bukannya mau nikah sama lo!!” Rengek Tatiana mulai kehilangan cara untuk membatalkan pernikahannya. “Gue masih delapan belas tahun! Masih pengen happy-happy!”“Setelah menikah nanti, kita bisa bersenang-senang bersama, Mbak. Tentunya sesuai dengan hadis dan apa yang telah ditentukan sebagai batasan di agama kita.”“Mati aja gue, Nyet!!”Apakah ini yang disebut karma dibayar tunai?[6] Gus Mau Lapor PolisiNiat Khoiron meminang Tatiana sudah bulat. Ia memang tidak memiliki perasaan apa pun terhadap gadis itu. Mengenalnya pun baru satu hari. Pertemuan-Pertemuan mereka pun tak pernah berjalan baik. Selalu ada ketegangan yang menyertai perjumpaan itu. Sejak awal bertemu, sinar permusuhan bahkan selalu ditampakkan untuk dirinya.Namun sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab, ia harus dapat memperbaiki kesalahan— yah, walau kesalahan tersebut jelas tidak berasal dari dirinya. Tapi dirinya jelas diseret masuk ke dalam lembah dosa yang sama. Kepada perbuatan yang tidak semestinya dilakukan seorang insan yang belum terikat tali pernikahan.“Nak Khoir, saya rasa tidak perlu. Kamu tidak harus mengorbankan diri karena kenakalan putri saya.”Dua jam setelah sahabatnya memberikan kabar mengenai tindakan nekat sang putri, Januar langsung bertolak menuju Semarang. Bersama sang istri, ia pergi menggunakan pesawat dari Jakarta. Melakukan penerbangan singkat lalu dijemput oleh anak sahabatnya di bandara Ahmad Yani.Pemuda yang menjadi korban kenakalan putrinya itu masih menyempatkan diri untuk menjemputnya. Merelakan waktu istirahat-nya yang berharga untuk berpekur dengan perjalanan, yang teramat jauh dari lokasi pondok pesantrennya.Memang— Usai memberitahukan jika keduanya akan menikah, Khoiron berpamit. Menitipkan Tatiana dibawah pengawasan adiknya, Zahra selagi ia menjemput kedua orang tua calon istrinya. Ia tidak dapat berlama-lama, sebab ada urusan penting yang harus segera diselesaikan.Dan saat ini, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang tamu ndalem. Berniat membicarakan tentang pernikahan Tatiana dan Khoiron yang harus segera dilaksanakan.“Mas Sholeh, ndak perlu seperti ini,” ucap Januar, merasa tak enak hati. Belum lama kakinya memijak tanah Jakarta, putrinya bahkan sudah membuat keributan yang sangat besar. Rasanya ia tak lagi memiliki muka di hadapan keluarga sahabatnya.“Khoiron cuman korban kenakalan anakku, Mas. Kasihan dia kalau harus menikah dengan Tiana,” bujuk Januar. Ia mengenal perangai putrinya. Perbedaan diantara keduanya seperti langit dan bumi. Membayangkan putra sahabatnya mati berdiri karena kenakalan-kenakalan putrinya, rasanya Januar tak sanggup.“Papa!! yang korban disini itu, Tiana!” Tatiana yang tidak terima dengan kalimat papanya memprotes. ‘Apa sih gue cuman nyium, terus disuruh kawin. Di sini gue korban sesungguhnya, ya! Gue dijebak ini!’ batinnya, mengamuk dengan seluruh emosi yang membuat kedua pundaknya bergerak naik-turun.“Diam Tiana! Kamu malu-maluin, Papa! Gimana bisa kamu bilang korban, kalau kamu yang nyosor Nak Khoiron, heh?!”Tatiana menunduk, apa yang dikatakan papanya benar adanya. “Kan cuman bercandaan, Pah,” cicitnya takut akan kemarahan Januar. Pria itu tadi menatapnya berang.“Melecehkan seseorang itu bukan bahan bercanda, Tatiana Sujatmiko!”Nama panjangnya telah disebutkan— pertanda bahwa Januar memang berada pada titik emosi yang tak mungkin bisa Tatiana redam.“Pah, sudah, kita di rumah orang,” bisik Soraya, mencoba menenangkan suaminya. Sembari membelai lengan Januar, wanita itu meminta sang suami untuk beristighfar. “Anak kita satu-satunya itu, Pah.”“Mas sampun, ndak apa-apa. Khoironnya juga sudah setuju, Mas.” Kyai Sholeh menengahi. “Tatiana,” panggilnya begitu lembut, “menikah dengan anak Abi ya, Nduk?” Pria itu lantas menjelaskan sebaik apa Khoiron selama ini memegang teguh larangan-larangan agamanya. Tak sekali pun anak itu berani mengangkat pandangannya kepada lawan jenis untuk menghindari zina mata dan hasutan setan yang terkutuk.“Papa bilang Tiana cuman setahun di sini. Kalau nikah, kapan Tiana bisa nyelesain kuliah Tiana?” tanya Tatiana, memelas. Menikah sama saja ia dibuang untuk selama-lamanya. Ia tak mau menanggapi cerita Kyai Sholeh tentang pemahaman putranya itu. Bukan urusannya.“Papa pasti nggak ngajuin cuti ke kampus Tiana, kan? Nanti Tiana di drop out!”“Huwaaa!!” lagi-lagi gadis itu menangis. Kali ini keras sekali sampai-sampai Soraya disampingnya menutup kedua telinganya.“Gus, pripun?” Pandangan Kyai Sholeh jatuh kepada putranya yang sedari tadi berdiam. Segala keputusan ia serahkan pada anak sulungnya. Keteguhan itu dirinya yang memeluk erat.Kyai Dahlan mengetuk tongkatnya, hanya satu kali untuk mengambil atensi “Wis,” ucapnya. Ia ambil alih kerumitan yang tengah terjadi.“Mangkato kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan segala urusan calon istrimu disana, Khoiron. Setelah Tatiana lulus, boyong dia ke ndalem untuk ikut meneruskan pesantren kita.”“Abah,” Umi Aisyah hendak menyela, akan tetapi aksi itu tersebut dihentikan, dengan terangkatnya telapak tangan sang pemilik pondok.“Ini titah, Abah. Khoiron bisa mendaftar menjadi pengajar di kampusnya Tatiana. Menjaga istrinya dari jarak yang paling dekat.”Tatiana celingukan. Isakannya sudah berhenti, tergantikan oleh kebingungan yang melanda otak kecilnya.Mengajar?Memang se-tua apa laki-laki yang dijahili? Dia tidak terlihat seperti Om-Om yang bisa menjadi seorang dosen.“Nduk, Tatiana, Cucunya, Mbah.. Suamimu ini lulus dengan nilai terbaik di kampusnya. Gelarnya Master dibidang psikologi. Sudah lulus strata 2. Tentu saja selain gelar lain setelah pendidikan yang dia tempuh untuk bekal menjadi penerus Mbah dan Abi mu.”“Psi-Psi-Ko-Logi?” Beo Tatiana, tersendat-sendat. Pasokan oksigen di paru-parunya langsung menipis, membuahkan pias di wajahnya yang ayu.“Betul,” jawab Kyai Dahlan, mengulum bibir.Sial! Psikologi merupakan fakultas yang hampir satu tahun ini dirinya geluti. Bagaimana bisa semua ini terjadi? Kalau begini caranya, ia akan terus terjebak dalam cengkraman manusia bernama Khoi the munapuck Ron bin sok alim itu.“Wah, kebetulan sekali. Tatiana ini, dia mahasiswa psikologi, Pak Yai. Tapi apa tidak apa-apa? Sungguh saya sangat malu dengan perilaku tidak terpuji putri saya.” Seloroh Januar, mengungkap rasa bersalahnya.“Ngapunten sebelumnya Pak Yai, Tatiana sendiri saya kirim ke sini untuk belajar agama. Kalau kembali ke Jakarta..” Januar menggantung kalimatnya. Ia tidak tahu lagi harus berkata-kata yang seperti apa untuk menjabarkan maksudnya.“Sudah takdirnya mereka, Nak Januar. Begitu memang cara Gusti Allah mempertemukan dua jalan yang sebelumnya berbeda. Kamu tenang saja. Cucu lelakiku, dia lebih dari cukup untuk membimbing Tatiana. Apalagi dia akan leluasa mengarahkan Tatiana yang sudah menjadi istrinya.”“Sanggup to, Le?” tanya-nya, melirik Khoiron.“In Shaa Allah, Mbah.”“Kenapa nggak ada yang tanya Tiana?” Gadis itu berdiri sembari menatap satu per satu manusia yang seakan melupakan suaranya. “Tiana yang disuruh nikah, bukan cuman dia aja. Harusnya kalian tanya ke Tiana, mau apa nggak!”“Duduk!” Januar memelototkan matanya, meminta Tatiana kembali duduk. “Mah, paksa anakmu duduk!”Soraya menghela napasnya. Kacau, Kacau! Putrinya memang sulit sekali diatur sampai menimbulkan bencana sedahsyat ini.“Sudah dicarikan jalan tengah, kamu bisa meneruskan sekolahmu, Nduk. Apa lagi yang memberatkan?” Welas asih itu selalu Kyai Dahlan berikan untuk Tatiana. Tak ada yang mengetahui mengapa pria itu begitu menyayangi Tatiana walau baru bertemu.“Tiana nggak suka dia, Mbah!!” jawab Tiana menunjuk Khoiron disamping Kyai Sholeh. “He is not my type, ya!”“Cucu Mbah kurang ganteng apa?” selidik Kyai Dahlan. Padahal banyak perempuan datang berharap dapat meminang Khoiron untuk dirinya.“Em, ya ganteng sih,” gumam Tatiana. Secara tampang musuh bebuyutan terbarunya ini memanglah oke. Tatiana tak mau berdusta soal itu.“Terus? Kok tetap ndak mau dinikahi, Nduk?”“Ndeso alias kampungan!”“TATIANA!” teriak Januar dan Soraya bersamaan. Mulut ceplas-ceplos Tatiana ini sungguhlah bumerang. Bisa-Bisanya dia asal membuka rahang. Di depan keluarga manusia yang dia cela lagi. “Behave! Kamu pikir dengan siapa kamu berbicara!” timpal Januar memperingati anak semata wayangnya.“Hahahaha. Ora opo-opo. Biarkan dia berekspresi!!” Kyai Dahlan tertawa.“Makanya mau menikah dulu dengan Khoiron. Nanti kamu lihat bagaimana tampannya cucu Mbah, Nduk. Apalagi kalau sudah berpakaian seperti orang kantoran. Mbah yang tua ini saja kalah.” Kelakar Kyai Dahlan.“Ya iyalah! Mbah udah tu.. Aw! Mamaaa!” Jerit Tatiana karena Soraya mencubit pahanya.Ditempatnya Umi Aisyah meluncurkan granat melalui ekor matanya. Calon menantunya ini— tunggu saja. Nanti ketika sudah tergila-gila dengan putranya, setiap detiknya ia akan mengejek sampai lubang telinganya mengeluarkan asap. ‘Astagfirullahaladzim, kok jadi mendendam saya, ya Allah.’“Maaf Mbah menyela, kalau Mbak Tatiana menolak mempertanggung jawabkan perzinahan kami, terpaksa, mohon maaf sekali. Saya akan melaporkan tindakan pelecehan yang saya terima ke pihak berwajib,” ujar Khoiron tak main-main. Ia tidak hanya melakukan gertakan. Ada dosa yang membayang-bayangi langkahnya. “Tindakan tersebut terekam CCTV pastinya dan bisa saya ajukan sebagai barang bukti untuk kasus penyerangan dan pelecehan seksual.”“Apa?” pekik semua orang kaget, mendengar penuturan Khoiron. Sedang di kursinya Tatiana langsung menegakkan punggungnya.“WEI ANJING! Bangsat ya, lo!” Makinya ingin memarah-marahi Khoiron yang benar-benar sangat lebay hanya karena sebuah ciuman.“TATIANAAAAAA!!!”Tatiana mengkerut takut. Ia ingin lari sekarang. Sejauh mungkin. Kalau perlu sampai ke Bekasi– planet terdekat yang bisa dirinya tuju dengan sekali pemberangkatan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan