
Deskripsi
Balada Pelarian
Kita terapit di antara gedung tinggi
Yang berdoa lampu kota jadi kunang-kunang
Dingin merambat di dinding gusar
Dan mereka ingin sekali berpelukan
Aku sendiri berdoa agar bisa terus terlelap dipelukan kau
Menatap mata kau yang dalam
Sepanjang hari tanpa kata-kata
— sepi dan sunyi adalah bahasa cinta
Aku ingin sekali suatu hari
Lari bersama kau meninggalkan kota ini
Kita akan membangun rumah kecil di desa
Dengan pekarangan rumah penuh bunga
Anak-anak kita akan tumbuh tanpa televisi
Puisi...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
Tenggelam
0
0
Siang itu, langit menggelap lagi dan turun hujan. Pandangan mataku sudah pudar. paru-paruku sesak dan perutku kelaparan. Aku belum makan tiga hari ini. Seluru tubuhku kedinginan kecuali kening. Mungkin aku demam. Tapi yang paling parah sebenarnya adalah aku ketakutan. Tiga hari ini aku merasa akan mati sebentar lagi. Sebentar lagi. Tidak buruk juga sebenarnya jika malaikat maut ada di sini. Paling tidak, aku tidak sendirian.Air hujan tidak langsung bercampur dengan air laut ketika jatuh. Aku menyadari itu ketika kurasakan air laut begitu hangat. Tapi ada lapisan dingin seperti selimut tipis di atasnya, itu air hujan. sembari satu tanganku memegang pelampung, aku mencelupkan diri ke dalam laut. Memejamkan mata dan membayangkan aku ada di rumah, berselimut tebal dan menatap hujan lewat jendela. Dan saat aku membayangkan coklat panas, pikiran itu pudar. Mati dibunuh perut yang keroncongan.Di malam ketika aku jatuh dari kapal, aku berteriak setengah mati. Berulang-ulang hingga kapal itu perlahan menjauh dan tak terlihat lagi. Aku terus berteriak hingga pagi. Tapi tak ada yang mendenganr. Tak ada apa-apa. Hanya ada aku dan pelampung oranye bertuliskan KM. Tristar yang aku peluk sekarang. tenggorokanku sakit karena berteriak berulang-ulang.Aku tertidur dan saat bangun aku menyadari, suaraku hilang. Aku tak bisa bicara, apalagi berteriak minta tolong(yang aku sadari percuma). Aku masih ketakutan setengah mati. Apa yang akan terjadi? Seorang anak berusia delapan tahun, sendirian di tengah laut dengan hanya satu pelampung. Adegan setiap film yang aku tonton soal laut berkelebat. Ada orang diserang hiu, ditelan paus, mati kepalaran dengan mata membelalak, dan potongan-potongan adegan lain yang memiliki satu kesamaan: aku akan mati.Keeseokan harinya, aku mulai bisa bicara lagi. Dengan suara pelan yang kadang-kadang sulit kubedakan, apa aku benar-benar bicara atau hanya dalam pikiranku saja. Aku terus bicara dan berbicara, membayangkan seseorang berada di depanku memeluk pelampung bersamaku. Suatu kali aku membayangkan dia adalah Ari, teman kelasku yang baik tapi bodohnya setengah mati. Pernah juga aku membayangkan bicara dengan Desi, gadis paling cantik di kelas kami. Aku juga pernah membayangkan, aku bicara dengan Herdi. Pemimpin geng elang, anak kelas lima yang suka menggebuk siapun yang tidak dia suka.Aku membayangkan Herdi bersamaku, menangis dan meminta maaf atas semua hal yang pernah dia lakukan. Ia menyesali waktu itu, bagaimana ia menyiram air lewat ventilasi kamar mandi saat aku sedang buang air besar. Dia meminta maaf atas semua uang sakuku yang ia ambil. Ia meminta maaf, dan berkata sebentar lagi kita berdua akan mati di laut ini. Dan aku harus memaafkannya kalau mau mati dengan tenang.Ia tetap menyebalkan meski hanya kubayangkan. Tapi menggambarkan dia meminta maaf, membuat aku seakan-akan merasa kuat. Membayangkan diri menindas orang membuat aku merasa hebat. Mungkin itu yang dirasakan Herdi tiap kali menggebuk orang.Aku selalu ingin melawan, tapi tubuhnya lebih besar dan dia atlit taekwondo. Aku cuma remah-remah. Orangtuanya polisi, dan tidak pernah ada anak yang cukup bodoh menantang anak-anak polisi atau Abri. Aku sempat berpikir, bagaimana kalau anak polisi lawan anak polisi? Dan tentu saja, pertanyaan itu salah. Semua anak polisi di sekolahku bergabung dan menjadi jagoan di geng elang.Saat aku bangun tadi pagi, kulihat matahari samar-samar bersinar dibalik awan di ujung laut. Lalu langit menggelap dan turun hujan. Gelombang laut semakin mengganas dan riuh angin terdengar mengerikan. Aku sudah berpikir, ah sudah. Inilah waktunya. Hingga satu jam kemudian, hujannya berhenti.Aku tak begitu tahu harus berekspresi seperti apa. Haruskah aku senang karena gelombang laut dan angin kembali tenang? Tapi hujan tadi memberi aku minum air tawar. Lalu hujan turun lagi di sore ini. Haruskah aku senang?Laut beriyak pelan ketika pagi hingga siang. Dari sore hingga matahari tenggelam, laut kembali berkecamuk. Hujan sore ini membuat gelombang jadi menjulang lebih tinggi. Aku beruntung hujan berhenti saat malam tiba. Awan gelap digantikan oleh sinar bulan purnama. Kuning, megah, dan agung.Kalau bulan purnama ditatap dengan seksama, ada lubang-lubang di permukaannya. Ari pernah bilang, di bulan ada orang yang sedang duduk. Bayangannya trlihat saat purnama. Tentu saja, yang ia maksud adalah motif permukaan bulan yang memang terlihat seperti orang yang sedang duduk. Pikirannya membuat lubang itu terlihat seperti manusia.Kepalaku terasa semakin hangat karena dua kali hujan tadi. Terdengar suara racauan, aku pasti berimajinasi. Beberapa saat kemudian, aku menyadari mulutku bergerak sendiri. Suara itu, racauanku sendiri. Pandangan mataku semakin gelap. Aku menggapai celana dan mengeluarkan ikat pinggang. Aku mengikat tanganku sendiri ke pelampung dengan ikat pinggang itu dengan kesadaran terakhir yang aku miliki.Terdengar lagi suara. Deru tapi bukan angin. Suara ini seperti ledakan kecil berulang-ulang. Aku tak sanggup mengikat tanganku. Tanganku lemas. Kulihat di depan sebuah cahaya berkerlap-kerlip. Warna hijau dan merah. Suara deru itu datang dari arah yang sama. Dadaku memburu, aku menangis, dan pingsan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan