Kembali bercengkrama di antara saudara.
Setelah memastikan jika Hashimoto Nyaa tak akan menemuinya lagi hari ini, Karamatsu langsung pulang ke rumah ketika hari menjelang siang. Dirinya tak tahan jika harus kembali meninggalkan sang adik yang tengah sakit di bawah pengawasan kakak satu-satunya yang tak bisa diandalkan itu. Memasuki pintu rumah, pemuda berambut hitam pendek itu terlihat membawa dua kantong kresek penuh dengan obat, sayur mayur, daging, dan cemilan kesukaan si bungsu. Untungnya, gaji yang didapatkannya dari ‘Nonsense’ cukup banyak untuk membayar barang-barang tersebut.
Tepat setelah anak kedua dari keluarga Matsuno itu merapikan barang belanjaannya di atas meja makan, dirinya segera berjalan menemui sang adik yang kini terbaring lemah di kamar tamu. Membawa obat-obatan dan pudding strawberry kesukaan adiknya, pemuda itu membuka pintu kamar dengan sangat pelan dan mendapati jika Todomatsu sang adik sedang tertawa lepas bersama si sulung. Di tangannya terdapat handphone yang tengah memutar acara komedi mingguan.
Melihat kondisi adiknya yang sudah terlihat sehat seperti biasa, ia menghela napas lega.
Kemudian, memasang pose bak seorang model dengan tingkah yang dibuat sedramatis mungkin, pemuda itu pun segera menyapa kedua saudaranya dengan suara berat yang dibuat-buat.
“Brother, lihatlah baik-baik, saudaramu yang paling tampan rupawan kembali! Setelah melalui banyak rintangan dan cobaan, jiwa lelah yang hanya bisa dipulihkan oleh senyuman secerah mentari, akhirnya kembali ke peraduan tuk mencari pecahan mentari yang bersemayam di sini ….”
Tak mendapat perhatian dari kedua saudaranya tersebut, dirinya kembali berbicara.
“Hmph! brother … sepertinya kalian terlalu terpaku pada layar itu sampai tak menggubrisku. Tapi, baiklah, akan kuulangi sekali lagi. Saudaramu−“
“Totty …, apa kau dengar sesuatu?” celetuk Osomatsu yang tiba-tiba bertanya pada adik berpiyama di sebelahnya tersebut.
“Huh, aku tidak dengar apa-apa selain suara angin. Apa mungkin Osomatsu nii−san nggak salah dengar?” balas si bungsu Todomatsu pada sang kakak.
“Oh, begitu ya …. Kukira aku barusan mendengar suara seorang perjaka yang flexing (pamer) kalau dia habis pulang kerja.” Saat mengatakan hal tersebut, tampak seringai kecil yang muncul di sudut mulut si sulung. Walaupun begitu, sorot mata pemuda ber-hoodie merah itu tak menunjukkan sedikitpun rasa senang.
Menyadari tingkah laku yang ditampakkan oleh kakak dan adiknya tersebut, Karamatsu seketika termangu. Walaupun dirinya terbiasa dengan sikap tak acuh yang selalu ditampilkan keduanya, kali ini entah mengapa pemuda itu merasa tak bisa mentolelir hal tersebut. Kemudian, dengan sikap yang tampak bodoh amat, dia melirik pada sang adik dan ikut menyeletuk,
“Huh, padahal Todomatsu juga punya ker−“
“Huh, kau bicara apa, nii−san?! Maaf aku nggak sadar kalau Karamatsu nii−san sudah pulang ….”
Belum sempat perkataan dari pemuda ber-hoodie biru tersebut selesai terucap, Todomatsu segera memotong pembicaraan seraya memasang senyuman lebar untuk menyembunyikan kegugupan. Karamatsu yang kini akhirnya mendapatkan perhatian dari si bungsu, tampak tersenyum lebar dan kembali bersikap ceria seperti biasa. Sementara itu, Osomatsu hanya bisa melihat interaksi keduanya dalam diam dan terlihat memasang raut wajah kesal sembari merutuk dalam hati.
“Sialan kau, Totty …. Dasar pengkhianat!”
Namun begitu melihat barang yang dibawa adik pertamanya itu, kekesalan yang dirasakan oleh pemuda ber-hoodie merah, seketika hilang dan kini ia bertanya pada sang adik.
“Itu pudding stroberi ‘kan? Buat nii−chan, boleh?”
“Huh, tentu saja tidak, karena ini punya Totty …. Kalau kau mau, ambil saja di bawah.” Begitu mengatakan hal tersebut, pemuda ber-hoodie biru itu tampak melengos dan mendekati si bungsu yang kini terlihat duduk di atas futon dengan wajah kesal.
“Jangan panggil aku Totty!”
“Huh, beneran?! Cihui!”
Setelah melihat kepergian Osomatsu, pemuda ber-hoodie biru itu pun kembali menoleh pada si bungsu dengan wajah serius. Alis lebatnya yang tampak rapi tersebut, kini tertaut tajam begitu wajahnya perlahan mengerut dalam. Begitu mendapat perhatian dari sang adik, ia tanpa basa-basi mulai membuka suara.
“Maaf, Todomatsu. Kau tahu rekan kerjaku, Hashimoto-san ‘kan? Karena curiga padanya yang tiba-tiba mendekatimu setelah aku menolak permintaannya, aku pun bertanya langsung apa alasannya mendekatimu begitu saja. Setelahnya, aku baru tahu kalau dia ternyata tahu soal pekerjaanmu di ‘Banana’ dan mendekatimu untuk meminta tolong terkait hal itu. Berhubung ini urasan penting menyangkut kalian berdua, kami memutuskan untuk bertemu bertiga denganmu untuk menyelesaikan masalah ini.”
Mendengar penjelasan yang tiba-tiba terlontar tersebut, seketika membuat Todomatsu gelagapan.
“Hah, serius?! Tu−tunggu dulu …. Aku masih belum siap menerima ini. Biarkan aku mencernanya dulu ….”
“Maaf,” ucap Karamatsu terdengar sendu.
Mendengar permintaan maaf yang dilontarkan oleh pemuda berambut hitam pendek itu, Todomatsu si bungsu terlihat mengalihkan pandangan dan mendecakkan lidah menahan kesal.
“Cih, jangan minta maaf lagi. Aku tidak sedingin itu untuk menolak mentah-mentah permintaan maafmu, nii-san.”
“Ada yang bilang dingin?”
Tiba-tiba saja Osomatsu muncul sambil membawa sekresek penuh cemilan dan minuman yang dibawa Karamatsu.
“Ah, Osomatsu. Tenang saja, ini bukan apa-apa.” Begitu mendengar suara si sulung, entah bagaimana wajah anak kedua dari keluarga Matsuno tersebut seketika terlihat normal seakan tak terjadi apapun.
“Oh, gitu. Nih.”
“Terima kasih.”
Setelah menerima sekaleng minuman dingin dari uluran tangan Osomatsu, pemuda itu pun mulai membuka kaleng di tangan dan meminumnya. Memperhatikan perilaku sang pemuda, sang kakak ber-hoodie merah ikut mengambil sekaleng bir di kantong plastik dan meneguknya dengan nikmat. Kemudian, entah mencoba mencairkan suasana atau apapun itu, tiba-tiba saja dan tanpa aba-aba si sulung pun berceletuk.
“Hei, ngomong-ngomong soal dingin, apa kau sudah membangkitkan kekuatan supermu?”
Mendengar pertanyaan yang begitu saja terlontar dari mulut sang kakak, seketika membuat minuman yang berada di mulut pemuda itu hampir menyembur. Sisa-sisa minuman yang sempat keluar di sudut mulut, segera disekanya dengan punggung tangan. Mencoba menenangkan diri setelah hampir tersedak, dirinya pun memutuskan untuk bertanya pada si sulung.
“Hah?! Nggak, tunggu dulu … kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu padaku?”
“Oh, soal itu aku dengar dari ceritanya Jyushimatsu kalau kau sempat meringkuk sendirian kayak pengangguran sambil bawa setangkup es batu di tangan,” ucap si sulung dengan santai.
“Sial, aku lengah!”
Memutar otak di tengah situasi tak terduga tersebut, Karamatsu berusaha keras untuk mencari jawaban terbaik yang bisa diberikan kepada kedua saudaranya yang tengah menatap dengan wajah penasaran.
“Uhum, tentu saja hal itu mustahil. Kau tahu sendiri kan, Osomatsu … kalau aku cuma manusia biasa, beda dengan kalian. Perkara es batu itu pun karena aku menjatuhkan wadah es batu yang kubeli di luar taman, jadi jangan ingatkan aku lagi soal itu.”
“Kau nggak bohong ‘kan? Hei Todomatsu.”
“Hah? Please, jangan coba-coba deh, nii-san. Aku masih baru pulih dari demam dan kau menyuruhku untuk memakai kekuatan superku? Keterlaluan,” gerutu si bungsu. Wajahnya terlihat masam begitu mendengar permintaan si sulung.
Bukan tanpa sebab, karena bagi mereka yang memiliki kekuatan super, hal sederhana seperti perubahan emosi pun dapat mempengaruhi kemampuan mengendalikan kekuatan yang dimiliki. Akibatnya, ketika kondisi tubuh melemah dan emosi yang dirasakan menjadi tidak stabil, maka kekuatan super tersebut akan semakin sulit dikontrol. Salah satu hal yang bisa para pemuda itu lakukan untuk mengendalikan kekuatan mereka ketika sakit, adalah dengan bergantung pada sesuatu atau seseorang, seperti yang selalu dilakukan Todomatsu dengan headphone pemberian Karamatsu.
Karena itulah, walaupun mengecek kebohongan orang lain lewat perbedaan ritme jantung bagi pemuda berpiyama tersebut biasanya semudah membalikkan telapak tangan, tapi ketika dihadapkan dengan situasi saat ini dirinya pun merasa tak berdaya.
“Todomatsu benar, brother. That’s no good ….” Geleng anak kedua dengan ekspresi kecewa.
“Haah …. Entah sejak kapan kalian mulai bersekongkol hari ini …? nii-chan jadi kecewa.”
Namun, tak ingin terlarut dalam suasana yang canggung tersebut, Karamatsu pun membuka pembicaraan.
“Oh, iya. Ngomong-ngomong yang lain pada pergi ke mana?”
“Hmm …. Seingatku Ichimatsu dan Jyushimatsu bilang mau pergi ke Professor Dekapan, kalau Chorocoliski bilang dia pergi ke perkumpulan kawan colinya dengan wajah berbinar.” Saat mengatakan hal tersebut, Osomatsu tampak memutar bola matanya dengan santai.
Namun, melihat tingkah laku pemuda ber-hoodie merah yang tampak tidak peduli dan dengan santainya mengejek saudara mereka yang tak ada di sana, anak kedua dari keluarga Matsuno itu pun langsung menegur dengan wajah masam.
“Osomatsu.”
“Iya, iya … kawan otaku-nya maksudku. Kenapa sih, kalau aku bilang kayak gitu, kau selalu kesal?”
“Karena aku bukan orang yang akan menjelek-jelekkan saudaranya seperti itu,” ujar pemuda beralis tebal dan tajam itu lugas pada si sulung.
“Iya, ya ….”
Sadar jika tingkah Osomatsu yang tak merasa bersalah, Karmatsu hanya bisa menghela napas dan memijati pangkal hidungnya dengan dahi berkerut. Tidak ingin memantik konflik yang tidak perlu, tanpa mengatakan apapun, pemuda ber-hoodie biru itu pun segera pergi meninggalkan ruangan dan lanjut memasak di dapur. Melihat kepergian saudara mereka yang paling narsis tersebut, si sulung dan si bungsu hanya bisa saling melirik mata satu sama lain dan kembali menonton acara komedi di layar handphone.
“Arigatou (makasih) home run, Professor Dekapan!” teriak pemuda ber-hoodie kuning. Rambut yang kehitaman serta lengan bajunya yang terlalu panjang, tampak bergoyang di udara saat dirinya melambaikan tangan penuh antusias. Sementara itu, sang kakak yang berparas serupa, hanya bergumam tanpa suara dari balik masker medis yang dikenakan.
Setelah menemui Dekapan untuk berkonsultasi sesuai arahan dari sosok sang kakak narsis beralis tebal, tampaknya cukup membebani anak keempat dari keluarga Matsuno itu. Matanya yang sering terlihat lesu, kini menunjukkan sedikit rona merah dan sembab setelah beberapa jam menangis. Untungnya sang adik yang paling ceria dan dekat dengan dirinya itu pun, turut hadir menemani dan membantu pemuda tersebut menenangkan diri setelah sesi terapi psikologis yang melelahkan.
“Hoe, hoe …. Tenang saja, dasu. Kalau ada masalah dengan mesinnya, segera bicarakan saja denganku,” balas Professor Dekapan yang kini terlihat hanya mengenakan celana boxer bergaris-garis dibalut dengan jas lab yang tak dikancing.
Mendengar jawaban dari sang Professor, pemuda ber-hoodie ungu bernama Ichimatsu itu pun mengangguk pelan.
Sebenarnya selama beberapa jam berlalu, dia tak sedikitpun mengungkapkan perasaan yang tersembunyi di lubuk hati secara langsung pada Dekapan, melainkan melalui alat simulasi yang terhubung dengan asisten virtual dengan pengetahuan psikologis setara profesional. Alat tersebut merupakan salah satu penemudan yang dikembangkan oleh pria paruh baya di hadapannya. Walaupun alat tersebut masih berupa prototype, setidaknya sudah bisa membantu menghilangkan beban yang melakat di hati sang pemuda.
Namun, sebelum pemuda itu pulih sepenuhnya dari sesi panjang tersebut, tiba-tiba saja pria botak gendut di hadapannya terlihat panik seakan baru menyadari sesuatu.
“Ah, gawat! Maaf, dasu. Bisakah kalian pulang sekarang? Aku baru ingat kalau ada janji dengan kenalanku di sini.”
“Ah, iya.”
Setelah mengucapkan salam perpisahan, lengan hoodie-nya yang berwarna ungu segera ditarik oleh sang adik yang sama terkejutnya. Walaupun wajah adiknya selalu tersenyum lebar, entah mengapa ada rasa tak nyaman yang ikut terasa, seperti cemas akan sesuatu. Dengan suara yang agak tercekat, pemuda ber-hoodie kuning yang kini berada di sampingnya itu pun berkata,
“Ayo Ichimatsu nii-san.”
Mengikuti langkah Jyushimatsu sang adik, Ichimatsu dengan kondisi tangan yang masih tercengkram erat berjalan tertatih-tatih meninggalkan laboratorium sang professor. Walaupun dirinya merasa enggan diseret paksa, pemuda bermata lesu tersebut tetap mengikuti insting tajam adiknya yang tak biasa. Namun, begitu sampai tepat di hadapan pintu keluar, keduanya langsung disambut dengan kemunculan sosok misterius dan tanpa sadar menahan napas.
Sesosok pria paruh baya seusia Dekapan, terlihat berdiri tepat di depan pintu sembari tersenyum ramah. Walaupun wajahnya yang berkerut menampakkan kebaikan seperti orang pada umumnya, tapi entah mengapa Ichimatsu dan Jyushimatsu merasakan bahaya yang mengancam darinya. Namun keduanya masih bisa terlihat tenang seperti tak memiliki masalah apapun dan berlalu meninggalkan tempat tersebut, tetap berusaha bersikap wajar meski tak mengatakan sepatah katapun.
Semakin lama ditatap, sorot mata ramah tersebut seakan mencoba menelanjangi mereka dalam-dalam, penuh rasa haus akan pengetahuan. Entah apa yang dipandang sang pria dari kedua pemuda berparas serupa itu, tapi jelas sekali jika tatapan tersebut terarah pada keduanya. Detik demi detik berlalu dalam keheningan lorong laboratorium yang kini terasa dingin, memancing bulu kuduk berdiri dan tubuh yang sudah merinding itu untuk ikut bergemetar.
Sesampainya di luar gedung laboratorium Professor Dekapan, kedua pemuda tersebut segera menghela napas lega. Setelah beberapa detik berlalu, Jyushimatsu yang tersenyum lebar dan tampak menitikkan keringat dingin berkata,
“Haah …. Tadi seram sekali, Ichimatsu nii−san. Rasanya jantungku hampir copot.”
“Iya …. Aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti orang itu berbahaya sekali,” gumam yang tertua ikut mengusap keringat dingin di dahi.
“Tapi, apa yang sebenarnya terjadi, nii−san? Aku tidak pernah menemui orang seperti itu sebelumnya …,” tanya pemuda ber-hoodie kuning dengan wajah penasaran.
“Aku juga tidak tahu … walaupun begitu, aku pernah merasakan hal yang sama sebelumnya.” Saat mengatakan hal tersebut, pemuda bermata lesu dan berambut kusut itu sekilas mengingat sorot mata tajam yang seakan berpendar kebiruan.
Potongan dari ingatan masa SMA-nya yang cukup traumatis tersebut, seketika membuat perutnya bergejolak dan membuat sang pemuda merasa mual. Usahanya sekarang untuk melepaskan diri dari jeratan kenangan masa lalu yang disebabkan oleh ‘blue reaper’, seakan hanya berubah menjadi sebuah candaan di saat situasi seperti ini terjadi. Melihat kondisi pemuda yang kini terkenal depresif dan sarkastik tersebut tampak pucat dan gemetar, membuat sang adik ber-hoodie kuning yang biasanya tampak ceria, ikut merasa cemas.
“Lebih baik kita pulang saja, nii−san,” ucap Jyushimatsu lembut, kontras dengan sikapnya yang terbiasa heboh.
Sadar akan kekhawatiran sang adik yang dipicu oleh dirinya, Ichimatsu segera mengangguk pelan seraya berkata,
“Ya.”
Tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, keduanya memutuskan untuk pulang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰