NIE (8-14)

3
0
Deskripsi

Tenang, masih gratis. Maka dari itu, bantu support dengan like & comment ya reader's👍😉

Part 8 : Tamu Tak Di Undang.

 

 

SF Café, 08.25.

          
Jeno tidak berhenti menatap Sera yang juga tidak melepaskan pandangan dari Hana. Apa dia suka Kakaknya? Pikir Jeno absurd. Kita tidak tau Sera itu seperti apa bukan?
          
"Lama-lama kepala Kakak Gue bolong Lo tatap kayak gitu." Celetuk Jeno.
          
Sera yang merasa tertangkap basah jadi gagap. "A---apa?" Sera beralih menatap Jeno. Ia langsung mengingat kejadian di bandara.

"Lo!" 
           
"Ya?" Jeno bingung dengan tatapan kesal Sera padanya.
          
"Lo orang yang nendang koper Gue di bandara tadi?!" Maki Sera naik darah.
          
Jeno malah tersenyum sarkas. "I see... berarti Lo yang marah-marah nggak jelas itu?" Tebaknya.
          
"Marah nggak jelas? Semua itu karena salah Lo! Dasar tidak tau diri!"
          
"Hei! Jaga ucapan Lo itu!" Balas Jeno tak terima dihina.
          
"Jeno!" Tegur Hana. Pasalnya, Adiknya itu ikut meninggikan suaranya.
          
"Dia yang duluan mulai. Gue nggak salah, Kak. Bukan Gue yang nendang juga!" Jeno membela diri. Intinya dia tidak salah.
          
"Lo bisa tarik nafas dulu nggak?" Melihat Hana mengepalkan tangan membuat Jeno bergidik ngeri.
          
"B---bisa." Jawab Jeno gagap.
          
"Coba jelaskan masalahnya." Pinta Enwu. Bagaimana pun juga, tidak baik adiknya dan adik Hana bermusuhan. Mereka sekarang adalah keluarga.
          
Sera mulai bercerita ketika dia tengah menunggu penerbangan, seseorang tiba-tiba lari di depannya dan dengan sengaja menendang koper miliknya hingga terpental dan membuat bagian samping retak. Pemuda itu lari begitu saja tanpa rasa bersalah, apalagi minta maaf.
          
"Itu bukan Gue!" Bentak Jeno murka.
          
"Hoodie-nya warna hijau kayak Lo ini." Sera balik memaki Jeno.
          
"Eh, ladies. Yang punya hoodie hijau di dunia ini bukan cuma Gue doang kali." Gerutu Jeno.
          
"Sepatunya warna putih!" 
          
Jeno mengangkat kakinya ke atas meja makan. Untung tidak sampai terkena ke makanan. "Sepatu gue warna hitam." Ucapnya menang telak. Terbukti sudah Sera yang salah orang.
          
Enwu menghela nafas berat. "Berarti hanya kesalahpahaman. Sera, kamu minta maaf pada Jeno." Pintanya.
          
Sebagai adik yang penurut, tentu saja Sera menurut. "Maaf Gue salah." Ucapnya.
          
"Lo juga minta maaf karena juga marah-marah." Kali ini Hana yang minta pada Adiknya.
          
"Kok Gue juga sih?" Jeno merasa tidak terima jika dia juga harus meminta maaf.
          
"Mau minta maaf nggak nih?" Tanya Hana sambil memberi kode dengan melirik buku menu yang tergeletak di hadapanya. Jangan bilang Hana mau memukulnya lagi dengan buku menu itu, erang batin Jeno.
          
"Maaf." Jeno pasrah.
          
"Eh, Umur Sera berapa memangnya?" Tanya Hana ramah. Tapi, yang namanya Sera tetap tidak bisa merasa bersahabat dengan sikap baik Hana.
          
"Sembilan belas tahun." Jawab Sera cuek.
          
"Oh, lebih tua setahun dari Jeno. Panggil Sera Kakak ya Jen." Ucap Hana sampil menepuk bahu Jeno.
          
"Ogah!" Tolak Jeno.

 

💐💐💐

   

 

Hana baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Perutnya tiba-tiba merasa sakit begitu sampai di sarang cinta. Mungkin karena efek samping makan makanan yang tidak sehat untuk jadi sarapan. Tapi, kenapa Jeno baik-baik saja? Padahal makanan mereka sama. Hell... Hana yang berusia dua puluh ini terlalu muda untuk mudah terserang penyakit.
          
"Itu akibat kamu sarapan tidak sehat, dan bahkan minum minuman bersoda di pagi hari." Enwu mulai memberikan ceramah singkatnya.
          
"Kamu jangan buat perut Aku tambah sakit bisa?" Keluh Hana.
          
"Kak, Gue boleh menginap disini nggak? Malas pulang kerumah, jauh." 
          
"Aku juga, Bang. Aku juga belum mau pulang ke rumah." Imbuh Sera ikut-ikutan. 
          
"Kenapa kalian kompak begini?" Tanya Hana curiga. Jangan bilang mereka mau menumpang terus menerus di rumahnya? Oh no!
          
"Tentu saja boleh. Tapi, karena kamarnya cuma ada dua. Jeno tidur denganku dan Sera tidur dengan Hana." Jelas Enwu.
          
"Kalian ini mengganggu pengantin baru saja." Gerutu Hana.
          
"Hana." Tegur Enwu. 
          
Hana tidak mengidahkan ucapan Enwu, Dia malah melanjutkanya. "Kami mau skidipapap jadi tidak bisa." 
          
"Kakak!" Protes Jeno emosi. Bisa tidak membahas sesuatu yang membuatnya traveling?
          
Enwu menepuk jidatnya. Istrinya bukan wanita biasa, tapi luar biasa!
          
Berbeda dengan Sera. Hidung Gadis itu terlihat kembang-kempis mendengar ucapan Hana barusan. Menyadari jika mereka adalah suami-istri membuat kenyataan menamparnya. Sera sudah tidak bisa berbuat apa lagi. Enwu sudah di nodai oleh Wanita itu.
          
Ting! Tong!
          
"Siapa lagi yang bertamu?" Ucap Enwu.
          
"Memangnya tadi ada tamu?" Tanya Hana. Perasaan baru Jeno dan Sera yang mereka bawa.
          
"Aku kira tamu, ternyata Sera." Jelas Enwu.
          
"Oh."
          
Hana memilih untuk beranjak membukakan pintu---yang tamunya tak lain adalah Mami dan Mertuanya. Aneh. Kenapa kedua Wanita paruh baya itu bertamu siang-siang begini sambil membawa dua paperbag. Apa itu kado pernikahan untuk Hana? Ah! Semakin penasaran, jerit batin Hana.
          
"Jeno?" Laura kaget melihat Putra Bungsunya ada disana.
          
Airin pun begitu, dia tidak tau Putrinya pulang. "Sera, kamu..."
          
Jeno dan Sera hanya bisa terkejut melihat Ibu mereka juga ada disana. Karena melihat Ibunya kebingungan berarti koper mereka belum sampai dirumah. Sial! Padahal Jeno dan Sera sudah memesan ojek online untuk mengirim koper mereka ke rumah. Ah! Atau memang Ibu mereka saja yang tengah berada di luar, makanya tidak tau.
          
"Mami sama Mama mau kasih hadiah pernikahan untuk kalian." Jelas Laura.
          
Senyuman Hana mengembang. "Oh ya? Apa itu?" Tanyanya penasaran. Dari tadi.
          
"Tara!" Laura mengangkat dua tiket ke udara.
          
"Tiket ke Seoul, Tokyo, dan Bangkok." Imbuh Airin.
          
Hana seketika mematung.
          
Hana tidak salah dengar bukan? Apa pendengaranya rusak? Oh tidak! Semua kota yang di sebut oleh Maminya adalah tempat yang selama ini ingin Hana kunjungi. Walau kaya raya, Hana tidak seperti anak konglomerat lainnya yang bebas liburan ke luar negeri. Dia tidak di perbolehkan oleh Ares. Papi yang selalu mengurung, memerintah, mengatur, dan membuat Hana menderita.
          
"Cinta Mama dan Mami banyak-banyak" Hana menghambur memeluk Laura dan Airin.
          
"Akhirnya Hana bisa pergi sesuka hatinya karena sudah punya Suami. Tolong jaga Hana untuk Mami ya, Wu." Pinta Laura sedikit terharu.
          
Enwu terlihat tidak bahagia sama sekali. Dia bahkan tidak tau akan melakukan perjalanan bulan madu. "Tapi___" 
          
"Soal pekerjaan biar Papa yang urus. Kamu seharusnya fokus untuk bulan madu. Kalian kan pengantin baru." Potong Airin.
          
Melihat ekspresi Enwu yang tidak senang membuat suasana hati Hana menurut. Tapi, dia tidak perduli. Yang Hana perdulikan saat ini adalah perjalanan bulan madunya. Kemana Hana harus pergi terlebih dahulu?
 

 

 

Part 9 : Perjalanan.

 

 

Sarang Cinta, 10.00.

Hana baru saja selesai meletakkan dua buah koper kedalam bagasi mobil. Satu kopernya, dan satu lagi koper Enwu. Cuma, koper Hana lebih besar ketimbang punya Enwu. Biasa, terlalu banyak barang yang Hana butuhkan. Enwu mana tau apa saja keperluan wanita.

Enwu yang baru saja masuk langsung menghampiri Hana. "Kamu mau liburan apa minggat?" Pertanyaan menohok Enwu keluar.

Nah, pasti nih, udah jelas Enwu akan mempertanyakan bentuk fisik koper Hana. Hei! Don't judge a book by it's cover Man! Isinya itu kebutuhan Hana semua.

Hana memutar bola mata, malas. "Terlalu pagi untuk mendengar ocehan kamu."

Jeno yang baru saja bangun, langsung ke area meja makan. "Kalian udah mau pergi?" Tanyanya, lalu duduk di kursi makan.

Jangan tanya wajahnya saat ini, hancur!

"Jen, nanti kalau mau pulang ke Mansio Mama, rumah ini jangan lupa dikunci." Jelas Hana.

"Siap, Kak!"

"Eh, Aku boleh nginap beberapa hari lagi kan?" Tanya Jeno memastikan. Tinggal di rumah Hana lebih enak ketimbang pulang ke mansion keluarganya.

"Terserah kamu. Kalau nyaman, tinggal aja dulu, sekalian jaga rumah kami." Tukas Enwu.

Jeno menggaruk kepalanya yang terasa gatal. "Berasa jadi satpam." Gerutunya.

"Cocok!" Seru Hana.

Jeno menepuk kening. Jodoh itu memang mencerminkan diri sendiri. Contoh saja Kakak dan Kakak Iparnya itu. Mirip! Perkataan mereka sama-sama menyakitkan. Untung hati dam jiwa Jeno kuat bagaikan baja. Coba kalau lemah dan tipis. Sudah kabur dia dari sana.

"Kakak masak apa nih?" Jeno memuka tudung kecil yang terletak di tengah meja makan.

"Salad." Jawab Hana. Dia sibuk menatap layar ponselnya sejak tadi. Sibuk memilih kota mana duluan yang hendak di tuju.

"Aku manusia, Kak. Bukan sapi dikasi sayur terus. Aku butuh lemak!" Rengek Jeno.

Hana berdecak kesal karena terganggu dengan rengekan lebay Jeno. "Makan di luar."

"Duitnya?"

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Enwu tiba-tiba saja meletakan kartu atm ke atas meja makan yang Jeno duduki. "Kamu boleh pake ini sampai kami pulang. Anggap saja bayaran jaga rumah." Tutur Enwu.

Tangis Jeno pecah. "Huaaaa Abang Iparku yang cakep, dan baik hati. Makasi Bang." Ucapnya sambil memegang atm Enwu dengan air mata bahagia.

Enwu menanggapinya dengan mengangguk. Tinggal bersama Jeno beberapa hari terakhir menyadarkan Enwu bahwa sifat Hana dan Jeno tidak ada bedanya. Jadi, sudah lumrah melihat ke-lebay-yan mereka.

"Ayo berangkat." Enwu beranjak pergi.

"I---iya, bentar!"

"Kamu hati-hati dirumah sendirian." Hana menghampiri Jeno yang tengah makan salad. Dia peluk Adiknya itu.

"Kakak juga, hati-hati dijalan."

Satu ciuman melayang ke kening Jeno. "Jaga rumah baik-baik adik-ku yang cakep." Ucap Hana lalu melepaskan pelukannya.

"Iya Kakak cantik." Balas Jeno sambil melambaikan tangan hingga bayangan Hana lenyap dari hadapannya.

Aneh. Tapi begitulah persaudaraan mereka. Jika bertengkar bisa heboh sekecamatan. Tapi, kalau mode sayang? Beuh, kalah mesra sama Jenner bersaudara.

Ponsel Jeno tiba-tiba bergetar. Saat dilihat, ternyata pesan dari sahabatnya, Jamie. Mereka bersahabat cukup lama. Dan saat ini Jamie pasti ingin curhat masalah perempuan dengannya. Tapi, Sorry saja, Jeno lagi tidak mau mendengar ocehan Jamie. Lebih baik Jeno memikirkan restoran mana yang akan di datangi untuk makan siang dan makan malam nanti. Ah! Apa dia perlu bawa gadis juga agar lebih seru?

💐💐💐
 


Sepanjang perjalanan, Hana tidak henti-hentinya bicara. Enwu hanya diam dan sesekali mengangguk mengiyakan. Semua isi ocehan Hana itu adalah tempat-tempat yang ingin Hana kunjungi. Dan itu terlalu membosankan bagi Enwu dengar. Lagi pula Enwu tidak mengerti sama sekali.

"Kamu dengar tidak?" Tanya Hana.

"Kita tengah di atas pesawat, Hana. Aku juga mengantuk." Lirih Enwu sangat-sangat mengantuk. Tapi, Hana tidak mau berhenti bicara. Padahal cerita itu sudah ia ceritakan di perjalanan menuju bandara. Sekarang, di atas pesawat pun cerita itu kembali diulang. Enwu bosan.

"Kamu gak boleh tidur. Aku gak bisa tidur soalnya." Titah Hana.

"Itu derita kamu."

"Kamu!" Bentak Hana kesal.

Beberapa penumpang VVIP menatap tajam ke arah Hana. Mungkin mereka merasa terganggu. Pasalnya hanya ada beberapa kursi di ruangan itu. Dan suara Hana hampir menguasai ruangan. Masalahnya Hana tidak berbisik atau pun pelan saat bicara, lebih tepatnya sedikit menjerit kegirangan.

"Lebay banget." Rutuk Hana sambil membalas tajam tatapan yang ditujukan padanya.

"Kamu diam makanya." Ujar Enwu lelah.

"Bodo!"

Enwu merutuki dirinya sendiri. Sangat sulit menerima karakteristik Hana. Sungguh menguras emosi dan tenaga.

"Aku mau menginap di hotel Grande pokoknya." Pinta Hana.

"Terserah kamu."

"Habisnya itu deket gedung GMM." Lanjut Hana.

"Aku nggak nanya tuh."

"Ish! Denger aja makanya!" Protes Hana.

"Bodo!" Balas Enwu tak kalah.

Satu tampolan keras dari Hana mendarat ke lengan Enwu. Cukup keras hingga membuat semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah mereka.

"Sakit!" Rutuk Enwu.

Hana mengedikan bahu. "Kamu yang salah." Ucapnya.

"Fine! Aku salah dan Kamu yang selalu benar!" Helaan nafas Enwu terasa berat.

"Nah... itu sadar."

Enwu menggeleng. Lebih baik Ia cepat tidur sebelum mendengar ocehan aneh Hana. Hidupnya sudah susah mengurus perusahaan. Ini malah di beri Istri beban. Kasihan sekali dirinya.

💐💐💐
 


Hotel Grande T, Bangkok, Thailand, 02.05pm.

Hana menatap langit-langit dari bali jendela kamar hotelnya. Terlihat gedung-gedung pencakar langit.

post-image-6363575c1da25.jpg


Apalagi ada kolam berenang private. Hana jadi teringat kejadian waktu malam pengantinnya. Dimana ia tenggelam karena keram perut. Sungguh menyedihkan, padahal Hana sangat suka berenang.
 

post-image-6363576b78e2d.jpg


"Aku mau berenang!" Rengek Hana.

"Nanti tengelam lagi." Ujar Enwu.

Hana mendengus. "Itu karena habis makan Aku langsung terjun. Makanya keram. Sekarang aku belum makan dan gak akan keram." Jelas Hana.

"Terserah kamu. Aku mau tidur lagi." Enwu mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Hana. Seperti ingin mengusir.

"Dasar kerbau," gerutu Hana pelan. Namun, dapat di dengar oleh telinga nyaring Enwu.

"Kamu bilang Aku apa?" Ucap Enwu.

Hana seketika berakting masa bodoh. "Apa? Aku gak ngomong. Telinga Kamu aja yang terlalu nyaring." Keluhnya.

Enwu tak mengidahkan ucapan Hana dan meringsut ke atas kasur. Honeymoon ini bagaikan libur bagi Enwu yang selalu sibuk. Tentu saja Enwu manfaatkan untuk tidur sepuas-puasnya. Jika kembali bekerja tidak akan ada waktu untuk tidur seperti sekarang.

Di kamar mandi Hana sibuk mengganti pakaian renangnya. Warna hitam. Warna kesukaan Hana. Karna kulitnya lumayan putih jadi lebih eksotis jika di padu-padankan dengan warna gelap.

Tak berlama-lama ia langsung terjun kedalam kolam. Sungguh terasa segar! Jerit batin Hana. Otaknya yang panas karena emosi pada Enwu mendingin karena air kolam.

post-image-6363578b097a5.jpg

Jika di pikir, apa Hana sedih Enwu tidur-tidur saja? Jawabannya salah! Hana malah senang. Anggap saja waktunya yang terbuang karena berada dalam sangkar yang dibuat Ares Abratama padanya akhirnya lepas. Hana merasa bagaikan burung yang bisa mengepakan sayapnya kemana pun ia ingin pergi. Dan itu karena pernikahannya dengan Enwu. Hana merasa bebas.

Enwu bagaikan pangeran berkuda putih yang datang kedalam hidupnya. Tapi, belum tentu Hana cinta. Hana hanya suka melihat wajah tampan Enwu. Apalagi mereka sudah halal. Ya... tidak masalah jika ingin lebih.

 

Part 10 : Bulan Madu.

 

 

Gedung GMMTV.

 

Langkah kaki Hana berhenti di depan gedung GMMTV. Gedung yang paling ingin Ia kunjungi selama ini, akhirnya Ia bisa menginjakkan kaki juga disana.

post-image-636358bc0eb83.jpg


"Ini gedung agensi?" Tanya Enwu tak tahu.

"Iya. Udah, Kamu jangan bawel. Ayo ikut masuk." Ajak Hana.

Melihat sticker, spanduk, maupun standee yang ada di gedung itu sudah membuat Enwu merasa sedikit risih. Kenapa ada dua cowok dengan emot lope-lope di sekelilingnya. Dan, kebanyakan dua pasang laki-laki. Tidak ada pasangan satu Wanita dan satu Pria tertempel disana.

Tak mau berpikir panjang, dan aneh-aneh. Enwu pasrah mengikuti Hana dari belakang. Dan begitu pintu lift di samping mereka terbuka lebih dahulu. Seketika itu juga Hana terkejut.

"Gyaaaa!" Jeritnya.

"Ada apa?" Tanya Enwu kaget.

"BaiWin!" Teriak Hana, lagi.

Bayangkan! Satu banding seribu keajaiban hingga Hana bisa bertemu dengan kedua idolanya itu. Apalagi ini pertama kali Ia ke Thailand, Bangkok, apalagi ke gedung gmm. Ah! Beruntung sekali hidupnya.

Kedua pemuda itu terlihat sibuk melihat ponsel.

Enwu mana kenal siapa BaiWin itu. Namanya saja baru tau sekarang, apalagi orangnya. Mana Enwu tau!

"Sawadee khaa, P'Bai, P'Win." Sapa Hana duluan.

Mereka yang tadinya sibuk melihat ponsel kini beralih menatap Hana. "Sawadee khrab." Sapa mereka berbarengan.

"Can i selfie with P'Bai and P'Win?" Tanya Hana dagdigdugser. Persetan dengan pelafalan bahasa inggrisnya yang aneh itu. Hatinya sudah tidak bisa di ajak kompromi lagi. Pokoknya Ia harus dapat berselfie dengan BaiWin. Titik!

Dilihat pun sudah jelas mereka adalah idola Istrinya itu. Wajah Hana bahkan sudah seperti kepiting rebus. Memerah.

"Sure, why not?" Jawab P'Win ramah. Tak lupa senyuman manis yang Ia keluarkan itu, beuh, Hana meleleh!

Pertama Hana selfie dengan mereka berdua, lalu foto selanjutnya Enwu yang jadi fotografer dadakan. Enwu sendiri tidak mau ikut berfoto dengan BaiWin. So, jangan salahkan Hana.

"Khob khun khab phi." Ucap Hana, lalu mereka pun pergi.

"Segitunya." Celetuk Enwu.

"Oh, jelas! Aku cinta mati sama BaiWin." Sosor Hana. Dan, malah di ketawai oleh Enwu. "Sayangnya mereka nggak kenal bahkan perduli jika kamu mati karena cinta sama mereka." Decaknya tak habis pikir. Jalan pikiran Hana ternyata lebih kecil dari cacing.

"Apaan sih! Bikin Badmood!" Bentak Hana. Kok bisa punya Suami modelan begini. Ia pikir Enwu itu pendiam dan berwibawa. Nyatanya malah cerewet begini. Untung tampan saja. Jika tidak, Hana mungkin akan membatalkan pernikahan mereka.

"Habis ini kita mau kemana lagi?" Tanya Enwu, begitu mereka sudah memasuki lift menuju lantai dua gedung tersebut.

"Aku mau beli merchandise 2gether." Jelas Hana.

"Iya, setelah itu kita kemana?"

Hana berpikir sejenak. "Bagusnya kemana? Aku kurang tau tempat wisata di bangkok selain gedung gmm." Terangnya dengan wajah tanpa dosa.

Enwu kembali tergelak. "Jadi Kamu minta ke Bangkok cuma mau ke gedung ini? Plus, ketemu dua orang tadi?" Tanyanya dengan nada mengejek.

"Cuma? Kamu bilang cuma?" Hana seketika melotot. "Cuma yang Kamu bilang itu sangat penting buat Aku." Decaknya kesal.

"Gampang sekali Mimpimu?"

Hana mengangguk.

"Apalagi sudah ketemu dan dapat berfoto dengan BaiWin. Impian Aku udah terkabulkan." Ujar Hana bahagia. Ah! Kenapa waktu berjalan begitu cepat. Hana mau kembali bertemu dengan Idolanya itu.

"Oke. Habis ini kita cari tempat untuk makan malam." Ujar Enwu finis.

"Oke!"

💐💐💐
 


Taxi yang berhenti tepat di depan pasar malam membuat Hana terpukau. Wah, baru kali ini Hana makan di luar dengan suasana ramai seperti ini. Apalagi tempatnya bagus dan nyaman.

"Ini dimana?" Tanya Hana.

"Jodd fairs. Tempat kuliner unik di Bangkok." Terang Enwu.

"Wah, pantesan banyak orang." Ujar Hana takjub.

post-image-63635903cfd39.jpg


"Kamu mau makan apa?" Tanya Enwu.

Hana malah mengedikkan bahu tidak tahu. "Terserah, yang penting enak dan mengenyangkan." Jawabnya.

"Oke, kita cari meja dulu. Baru pesan makanan." Ujar Enwu.

Hana pun mengangguk. Dan, mengekori Enwu dari belakang.

"Disini kosong." Ucap Enwu, setelah berhasil menemukan satu meja kosong.

"Silahkan duduk."

Hana mengangguk dan menurut.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk memesan makanan hingga makanan tersebut siap. Hana dengan lahap menyantap lobster serta kepiting. Seafood adalah makanan favoritnya. Yah, walau kadang-kadang sering membuat tenggorokkannya gatal setelah selesai makan. Cuma, tidak terlalu parah seperti alergi.

Disaat Hana tengah asik menyantap makanan-nya. Di meja seberang ada dua orang Wanita cantik yang menatapi Suaminya dengan tatapan lapar. Yah, namanya juga orang ganteng. Pasti banyak yang incar.

"Enak ya kalo cakep." Sindir Hana sengaja. Dan, Enwu tau betul jika dirinya lah yang kena sindiran.

"Maksudnya?"

"Tuh! Ada cewek cantik yang lirik-lirik Kamu."

"Cemburu?" Tebak Enwu.

Hana seketika berdecak.

"Cemburu hanya bagi orang-orang yang tidak mampu. Dan, aku mampu. Buktinya Aku yang jadi Istri Kamu, bukan mereka." Terang Hana.

"Tumben kata-kata Kamu benar." Pujian Enwu malah membuat Hana kesal. "Memangnya selama ini perkataan Aku salah?" Tanya Hana.

Enwu mengangguk.

Sialan! Umpat Hana dalam hati.

Kekesalan Hana terhenti ketika ponselnya bergetar. Melihat layar yang bertuliskan 'Tuan Besar' membuat nafsu makan Hana pun seketika hilang.

"Kenapa tidak diangkat?" Tanya Enwu penasaran.

"Tidak penting." Jawab Hana.

"Siapa memangnya?" Tanya Enwu, lagi.

"Daddy."

"Daddy yang telfon kenapa dibilang tidak penting?" Pertanyaan Enwu membuat Hana emosi. "Bisa tidak Kamu jangan banyak tanya?" Protesnya tak suka. Seakan Ia harus mejawab semua pertanyaan Pria itu. Kenapa harus? Hana tidak mau menjawab!

"Kenapa? Kamu nggak suka?" Tanya Enwu, kembali.

"Iya!"

Enwu menghela. Sifat keras kepala Hana bangkit. "Sudah sewajarnya Aku bertanya, Kamu kan Istriku." Jelas Enwu.

Hana tersenyum sarkas. "Kita itu di jodohkan. Jika kita menikah atas dasar cinta mungkin Aku akan cerita." Balasnya tak mau kalah.

"Apa kita perlu jatuh cinta dulu baru bisa menjalani pernikahan ini?" Pertanyaan Enwu dijawab anggukan oleh Hana.

"Pemikiran Kamu terlalu sempit." Sambungnya.

Seketika kening Hana berkerut. Sempit katanya? Dasar aneh. Mana ada orang hidup berumah tangga tanpa cinta? Apa Enwu tidak tau apa itu cinta atau tidak mau adanya cinta? Hana butuh masalahnya!

Bayangkan! Jika tidak ada cinta, bagaimana mereka berkeluarga? Apa mereka tidak akan pernah punya anak? Mungkin sekarang Hana belum mau hamil. Tapi, untuk beberapa tahun kedepan Ia juga mau hamil dan jadi Ibu.

Terlalu masuk kedalam pemikiran-nya, Hana malah jadi lupa untuk makan. Lantas saja Ia mengebut untuk menghabiskan makanan tadi. Pasalnya Enwu sudah selesai makan. Sepertinya Hana harus bisa bersabar menghadapi Enwu. Itu adalah ujian baginya sebagai Istri Pria itu. Semoga Hana bisa bertahan hingga akhir. Amin.

 

 

Part 11 : Pasrah.

 

 

Pemandangan dari balik jendela hotel sangat indah di malam hari. Hana yang baru saja selesai mandi memilih untuk memandangi kota bangkok dari balik jendela kamarnya. Jangan tanya Enwu, Pria itu sibuk dengan laptop dan ponsel tercintanya. Di lihat pun sudah jelas Pria itu lagi sibuk kerja.

"Besok pagi kita pulang." Celetuk Enwu tiba-tiba.

Tentu saja Hana kaget mendengarnya. "Apa?"

Enwu lantas menutup laptopnya dan meletakkan benda pipih itu ke atas nakas yang ada di sampingnya. "Mendadak ada masalah di kantor. Aku harus balik secepatnya." Terangnya.

"Kita baru sehari lho. Itupun belum cukup dua puluh empat jam!" Protes Hana.

Enwu menatap Hana dengan tatapan memelas. "Hana, mengertilah." Ucapnya.

"Aku bukannya nggak mau mengerti. Cuma, Kamu saja yang nggak mengerti." Kesal Hana. Padahal baru saja Ia merasa bahagia. Masa harus di rampas untuk pulang besok.

Perkataan Hana membuat Enwu menghela. Apa lagi yang harus Ia mengerti? Padahal selama ini Enwu yang selalu berusaha mengerti demi Hana. "Apa yang tidak aku mengerti? Coba sebut," Tanya-nya.

Hana beranjak mendekati tempat tidur---dimana Enwu duduk manis disana. "Padahal Papa sama Mama sudah bilang untuk menyerahkan urusan kantor pada mereka. Intinya bulan madu ini atas permintaan mereka juga. Nah, sudah di jelaskan seperti itu, Kamu tetap sibuk tanpa sepengetahuan mereka. Sudah jelas 'kan siapa yang tidak mengerti?" Terangnya panjang lebar.

"Tidak semua masalah bisa mereka tangani. Dan, Aku selaku CEO tentu harus bertanggung jawab." Enwu tentu saja tidak mau mengalah.

"Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu itu." Keluh Hana tak habis pikir.

"Aku pun begitu." Balas Enwu.

"Intinya Aku nggak mau pulang!" Protes Hana sambil menghentakkan kakinya, keras. Terlihat lucu dan menggemaskan di mata Enwu. Namun, dapat Ia tahan.

"Kalau begitu kamu bisa tinggal disini, Aku pulang." Usulan Enwu tentu saja di tolak oleh Hana. "Ya nggak bisa gitu dong!" Hana mana berani tinggal sendirian di negeri asing. Di indonesia saja jika tinggal sendiri Ia juga takut. Dunia ini terlalu luas dan kejam untuk wanita cantik nan bohai sepertinya.

"Kalau nggak mau tinggal sendiri ya ikut pulang." Ucap Enwu.

"Padahal ini liburan pertama Aku seumur hidup." Rengek Hana.

"Tenang. Suami Kamu ini kaya. Kita bisa liburan kapan pun dan kemana pun Kamu mau. Itu, jika Aku libur." Perkataan Enwu malah terdengar omong kosong bagi Hana. "Karna nunggu kamu libur, Aku jadi nggak yakin." Decak Hana. Mana mungkin Enwu libur. Bulan madu seperti sekarang saja Ia masih sibuk kerja.

"Harus yakin dong." Bujuk Enwu. Yah, mau bagaimana lagi. Hana cuma bisa mengangguk setuju. Ia sudah berjanji untuk sabar menghadapi Enwu.

"Nah, bagus. Jadi Istri yang pengertian adalah salah satu hal yang membuat Suami makin cinta." Puji Enwu.

"Aku nggak butuh Cinta." Potong Hana.

Alis Enwu naik sebelah. "Butuhnya apa?" Tanya-nya bingung.

"Chanyeol!"

"Siapa tuh?"

"Kalau Kamu Suami Aku, dia lebih dari kamu. Intinya, di ceritain juga Kamu nggak bakalan paham." Jelas Hana kesal. Lebih baik Ia tidur.

Hana pun beralih naik ke atas kasur. Dan merebahkan diri di samping Enwu. Suaminya itu malah geleng-geleng melihat tingkah Hana. Intinya Ia lelah, mau tidur. Berdebat dengan Enwu selalu menguras tenaganya.

 

💐💐💐
 


"Hoooaaaammmm...."

Hana tidak berhenti menguap semenjak turun dari pesawat. Bagaimana tidak menguap? Ia sangat mengantuk. Sebelum matahari terbit, mereka sudah berangkat menuju bandara. Dan, di pesawat Hana tidak bisa tidur karena salah satu penumpang membawa bayi yang rewel terus. Kata orang tuanya sih itu penerbangan pertama anak mereka. Jadi, mereka meminta maaf sebelum lepas landas.

Yah, kalau sudah di jelaskan seperti itu Hana mana bisa komplain lagi. Ia hanya bisa pasrah dan ujung-ujungnya tidak bisa tidur hingga sampai turun dari pesawat seperti sekarang.

"Sampai di rumah nanti, tidur." Ucap Enwu .

Hana mengangguk lemah. "Pasti lah. Aku ngantuk begini karena Kamu." Keluhnya pelan.

"Maaf," Ucap Enwu. Ia jadi merasa bersalah.

Mereka memutuskan naik taxi.

Di perjalanan Hana memilih untuk tidur, sedangkan Enwu asik melihat ponsel pintarnya. Jarak dari bandara ke Sarang Cinta memakan waktu setengah jam lebih. Lumayan cukup untuk mengobati rasa kantuk Hana walau masih secuil.

Dan, ketika Hana membuka kunci rumah menggunakan kartu, Jeno tiba-tiba muncul dari arah belakang.

"Kakak!?" Pekiknya kaget.

Hana yang ngantuk berat juga ikutan kaget. "Kampret!" Ucapnya.

"Lho? Kok udah balik aja? Katanya honeymoon?" Tanya Jeno bingung. Padahal baru dua hari mereka pergi, dan sudah pulang saja. Baru kali ini Jeno melihat honeymoon sesingkat itu. Orang tuanya yang sudah paruh baya pun jika honeymoon bisa memakan waktu berminggu-minggu.

"Mumpung Kamu ada, bantuin Hana bawa koper ke dalam. Abang mau ke kantor dulu." Pamit Enwu buru-buru. Jeno yang masih belum paham pun cuma mengangguk dan menatap kepergian Enwu.

"Gue butuh penjelasan." Pinta Jeno sambil menatap Hana dengan tatapan penasaran.

Hana langsung menggeleng dan masuk kedalam rumahnya. "Gue butuh Istirahat! Titik!" Teriaknya frustasi.

"Woi! Koper Lo!" Seru Jeno. Ia baru sadar Hana masuk dengan meninggalkan dua koper miliknya di depan pintu masuk.

"Bawain!" Balas Hana.

"Emang Gue babu Lo?!" Protes Jeno.

"Iya!"

"Kampret!" Decak Jeno kesal. Padahal Ia sudah membuat rencana gaming sendirian di rumah Hana. Eh, orangnya malah cepat pulang. Gagal sudah rencana Jeno.

Dengan terpaksa Jeno membawa dua koper tadi ke dalam kamar Hana. Melihat Kakaknya terkapar di atas kasur membuatnya sedikit simpati. Jeno memutuskan untuk menyelimuti tubuh Hana dengan selimut.

Disaat Jeno tengah menyelimuti Hana, ponsel Kakaknya itu malah bergetar. Tidak mau membuat Hana terbangun, Jeno berinisiatif untuk mengambil ponsel Hana dari dalam tas Hana, dan mengangkat panggilan tersebut. Yang menelfon ternyata Theo, Abangnya.

"Halo." Sapa Jeno duluan.

"Kenapa Kamu yang angkat?"

"Kakak lagi tidur." Jawab Jeno.

"Bukannya disana masih sore? Kenapa Dia tidur? Hana sakit?"

Mendengar nada khawatir Theo membuat Jeno cemas. Abangnya itu terlalu overprotektif jika menyangkut Hana. Jadi,  Jeno tidak bisa salah bicara. "Bukan, Dia tidur aja. Katanya sih mengantuk." Terang Jeno.

Jika Theo tau Hana balik dari bulan madu dengan cepat. Mungkin Pria itu akan menuntut Abang Iparnya saat ini juga. Dan, Jeno tidak mau ada pertengakaran seperti itu.

"Oh, yaudah. Nanti Abang telfon lagi."

"Hmm."

"Kamu apa kabar? Kenapa nggak balik ke London?"

"Malas. Mau disini dulu." Balas Jeno. Ia lelah harus menjauh terus dari keluarga. Seakan Jeno di suruh untuk menjauh dari keluarga sendiri. Apa salahnya? Ia malah mau kuliah di tempat yang sama dengan Hana. Namun, Ayahnya tidak mengizinkan anak-anak mereka kuliah di satu negara yang sama. Seperti sekarang, Hana di Jakarta, Theo di Paris, Sedangkan dirinya di London.

"Uang bagaimana? Mau Abang transfer lagi?"

"Masih ada, kalau udah menipis Aku kabarin." Ini yang paling Jeno suka dari Theo. Sifat Sugar Daddynya itu yang membuat Jeno dan Hana senang. Theo suka mengirimi mereka uang jajan.

"Oke. Baik-baik disana. Jaga Hana, dan jaga diri Kamu juga."

"Iya. Abang juga. Jaga diri, sehat-sehat disana."

"Hmm," Gumam Theo, lalu memutuskan sambungan telfon.

"Misi sukses!" Ucap Jeno. Lalu keluar dari dalam kamar Hana. Ia selesai membuat Abangnya dan Kakaknya tenang. Theo tidak perlu cemas, dan Hana bisa tidur pulas.


 

Part 12 : Perubahan.

 

 

Sarang Cinta, 10.03.

"Jeno," Panggil Hana begitu masuk kedalam kamar Adiknya.

Jeno yang tengah asik memainkan game pun menoleh. "Udah bangun," Ucapnya.

"Enwu nggak pulang semalam?" Tanya-nya.

Hana sadar jika sekarang jam sepuluh. Cuma, kenapa tidak ada Enwu di sampingnya ketika Ia terbangun. Apa Suaminya itu tidak pulang semalam?

Jeno menjawabnya dengan mengangguk.

"Nggak bisa begini, Gue harus telfon dia." Gumam Hana, lantas keluar dari kamar Jeno.

Disaat Hana mau balik ke kamarnya untuk mengambil ponsel, Enwu ternyata baru pulang. Tampang kelelahan tercetak jelas di wajah Suaminya itu.

"Kenapa baru pulang sekarang?" Tanya Hana.

Enwu yang merasa lelah, dan berniat menghindari perdebatan pun memilih diam.

"Kalau orang bertanya itu di jawab." Tegur Hana masih biasa. Belum emosi. Ia berusaha untuk bersabar. Coba Enwu berada di posisinya saat ini, pasti Pria itu akan berkata hal yang sama dengan-nya.

"Ternyata masalah di kantor terlalu banyak, dan memakan waktu. Aku minta maaf karena tidak memberi kabar sebelumnya. Besok-besok Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." Jelas Enwu akhirnya. Dan, itu cukup membuat perasaan Hana membaik. Ia jadi tidak perlu mengeluarkan kata mutiara untuk Enwu.

"Janji?" Tanya Hana.

"Aku berjanji."

"Oke, Kamu sekarang Istirahat. Aku tau Kamu pasti capek. Aku aja yang nggak ngapa-ngapain dari pulang kemarin lelahnya mintak ampun, apalagi Kamu yang harus ke kantor dulu." Ujar Hana.

Enwu tercengang mendengar perkataan Hana. Sungguh balasan yang tidak Ia duga. Enwu pikir Hana akan marah-marah tidak jelas padanya. Ternyata Istrinya itu cukup pengertian. Syukurlah.

"Kalau begitu Aku mau masak dulu." Pamit Hana.

Enwu balas mengangguk.

Selepas kepergian Hana. Enwu pergi ke  kamar dan langsung berganti pakaian yang nyaman untuk tidur. Tidur jam segini memang tidak baik untuk kesehatan, cuma Ia terlalu lelah dan mengantuk.

Di dapur.

Hana melihat-lihat menu makan siang dari ponselnya. Scroll sana-sini, Hana memutuskan untuk membuat nasi goreng. Memang makanan itu seharusnya masuk kategori sarapan, hanya saja itu yang paling mudah kelihatannya untuk Hana yang tidak pernah memasak ini.

Jeno yang ke dapur untuk mengambil minuman terkaget begitu melihat Hana memegang pisau hendak memotong wortel.

"Kak!" Pekik Jeno panik.

"Apa?" Jawab Hana santai.

"Lo mau ngapain?" Tanya Jeno mendekat.

Lelah mendengar pertanyaan Jeno, Hana lantas mengacungkan pisaunya ke atas. "Nggak lihat Gue mau masak?" Tanya-nya sambil menahan emosi.

"What!? Masak? Emang bisa?"

Seumur hidup baru kali ini Jeno melihat Kakaknya itu memegang pisau. Apa Hana akan baik-baik saja di biarkan memasak sendiri? Jika terjadi hal yang tidak di inginkan pasti Theo akan murka padanya karena membiarkan hal tersebut terjadi.

"Di bisa-bisa'in lah, masa Gue udah nikah nggak bisa masak. Malu dong sama calon anak nanti." Timpal Hana masuk akal. Jangan sampai Anaknya nanti mengeluh karena Ibunya tidak bisa membuatkan bekal makan siang untuknya.

Jeno mengangguk-ngangguk saja mendengar penjelasan Hana.

"Mau dibantuin nggak?" Tanya Jeno.

"Boleh. Lo bagian masak nasi." Ujar Hana.

"Oh, gampang itu mah." Tukas Jeno.

Dengan semangat empat lima Jeno mengambil beras di dalam lemari, dan memasukkannya ke dalam panci untuk di cuci sebelum di masukkan ke dalam rise cooker. Masalah masak nasi Ia sudah ahli selama kuliah di London. Namanya orang asia tinggal di barat, yang nasi tidak akan ketinggalan. Makanan pokok. Mana kenyang Jeno makan daging, kentang, maupun roti saja.

💐💐💐
 


Keadaan dapur Hana saat ini sangat berantakan. Terlihat seperti kapal pecah. Namun, untung saja nasi goreng buat Hana selesai dengan baik. Tingkat kematangan nasi sudah dijamin oleh Jeno. Hanya tinggal rasa saja yang belum. Itu Jeno serahkan pada Hana.

"Kenapa berantakan begini?" Tanya Enwu yang baru saja bangun.

Hana melirik jam dinding. Rupanya sekarang sudah pukul dua siang. Lama juga Ia memasak.

"Aku masak nasi goreng untuk makan siang kita. Kamu pasti lapar kan?"

Enwu mengangguk.

Walau Ia sedikit terkejut dengan menu makan siangnya, Enwu tetap duduk di kursi meja makan dan menuggu Hana menyajikan makanan untuknya. Jeno pun ikut duduk di kursi seberang.

"Walau bentuknya tidak sempurna. Tapi, rasanya lumayan enak." Terang Hana.

Melihat fisik nasi goreng buatan Hana sudah membuat mata Enwu berkedut. Apa mungkin makanan hancur begitu bisa enak? Pikir batin-nya.

Namun, setelah Ia menyuap makanan tersebut ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Ternyata perkataan Hana benar, rasanya lumayan dari bentuknya.

"Bagaimana?" Tanya Hana penasaran dengan jawaban Enwu.

"Enak." Jawab Enwu jujur.

Jeno yang tidak melihat kebohongan dari jawaban serta ekpresi Enwu pun ikut menyantap makanan tersebut. Dan, ia takjub dengan rasanya. Walau ini pertama kalinya memasak, Hana ternyata cukup mahir.

"Wah, hebat!" Puji Jeno sambil mengacungkan dua jempol.

"Oho~ tentu saja," Ucap Hana bangga pada dirinya.

"Nanti malam kita makan apa?" Pertanyaan Enwu membuat Hana tertawa hambar.

"Pesan saja. Aku tidak tau memasak itu memakan waktu dan sangat melelahkan." Ucapnya. Sudah cukup memasak hari ini bagi Hana. Ia kapok.

"Oke."

"Um, bagaimana jika Aku ambil les masak?" Timpal Hana. Di pikir kembali, sepertinya Hana harus belajar memasak dengan benar. Pasalnya Mami Hana memasak makanan sebentar, tidak sepertinya yang lama.

"Terserah Kamu. Aku mendukung apapun yang mau Kamu lakukan." Terang Enwu.

"Gimana, Jen?" Tanya Hana pada Adiknya.

Jeno malah mengedikkan bahu. "Terserah Lo, Gue mana tau." Ujarnya, lalu kembali menyantap nasi gorengnya.

"Kenapa Kamu tiba-tiba mau masak?" Tanya Enwu akhirnya penasaran. Awalnya Hana bisa menahan emosinya begitu Ia pulang tadi, dan sekarang Gadis itu mau belajar memasak. Ada apa gerangan.

"Aku cuma kepikiran untuk berubah. Sekarang Aku sudah menjadi seorang Istri. Di kemudian hari akan menjadi seorang Ibu. Masa Aku tidak bisa memasak. Malu dong." Jelas Hana.

"Ibu? Kamu sudah siap menjadi Ibu untuk anak-anak kita?" Tanya Enwu dengan nada menggoda.

Jeno tersedak mendengar pertanyaan Enwu barusan. Salahnya memilih tinggal di rumah pengantin baru? Sepertinya Jeno harus pulang ke Mansion orang tuanya.

"Tentu saja. Tapi, tidak dalam waktu dekat ini. Aku mau fokus kuliah dan berkarir dulu." Terang Hana. Kuliah saja Ia baru semester empat. Masih panjang perjalanan-nya meraih cita-cita. Mungkin belum ada yang tahu cita-cita Hana apa. Cita-cita Hana adalah menjadi seorang penulis terkenal. Dan, untuk mewujudkan cita-citanya itu tentu Hana harus belajar dengan rajin dulu.

Enwu hanya bisa mengangguk. Jujur, Ia juga belum mau punya anak dalam waktu dekat. Rasanya Ia terlalu muda untuk menjadi seorang Ayah. Apalagi umur Enwu baru dua puluh tiga tahun, sedangkan Hana baru dua puluh tahun. Mereka terlalu muda untuk menjadi orang tua.

 

 

Part 13 :  Dinner.

 

 

Jeno dan Hana baru saja sampai di Mansion mereka. Disana, mereka di sambut oleh para maid dan Ibu mereka sendiri tentunya. Laura merasa senang begitu tau Jeno mau pindah ke Mansion ketimbang tinggal bersama Kakaknya itu. Laura juga khawatir dengan adanya Jeno, Hana dan Enwu jadi tidak bisa bermesraan di rumah mereka sendiri.

"Mami!" Hana dan Jeno langsung menghambur memeluk Laura.

"Mentang-mentang kalian sudah pada besar semua. Mami di tinggal sendirian di Mansion besar ini." Keluh Laura pada anak-anaknya. Terutama si Jeno. Sudah tau Mansion mereka sebesar ini, Dia malah numpang tinggal di rumah Hana. Mengganggu saja.

"Maaf," Ujar Hana merasa bersalah. Ia salah tangkap maksud ucapan Laura.

Melihat raut bersalah di wajah Putrinya, Laura menghela. "Mami lagi menyindir Jeno. Bukan Kamu. Kalau Kamu, Mami malah senang Kamu tinggal sama Suamimu itu." Terangnya. Toh, namanya anak sudah menikah. 

Jeno yang juga merasa bersalah pada Ibunya meminta maaf. "Maaf, Mi." Ucapnya dari lubuk hati terdalam. Ia juga tidak bermaksud membiarkan Ibunya tinggal sendirian. Jeno hanya ingin melihat bagaimana Suami Hana, itu saja. Dan, Enwy ternyata baik, Jeno jadi bisa bernafas lega Kakaknya menikah dengan Enwu.

"Gimana tinggal bareng Abang Ipar?" Tanya Laura.

"Seru, Mih. Enwu baik." Jawab Jeno cepat.

Laura mengangguk. "Baguslah." Ucapnya, Lalu beralik menatap Putri semata wayangnya. "Kamu ikut Mami." Tukasnya kemudian.

Kening Jeno berkerut. "Kemana?" Tanya-nya salah tangkap. Jeno pikir Ia yang di ajak oleh Laura.

"Kamu masuk ke kamar Kamu. Mami mau bicara sama Kakakmu ini." Terang Laura.

Jeno hanya bisa mengangguk-ngangguk dan beranjak pergi dari sana---meninggalkan Hana dan Ibunya berdua di ruang tamu.

"Kenapa, Mi?" Tanya Hana penasaran. Pasalnya raut wajah Laura terlihat aneh.

"Itu, duh, gimana ya, anu, Kamu udah malam pertama belum?" Tanya Laura akhirnya. Ia sedikit geli untuk bertanya. Tapi, yang namanya penasaran tidak boleh di biarkan. Harus di tuntaskan.

"Kalau maksud Mami itu, kami belum." Jawab Hana datar. Ia juga sebenarnya mau, cuma, rasanya sekarang belum waktu yang tepat. Lagi pula Hana lagi tengah datang bulan.

"Apa!? Kok bisa? Kamu kurang cantik apa lagi? Bohai juga. Wah parah, kejantanan Enwu harus dipertanyakan." Protes Laura tak habis pikir. Ia pikir Enwu akan menerkam Putrinya di malam pertama meraka. Ternyata itu hanya hayalan Laura saja. Padahal Laura berharap Putrinya segera hamil agar Ia cepat menimang cucu.

"Dia sibuk kerja terus, Aku juga nggak kepikiran kesana." Jelas Hana, lalu menghela.

"Oke. Terserah kalian mau kapan dan bagaimana, Mami tidak bisa ikut campur." Ucap Laura lemah.

"Mih, Aku mau belajar masak." Ungkap Hana.

Kening Laura langsung berkerut mendengar perkataan Hana. "Ada angin apa Kamu mau belajar masak?" Tanya-nya dengan nada mengejek. Pasalnya dulu ketika Laura meminta Hana belajar memasak, Putrinya itu selalu menolak dengan banyak alasan yang tidak masuk akal.

"Sekarang kepikiran aja mau masak. Mungkin karena sudah menjadi seorang Istri." Ucap Hana.

"Wah, dewasa sekali pemikiran Putri Mami. Oke, Mami akan ajarin Kamu masak makanan yang gampang-gampang dulu, gimana?" Tanya-nya.

Hana mengangguk, cepat. "Mau, Mih." Ucapnya semangat empat lima. Mungkin lebih bagus belajar dari Ibu sendiri daripada les di luar. Toh, masakan Laura enak semua. Well, walaupun mereka punya koki di Mansion. Tetap saja Laura memasak tiap hari untuk memuaskan rasa hobinya dengan memasak.
 


 

💐💐💐
 


 

"Bukan gitu, Jen!" Seru Laura. Ia menepuk keningnya begitu melihat anak bungsunya itu malah asik memainkan tepung ketimbang membantunya dan Hana memasak.

"Ish, ini anak di bilangin ngeyel." Hana ikut protes.

Jeno yang merasa terusik memilih menjauhkan tangan-nya dari mangkuk berisi tepung. "Apaan sih, Mih? Kak?" Keluhnya.

"Lo mau masak apa main tepung?" Protes Hana. Sepertinya Jeno tidak di perlukan di dapur ini. Bukannya membantu, Adiknya itu malah merusuh.

Jeno malah tertawa. "Dua-duanya." Balasnya.

"Usir aja dia dari dapur, Mih!" Tukas Hana cepat.

"Eh, jangan dong!" Protes Jeno tak terima. Ia juga mau melihat proses pembuatan kue yang di buat oleh Ibu dan Kakaknya itu.

Laura hanya bisa menggeleng-geleng sabar. Mau marah, Ia terlalu lelah. Lebih baik Ia diam dan membiarkan Hana dan Jeno yang berbicara. Asalkan mereka tidak bertengkar saja. Kalau perang mulut masih Laura terima.

Disaat mereka kembali sibuk membuat Kue, Tiba-tiba saja Enwu datang. "Sayang?" Panggil Enwu ke Hana.

Ketiga orang itu seketika menoleh.

"Enwu?" Ucap Hana sedikit kaget. Bagaimana tidak kaget? Ada angin apa yang membuat Pria itu memanggilnya Sayang? Sedikit mengerikan hingga membuat Hana merasa was-was.

"Apa kabar, Mih?" Sapa Enwu, lalu memeluk Laura. Lantas, Laura balas memeluk menantu kesayangan-nya itu. "Baik. Kamu sendiri, Wu?" Balasnya.

"Baik, Mih."

"Syukurlah."

"Oh, iya, Kami baru saja selesai membuat kepiting saus tiram, salad, dan ini lagi bikin black forest. Kamu makan malam disini ya!"

"Siap, Mih."

"Kamu pasti lelah. Istirahat dulu di kamar Aku. Nanti Aku bangunkan ketika waktunya makan malam." Ucap Hana.

Enwu menggeleng. "Aku tunggu disini saja. Aku nggak terlalu lelah." Terangnya.

"Terserah Kamu." Balas Hana.

Jeno seketika melotot. "Aduh, dingin sekali balasan Lo, Kak." Keluhnya.

Lagi-lagi Laura hanya bisa menggeleng.
 

Butuh waktu setengah jam untuk pembuatan kue, dan Enwu pun membantu Hana meletakkan piring ke atas meja makan. Aneh. Padahal mansion Laura memiliki maid yang banyak. Hanya saja saat ini Ia tidak mau di ganggu oleh siapapun. Ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama Putri semata wayangnya, Putra bungsunya, dan Menantu kesayanganya itu.

Di waktu makan bersama, Enwu terlihat sangat menikmati masakan Laura dan Hana. Ia bahkan makan dengan lahap. Begitupun dengan Jeno. Ia sudah rindu masakan Ibunya.

"Han, kesini sebentar!" Panggil Laura pada Putrinya.

Hana yang baru saja selesai makan mengikuti Laura ke counter untuk membuat minuman dingin untuk mereka berempat. Setelah makan memang enaknya minum es biar segar.

"Kamu bawa jamu ini pulang." Ucap Laura, lantas menyodorkan botol kecil kepada Hana.

Hana yang bingung pun bertanya. "Ini jamu apa, Mih?"

Laura sedikit kebingungan. "Ini itu untuk kesehatan. Misalkan untuk meredakan kelelahan biar langsung bugar. Cocok untuk Enwu yang sibuk kerja." Jelas Laura akhirnya.

Hana mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan Laura. "Oh, gitu. Tapi, gimana caranya? Langsung minum dari botol ini?" Tanya-nya kembali.

"Bukan, Kamu bisa memasukkanya ke dalam kopi atau minuman apapun yang sering Enwu minum. Usahakan ketika mau tidur. Biar efeknya lebih cepat." Terang Laura.

Hana kembali mengangguk. "Oh, paham." Ucapnya, lalu memasukkan botol jamu tersebut ke dalam saku celananya. Untuk botolnya kecil, jadi muat.

Setelah itu mereka membuat minuman segar dan memberikannya kepada Enwu dan Jeno.

 

 

Part 14 : Jamu.

 

 

Sarang Cinta, 6.45am.

Sinar mentari terpancar melalui gorden kamar Hana yang notaben-nya putih. Yap! Hana sangat suka warna putih dan warna biru. Sebelumnya warna gorden di kamar itu adalah warna hitam. Warna favorit Enwu. Namun, Hana ganti dengan warna favoritnya. Enwu hanya diam saja begitu melihat gorden kamar mereka berganti warna.

"Hana, bangun." Ucap Enwu sambil mengusap kepala Hana pelan.

Jika dilihat-lihat lagi, Hana ternyata sangat cantik. Menghadapi sifat aneh Gadis itu dari awal menikah membuat Enwu lupa untuk menyadari wajah Istrinya itu begitu cantik. Apalagi tubuh Istrinya yang berisi di tempat yang tepat membuatnya tambah seksi jika sedang tertidur begini.

Hana mengerjapkan matanya pelan. Melihat Enwu tepat di hadapan-nya membuat Hana tersenyum. Seperti biasa. Wajah bangun tidur Suaminya sangat menggiurkan.

"Heung~" Erang Hana terbangun.

"Aku mau pergi jogging. Kamu ikut?" Ajak Enwu.

"Sekarang jam berapa?" Tanya Hana berusaha mengumpulkan nyawa.

"Enam." Jawab Enwu.

Hana mengangguk sambil meregangkan tubuhnya dan memilih untuk duduk. Di sisi lain, Enwu beranjak ke kamar mandi untuk gosok gigi dan cuci muka.

Butuh setengah jam bagi mereka berdua untuk bersiap.

Dan, sesampainya di taman, Hana dan Enwu langsung jogging berdua. Maklum, pengantin baru.

Selama mereka asik lari berdua, beberapa pasang mata, apalagi Wanita menatap Enwu dengan tatapan terpesona. Memang ya, susah punya Suami tampan. Pasti banyak yang suka dan terpesona.

"Enak ya punya wajah tampan. Di lirik perempuan terus." Sindir Hana.

"Untung kamu mengenakan baju longgar, kalau tidak, mungkin para lelaki disini menatap lapar ke arahmu." Ucap Enwu.

Seketika Hana berhenti lari. Ia menatap punggung Enwu yang terus melaju di depan-nya. Apa maksud dari ucapan Enwu. Apa dia baru sadar jika tubuh Hana seksi dan bohai.

"Haha!" Tawa sarkas Hana keluar.

Sepertinya Enwu mulai tertarik dengan-nya. Baguslah, akhirnya Pria itu menyadari daya tarik dirinya. So, Hana hanya butuh rasa percaya diri yang tinggi dan menunggu kemajuan pernikahan mereka.

Lelah berolahlaga. Mereka memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran yang tidak jauh dari taman.

Sumpah! Hana begitu kelelahan saat ini. Cacing di perutnya pun sudah berdemo minta makan dari tadi. Enwu saja yang masih menahan dirinya untuk tetap berlari dengan tenang.

"Aku mau pesan steak sama pasta." Ucap Hana semangat.

"No. Kita baru selesai olahraga masa makan yang berat dan berlemak begitu." Tolak Enwu.

"Karna olahraga aku lapar berat." Rengek Hana tidak terima.

"Kita pesan salad sama jus saja." Bujuk Enwu. Dan, itu membuat pipi Hana mengembung. "Mana cukup di lambungku." Rutuknya kesal. Hana mana mau makan sayur sama buah. Dia bukan vegetarian.

"Nanti malam baru kita makan berat." Enwu kembali membujuk Hana.

Hana terlihat berpikir sejenak. "Tapi..." namun, melihat ekpresi Enwu yang datar membuatnya berubah pikiran. "Fine!" Ketusnya pasrah.

 

💐💐💐
 


"Aku mau beli itu." Hana menunjuk rak berisi komik yaoi.

Enwu yang sibuk mencari novel favoritnya menyaut. "Beli semua yang Kamu suka." Ujarnya, lalu menyodorkan black card pada Hana.

Tentu saja Hana menerimanya dengan tangan terbuka. "Yeay!" Pekik Hana senang.

Sore tadi Enwu mau pamit pergi ke toko buku ke Hana. Katanya ada novel dari penulis favoritnya terbit. Dan, Hana yang cinta toko buku tentu saja mau ikut.

Disinilah mereka. Sibuk mencari kesukaan masing-masing. Enwu sibuk cari novel. Hana sibuk cari komik.

Tanpa sepengetahuan Enwu, Hana memborong series komik yaoi favoritnya. Sebenarnya Hana sudah lama mau beli, tapi karena mahal, Hana tunda dulu. Namun, takdir membuatnya memiliki Suami kaya seperti Enwu. Sontak saja Hana langsung memborong sepuluh volumenya.

Dan, supaya tidak ketahuan, Hana lebih dulu ke meja kasir untuk membayar belanjaan-nya sebelum Enwu datang. Untungnya setelah komik Hana masuk ke dalam paperbag, baru Enwu menghampirinya. Selamatlah Hana.

"Sudah beli?"

Hana mengangguk bahagia. "Kamu?" Tanya Hana balik.

"Ada dua buku sih." Jawab Enwu sambil mengangkat dua buku tebal.

Hana langsung memberikan kartu tadi kepada Enwu. "Ini."

"Kenapa di kembalikan? Itu punya Kamu. Yah, sebenarnya sudah lama mau Aku kasih, cuma lupa terus." Terang Enwu.

Sontak mulut Hana terbuka lebar. Bukan hanya Hana, Mbak kasir tadi pun ikutan ternganga. Beruntung sekali Hana punya Suami sekaya Enwu. Dia juga mau.

Selesai belanja beli buku dan komik, mereka memutuskan untuk makan malam di luar. Dan, saat itulah Hana menagih janji Enwu tadi siang. Mereka akhirnya makan-makanan yang berat juga. Lega rasanya bagi Hana makan steak dan spageti.

Dan, karena malam semakin larut, mereka memutuskan untuk segera pulang ke sarang cinta.

"Buatkan kopi dong, Han!" Seru Enwu begitu melihat Hana melangkah ke area dapur.

"Oke. Tunggu." Sahutnya.

Hana memang belum bisa memasak dengan sempurna, tapi buat kopi tentu Ia bisa. Bodoh sekali dirinya sampai tidak bisa membuat minuman mudah begitu. Lagi pula Ia juga mau bikin teh juga.

Kopi dan Teh sudah selesai Hana bikin. Namun, Hana terbayang ucapan Maminya kemarin, dan memutuskan untuk membuka kulkas. Ia mengambil botol kecil dari sana. Dan, menuangkan-nya ke dalam Kopi Enwu lebih dari setengah. Dan, untuk Tehnya sendiri Ia beri seperempat saja.

"Enwu pasti langsung semangat kerja setelah minum kopi buatan Gue." Cengir Hana bangga. Toh, yang Ia tuang tadi jamu untuk kebugaran tubuh biar semangat. Itu kata Maminya kemarin. Hana juga butuh semangat untuk projek novel barunya. Makanya Ia juga menuangkan jamu tersebut ke dalam Teh-nya.

"Ini kopinya." Ucap Hana begitu meletakkan gelas kopi ke atas meja.

"Makasih." Enwu lantas menyeruput kopi itu dengan tenang. Begitupun sebaliknya.

Lalu mereka kembali ke kegiatan masing-masing. Enwu fokus membaca buku novel yang tadi Ia beli, sedangkan Hana tengah mengetik bab novelnya.

Lima belas menit berlalu. Dan, mereka mulai merasa gelisah. Lebih parah si Enwu. Wajahnya memerah seperti tomat rebus.

"Apa kamu memasukkan sesuatu ke dalam kopiku?" Tanya Enwu curiga. Masa meminum kopi bisa membuat merasa aneh seperti ini.

"I--itu, jamu..." Jawab Hana takut salah. Ia seharusnya memberitahu Enwu terlebih dahulu.

"Jamu apa?" Tanya Enwu dengan wajah panik.

"Untuk kesehatan kata Mami." Penjelasan Hana berhasil membuat Enwu meremas sampul buku yang ia pegang. Kata Mami Hana itu jarang yang benar. Pasti Hana di tipu. Enwu tau betul efek yang Ia rasakan bukan jamu kesehatan tapi obat perangsang.

"Aduh Hana! Kamu itu bodoh apa dungu?!" Rutuk Enwu sambil menggaruk kepala stress.

Otak Hana berbutar. Bukan-nya dua kata itu sama saja? Dan, hei! Hana dikatai bodoh. Mana mungkin Ia terima dengan senang hati. "Maksud Kamu apa bilang begitu, Hah?! Enak aja bilang bodoh. Kamu yang bodoh!" Protes Hana.

"Berapa banyak kamu kasih ke dalam Kopi Aku?"

"Aku seperempat botol, kamu selebihnya.." jawab Hana takut-takut di semprot emosi.

Enwu tertawa bak orang gila. "Jadi kita berdua habisin satu botol." Ulangnya tak percaya.

Hana mengangguk-ngangguk saja

"Sekarang Kamu masuk kamar." Suruh Enwu.

"Kenapa?" Tanya Hana bingung.

"Pokoknya masuk dulu." Pinta Enwu setengah memohon.

Merasa sedikit bersalah, Hana menuruti permintaan Enwu dan masuk kedalam kamar.

"Kunci pintunya dari dalam!" Seru Enwu.

"Iya!" Balas Hana.

Di ruang tamu, Enwu berjalan mondar-mandir untuk menahan birahinya yang mulai keluar.

"Fuck!" Umpatnya kesal.
 

To be continue...


 


 


 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Nikah Itu Ena
Selanjutnya Nikah Itu Ena (Bab 15/Warning!)
5
0
Warning 19+Tidak di anjurkan untuk anak di bawah umur. Harap bijak memilih bacaan🙏
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan