
Sebuah nama menuju rahasia
“Jio, aku punya firasat buruk pada gadis itu?” Shania mengungkapkan kecurigaannya pada Aina—gadis yang ditemui Jio selama lelaki itu melakukan kunjungan di lokasi pembangunan apartemen yang dijalankan perusahaannya.
Malam di mana Jio tengah menikmati isapan rokok sembari berkeliling lokasi, ia melihat gadis yang tengah berlari-lari dari kejaran lelaki yang kemudian ditolong oleh Jio. Awalnya Jio ingin menolong saja, tapi begitu melihat paras si gadis yang ternyata cukup membuat Jio terpesona, maka berubahlah niat lelaki itu. Terlebih saat tahu jika Aina tak memiliki siapapun.
“Sudahlah, Shan. Kalaupun dia macam-macam, aku sudah pasti menembak kepalanya terlebih dahulu dengan pistolku,” sanggah Jio yang merasa kesal sebab sejak tadi Shania terus berusaha mencuci otaknya agar menjauhi Aina.
Shania menghela nafas, mengambil buku catatan kecilnya di meja lalu bangkit. “Ya, terserah kau saja kalau begitu. Aku hanya memberi saran,” tandasnya lalu melirik Aina yang kebetulan lewat karena hendak menyiram bunga di taman belakang. Shania menatap gadis itu tidak senang. Merasa kalau perhatian yang diberikan teman baiknya itu berlebihan untuk gadis asing yang dibawa ke rumah. “Aku pergi,” imbuh Shania lalu pamit. Gadis itu masih memiliki banyak pekerjaan di kantor tempatnya bekerja.
Jio tidak menyahut, takut jika ucapannya bisa menyakiti gadis yang sudah berteman dengannya lebih dari lima belas tahun.
“Shan,”
Shania menoleh, “Apa?”
“Hati-hati.” Shania mendengus. Merasa kalimat yang diucapkan oleh Jio terdengar sepele sebab selama ini ia baik-baik saja menjadi seorang detektif.
Lalu, rumah itu kembali hening. Jio kemudian berjalan menuju halaman belakang. Dilihatnya Aina dengan dres biru selutut tengah sibuk menyiram bunga dengan mimik wajah yang tampak bahagia, dan itu sedikit menyentuh hati Jio yang selama ini mengeras karena didikan keluarganya. Ia merasa kehadiran Aina cukup menjadi hiburan untuknya yang kerap kali merasa bosan dengan segala kesibukan yang ia miliki.
“Aina?” panggil Jio mendekat. Gadis itu tampak terkejut, meletakkan selang yang sudah di matikannya lalu memberi hormat pada sang majikan.
“Iya, My lord,” jawabnya dengan nada halus.
Ya ampun, Jio senang sekali mendengar panggilan yang disebutkan oleh gadis di hadapannya itu. Lebih menarik lagi jika digunakan saat mereka berada di atas ranjang, nanti.
“Tolong siapkan baju. Aku ada janji setelah ini,” pinta Jio dengan kedua mata yang terus mengamati perangai Aina yang lebih terkesan seperti gadis lugu.
Shania terlalu berlebihan, pikirnya.
Lalu, dengan tiba-tiba, pria itu menarik tubuh Aina mendekat. Pun raut wajah gadis itu spontan memerah karena disentuh secara langsung oleh majikannya sendiri.
“Aku harap kau tidak lupa tujuanku membawamu kemari, Aina.” Bisikan halus yang diucapkan oleh Jio terasa seperti titah yang mendebarkan jantung.
Aina tidak lupa, jelas ia ingat perjanjian yang ia terima jika lelaki itu mau membawanya ke tempat aman dan memberinya kehidupan yang layak. Syaratnya satu; menjadi perempuan simpanan Jio.
Ya, simpanan. Karena Jio masih belum tertarik dengan hubungan sakral yang bernama pernikahan.
***
“Jadi, gadis bernama Hikari Mizuoto itu sudah kembali ke Swetenham?” Shania mencecar tanya pada rekan kerjanya—Damian.
Sedang lelaki yang bernama Damian itu mengangguk, lalu menunjukkan data berupa cctv yang ia dapat dari bandara.
“Wajahnya tidak terlihat jelas karena memakai topi. Tapi, paspor dan tiket yang tertulis jelas bernama Hikari Mizuoto,” tutur Damian yang semakin membuat Shania yakin kalau perempuan yang selama ini ia curigai adalah Hikari keturunan keluarga Mizuoto. Salah satu keluarga yang menjadi korban penindasan grup Adiwangsa milik sahabatnya, Jio.
“Pasti ada yang membantunya, tidak mungkin ia melakukan semua hal itu sendirian,” ujar Shania yang tampak berpikir.
“Kemungkinan begitu, tapi aku masih belum mendapat informasi apapun. Dia cukup lihai menyembunyikan semuanya. Apa kau yakin dia sedang merencanakan balas dendam pada Jio?” tanya Damian lagi.
Shania mengangguk. “Aku menemukan tusuk konde dengan manik-manik khas keluarga Mizuoto di mobilnya beberapa hari yang lalu.” Shania begitu yakin dengan segala insting yang ia miliki sebab selama ini tidak pernah salah.
Damian cukup terkejut mendengar penjelasan rekannya itu. “Memang serumit apa masalah keluarga Adiwangsa dan Mizuoto? Selama ini ada banyak rumor tapi orang-orang tidak peduli dengan semua itu karena merasa itu bukan ranah mereka,” Damian kini cukup penasaran dengan konflik dua keluarga besar yang bisnisnya pernah merajai kota Swetenham.
Shania menghela nafas. “Cukup rumit. Singkatnya, Hikari kecil melihat sendiri keluarganya dibantai oleh Kakek Jio menggunakan pedang milik Ayah Hikari. Lalu semua harta keluarga Mizuoto diambil alih oleh Adiwangsa. Hikari yang saat itu hendak di bawa asisten Kakek Suryo sudah hilang tanpa jejak.”
Kekuasan memang semenakutkan itu.
“Tapi tetap saja, aku tidak akan membiarkan balas dendam sebagai jalan akhir untuk mencapai kemenangan.”
“Bilang saja karena kau menyukai Jio jadi kau khawatir,” sergah Damian yang langsung mendapat decakan kesal oleh Shania. “Bercanda. Lalu apa rencanamu?”
“Pertama-tama, aku harus menemui gadis itu terlebih dahulu tanpa sepengetahuan Jio dan akan mencoba memprovokasinya. Wanita mudah tersulut emosi saat kenangan buruk diungkap,” jelas Shania dengan begitu yakin. Perempuan itu buru-buru bangkit dari kursi lalu mengambil pistol di laci kerjanya. “Jika Inspektur Martin mencari, bilang saja aku hanya patroli biasa.”
Damian sudah berteriak memanggil, tapi Shania abai dan memilih melanjutkan rencananya begitu saja.
***
Hujan di makam sore ini terasa begitu sendu. Tidak terlalu deras sebenarnya, hanya saja kabut pekat dan juga mendung kelabu yang sejak tadi bergumul semakin membuat suasana terasa sedikit mencekam di tanah pekuburan. Apalagi lokasinya yang jauh dari keramaian.
Seorang gadis dengan jas hujan berwarna hitam tengah bersimpuh di hadapan makam dengan patung batu besar di hadapannya. Tidak ada bunga yang di bawa. Hanya saja, sebuah plastik dikeranjang rotan kecil berisi Ningyo yaki terlihat disajikan di atas rumput makam.
“Papa, aku membawa Ningyo yaki isi kacang merah seperti yang sering kau buat dulu,” ujar gadis itu. Suaranya tersamarkan oleh suara hujan yang jatuh. “Aku belajar membuatnya selama ini agar bisa memberikannya padamu, Papa. Tapi maaf, Senbei buatan ku belum begitu enak jadi tidak kubawa.”
Suara guntur kali ini terdengar. Namun, gadis itu juga belum berniat pergi. Sebab, ia sudah tidak takut mati andai saja ia tersambar petir saat itu juga. Tidak sebelum semua rencananya berhasil.
“Sebentar lagi, Papa. Aku akan menyelesaikan semuanya lalu memindahkan makammu ke tempat yang seharusnya.” Kilat penuh amarah itu tampak menari-nari di mata si gadis. Tekadnya sudah membesar layaknya bola salju yang tertahan selama ini.
Gadis itu hendak berdiri, akan tetapi sebuah benda dingin mendarat tepat di samping kepalanya. Sialnya, ia tidak takut dengan moncong pistol yang siap menembakkan peluru itu.
“Jadi, benar dugaanku selama ini. Kau pasti keturunan Mizuoto yang menghilang selama dua belas tahun itu bukan?” Shania mengucapkannya dengan begitu keras. Cukup keras sampai-sampai si gadis itu tertawa.
“Ya ampun. Ternyata aku ketahuan, ya?” tukasnya seperti pasrah. Ia berbalik dengan begitu cepat. Mengarahkan pistol Shania tepat di dahinya. “Tembak saja sekarang, maka pria yang kau cintai itu akan selamat.”
Shania tidak segegabah itu untuk menuruti permintaan Hikari Mizuoto yang selama ini menyamar sebagai Aina.
“Tembak aku, tapi dendam itu belum tentu berhenti, Shania. Orang tanpa Klan sepertimu tidak akan mengerti.” Aina menarik tangan Shania dengan begitu cepat lalu menekuk tangan itu hingga pistol miliknya terjatuh. AIna mengambilnya lalu melemparnya sejauh lima meter. Belum puas di situ, Aina menendang kepala Shania hingga jatuh ke tanah yang basah. Semua terjadi dengan begitu cepat sampai-sampai Shania yang terlatih saja tidak bisa melawannya.
“Apa yang kau rencanakan pada Jio?” Shania mengabaikan kepalanya yang pening akibat tendangan dari lutut Aina.
Sementara gadis itu hanya tersenyum. “Hanya orang bodoh yang membeberkan rencananya,” ia berjongkok. Satu suntikan ia tusukkan pada leher Shania yang begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Aina.
“Sayonara, Shania.”
***
Jio stagnan di tempatnya begitu melihat tubuh sahabat baiknya itu terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit.
“Potasium sianida, tim forensik menemukan bekas suntikan di lehernya. Kemungkinan besar pelaku menggunakan jarum suntik untuk membunuhnya,” Damian menjelaskan apa yang ia dengar dari tim forensik yang memeriksa jasad sahabatnya itu. Matanya masih tampak sembab, kemungkinan Damian pun juga masih tidak menyangka dengan kematian rekan kerjanya yang tiba-tiba itu.
“Apa dia mengatakan sesuatu saat terakhir kalian bertemu?” tanya Jio dengan suara parau.
Damian lalu teringat dengan kisah yang diceritakan oleh Shania sebelum gadis itu pergi terburu-buru. “Ya. Dia bilang dia ingin mengawasi gadis bernama Aina. Shania berfikir karena gadis itu adalah Hikari Mizuoto yang selama ini hilang. Apalagi ia sempat menemukan konde khas keluarga itu di mobilmu,” jelas Damian yang sontak membuat Jio terkejut. Ia langsung meminta penjelasan pada pria berusia dua puluh tujuh tahun itu.
“Apa maksudmu? Kenapa dia tidak memberi tahu aku tentang ini?” Jio terus mencecar Damian dengan berbagai pertanyaan.
Sementara Damian memijat keningnya yang tidak pusing sama sekali. “Aku rasa Shania hanya ingin mencari bukti lengkap dan langsung memberikannya padamu. Ya Tuhan, kenapa dia gegabah sekali.”
Keduanya lantas terdiam. Damian yang masih terkejut karena kematian rekan kerjanya, sementara Jio yang kini pikirannya mulai melanglang buana.
Ia harus segera mencari tahu kebenarannya sendiri.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
