Jodohku Ternyata Kamu

0
0
Deskripsi

"Kalau kamu masih nyaman dengan hubungan yang kamu jalani sekarang dengan dia, aku mundur dari perjodohan kita, Kak," ucap Daviana ke Raili, calon suami yang diseleksi Papinya Dave.

🍀🍀🍀

Daviana Kyara Smith pernah terjerumus dalam hubungan yang tidak sehat bersama mantan kekasihnya selama 2 tahun lamanya. Dia pikir itu cinta.

Dipertemukan dengan Raili Syakh Kandara karena perjodohan. Lantas, melihat dirinya sendiri di masa lalu dalam diri Raili, lelaki yang mulai mengisi kekosongan hatinya.

Akankah...

Bab 01 - Kebakaran

 

🍀🍀🍀

"Davia," teriak Davina, sang Mami dari lantai bawah. Tepat di depan anak tangga pertama, berdiri dengan berkacak pinggang. Namun, tidak ada jawaban yang didapat wanita paruh baya itu, dari si empunya nama.

 

'"Daviana Kyara Smith!" Sekali lagi, dia berteriak mengudarakan nama sang putri. Kali ini lebih lantang dari sebelumnya. 

 

Mendengar nama lengkapnya sukses disebut sang Mami, mau tak mau Daviana yang masih berdiri tepat di depan kaca sembari menyisir rambut panjang hitam bergelombang, pun teralihkan. Dia bergegas pergi keluar dari kamar.

 

"Apaan, sih, Mi, pagi-pagi udah teriak-teriak begitu? Kayak ada kebakaran aja?" tanyanya dengan bersungut-sungut, tepat di ambang anak tangga atas. Dia mendapati ibunya sedang berkacak pinggang dan juga menatap sinis, seperti hendak ingin melahapnya saja sebagai santapan pagi.

 

 

"Iya, memang ada yang kebakaran! Cepat kamu turun," perintahnya tegas, dan disambut tangan yang melambai ke arah Daviana.

 

 

Daviana sejenak berdiam sebelum benar-benar sadar akan perkataan ibunya itu.

 

"Mami serius?" 

 

Kedua kaki pun berjalan beriringan menuruni anak tangga, diikuti dengan bola mata yang tak melepas wajah sang ibu, yang sebenarnya sedang menahan tawa di sana.

 

 

“Iya, ayo cepatan lari. Nanti bahaya lho.”

 

 

“Sabar, Mi. Anak tangganya kebanyakan sih.”

 

 

Keduanya tergesa-gesa ke arah pintu. Tangan Davina berhasil merangkul pundak putrinya yang kini ia giring ke arah pintu keluar.

 

 

"Mana kebakarannya, Mi?" Bola mata Daviana berkeliling, mengedar ke seluruh area pemukiman sekitar rumahnya. Tatkala, mereka tiba di depan pintu mengarah ke pagar rumah  yang tertutup oleh gerbang putih  menjulang tinggi tanpa cela sedikitpun.

 

 

Davina menyengir. “Serius amat sih, Nak? Mami cuma becanda lho.”

 

“Lah, Mami segitunya, ih? Kalau tadi jantung Davia nggak terkontrol, gimana? CK! nggak enak nih bercandaannya. Mami usil banget,” celetuknya dengan bibir memberut. “Terus, apa sekarang? Ada tujuannya 'kan teriak-teriak dari bawah buat Davia turun sampai keluar rumah?”

 

 

Alis Mama Davina terangkat sebelah dengan gerak kepala yang mengarah pada lahan parkiran mobil.

 

“Jodoh kamu tuh datang.”

 

Daviana tentu mengarahkan pandangan yang dimaksud oleh Maminya. Ada kebingungan yang menyergap seketika. Terlihat dari kening yang mengkerut dari pandangan tidak paham dengan kelakukan Maminya yang super duper heboh.

 

"Jodoh apaan? Hantu, Ma?" 

Daviana kembali melirik pada Davina. Dia hanya bisa melihat mobil mewah di samping mobil miliknya sendiri.

 

"Isss! Jodoh manusia dong. Calon menantu yang udah mami gadang-gadangin sejak kemarin buat kamu lha. Ini juga papi yang seleksi langsung lho untuk kamu. Kamu, sih, kelamaan jomlonya. Nggak kasihan sama Mami dan papi yang udah tua begini?" Kalau sudah keluar jurus tenaga dalam sang Mami, Daviana Cuma bisa pasrah dan nggak bisa melawan atau menjawab dengan sesuka hatinya.

 

 

Daviana mendesahkan napas. “Mami kusayang yang cantik jelita bak bidadari dari kayangan. Jodoh itu akan datang kalau sudah waktunya, Mi. Kalau belum? Masak, iya, dipaksain sih, Mi? Mau jadi apa entar?”

 

 

"Daviana Kyara Smith, putri tunggal keluarga Smith, anak kesayangan Mami dan papi satu-satunya yang cantiknya kayak Son Ye Jin—calon istrinya Oppa Hyun Bin. Kalau jodoh nggak dicari, kapan datangnya itu jodoh? J bisa turun dari langit? Kamu ini dikasih tahu, malahan terus menghindar sih, Nak? Udah sana, jemput Hyun Bin dulu. Dia malu mau turun waktu Mami ajakin turun." Davina mendorong pelan pundak sang anak agar bergerak pergi ke area carport.

 

 

"Dih, Mami. Apaan, sih, kayak gini. Gini amat rasanya jadi jomblo. Percayalah, Mi, anak Mami nggak akan jadi perawan tua kok. Waktunya aja yang belum datang," pinta Daviana mencoba membujuk Maminya, yang memang sangat bersikeras untuk menyuruhnya menikah.

 

Tapi kelewat amat disayangkan. Maminya tak tersentuh oleh kata-kata Daviana. Tangan Davina malah semakin mengusir dirinya untuk menjemput sosok lelaki di dalam mobil sport berwarna merah itu.

“Mas?” Daviana mengetuk kaca tanpa ragu.

“Kak? atau Om, sih? aku jadi bingung,” katanya sambil menanti kaca mobil yang tampak gelap di luar. Davia tidak tahu rupa orang tersebut di balik kaca mobil itu, hingga tak bisa menyesuaikan panggilan yang tepat untuknya.

 

Bukan kaca mobil yang terbuka, melainkan terdengar suara pintu mobil terbuka.  Davia pun mundur beberapa langkah.

“Davia, ya?” 

“Ngah, agh, iya. Kamu?”

Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Davia. “Raili Sakya Kandara. Biasanya dipanggil Rai.”

“Kirain Raisa,” batin Daviana.

Pagi yang semula dihebohkan karena sang Mami, tergantikan dengan keindahan yang tak pernah Daviana bayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak. Ia berpikir kalau dipertemukan dengan daging segar, siap untuk disantap di pagi indah nan cerah ini. Lelaki dengan tubuh berisi di balik kemeja casual berwarna biru langit itu tersenyum ke arahnya.

 

“Namaku Daviana, Kak. Tapi orang-orang sering memanggilnya Davia. Umur sekalian nggak, Kak?” tanya Davia nyeleneh seraya membalas jabat tangan Raili.

 

“Kalau berkenan,” jawab Raili. Dia tertawa geli dengan tingkah Daviana yang sangat friendly sama dia.

 

“Umurku baru 27 tahun, Kak. Tua banget, ya?”

 

Keduanya melepas jabat tangan mereka dan saling melirik tanpa canggung. Raili berasa emang langsung nyaman dengan gadis pilihan sang papa. Ya, keduanya dijodohkan oleh papa mereka dengan persetujuan dan tanda tangan dari kedua mama masing-masing di atas kertas.

 

“Nggak  juga, Davia. Umurku 31 tahun. Kamu beneran masih jomblo? maaf kalau lancang,” kata Raili sedikit cemas.

 

Yang ditanya malah ketawa-ketiwi nggak jelas. “Nggak apa-apa, Kak. Kamu itu orang ke tiga puluh yang tanyain begitu ke aku. Lihat Mamiku yang berdiri di sana itu,” tunjukkan ke arah Davina.

 

Seketika Raili mengikuti telunjuk Daviana. Wanita paruh baya yang sejak tadi melihat ke arah mereka, kini melambaikan tangan ke udara dan diarahkan ke mereka. Raili mengangguk memberikan salam dari kejauhan.

 

“Kenapa dengan Mamimu?”

 

“Dia adalah orang yang pertama dan kedua puluh sembilan kali mengajukan pertanyaan yang sama dengan Kak Rai. Kamu yang menggenapinya, Kak. Dan jawabannya seperti ini dan sesuai kenyataan. Aku memang jomlo. Yuk, kita masuk. Bisa-bisa aku kena marah membiarkan Kakak di sini berlama-lama.”

 

“Agh, i-iya,” balas Raili gugup.

 

“Kalau di tanya-tanya Mami soal rencana kedepannya, nggak usah ditanggapi serius, ya. Atau, katakan saja yang sesungguhnya. Bilangin, kalau aku itu udah ketauan buat kamu, Kak, nggak sebanding dengan umur Kakak. Okay?” Kesepakatan mulai direncanakan oleh Daviana.

 

Raili semakin tertarik dengan sikap ramah dari Daviana. Gadis di sampingnya itu tidak sedikitpun menunjukkan kecanggungan selama mereka bersama. Sebaliknya dengan Raili—lelaki yang banyak diam dan memilih  menghabiskan waktu untuk bekerja di hari-hari biasa, malah terkesan sangat terbuka dan nyaman ada didekat Daviana.

“Baiklah.”

“Ingat, Kak, kalau aku ini nggak cocok sama kamu. Atau katakan saja aku sudah sangat tua dari segi umur yang kamu cari. Mamiku kayaknya suka banget sama kamu soalnya.”

 

“Oh, ya? Kok bisa? Gimana ceritanya?”

 

Daviana terdiam sejenak, lalu ia berkata, “tadi itu, Mami jam segini udah teriak-teriak dari bawah kayak sirine pemadam kebakaran yang lagi lewat. Ya, aku pikir ada kebakaran beneran. Gak tahunya, Mami bilang begini: jemput jodoh kamu tuh,” ucapnya meniru perkataan maminya. Sontak Raili tertawa lepas seketika.

 

“Awas masuk angin, Kak.” Raili terus tertawa mendengar joke receh Daviana.

 

Davina memandang keakraban yang terjalin indah di hari pertama anak dan calon suami yang dipilihkan Dave Smith, suaminya. Besar harapan Davina, agar putri sematang wayangnya bisa bersanding di pelaminan bersama Raili. 

Seperti pagi ini, tawa Raili  yang terlihat tulus dan bersahabat sambil berjalan tepat di samping Daviana, tak membiarkan selangkah pun kaki putrinya itu mendahului dia. Sudah cukup kuat sebagai penilaian pertama tentang Raili Sakya Kandara.

 

 

Bersambung.

 

Bab 02 - Pertemuan Kedua

"Kenapa Papi nggak ngajak Mami?" tanya Daviana curiga.

Dave yang kini duduk di samping Daviana pun tersenyum. “Mami katanya malas. Maunya kamu yang temani Papi ....”

"Kayak mencurigakan deh, Pi. Papi uda ketularan sama Mami nih—kalau Davia duga." Sekilas Daviana menoleh ke arah Dave yang sibuk melihat ke arah jalan sambil senyum.

 

“Kamu, sih, kenapa dengan Raili? Apa ada yang kurang dengan anak muda itu? Bukannya Davia pernah katakan sama Papi, kalau pengen cari suami yang punya usaha sendiri tanpa campur tangan orang tuanya? Semua ada di Raili, Nak.”

 

Daviana yang sedang mengemudikan mobil mengening sejenak. "Iya, sih, Pi. Hanya saja Davia masih belum bisa kasi keputusan hanya satu kali pertemuan. Mami aja yang semangat banget buat jodohin Davia." 

“Kalau ketiga kali bertemu itu jodoh, ya, Nak? Kayak kisahnya teman Papi. Ada tuh yang seperti itu. Tiga kali mereka bertemu, eh jodoh. Mungkin Davia kayak gitu, ya?”

 

"Kenapa juga sih, Pi, harus cepat-cepat nikah? Davia masih mau tinggal sama Papi dan mami. Gak mau jauh-jauh dari kalian dulu," kata Davia mengeluh.

 

"Iya gak gitu juga, Nak. Kamu ini anak satu-satunya Papi. Gak mungkinlah jadi perawan tua yang nempel mulu sama orang tuanya. Papi juga pengen punya keturunan dari kamu. Dulu aja, Papi dipaksa nikah sama buyut kamu. Sama sekali gak boleh nolak karena mami juga udah sebatang kara. Awalnya Papi bersikeras menolak sampai buat mami suka nangis, tapi ujungnya jatuh cinta karena pamanmu mau mepet mami juga. Syukurnya, mami jatuh cinta sama papi. Jadinya milih Papi dong. Dan akhirnya ada kamu. Papi mau Davia bisa menemukan laki-laki yang pas, Sayang. Dan itu Raili. Papi rasa dia lelaki yang tepat," jelas Dave sangat lembut.

 

“Nanti kalau udah kepikiran ya, Pi. Jangan paksa Davia kayak yang pernah Papi rasakan.”

 

“Nggak akan. Tapi maunya Papi, ya, Raili.”

 

Harapan yang besar terlihat di wajah Dave. Davia tidak bisa lagi berkata-kata. Dia hanya tidak ingin ujungnya bisa membuat Dave—Papinya bersedih.

"Selamat datang, Pak Dave dan Nona Daviana," sapa Helen, sekretaris Dave yang baru.

“Selamat malam, Hel. Kamu sudah lama di sini?”

 

"Tidak, Pak. Hanya beberapa menit yang lalu. Sesuai yang Bapak minta, saya sudah lebih dulu bertemu dengan para petinggi perusahaan dan kedatangan Pak Dave sudah dinantikan oleh Pak Roi Kandara." 

Dave tersenyum dan melirik ke arah Daviana yang setia berdiri di sampingnya. Kening Daviana berkerut melihat Dave tersenyum mencurigakan.

 

"Baiklah ... antar saya ke sana, Hel," jawabnya kini menoleh ke sang putri. "Davia ... kamu boleh berbaur dengan tamu yang lain dulu, Sayang. Nggak apa-apa, kan?" 

Daviana tersenyum dan mengangguk. "Boleh dong. Selamat berbisnis, Pi," katanya sambil berlalu pergi.

Mengenakan gaun malam berwarna hitam selutut, Daviana tampil dengan sangat memukau saat ia menyusuri para tamu yang sedang menikmati pesta ditemani lantunan musik klasik dari seorang pianis di depan sana.

Ya, Daviana menemani Dave untuk menghadiri pesta makan malam yang diselenggarakan oleh rekan bisnisnya. Dan ini adalah hal yang aneh tentunya. Jarang sekali, Papi Dave mengajak Daviana ke tempat rekan bisnisnya. Terkecuali hari ini, dia meyakinkan diri kalau mami dan papinya itu sedang membawa dia ke tempat yang berkaitan dengan jodohnya.

"Davia," tegur seseorang dari balik badannya.

Daviana terlihat menarik perhatian ke arah sumber suara. Tangan yang sempat terulur ke arah gelas-gelas yang tersusun rapi di atas meja prasmanan, pun terurungkan.

"Kak Rai?" 

Kedua orang itu tersenyum mendapati diri mereka berada di tempat yang sama. Kaki Raili melaju langkah dan memangkas jarak yang cukup memisahkan sebelumnya.

“Hai, Davia? Kebetulan?”

Daviana masih mengulas senyum di balik bibir yang dipoles dengan lipstik berwarna merah. Ia pun mengedikkan bahu. “Tentu saja bukan, Kak. Ini adalah rencana terselubung.”

Raili sedikit mengening mencoba berpikir. “Papa?”

Davia terkekeh kecil. “Iya, Papi. Pasti mereka yang atur pertemuan kita malam ini.”

Raili ikut terkekeh sekarang. “Sampai mereka turun tangan dong.”

"Iya, Kak. Kak Rai uda lama?" 

"Kita ngobrol di ujung sana, yuk? Kamu mau minum apa? Biar aku ambilkan," tawar Raili dan maju beberapa langkah ke depan meja.

Mata Daviana melebar penuh kekaguman. “Yang sama dengan Kak Rai minum.”

 

Raili menarik kedua sudut bibirnya dan mengambil segelas anggur merah yang barusan diisi oleh para pelayan. 

“Bagaimana kabarmu setelah pertemuan kita pertama?”

Daviana berubah kaku. Dia bukan tidak senang mendapatkan pertanyaan sopan dari Raili. Tapi memang benar sih kalau pertemuan mereka seminggu yang lalu membuatnya kewalahan, terutama dari sisi sang Mami.

"Mami tuh paling sibuk tanyain Kak Rai mulu. Udah ketemuan lagi belum? Gimana, Rai tampan, 'kan? Pokoknya mami itu selalu nanyain Kak Rai kalau ketemu sama aku, Kak," balas Daviana. 

Keduanya kini memilih ke sisi paling kanan gedung ballroom yang lumayan lebar dilengkapi balkon untuk melihat indahnya pemandangan malam. Keduanya berdiri saling bersisian.

 

"Jadi bete banget dong?" tanyanya dan menyodorkan gelas bening isi anggur ke Daviana.

"Gitulah, Kak. Soalnya status jomblo emang buat berat sih. Apalagi anak tunggal sepertiku. Hah, rasanya kayak berdosa aja ke orang tua yang udah pengen punya cucu. Tapi karena aku nyaman sendiri sampai hari ini, jadinya ya ... biasa aja." 

 

Raili melirik sejenak ke Daviana yang menatap ke depan. Pantesan saja orang tuanya ngotot memperkenalkan dia dengan Daviana. Perempuan di sampingnya itu jauh lebih baik, sopan, dan menyenangkan dibanding dengan kekasihnya—Jingga.

“Kenapa, Kak?”

“Egh, nggak kok. Cuma bingung aja cewek secantik kamu dan sebaik kamu itu malah suka menyendiri. Kenapa?”

"Sakit hati," ceplosnya.

Raili memberinya tatapan kebingungan dengan gerakan tubuh memutar sempurna ke arah Daviana. “Sakit hati?”

Daviana mengangguk dan membenarkan helaian rambut yang terbang karena diterpa angin. “Ya, sakit hati dengan masa lalu, Kak. Aku pernah pacaran, tapi hubungan pacaranku itu nggak sehat, sampai-sampai tuh, aku sempat buat orang-orang terdekat kecewa, termasuk mami dan papi.”

“Benarkah? Sudah berapa lama kamu pernah ngalamin kayak gitu, Daviana?”

Mulut Daviana terbuka dan menutup.  Daviana bingung untuk memberikan jawaban seperti apa. Tapi setidaknya, Raili harus tahu tentang Daviana dan masa terburuknya ketika berpacaran. Hitung-hitung bisa membuat Raili mundur dari perjodohan. “Aku terlalu dikekang sih, Kak. Dan aku cukup trauma untuk menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki, termasuk Kak Rai. Maaf, aku bukan curiga ke Kakak. Tiga tahun yang lalu, aku punya pacar dari kenalan seorang sahabat. Awalnya baik dan care dengan semua yang ada di aku. Sama mami dan papi juga sempat dekat awalnya. Di lima bulan kami pacaran, dia mulai berubah. Dia suka nuntut waktu ketemuan, aku gak boleh jalan sama sahabat atau kenalanku lainnya, cara pakaian aku juga diatur sama dia. Bukan sampai di situ aja, kontak pertemanan dan sosmed juga gak boleh ada cowok. Terus, aku gak bisa punya banyak waktu ke mami dan papi, karena dia tiap hari ngajakin ketemuan. Awalnya aku pikir itu cinta, Kak. Lama-kelamaan  aku mula jenga dengan sikap dan sifatnya. Dan hasil pacaran itu, aku kehilangan sahabat baik, karena aku lebih milih dia. Dan syukurnya, aku punya mami dan papi yang gak bosan-bosan buat kasih nasehat ke aku.”

 

Mata Raili menyipit mengoreksi. “Lalu ... bagaimana kamu bisa terlepas dari semua itu?”

 

Bersambung.

 

Bab 03 - Obrolan Bersama

Mata Raili menyipit mengoreksi. “Lalu ... bagaimana kamu bisa terlepas dari semua itu?”

Lagi-lagi, Daviana tersenyum. Dia bisa melihat ada rasa penasaran di kedua bola mata hitam milik lelaki di sampingnya. "Aku memilih melepasnya, Kak. Karena kembali lagi, aku dan dia udah gak sejalan. Bagaimanapun aku mempertahankan hubungan seperti itu, sama sekali tidak ada kebahagiaan. Kenyamanan pun tidak lagi kurasakan sejak dia bersikap over protektif dan seenaknya, gak ngehargai aku pastinya. Setiap kali kami ketemuan ada aja yang kurang di matanya. Salah sedikit aja udah marah-marah. Selalu saja ada yang kita ributi, mau itu hal kecil sampai hal yang gak perlu diributlah. Terlebih lagi, aku harus mengikuti kemauan yang menurutnya gak sepemikiran dia di aku, Kak. Apa itu yang harus ku pertahankan?" ucapnya menjeda sejenak, sambil meneguk minuman dalam genggamannya.

Dia kemudian menghembuskan napas berat. "Awalnya aku berat untuk melepasnya, Kak. Kenapa? karena aku pikir suatu saat nanti dia akan berubah. Tapi kenyataannya, tidak sama sekali, dia semakin suka-suka. Sampai ketika aku diminta tidur bareng dia. Tentu saja aku menolak, Kak. 'I don't give a care, dikata tidak mengikuti zaman sama dia. Satu kehormatan yang paling aku jaga, Kak, untuk orang tuaku dan untuk sang pencipta. Aku ini anak tunggal, punya prestasi selama mengecap pendidikan, lalu aku punya orang tua yang benar-benar care denganku. Sedangkan dia? dia hanya orang lain yang datang di saat aku mencoba merasakan yang namanya cinta dari lawan jenis, belum terikat apa pun untuk melakukan hal gila yang dia inginkan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan semua yang diberikan kedua orang tuaku selama hidup bersama mereka dan untukku sendiri tentunya. Ya, banyak yang bilang membuktikan cinta harus tidur bareng pasangannya. Buat aku itu sebuah kebohongan. Cara iblis yang menjelma dalam pikiran manusia untuk memuaskan nafsu dunia. Yang benar itu merusak. Apa aku terlalu banyak bicara, Kak?" 

Raili menelan salivanya dan menggeleng. “Tidak. Kamu memberikan pelajaran yang baik, Davia. Kamu juga gadis yang sangat pemberani, mampu melepas dengan ikhlas. Apa itu berat di awal?”

Daviana menggerakkan wajahnya ke arah pemandangan malam bermandikan cahaya bintang dan sinar bulan. Raili semakin terpesona saja dengan sikap santai Daviana setiap meresponi pertanyaannya. Daviana memang tampak berkelas dari tatapannya.

"Tentu. Aku sempat terpuruk dan merasa kehilangan sebelumnya, kak, karena dia setiap hari nelpon aku dan minta balikan. Jadi ... pada saat itu belum bisa dibilang ikhlas. Kadang-kadang, saat aku duduk di kamar sendirian, terus berpikir sudah dua tahun menjalani hubungan sama dia, kok rasanya sayang, ya? Kayak malas gitu buat memulai sama yang baru nantinya. Dan aku sampai bertanya-tanya sendiri dengan keputusan itu, tapi akhirnya aku paham dari tidak adanya kesedihan efek putus itu, Kak. Sampai pada akhirnya, mami dan papi minta aku untuk keluar dari kesendirian biar gak stress. Aku kerja, berlibur dengan keluarga, melakukan kegiatan sosial, sampai di mana aku benar-benar bisa melupakan dia," jelas Daviana, membungkam Raili untuk beberapa saat.

“Apa Kak Rai punya kekasih?”

Raili mencondongkan tubuh ke depan dan berbicara dengan suara yang gemetar dan hanya diutarakan ke Daviana. “Punya. Tapi dia tidak sepintar dirimu, Davia.”

“Benarkah? lalu, kenapa Kak Rai mau nerima gitu aja perjodohan kita?”

Lelaki itu mengedikkan bahunya. “Jodoh tidak akan pernah tahu, kapan dan pada siapa dia akan berlabuh, bukan?”

Daviana membiarkan jeda menyelimuti mereka, ia mencoba berpikir secara rasional yang dikatakan oleh Raili barusan. Menikmati semilir angin malam yang menyentuh dan membelai setiap kulit hingga rambutnya, Daviana masih enggan membuka mulutnya, untuk memberikan jawaban.

Suara dering panggilan dari hape Raili sukses menepis keheningan yang sempat terjeda di antara keduanya. Lelaki berumur 31 tahun dengan tinggi 173cm sibuk merogoh saku celana hitam formal dari setelan jas yang ia kenakan.

"Aku angkat telpon dulu, Davia," katanya meminta izin.

Daviana menganggukkan kepala dengan senyum yang masih menggantung di wajahnya. Sorot bola hitam legam di balik lentik bulu matanya yang dilapisi oleh maskara waterproof, menyoroti kepergian tubuh tegap Raili, yang menjauh darinya. 

Daviana kembali menatap ke langit hitam yang membentang luas di atas sana. Samar-samar, Daviana mendengar suara Raili seperti sedang menjelaskan sesuatu. Tanpa sengaja,  Daviana berbalik badan mencoba melihat ke arah Raili, kedua mata mereka saling bertemu. Namun, Raili lebih dulu memutus kontak mata mereka. Ada raut kecemasan yang ditangkap Daviana di wajah tampan Raili. Dia pun kembali memutar wajahnya dan menanti kedatangan Raili kembali.

“Davia?”

Panggilan dari suara yang paling dikenal Daviana, sukses memutar tubuhnya dengan sempurna. “Papi?”

"Astaga ... Papi cariin kamu ke mana-mana loh, Sayang. Tahunya di sini sendirian," kata Dave prihatin. "Kamu ngapain di sini? angin malam bisa buat kamu masuk angin loh. Mana pakai gaun kurang bahan juga. Ayo ... kita masuk ke dalam," ajak Dave. Ia merangkul pundak Daviana yang memang tidak dilapisi apa pun, sebab mode gaunnya yang terbuka.

"Sendirian?" tanya Daviana.

“Iya ...  apa kamu tadi punya teman ngobrol di sini?”

Daviana tidak langsung memberikan jawaban. Ia mencoba melirik ke tempat di mana Raili tadi berdiri, tapi memang tidak ditemukan siapa pun di situ. Apa dia berhalusinasi? apa mungkin juga Raili meninggalkannya begitu saja.

“Papi udah siap ngobrolnya?”

"Udah dari tadi. Sekarang, Papi mau ajak kamu makan malam sama keluarga Kandara sebelum kita pulang. Dari tadi Papi cariin kamu ke sana sini, egh ... gak taunya artisnya gak kelihatan," goda Dave, membuat Daviana tertawa.

“Papi yang artisnya. Lihat tuh, semua orang lihatnya ke arah Papi.”

“Mereka hanya segelintir orang yang gagal buat menjodohkan anak-anaknya sama kamu.”

“Idih, sombong amat. Emangnya anak Papi doang yang ada di muka bumi?”

Dave hanya tertawa mendengar penuturan sang putri. Sekilas ia melirik ke Daviana, Dave pun menggunakan tungkai kakinya untuk mendekati meja bertuliskan VVIP yang disediakan oleh rekan bisnisnya.

"Di mana Roi?" Dave mendapati meja yang sebelumnya terisi oleh rekan bisnisnya, dan itu terlihat berkurang.

"Sudah izin pulang duluan, Tuan Dave. Beliau tadi katakan kalau ada keperluan mendesak, jadi harus cepat-cepat pulang dan nggak sempat izin ke Anda, Tuan," kata seorang rekan bisnis lainnya.

"Ouuu ... begitu. Baiklah," jawab Dave singkat.

Dave menoleh ke samping. “Apa kamu lapar, Sayang?”

“Tidak, Pi. Apa sebaiknya kita pulang saja?”

“Tentu. Ayo ....”

Daviana merangkul lengan sang Papi dan berjalan beriringan menyusuri orang-orang yang masih memadati tempat dimana acara masih berlangsung meriah. Keduanya mengayun langkah ke arah tempat parkiran.

"Kandara itu siapa, Pi?" tanya Daviana, sesudah mobil melaju dan keluar dari lahan parkiran.

“Papanya Raili. Apa kamu tadi melihatnya, Sayang?”

"Yaa ... tadi kami sempat ngobrol juga, Pi," balas Daviana jujur.

“Loh ... jadi? tadi itu beneran sama Rai?”

“Iya, Pi. Sebelum Papi datang tadi, kak Rai dapat panggilan dari hp nya. Sesudah itu menghilang gitu aja.”

“Apa sesuatu terjadi pada keluarganya, ya?”

“Mana Davia tahu, Pi. Dia juga gak pamitan tadinya. Mungkin saja benar-benar mendesak sampai gak izin sama Davia.”

“Bisa jadi, ya. Terus ... apa aja yang kalian obrolkan tadi? Udah ada pandangan gak buat jalan sama Rai?”

Daviana tertawa. “Papi mau tahu aja, deh. Kayak nggak pernah muda. Dulu sama mami gimana? pasti masih ingat 'kan masa-masa pendekatan itu gimana?”

Dave malah ikut tertawa mendengar penuturan Daviana yang malah menyindir balik dirinya. Enggak tahu aja dia, kalau Dave dulu susah untuk menerima kenyataan, kalau Papinya itu mengelak untuk mencintai Davina—maminya pada saat itu.

 

 

Bersambung.

 

 

Bab 04 - Jebakan

🍀🍀🍀

"Belikan Papi kopi di gerai yang ada di mall dekat gedung kantor kamu, Sayang," pesan Papinya lewat hape.

"Pengusaha kopi beli kopi ini namanya, Pi?" ejek Daviana yang terkekeh di posisinya berdiri. Dia masih setia berada di ruang kerjanya yang cukup luas untuk dia seorang tempati.

 

“Harus. Biar kita bisa meningkatkan pendapatan para pedagang seperti mereka, Nak. Papi tunggu dirumah ya. Jangan lupa beli kesukaan papi dan mami. Kalau kamu mau, boleh beli buat kamu juga.”

"Siap! Papi bos," balas Daviana di ujung percakapannya. Sebelum terdengar nada obrolan terputus, Daviana sempat mendengar suara papinya yang tertawa  di sana.

Bagi Daviana, kedua orang tuanya adalah cinta pertama yang tak bisa tergantikan oleh siapapun. Sebisa dirinya memberikan apa pun yang menjadi permintaan mereka. Tapi berat buat mengabulkan perjodohan yang dibuat oleh mereka.

“Asataga ... kenapa aku mengingat lelaki itu?”

Tentu saja terlintas dalam ingatannya. Setelah menjauhkan hape dari daun telinga, Daviana ikut ketularan tawa papinya tadi. Dan berpikir soal cinta yang penuh untuk orang tuanya. Hingga keinginan besar serta harapan mami dan papinya ke dia.

Sudah hampir seminggu berlalu sejak 

Raili meninggalkan Daviana di acara pesta malam rekan bisnis sang papi. Daviana terus kepikiran beberapa hari belakangan setelah pertemuan kedua yang diatur oleh papinya. Dengan sikap Raili yang berbeda itu, mengundang rasa  penasaran di benak Daviana. Ada apa dengan lelaki itu.

“Daripada terus mikiri dia, ada baiknya disudahi semua ini. Dan cuss ... ke tempat yang papi inginkan.”

Berbicara sendiri sambil berdiri dan merapikan barang-barang di atas meja, Daviana kini bergegas keluar dari ruang kerja dan keluar dari gedung perusahaan.

Sampai di Pondok Indah Mall 2, Daviana teringat akan sesuatu.

"Bagaimana mau beli itu kopi. Nama kedai kopinya apaan? Kenapa jadi lupa tanya sama papi tadi? Davia ... Davia. Belum tua-tua amat, pun lo kok uda pikun sih?" cercanya pada diri sendiri. Kini Daviana menepi dari tengah kerumunan pengunjung lantai basement dekat pintu masuk. Menjelang malam tentu saja mall itu ramai.

"Pi ... nama gerai kopinya apaan? Papi pikir Davia cenayang ya?" tanyanya setelah membuat panggilan.

“Oh, iya, Papi juga lupa. Nama kedainya  ... kopi Rayakan di lantai 2, Sayang.”

“Wokey, Pi. Sampai jumpa nanti ....”

 

Daviana kembali membelah kerumunan pengunjung, seusai memutus panggilan barusan. Setelah tubuh ramping Daviana lolos dari kerumunan orang di mesin pengangkut, kini matanya mengedar pandang sambil berjalan mencari kedai kopi yang disebut papinya tadi.

"Kopi Rayakan. Benarkan itu?" 

Daviana semakin bersemangat memacu langkah kakinya yang mengenakan sepatu wedges 3cm dan masih mengenakan setelan kerja formal. Sisa-sisa make-up yang memudar di wajah, pun tak mengurangi kecantikan yang dimiliki oleh Daviana sejak lahir. 

 

Benar saja. Daviana tidak memerlukan apa pun untuk menonjolkan dirinya di depan orang banyak, agar mendapatkan tatapan ke arahnya. Rambut panjang hitam legam bergelombang sebahu, pun seolah berdansa mengikuti gerak langkah kakinya memasuki gerai kopi yang barusan ia temukan.

“Kak Rai?”

Langkah kakinya terhenti, saat ia hendak menuju ke Barista untuk memesan pesanan orang tuanya, mata Daviana menemukan sesosok orang yang tidak asing yang sedang melayani pelanggan di kedai itu. Dia hanya bergumam bukan pula memanggil orang yang bersangkutan. Daviana hilang akal dan berniat buat kabur dari tempat itu. Namun apes, Raili mendapatkannya lebih dulu sebelum membalikkan badan.

“Davia?”

Sejurus Daviana memejamkan singkat kedua mata, sebelum memutar tubuh. "Egh, Kak Rai?" 

Lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. “Beneran kamu? Ngapain di sini?”

"Mau karaokean, Kak. Ya mau pesan kopilah, Kak," balasnya kikuk.

Raili tertawa mendengarnya. “Kamu sendirian?”

Dia mengedikkan bahu. “Seperti yang Kakak lihat. Sepertinya ... lagi-lagi aku kena perangkap.”

“Perangkap?”

Daviana mengangguk masih menggantung senyum. “Papi yang memintaku ke sini buat belikan kopi. Tapi dengan polosnya aku mau-mau aja, sih, Kak.”

Keduanya terdiam sejenak. Ada sesuatu yang memang sangat menjanggal. Bagaimana pun, pertemuan mereka dalam sebulan itu semua diatur oleh orang tua mereka, termasuk yang ketiga ini. Kapan akan datangnya pertemuan tidak terduga di antara mereka.

 

Raili tersenyum dan menggeleng. “Anggap aja memang dipertemukan oleh takdir. Kamu buru-buru, Davia?”

Daviana menggeleng. “Nggak juga, Kak. Kenapa?”

"Duduk dulu yuk. Kamu mau pesan apa? Biar aku yang buat," ucap Raili tampak senang.

“Aku nyusahin, Kak.”

“Nyusahin bagaimana?”

“Ganggui kamu kerja.”

Raili terkekeh. “Aku yang punya kedai kopi ini, Davia. Siapa yang berani marah sama aku?”

Alis Daviana terangkat sebelah. “Begitukah? Baiklah ... aku mau pesan dalgona coffee caramel, Kak.”

"Ok ... duduk di bagian depan ya. Ada sofanya. Biar kita ngobrolnya santai. Aku tinggal bentar dulu." Raili bergegas dengan semangat yang berapi-api ke tempat pengolahan kopi.

Daviana memaju langkah ke tempat yang ditunjuk Raili tadi. Ekor matanya memandangi Raili yang kini berganti pekerjaan sebagai Barista. Tidak dipungkiri, Daviana sedikit tertarik dengan pesona Raili yang tampak berkharisma dengan profesi lelaki itu. Apa lagi, lelaki sepertinya tidak malu melakukan pekerjaan di depan umum seperti sekarang.

Ya, meskipun Daviana tahu, kalau anak muda zaman sekarang memang sangat pintar berbisnis, banyak pula yang menjadi owner dengan pendapatan yang fantastis. Dengan bantuan internet memperkenalkan setiap menu lewat jejaring sosial media, tentunya mempermudah siapa saja mempromosikan dagangannya.

"Maaf lama ya." Raili meletakkan isi nampan yang sempat ia bawa barusan, kemudian duduk tepat di depan Daviana.

Daviana menggeleng. “Nggak kok. Di sini suasananya enak banget ya, Kak.”

“Kamu suka foto?”

Daviana mengangguk. “Suka banget.”

“Sini biar aku fotoin.”

"Egh, bukan foto diri loh, Kak. Aku gak suka kalau foto diri sendiri. Suka sama foto makanan atau tempat-tempat yang keren sih, Kak," balasnya agak canggung.

“Ouuu ... orang cantik biasanya gitu ya?”

“Kagaklah. Cantik dari mananya?”

Raili terkekeh. “Diminum dong, biar tau rasa kopi yang dihasilkan perusahaan papaku. Ya, meskipun papa kita—sama-sama tukang produksi kopilah.”

 

Daviana menarik kedua sudut bibirnya, lalu menarik cup ukuran large di depannya dan kemudian menyesap isi cup. “Enak banget, Kak.”

“Really? Syukurlah. Aku racik khusus buat kamu  ...”

“Terima kasih, Kak.”

Friendly. Keduanya sama-sama memiliki sifat yang mirip. Daviana kembali mengaduk-aduk kopi dengan sedotan. Kedua matanya tampak berbinar sembari menyedot kembali isi di dalam cup. Raili merasa canggung, ketika ia hendak menyatakan sesuatu dalam hatinya yang terus mengganjal dalam sanubarinya.

 

“Davia ... Kakak mau minta maaf.”

Daviana menarik wajah dan mengarahkan tatapan penuh tanya dari kilat mata hitamnya. “Maaf? Untuk apa, Kak?”

“Untuk kemarin, karena Kakak meninggalkan kamu sendirian tanpa berpamitan. Jangan marah ya?”

Kedua bola mata mereka saling bertaut bertukar pandangan dalam diam. Sesaat kemudian, Daviana lebih dulu memutus kontak mata dan berkata, “tidak masalah, Kak. Mungkin saja ada sesuatu yang mendesak setelah menerima telpon kemarin, 'kan?”

 

Daviana mempertahankan ekspresi wajah yang baik-baik saja. Meskipun dalam benaknya bertanya-tanya, apa yang menjadi alasan Raili meninggalkannya begitu saja. Padahal, mereka sempat masuk ke dalam  obrolan yang tidak singkat, tentang privasi Daviana pula.

“Bukan itu alasannya, Daviana.”

Ragu-ragu Daviana hendak bertanya. “La-lu?”

 

“Hallo, Rai, apa yang sedang kau lakukan?!”

 

Bersambung.

 

Bab 05 - Udah Punya Pacar

 

“Hallo, Rai, apa yang sedang kau lakukan?!”

Mendengar seseorang menyapa dari arah belakang Raili, kedua iris hitam dari Daviana dan Raili beralih tatap ke sumber suara.

“Jingga?”

Bola mata Raili melebar sempurna. Refleks menarik tubuh lelaki itu bangkit berdiri memandang kaget akan kehadiran gadis bernama Jingga yang tak terduga kedatangannya. 

 

Dengan mata nyalang, gadis itu melihat Raili dan berpindah ke Daviana seperti bak seorang pencuri yang kedapatan mengambil barang kesayangannya. Ia berkacak pinggang kini, mengekspresikan sesuatu yang siap meledak dari mulutnya.

 

"Kenapa? kaget aku datang ke sini tanpa pemberitahuan sama kamu! siapa perempuan itu?" tunjukknya ke Daviana tanpa mengubah tatapan. "Selingkuhanmu? agh, jangan-jangan ini yang buat kamu berubah akhir-akhir ini, Rai!" ketusnya bertubi-tubi.

 

 

Lelaki itu tidak percaya akan kehadiran Jingga yang tiba-tiba dan menuduh Daviana yang bukan-bukan. Namun, melihat akan kemarahan Jingga yang membuat lirikan pengunjung cafe ke arah mereka, menjadikan Raili gagap dan panik sendiri. Rasa malunya lebih besar lagi, ketika ia mendapati manik tak biasa dari Daviana ke arahnya. Iris hitam gadis dalam pandangannya itu menyiratkan tanda tanya besar.  

 

"Dia anak sahabat papaku, Ga. Jangan menuduh sembarangan," kata Raili pelan dan membujuk.

 

“Ouuu ... jadi kau membela dia! jangan bohong, Rai! apa hubungan perempuan itu sama kamu?”

 

"Nggak ada! kita nggak lebih dari sekadar berkenalan, Mba," sambung Daviana yang tidak tahan mendengar ocehan Jingga yang tak beralasan.

 

Di sini, Daviana merasa sangat malu seolah sedang dipojokkan dalam pertengkaran pasangan di depannya. Dia seperti mendapatkan status tidak baik sebagai orang ketiga di antara keduanya di mata orang-orang sekitar.

 

“Lalu? kenapa kalian bersama? hah? apa yang kau lakukan dengan pacar orang? apa kau mau mencari sesuatu yang bisa kau manfaatin darinya?”

 

"Jingga! jaga omongan kamu. Dia anak rekan bisnis papa. Apa yang dia cari di aku? papanya malah banyak membantu perusahaan papaku. Kenapa kamu jadi sembarangan gini ngomongnya? ayo ... kita ngobrol ke tempat lain aja." Raili mencoba menarik lengan tangan Jingga, tapi gadis itu dengan kasar menepisnya.

 

“Terus ... terus aja belain dia! kamu memang nggak bisa dipercaya lagi, ya, Rai. Kenapa? kamu uda bosan sama aku, ya?”

 

"Aku tidak sama seperti yang kamu tuduhkan, Mbak! Aku malu banget di sini. Aku pamit, ya, Kak. Pesanan orang tuaku tadi gimana, ya? ini berapa harganya?" Daviana bangkit berdiri. Ia terlihat sangat kacau dan menahan diri hingga terlihat linglung. Raili tak menampik, kalau Daviana sedang terluka oleh perkataan Jingga. Gadis itu terlihat menunduk mengarah ke meja. Dia sedang berpaling dari apa yang ada di depannya.

 

"Maafkan Kakak, Daviana. Kamu bisa pesan ke bagian Barista untuk pesanan om," katanya tergesa-gesa ke Daviana. "Ayo, Ga, kita ke tempat lain." 

 

Raili mau tak mau memaksa Jingga untuk keluar dari tempat mereka berdiri. Semakin malu baginya mengetahui diri itu tidak mampu berbuat apa pun dengan ulah Jingga—kekasihnya. Bukan hanya malu di depan para pengunjung cafe, Raili lebih malu mendapatkan kehidupan yang sebenarnya di depan Daviana. 

 

Gadis yang menurutnya sangat terhormat dan sosok yang sempat ia rindukan seminggu yang lalu. Ya, Raili merasa nyaman didekat Daviana. Seolah dirinya bisa menjadi diri sendiri, ketika bersama gadis itu. Itulah tipikal pendamping hidup yang pernah Raili inginkan.

 

 

"Apa Mba baik-baik aja?" tanya salah satu staff di cafe Raili.

 

"Agh, iya, saya baik kok, Mas. Saya mau pesan dan bayar yang ini tadi," ucap Daviana menunjuk cup kopinya yang bersisa. “Bisa tolong pesankan gak, Mas?”

 

“Boleh, Mba. Tapi saya mau ucapkan maaf atas nama atasan saya. Sebelum kejadian ini, Bang Rai bilang nggak usah kasi tagihan sama Mbak Nya. Jadi, saya pikir, kalau Mba adalah orang pentingnya Bang Rai. Jangan dimasukkan ke hati ya, Mbak. Soalnya, Mba Jingga memang kayak gitu sama orang yang gak dikenal.”

 

Rio yang bertugas sebagai pengawas di cafe itu merasa tidak enakan saat melihat Daviana sendirian dalam diam dan tak berpindah sedikit pun dari posisinya. Jadi, dia memutuskan untuk bertanya keadaan Daviana.

 

“Gak apa-apa kok, Mas. Makasih, ya. Aku pesan dua coffee latte ukuran medium aja ya, Mas.”

 

"Baik, Mbak. Tolong ditunggu ya, Mba," kata Rio kemudian melangkah pergi.

 

Daviana hanya menelan kepahitan yang berefek sampai ke dalam dadanya. Bukan apa-apa. Rasanya tadi itu, dia sedang menonton masa lalunya lewat adegan kemarahan Jingga ke Raili. Ia kembali duduk dan berdiam, sembari menantikan pesanannya.

 

“Kamu apa-apan, sih, Rai!”

 

“Kita ke mobil, Ga! Jangan di sini. Nggak enakkan di lihat banyak  orang.”

 

"Kamu tuh, ya? Aku uda pernah bilang! Kalau jalan sama aku jangan dekat-dekat sama cewek lain. Pantesan aja dihubungi gak jawab-jawab, rupanya lagi asik ngobrol sama cewek lain. Pake senyum-senyum segala lagi!" 

 

Raili cuma bisa berdiam mendengar ocehan Jingga yang terus menerus mengudara tanpa malu. Tangannya masih sibuk menggenggam lengan Jingga dan membawanya ke area parkiran bawah tanah.

 

“Katakan sama aku! Dia selingkuhan kamu, 'kan?”

 

Raili mulai menginjak gas untuk melajukan mobil mewah berwarna putih susu miliknya.

 

“Jawab! Jangan diam aja kamu!”

 

"Bukan! Dia itu anak sahabatnya papa. Berapa kali aku bilang!" sekilas dia melirik ke arah Jingga yang seperti singa buas hendak memangsa buruan.

 

"Mana ada pencuri mengaku mencuri! Ingat, ya, Rai. Kalau kamu benar-benar selingkuh sama dia, bukan hanya kamu aja yang aku buat hancur, perempuan tadi pun bisa kubuat hancur dan kupermalukan!" ancam Jingga seraya melebarkan kelopak mata.

 

Raili memandang takut. Ia terjerumus dalam cinta yang tak lagi seindah di awal mereka menjalin hubungan.

 

"Jangan kayak gitu, Ga. Davia gak ada sangkut pautnya sama aku. Tadi itu tujuannya datang sebagai pelanggan, buat beli pesanan orang tuanya. Aku yang lagi tugas ngelayani pelanggan, liat dia datang, ya aku panggil. Aku ajak duduk. Namanya juga kenal. Masa iya aku pura-pura gak kenal sama anak sahabat papaku sendiri." ujar Raili sungguh-sungguh. Nada bicara Raili tidaklah setinggi Jingga yang terus menuduhnya tanpa ampun. Lantas, apakah Jingga percaya?

 

 

“Oooo ... namanya Davia. Kenapa anak sahabat papamu tiba-tiba dekat sama kamu? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku, ya?”

 

 

Raili tak menjawab. Mana mungkin dia berani mengatakan kalau keduanya dijodohkan oleh orang tua mereka. Dan Raili, dia juga memiliki niatan ke Daviana, yang seenggaknya bisa dekati gadis itu dengan tujuan yang baik.

 

***

Sampai di kediamannya, Daviana terlihat sangat lelah keluar dari dalam mobil yang ia kemudikan sendiri. Kemolekan dari gadis itu tak terlihat semanis di awal. Ia tak bergairah atau pun bersemangat. Rasa-rasanya, sesuatu telah mengganjal hati dan pikiran.

 

"Apa kak Rai berada dalam hubungan yang tidak sehat sepertiku dulu?" tanya Daviana dalam hati.

 

Selangkah demi langkah, Daviana menyusuri lantai penghubung pintu utama rumah, sambil menenteng paper bag berwarna coklat pudar di lengan tangannya.

 

“Kenapa, Neng?”

 

Daviana sempat menunduk menatap kedua kakinya sambil berjalan. Namun, suara yang paling ia kenal disetiap waktu itu, menarik wajahnya ke depan. Siapa lagi kalau bukan Mami Davina.

 

“Mami?”

 

Mami Davina berdiri tepat di depan pintu dengan kedua tangan terlipat di atas dadanya. Dia memang menantikan kedatangan putri semata wayangnya, yang malam ini pulang sangat terlambat.

 

“Kenapa denganmu, Sayang? Kok kayaknya sedih banget?”

 

Daviana mempercepat langkah kaki dengan berlari kecil. Senyumannya terulas begitu saja dan menghampiri Mami Davina.

 

"Nggak kenapa-kenapa kok, Mi." Daviana merangkul lengan Mami Davina dan menarik perempuan paruh baya itu buat masuk ke dalam. “Ayo, masuk. Angin malam nggak cocok buat orang tua.”

 

"Idih! Sok kemudaan kamu! Tua-tua gini, Mami masih bisa salto-salto. Mau lihat?" Davina mengangkat tangan lainnya, untuk membentuk otot yang kini melebar dimakan usia.

 

Daviana tertawa, “Mami imut banget loh, kayak gini. Oh, ya, mana Papi?”

 

“Kenapa? Apa ada sesuatu yang gak beres?”

 

“Huuuuummm ... papi udah mirip sama Mami, ya?  Davia disuruh beli kopi ke tempat kak Rai.”

 

"Serius?" Bola mata Mami Davina seolah pengen loncat.

 

Daviana mengangguk. “Iya, Mi. Masa gak tau? Biasanya paling pertama.”

 

“Papi nggak ada bilang, sih, soal kopi dan pertemuan kamu. Cuman ... papi hanya bilang ada banyak jalan untuk sampai ke Roma. Gitu aja ....”

 

Daviana pun menggeleng dan tertawa. “Papi dulu gimana sih, Mi?”

 

“Gimana apanya?”

 

“Soal cinta ... apa sekelam ini?”

 

“Kelam? Maksudnya gimana, Sayang? Papimu itu malah ribet soal urusan jatuh cinta. Masih suka sama mantan!”

 

 

"Kak Rai udah punya pacar, Mi," kata Daviana jujur.

 

Sebenarnya, dia tidak ingin mengatakan hal itu pada sang Mami. Tapi karena Daviana ingin meminta pendapat maminya, dia pun terpaksa melakukannya.

 

Bagaimana? Apakah perjodohan mereka akan dibatalkan? 

Bersambung.

 

Bab 06 - Jangan Jauhi Aku

“Kamu serius?”

Daviana mengangguk. “Dua rius, Mi.”

"Sayang ... pacar orang berarti pacar kamu juga. Astaga, ngomong apa mamimu ini? Ya udah, kita ke ruangan papi dulu anter minumannya. Mami mau tau jelas soal yang kamu bilang ini. Jangan kasi tau papi dulu soal ini, ya?" tanyanya mendapati anggukan Daviana. Mami Davina merangkul lengan Daviana, membawanya menuju ruang kerja sang papi.

 

Pintu berwarna putih berbahan kayu terbuka setengah, mengizinkan anak dan istrinya masuk. Senyuman terlihat menggantung dari bibir tipis Papi Dave menyambut kedatangan orang yang paling ia cintai.

 

"My Queen and My Princess. Kalian kompak ke sini," kata Dave seraya berdiri mendekat pada keduanya.

 

“Iya ... mau nganter pesanan Papi.”

 

Daviana mengarahkan paper bag berisi kopi yang telah ia belikan tadi. Papi Dave tatkala senang menerima bungkusan itu. Manik hitamnya berpindah tatap melihat isi pesanan dan kembali menatap Daviana.

 

“Apa kamu ketemu dengan Rai, Sayang?”

 

"Ehee ... mmm. Tentu saja, Pi. Papi yang merencanakannya, bukan?" Daviana duduk di sofa berwarna coklat pudar di sisi kanan ruangan luas yang didesain khusus untuk Papi Dave menghabiskan waktu untuk bekerja.

 

"Iya, Pi, kok gak bilang-bilang sama Mami?" Papi Dave berjalan satu langkah menghampiri Mami Davina. Tangannya yang dulu tampak berisi, meraih pinggang sang istri. “Hanya perkenalan lebih dekat, Mi.”

“Apa ada obrolan di antara kalian, Sayang?”

Daviana melipat kedua tangan di atas dada. “Tentu, Pi. Kak Rai yang ngajak  ngobrol. Seharusnya tuh, ya, Davia mau kabur. Eh, keburu ketahuan dong.”

 

Papi Dave dan Mami Davina saling bertukar pandangan. Sedikit kerutan terbentuk di kening kedua orang tuanya, meresponi ucapan Daviana yang terdengar ambigu.

 

"Kenapa kabur, Sayang?" Mami Davina mengajak suaminya duduk di samping Daviana.

"Malu aja, Mi. Masakan, cewek yang datangi cowok. Malulah. Meskipun Davia ini jomlo, tapi Davia nggak pernah datangi cowok duluan terkecuali kliennya Davia, Mi," balas Davia sesekali melirik orang tuanya.

 

"Tidak apa-apa, Sayang. Kalian akan dijodohkan. Tidak peduli cewek apa cowok, kedepannya kalian adalah pasangan yang akan dinikahkan." Pria paruh bayah itu tersenyum amat senang, membayangkan hal itu terjadi.

 

Dari sebuah senyum manis yang Daviana lihat di sudut-sudut bibir sang Papi, terselip sejuta harapan yang ia taruh pada dirinya dan Raili. Daviana menahan diri, agar tak berkata-kata yang bisa menyakiti hati pria kesayangan itu.

 

"Mami dan Papi uda makan?" tanya Daviana mengalihkan topik pembicaraan.

 

"Sudah. Kamu pulang telat, nggak ngabarin juga. Jadi, Mami sama Papi makan duluan." 

 

"Baiklah ... waktu yang pas menikmati kopi dari calon menantu kalian," kata Daviana seraya bangkit. “Davia mau mandi dulu ya, Pi, Mi. Rasanya uda gerah banget.”

 

Keduanya mengangguk. “Baiklah, Sayang. Jangan lupa makan malam sebelum istirahat.”

 

Daviana menggeleng. "Ada buah, Pi. Davia nggak ingin melebar ke samping. Bye kesayanganku ...." 

 

Melambaikan tangan ke arah mami dan papinya, ia pun memutar tubuh ke arah pintu keluar menuju kamarnya.

 

Raut kesedihan dan rasa lelah akan kejadian di cafe tadi, tercetak jelas di wajah Daviana sekarang. Bagaimana pun, dia tidak pernah merasakan malu dengan status orang ketiga dari hubungan pasangan lain. Bukan tipe Daviana mencuri yang bukan miliknya.

 

Sampai di kamar, Daviana meletakkan beberapa barang bawaan di atas meja, dan tas ke tempat yang semestinya. Dia pun langsung memilih kamar mandi, sebagai tempat yang bisa menyegarkan jiwa yang diselimuti kekecewaan.

 

Keesokan pagi, Daviana yang barusan turun dari tangga hendak menuju ruang makan, dikejutkan oleh kedatangan sosok orang yang dikenal sedang  berjalan masuk ke dalam rumah mewah milik orang tuanya, dituntun sama Mami Davina. Itu adalah, Raili. 

 

Ya, pria itu merasa bersalah semalaman suntuk, dengan apa yang terjadi di cafe. Mengenakan setelan kemeja lengan panjang berwarna putih, dipadukan celana panjang berwarna coklat berbahan jeans, tampak sangat berwibawa sesuai usianya yang masih terlihat muda dan berkharisma.

"Pagi, Davia." 

Daviana barusan tiba di ambang anak tangga paling bawah. “Pa-pagi, Kak. Kok?”

“Iya, maaf nggak ngabarin sebelumnya. Kakak nggak punya nomor hape kamu.”

 

"Wah, Papi lupa ngasih kayaknya. Nanti dulu ngobrolnya, ya, anak-anak. Nggak enak ngobrol sambil berdiri kayak kita. Ke ruang makan sambil sarapan pagi dulu," ajak Mami Davina menengahi obrolan anak muda itu.

 

“Baik, Tante. Maaf, karena Rai merepotkan.”

“Tidak masalah, Nak Rai. Ayoo ....”

Duduk bersamping-sampingan. Daviana dan Raili menjadi tatapan empuk Mami Davina dan Papi Dave. Potret yang diinginkan keduanya, tampak sangat nyata sekarang. Tentu saja keduanya tersenyum dengan pandangan yang ada di depan.

 

Alis Deviana terangkat sebelah. Ia melirik Papi Dave yang tak bergerak di posisinya. “Pi ....”

 

"Egh, iya. Ayo ... kita makan. Setelah ini, Daviana dan Rai bisa berangkat bersama," ujar Papi Dave.

 

 

"Berangkat bersama?" Suaranya sedikit melengking, memekakkan telinga Raili barusan.

 

Papa Dave mengangguk. “Iya. Rai ke sini buat jemput kamu, Nak.”

 

Daviana melirik ke Raili. “Serius, Kak?”

Raut takut ditolak terbentuk di wajah Raili. Lelaki itu tampak cemas dan ragu untuk mengangguk dan berkata, "benar, Daviana. Kakak mau antar kamu pagi ini," balasnya kikuk.

 

“Ouuu ... kenapa repot-repot? Davia bisa bawa mobil, Kak.”

 

Benar kata orang. Cewek kalau bisa mandiri melakukan apa saja sendiri, untuk apa gunanya cowok berada di sampingnya. Apalagi seorang jomblo kayak Daviana.

 

"Karena ... Rai—calon suaminya kamu. Gampang toh jawabannya," saut Papi Dave senang. “Mari dimakan sebelum dingin. Rai, makan yang banyak. Jangan malu-malu. Nanti lapar lho.”

Raili mengangguk samar. “Iya, Om.”

"Anggap rumah sendiri, Nak," timpal Mami Davina. Dia mengagumi Raili sejak tadi. Calon menantu idaman, pikirnya

 

Raili mengangguk dan tersenyum kikuk. Daviana merona malu. Suasana pagi ini memang terasa aneh dan terlihat tak biasa. Tapi jauh dari dalam hati Daviana, ada kemungkinan gambaran keluarga di sini. Dia tidak bisa mengharapkan apa pun, sebab dia tahu sendiri, Raili bukan seorang jomlo seperti yang dipikirkan Mami dan Papinya.

 

 

Seusai makan dan berpamitan. Kini, Raili benar-benar mengantar Daviana untuk bekerja di perusahaan dibawah naungan Daviana sendiri. Daviana ditugaskan oleh papinya, untuk memimpin perusahaan cabang di Jakarta Selatan.

 

"Maafi kejadian semalam ya, Davia," ucap Raili memecah keheningan sejak tadi.

Daviana sempat bermain dengan pikirannya selama hening menyergap, kini menoleh ke arah Raili sedang mengendalikan setir kemudi mobil. “Nggak apa-apa, Kak. Bukan kesalahan Kak Rai juga.”

 

“Kakak benar-benar minta maaf, karena uda buat kamu malu di depan umum. Kakak gak sangka akan seperti itu, Daviana.”

 

"Nggak masalah, Kak. Mungkin, kalau Davia yang di posisi itu dan lihat pacar sendiri duduk berdua sama cewek lain yang gak dikenal, bakalan marah juga. Santai aja, Kak. Daviana nggak masalah," balas Daviana mencoba tenang. Menenangkan diri sendiri yang sebenarnya ingin sekali membantu Raili membuka hati dan pikiran tentang kekasihnya itu.

 

Raili melirik sekilas ke Daviana. Raut wajah gadis itu terkesan memaksakan diri. Ada kecanggungan di sana. Raili bisa menebak, gadis di sisi kirinya seperti takut memandang padanya.

 

“Kamu bakalan jauhi aku?”

 

Kembali Daviana terkejut dibuat lelaki itu. "Jauhi gimana, Kak? Nggak akanlah. Kita bisa berteman, 'kan?" balas Daviana dan berpura-pura tertawa santai.

“Aku boleh tanya sesuatu sama kamu, Davia?”

“Silahkan, Kak.”

Butuh jeda lima detik, untuk Raili berucap, “apa aku sama di mata kamu, Daviana? Sama dengan dirimu terdahulu menjalani hubungan yang tidak sehat itu?”

 

Daviana terkesiap. Betapa inginnya dia mengatakan hal serupa pada Raili. Betapa berharapnya Daviana untuk membantu menyadarkan Raili—lelaki yang kini terlihat di kedua manik kecilnya terlihat sangat kasihan. Tidak terungkap kebahagian dalam diri Raili.

 

"Bagaimana Daviana? Katakan padaku sejujurnya," katanya lagi sedikit memaksa dan penuh harap.

 

 

Bersambung.

 

Bab 07 - Menembus Dunia Daviana

Bibir Daviana mendadak kelu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Daviana merasa tidak punya hak atas Raili—lelaki yang sebulan itu baru dikenalnya.

"Davia?" panggil Raili lagi. Daviana yang membisu menoleh ke samping kanannya.

"Ya, Kak?" tanya Daviana. Dia masih tercengang sempat kaget.

 

"Kenapa diam? Kamu gak mau kasi tanggapan tentang kejadian kemarin? Aku tahu, kamu sempat kaget karena malu, 'kan?" tanya Raili sekilas menoleh ke arah Daviana. Keduanya saling pandang kini. “Aku terjebak dengan hubungan yang seperti kamu katakan waktu itu, Davia.”

 

"Aku tidak bisa menilai orang lain, Kak." Daviana menarik nafasnya. Raili sendiri kembali memandang ke arah depan. “Kakak dan aku baru kenalan hanya sebulan. Sedangkan kejadian kemarin baru sekali terjadi. Aku tidak bisa memberikan penilaian tentang hubungan kalian.”

 

"Jujur ... Kakak malu sama kamu, Davia," gumam Raili.

 

“Kenapa harus malu?”

“Kamu calon istriku di mata kedua orang tuaku, Davia. Itu memalukan dilihat langsung sama kamu.”

 

“Tapi kita gak mungkin bersama kalau menolaknya, Kak.”

 

“Kalau aku gak ingin menolak gimana?”

 

Daviana menoleh. “Apa maksudnya, Kak?”

 

“Hanya ingin lebih dekat dan kenal sama kamu, Davia. Kamu gak keberatan, 'kan?”

 

"Friend zone, 'kan? Kenapa tidak? Nggak perlu sungkan dan merasa keberatan, Kak." Daviana mendesahkan napas. “Soal perjodohan, aku akan bilang sama mami dan papi, kalau kita nggak bisa terima kemauan mereka. Aku yang akan urus soal itu nantinya, Kak.”

 

Raili berdiam diri mendengar penuturan gadis di sampingnya. Angin segar yang dibutuhkan Raili, perlahan memudar karena diterpa debu. Raili tidak bisa mengharapkan banyak dari Daviana, tapi dia tidak juga ingin kehilangan tempat ternyaman yang baru saja ditemukannya.

 

"Kita sudah sampai. Makasih sebelumnya, Kak," ucap Daviana. Dia melepas seatbelt. Raili merasa gugup.

 

“Begini, Davia. Bagaimana ... pulang nanti aku jemput?”

 

“Tidak perlu, Kak. Aku bisa suru sopir perusahaan ngantar ke rumah.”

 

“Permintaan papa dan mamaku.”

 

Daviana terkesiap. “Maksudnya?”

 

“Sebenarnya ... mama dan papa memintaku untuk membawamu ke rumah, Davia. Makan malam bersama. Apa kamu bersedia?”

 

“Kak ... kalau aku terima, nantinya kamu jadi susah lepas dari perjodohan kita. Orang tua kamu mikirnya, kita beneran jalan dong. Tolak aja, Kak. Aku gak mau kekasih kamu tidak diakui nantinya.”

 

"Memang tidak diakui, Davia," celetuk Raili jujur.

 

Sorot mata Daviana menatap Raili heran. Kebingungan tersemat di wajah cantik milik Daviana. “Jadi, karena itu kamu dijodohin, Kak?”

 

Raili mengangguk. “Iya, Davia. Keluargaku satu pun nggak ada yang setuju dengan Jingga.”

 

“Namanya Jingga?”

 

“Iya. Tapi tidak seindah namanya.”

 

"Jangan berkata apa pun soal hubungan kalian, Kak. Davia nggak punya hak untuk itu. Soal makan malam ... apa memang harus? Kakak nggak menyesal kedepannya?" sedikit rasa takut di wajah Daviana menatap lelaki di sampingnya.

 

Raili tersenyum. “Aku senang, kalau kamu mau. Jangan jauhi aku ya, Dav?”

 

“Nggak kok, Kak. Kalau butuh sesuatu, kamu bisa cerita ke aku. Tapi kalau tentang kejelekan dan keburukan hubungan Kakak dan Jingga. Davia nggak mau dengar, Kak.”

 

Tangan Raili refleks menyentuh ujung kepala Daviana. “Kamu memang gadis yang baik.”

 

"Egh?" 

"Agh, maaf. Kamu mirip banget sama Rashi," jawabnya sedikit salah tingkah. Daviana mengening.

“Rashi?”

 

“Adikku, Dav.”

“Ouuu, Kak Rai punya adik ternyata.”

 

“Iya. Ya udah, buruan gih pergi kerja. Nanti bisa telat karena ngobrol sama aku.”

 

Daviana tersenyum. “Baiklah. Kamu hati-hati di jalan ya, Kak. Aku kerja dulu. Bye ....”

 

Kepergian Daviana meninggalkan bau parfume miliknya di mobil Raili, dengan varian harum jenis cherry blossom dari merk terkenal, menyeruak ke dalam hidung Raili. 

 

Sangat lembut dan menenangkan. Jadi ciri khas karakter seorang Daviana dalam ingatannya. Dan Raili—lelaki itu menyukainya. Dia menyangkal perasaan, karena tak berani memiliki gadis sebaik Daviana. Menyoroti tubuh Daviana yang hampir memudar dari pandangannya di depan sana, Raili mendesahkan napas berat.

 

“Harus bagaimana mengakhiri kisah yang tak akan ada ujungnya ini?”

 

Melesat kembali ke jalanan, Raili memutuskan untuk bertemu Jingga yang biasanya harus dia kunjungi di jam sembilan pagi sebelum pergi ke kafe miliknya.

 

"Aku uda di parkiran," kata Raili dari ujung telepon genggamnya.

“Masuk dong. Kayak gak biasa aja.”

 

“Aku gak bisa lama-lama, Ga. Ambil ke sini.”

“Gak mau! Kamu turun dan masuk sebentar. Aku rindu.”

 

Suara nada sambung terputus mengesalkan bagi Raili. Meskipun seperti itu, dia tetap turun dari mobil dan membawa sarapan untuk Jingga. Begitulah hari-harinya.

 

"Ini," menyerahkan satu bungkus plastik putih. Jingga menerimanya dan melihat ke dalam isi. “Sesuai pesanan kamu.”

 

"Masuk dulu." Jingga menarik lengan Raili untuk membawanya ke dalam apartemen.

 

“Aku mau kerja, Ga. Uda hampir jam sepuluh pagi.”

 

“Kenapa deh?! Kamu itu benar-benar berubah kayaknya, Rai? Pagi gini, kafe juga udah buka. Ada karyawan kamu.”

 

"Biasanya ada briefing pagi sebelum kerja, Ga. Kafeku juga bukan cuma satu. Banyak," kata Raili setengah suara.

 

"Ada Pinta dan Roy. Kenapa kamu khawatir? Gak tertarik sama koleksi baruku?" Jingga mulai memeluk Raili. Menyentuh bagian titik tertentu. “Uda lama juga, 'kan?”

 

"Aku nggak bisa, Ga!" Raili menolak pelan tubuh Jingga. "Aku nggak mau kayak begituan lagi." 

 

Jingga terkejut melihat respon Raili barusan. “Kamu kenapa, Rai? Udah gak sayang sama aku? Apa karena cewek semalam?”

 

"Kenapa bawa-bawa dia? Aku sadar, Ga, kita seharusnya nggak ngelakuin hubungan yang kayak gitu. Itu semua gak baik sebenarnya. Aku salah mengikuti ide kamu waktu itu," sesal Raili. Dia mengusap kasar wajahnya.

 

"Kemarikan hape kamu." Dengan paksa Jingga menarik tas yang sering dibawa oleh Raili ke mana-mana dari tangan lelaki itu.

 

“Kamu mau apa, Ga?”

 

Jingga dengan cepat menggeser layar hape milik Raili. “Kamu hapus semua foto-foto waktu itu?”

 

Raili mendesahkan napas. “Aku nggak mau kayak gitu lagi, Ga. Nggak seharusnya kita ngelakuin hal-hal yang belum dihalalkan.”

 

"Kamu berubah, Rai!" ucapnya dengan marah.

 

“Tidak semestinya, Jingga. Kalau aku benar-benar sayang sama kamu, harusnya —”

 

“Bagiku harus seperti itu! Jangan berani-berani berubah untuk berpaling dariku, Rai! Kamu tahu sendiri, apa nantinya yang kamu dapatkan kalau kamu ninggalin aku?”

 

 

Selepas dari apartemen Jingga dan bertengkar hebat, Raili memilih pergi dari apartemen Jingga. Kesalahan dirinya terhadap gadis tersebut, kian terpupuk di dalam dasar hatinya.

 

Dia memukul stir mobil. “Aku rusak!”

 

***

Kala mentari pulang ke tempat peraduannya. Dua insan yang terjebak dalam perjodohan itu, barusan tiba di kediaman keluarga Raili. Mengenakan kemeja putih polos berlengan pendek dan celana panjang berbahan jeans berwarna hitam, Raili bersama-sama Daviana yang kini masih mengenakan seragam kantor yang sama.

 

“Aku tidak sempat dandan, Kak. Apa tidak masalah?”

 

"Kamu tetap cantik, Daviana. Mau dandan atau tidak, sama aja. Tetap cantik," balasnya jujur. Ada senyuman di wajah tampan Raili.

“Wajar, ya, cantik dari lahir memang beda.”

 

Tawa keduanya mengudara mengiringi langkah kaki melewati taman dan rerumputan hijau di halaman rumah mewah milik Raili.

“Kamu bisa aja, ya.”

 

Daviana tertawa. “Maafkan aku, Kak. Aku orangnya kepedean.”

 

"Daviana?" panggil wanita paruh baya.

 

Kaki Daviana terhenti dan melirik ke sumber suara. “Tante Melly?”

 

Raili mengening. “Kamu kenal mamaku?”

 

 

Bersambung.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jodohku Ternyata Kamu
0
0
Bab 8 - 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan