Tenggelam

0
0
Deskripsi

Siang itu, langit menggelap lagi dan turun hujan. Pandangan mataku sudah pudar. paru-paruku sesak dan perutku kelaparan. Aku belum makan tiga hari ini. Seluru tubuhku kedinginan kecuali kening. Mungkin aku demam. Tapi yang paling parah sebenarnya adalah aku ketakutan. Tiga hari ini aku merasa akan mati sebentar lagi. Sebentar lagi. Tidak buruk juga sebenarnya jika malaikat maut ada di sini. Paling tidak, aku tidak sendirian.

Air hujan tidak langsung bercampur dengan air laut ketika jatuh. Aku...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Surat Cinta
0
0
/1/Tahukah kau Akila, apa yang paling aku inginkan?Duduk berdua denganmu di tepi lautan bersama senja yang berubah dari jingga menjadi abu-abu. Perlahan-lahan memudar, lalu memekat menjadi gelap yang memikat sambil membaca buku. Kan kubacakan untukmu, sajak dari setiap penyair yang aku tahu;Tentang betapa indahnya temu dan betapa menyedihkannya pisah. Agar kita selalu bersatu.Jika garis lembayung sudah menampakkan lampu warna-warni berkerlap-kerlip dari perahu penangkap ikan, kanku tutup buku itu dengan sajak dari perkampungan nelayan. Sebagai pengingat, kalau-kalau aku pergi nanti; Seperti nelayan-nelayan itu, aku akan kembali padamu atau sudah mati. Kemudian, karena hari sudah malam dan tak ada yang bercahaya selain matamu; Kita akan berpegang tangan tanpa saling menatap agar tak satu debupun yang tahu, bahwa kita sedang menyatu bersama semesta, bersumpah setia dalam jiwa masing-masing raga.Angin mendesir dan pepohonan terdiam. Kita berdua tenggelam. Malam bicara dengan bahasa yang tidak bisa kita pahami, sedang bintang berkerlap-kerlip tertawa pada lautan. Bulan kesepian menatap kita berdua.Di tengah malam itu, kau tiba-tiba akan tertawa kecil karena punya tebak-tebakkan, “Jika ada tiga ekor kura-kura berenang melingkar, berapa banyak pelukan yang kita butuhkan untuk bahagia?” Katamu. Aku jawab dengan tawa karena kita berdua tahu, perihal cinta tak pernah ada orang yang merasa cukup./2/Aku ingin kelak ketika waktu menggerogoti setiap bagian dari pipimu dan keningku, kita membangun sebuah rumah kecil di pedesaan. Dengan gunung yang berdiri sekokoh cinta kita di hadapannya. Dengan taman kecil yang penuh bunga mawar di belakangnya. Dengan beberapa ekor kutilang bernyanyi setiap pagi di samping rumah kita.Setiap sore kita akan duduk berdua menatap matahari yang berubah jingga. Meminum teh dengan kue kering yang kita buat seharian. Aku ingin mendengar semua cerita tentangmu, meski aku sudah tahu. Aku hanya ingin mendengar suaramu.Tak apa jika suatu hari, usia membuatmu lelah untuk bicara.Kesunyian adalah musuh bebuyutan orang yang sendirian, tapi sahabat baik orang yang jatuh cinta. Aku selalu suka mendengar detak jantungmu yang memanggil-manggil namaku. Ia berdetak dengan nada rendah yang konstan tapi indah. Aku selalu bertanya-tanya, apa manusia pertama kali menemukan musik karena mendengar detang jantung kekasihnya?Anak-anak kita yang entah berapa jumlahnya, akan sibuk mencari cinta dan cita mereka di kota. Kita akan tinggal berdua saja di rumah. Mereka mungkin akan datang tiap kali patah hati, mencoba bertanya pada orang tuanya apa kunci yang membuat kita selalu mesra di usia senja.“Belajarlah membaca puisi.” Kataku. Seperti yang kulakukan setiap kali malam baru saja memaksamu untuk memejamkan mata. Aku selalu menulis puisi dan menyelipkannya di bawah lampu yang menerangi setiap garis di wajahmu.“Jangan lupa untuk jatuh cinta,” Katamu. Sama seperti pengingat yang sering kau ucapkan setiap pagi setelah kau membaca puisi itu.Ketika aku membuka mata dan yang pertama kulihat adalah kerutan di wajahmu. Semakin hari semakin banyak, tapi tak pernah bisa menyembunyikan senyum manis di wajahmu. Rambut hitammu yang selalu aku puja, kini kian hari kian berubah warna menjadi perak.Aku ingin kelak ketika waktu menggerogoti setiap bagian dari pipimu dan keningku, ia tak akan pernah bisa menyentuh cinta kita./3/Aku ingat suatu hari ketika kita mendaki bukit di belakang rumah pamanmu di Bandung.Kita memulai perjalanan ketika malam begitu indah. Udara menusuk hingga ke balik jaket yang kita kenakan. Sesekali aku harus melingkarkan tangan pada tubuhmu yang kedinginan, tapi malah hati kita yang merasakan kehangatan. Aku memegang tanganmu, takut kau terpeleset di kegelepan. Tapi malah hati kita yang berjatuhan.Pohon-pohon yang kita lewati terlihat bahagia ketika kita melewati mereka, dari dahan-dahannya, kunang-kunang beterbangan ke langit. Menemani bintang-bintang yang kesepian. Jangkrik dan kodok bernyanyi dari akar-akarnya. Musim hujan baru saja akan datang, hewan-hewan itu menyanyikan lagu cinta untuk merayu langit.Jalan yang kita lalui berkelok-kelok. Ia seperti puisi, dipenuhi tanaman hias di kiri dan kanannya. Setiap beberapa langkah sekali aku menemukan keindahan, kegelapan di depan dan cahaya kota di belakang kita. Ada begitu banyak jalan dan ada begitu banyak persimpangan, tapi kau seperti sudah hapal di luar kepala.Seperti puisi cinta, jalan-jalan itu membingungkan tapi punya satu tujuan yang sama; keindahan yang hanya bisa dicapai jika berdua.Kita tiba di puncak ketika matahari masih muda. Kau mengeluarkan kompor kecil dan membuat coklat hangat yang manisnya tidak bisa mengalahkan pipimu. Udara segar masuk ke dada kita dan menyemai tanaman cinta di dalamnya. Ia berbuah tawa dan senyum di wajahmu. Membuatnya sedikit lebih merah dan sedikit lebih menggoda.Matahari perlahan menunjukkan awan putih gempal seperti bocah lucu yang bergerak dari satu bagian langit ke bagian langit lain. Kau bersikeras, awan-awan itu mirip merpati. Padahal aku melihatnya seperti kura-kura. Pada awan lain yang kau lihat seperti kupu-kupu, aku melihatnya sebagai alat penghisap debu. Kita terus berdebat dan berdebat tenang bentuk-bentuk awan, hingga aku menyerah dan membiarkanmu membangun istana awan di atas kepala kita.“Lihat!” Kau berteriak sambil menunjuk awan putih dengan bentuk memanjang dan diikuti dua bulatan kecil di belakangnya, “Itu mirip ular makan bola,” Katamu sambil tertawa. Di mataku, ia terlihat seperti roti buaya. Kita berbeda, tak apa. Yang penting, kita saling cinta./4/Kala itu hujan. Kita duduk berdua di tepian jendela, menatap waktu jatuh ke bumi. Aromanya merebak dan memeluk hidung-hidung kita yang kedinginan. Biasanya, hujan membuatmu ceria. Kau bilang, hujan yang mempertemukan kita. Hujan yang membuat kita terjebak di kafe waktu itu, memaksa kita untuk menyatu. Kau mencintai hujan sama seperti kau mencintai aku.Tapi hari ini, kau murung. Tatap matamu yang sayu terbang menerpa hujan, entah ke mana. Aku mencari dan terus mencari, tapi tak ketemu. Ke mana perhatianmu?. Terakhir kau seperti ini, ketika kucingmu mati. Seorang pengendara motor tak bertanggung jawab menabraknya di depan matamu. Waktu itu, kau menangis tersedu-sedan. Tapi kali ini kau diam, suatu bentuk ketenangan yang aneh sekali.Aku mencoba menggenggam tanganmu, kau tersenyum sebentar. Terkejut. Lalu kembali menatap langit. Genggamanmu yang lembut, perlahan menguat. Apa yang terjadi?. Aku ingin sekali bertanya, tapi kau terlihat sama sekali tak ingin membicarakannya.Hujan akhirnya reda, kita liputi kesunyian. Kau menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, “Kamu percaya pada hubungan jarak jauh?” Katamu tiba-tiba. Aku gelagapan, tentu saja aku percaya. Aku percaya pada cinta.“Kamu serius?”“Iya,”Hujan tiba-tiba turun lagi, kali ini disertai dengan halilintar yang menggelegar. Ribut sekali di luar. Kita masih diliputi kesunyian. Aku menunggu kau bicara sesuatu yang mengganggumu.“Ayah pindah tugas ke luar kota, aku akan ikut.”“Sampai kapan?”“Entah lah”“Cinta itu bukan tentang jarak, pertemuan, atau sentuhan. Cinta itu perasaan. Ia akan melipat jarak kalau kau jauh. Ia akan memotong waktu. Kita cuma harus percaya pada cinta.” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan