
Sinopsis :
Awalnya kehidupan Ramayana baik-baik saja sebelum mengenal cewek gila seperti Larisa yang terus mengincarnya untuk dijadikan pacar. Jelas Rama merasa risih, karena dia sudah mempunyai kekasih yang dia cintai bernama Nafisya. Hingga suatu malam mereka melakukan kesalahan bersama yang mengantarkan Rama harus bertanggung jawab atas kehamilan Risa.
Apakah Ramayana akan menikahi Risa dan rela meninggalkan Nafisya?
_________
Aku bisa kejam kepada ibunya tapi tidak dengan anakku -Ramayana Mahesa.
Aku memang wanita yang buruk, tapi aku ingin mencoba menjadi ibu yang baik -Larisa Kanaya.
Bab 6 : Ancaman Maut
Kalian semua menganggapku wanita yang jahat dan licik, itu karena kalian nggak tahu. Jika kalian tahu alasannya, pasti kalian akan menatapku iba. Gue nggak pernah mengharapkan belas kasian orang lain.
-Larisa Kanaya-
_________________
Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling gue sukai karena nggak perlu mikir berbagai rumus teori yang bikin pusing tuju keliling. Gue duduk dipinggir lapangan sambil membolak-balikkan bola dengan lesu, entah kenapa olahraga kali ini bikin gue males. Padahal gue nggak lagi pms, ck ya iyalah kan gue lagi bunting bego!
Pritttt! Suara peluit Pak Dika bikin gue kaget. Seketika gue ikut anak-anak yang lain berkumpul di tengah lapangan.
"Hari ini kita bakalan adu kecepatan dan kefokusan dengan lari estafet. Sudah tau kan cara mainnya?" Tanyanya dengan suara lantang.
"Sudah pak." Sahut kita serempak.
"Oke sekarang silahkan cari tim kalian masing-masing." Perintah pak Dika.
Semua cewek berbondong-bondong kepingin masuk ke tim Doni. Sok kegantengan banget tu anak dikerumunin cabe-cabean.
"Woy Ris lo masuk tim gue yak?" ajak Doni. Cih males!
"Ogiah, gue mau masuk timnya Bowo begeng. Lagian tim lo udah penuh."
"Udah gampang ntar gue urus." Yah akhirnya gue masuk timnya Doni.
"Ris lo kan jago lari, jadi ntar lo main terakhir aja."
"Oke." ucapku mantap, gue yakin bisa masuk finish duluan. Semangat Risa! Gue ambil posisi.
Mulai! Prittttt~
"Tongkat"
"Yak"
"Tongkat"
"Yak"
"Tongkat"
"Yak"
Doni berlari ke arah gue menyerahkan "Tongkat!"
"Yak!" Gue berlari mengerahkan semua tenaga gue. Gue harus menang, selalu menang. Hampir sampai, kurang sedikit lagi.
Dan
Brukk, gue terjatuh tak sadarkan diri. Terakhir kali gue cuma bisa denger suara Doni memanggil nama gue dengan khawatir sebelum gue melayang entah dibawa kemana.
Gue terbangun karena mencium aroma aneh. Ketika gue sadar "Goblok, kaos kaki lo bau bangke." Gue tampol kepala Doni. Bego, orang pingsan bukannya di kasih minyak kayu putih malah dikasih kaos kaki bau tai babi.
"Gue fikir lo suka aromanya." Ucap Doni sambil cengengesan, yang ada gue bisa mati keracunan karena gagal napas. "Bowo, monic come here!" Perintah Doni sok inggris. Gue lihat 2 kucrut itu bawa semangkok bakso dan es teh.
"Nih, gue beliin lo bakso sama es teh. Gue tau lo pingsan karena kelaperan kan? Kalau perlu gue suapin deh." Doni sok perhatian, idiw.
Segera gue srobot mangkuk bakso itu. "Gue bisa makan sendiri." Ketika mau gue sruput kuahnya tiba-tiba mangkok gue asal disrobot seseorang. Gue kira itu Doni yang kagak ikhlas ngasihnya ternyata...
"Kenapa nggak bawa gerobak baksonya sekalian kesini?" ucap pak Dika sambil menjewer telinga Doni.
"Aduh pak sakit, malu diliatin temen-temen pak."
"Kalau mau acara makan-makan dikantin jangan di uks, dah sono pergi! Biar Risa bisa istirahat."
"Iya-iya pak, galak banget."
Bakso gue melayang deh dibawa Doni keluar, kagak jadi makan. Apes banget.
Bu Tantri selaku penjaga uks dateng. "Saya mau bicara sama kamu."
"Bicara aja buk santuy."
"Tadi saya sempet meriksa kondisi kamu."
"Ehem." Gue masih setia dengerin bu Tantri ngomong sambil nyeruput es tehnya Doni yang ketinggalan.
"Apakah kamu hamil?"
Seketika es teh didalam mulut gue tersembur keluar tanpa komando. Untung pas kagak kena mukanya bu Tantri. Gue segera melap mulut gue sambil mikir apa yang harus gue jawab.
"Iya buk saya lagi bunting, tapi ibu janji jangan kasih tau kepsek dulu karena saya belum siap di DO. Saya janji kalau waktunya tepat saya akan segera mengundurkan diri dari sekolah." ucapku memelas. Lagipula nggak ada gunanya juga gue mau alibi bohong.
"Entahlah, selama ini saya berfikir senakal-nakalnya kamu tidak akan kelewat batas. Tapi nyatanya dugaan saya salah, karena pergaulan bebas, kamu telah merusak masa depanmu sendiri." Masa depan saya sangat cerah bu, hidup bakalan terjamin setelah menikah dengan Rama. Gak usah sotoy deh!
"Buk saya mohon." Kali ini gue bener-bener berlutut kepada bu Tantri.
"Iya-iya. Sudah bangun." Syukur deh, kaki gue bisa kesleo lama-lama berlutut.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Gue berjalan ke kantin melawan pusing yang mendera di kepala, gue ingin membeli roti dan susu kotak. Gue nggak tahan lama-lama di UKS dengan bau obat-obatan yang buat gue mual.
"Buk berapa?"
"Sepuluh ribu neng."
"Wah mereka romantis banget ya, gue iri deh." Gue denger cekikikan cewek alay kurang belaian lagi ngegosip ria dibelakang gue.
"Kalau gue punya pacar kek gitu, gue rela kagak pakek sempak sebulan."
"Gue malah kagak pakek bh setaun, xixixi."
"Kalo gue liatin masih cakepan gue daripada nafisya." Pendengaran gue seketika menajam ketika nama ular kadut disebut. Gue menoleh kebelakang mengikuti arah pandang 3 cewek alay.
Tatapannya lurus kedepan. Aje gile! Disana ada calon suami gue lagi nyuapin siluman ular kadut dengan mesra. Gue langsung naik pitan emosi, gue lagi kritis di UKS mereka malah suap-suapan manja di kantin. Gue samperain lu berdua! Gue labrak biar tau rasa!
"Eh neng duwitnya, belum bayar!" Ngribetin jalan gue aja ni orang tua.
"Nih, kembaliannya ambil." Ucapku dengan dongkol.
"Ini mah uang pas neng." Bacot!
Pranggg!
Bakso kuah panas tumpah mengenai ular kadut, sengaja emang gue. Semua orang pada ngliatin adegan panas ini.
"Awww, panas." ringis kesakitan ular kadut yang tangannya memerah terkena kuah bakso. Semoga aja melepuh, aminnnn. Doa gue dalam hati.
Rama dengan sigap meraih tangan ular kadut membelai sembari meniup pelan tangannya bikin gue semakin emosi tingkat dewa.
"Apaan sih lo Ram, lebay banget!" Gue tarik lengan Rama supaya menjauhkan diri dari ular kadut. Tapi yang gue dapet malah dorongan keras dari Rama hingga gue jatuh tersungkur, secara otomatis kedua tangan gue memegang perut untuk melindungi janin yang gue kandung. Kartu As gue nggak boleh kenapa-napa, apalagi karena ulah bapaknya sendiri.
Gue segera bangkit berdiri. "Rama!" Bentakan gue keras. "Tega lo! Udah tau kalau gue lagi ha-." Seketika gue berhenti berucap ketika melihat pelototan tajam Rama, hampir gue keceplosan. "Halangan, ntar tembus tau." Cicit gue meneruskan kalimat tadi yang sempat terputus.
Pandangan gue beralih menatap tajam ular kadut di depan gue. "Dengar ya wanita ular, lo jangan sok ganjen sama Rama. Gue tahu lo pasang peletkan biar Rama klepek-klepek liat cewek cupu kayak lo. Lo pakek dukun mana?" Gue acak-acak rambutnya gregetan sampek awut-awutan berantakan. Nggak peduli lagi gue diteriakin sinting sama anak-anak yang belain ular kadut. Dan tak sedikit pula yang ada di tim gue menyemangati gue dengan yel-yel andalannya, rata-rata mereka ini fans fanatik Rama yang ingin Nafisya menderita, karma karena berani menjalin hubungan dengan Rama.
"Pakek dukun mana? jawab!!" Sekalian gue jambak biar dobel sakitnya, hahahaha.
"Aww-aw sakit."
"CUKUP!!!" Rama menarik tangan gue kuat menyudahi jambakan gue. Gue diseret menjauh beberapa langkah.
"Rama gue nggak suka lo deket-deket sama dia. Dia itu perempuan ja-." Tiba-tiba tangan kanan Rama terangkat ingin menampar pipi gue membuat gue bungkam seketika.
"Udah cukup bacotnya?" tanyanya sinis, sarat akan kemarahan. Gue linglung, entahlah gue masih tidak percaya Rama akan menamparku mungkin jika aku benar-benar meneruskan ucapanku tadi.
Dia mendekatkan bibirnya di samping telinga gue. "Gue semakin ragu untuk nikahin lo, melihat perilaku calon istri gue bar-bar begini."
"Mak-maksut lo?" gue bertanya dengan bibir bergetar.
"Lupain tanggung jawab gue. Gue nggak akan pernah sudi jadi suami lo." desisnya berbisik denga nada tegas.
"Gue nggak akan segan-segan nyebarin vid-."
"I dont care." tungkasnya memotong kalimat gue, sebelum menggandeng uler kadut pergi meninggalkan gue dikantin dengan mulut cengo. Nggak habis fikir gue, rencana gue berakhir sampai disini.
Gue berdecak kesal. "Apa lo liat-liat! Mau gue congkel mata lo!" Bentak gue sinis melihat anak-anak memandang ngremehin gue.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"WOY KELUAR LO!"
Dor dor dor
"Kalau kagak mau keluar gue robohin ni pintu. Woy keluar!"
"Ada apaan sih ribut-ribut?" Seorang wanita dan pria paruh baya keluar. Mereka terlihat heran melihat bokap gue dan gue didepan pintu rumah mereka. Gue yakin 1000% kalo mereka ini nyokap bokapnya Rama, nyokapnya cantik dan bokapnya ganteng. Kolaborasi yang pas menurun ke Rama, pantesan aja Rama digilai cewek-cewek.
"Kok kalian bisa masuk?" Tanya nyokapnya Rama. Dia langsung manggil satpam berniat mau ngusir kita. "Pak Bandi! Pak-."
"Udah gue patahin kakinya. Nggak bakal bisa jalan kemari." Sahut bokap gue santai, gue yakin satpam itu sekarang sedang meratapi nasipnya di pos karena kena damprat bokap gue.
"Mana yang namanya Rahman?!" tanya bokap gue dengan emosi.
"Rama yah." gue mengoreksi
"Ada urusan apa anda mencari anak saya ha?!" tanya nyokapnya Rama nggak kalah garang.
"Ohhh, dia anak laki lo." tunjuk nyokap ke arah Rama yang baru aja nongol dari balik pintu terlihat bingung. "Anak lo ini udah hoho hihe ama anak gue." Nyokap bokapnya Rama saling beradu pandang
"Anak lo kudu kawin ama anak gue yang lagi bunting." Mereka berdua nampak terkejut, beda dengan Rama yang nampak biasa menanggapi.
"Rama apa bener?" tanya nyokap Rama was-was. "Bener kamu udah ena-ena sama anak lelaki stress ini sampek bunting?"
"Hei nyonya jaga bicaramu!" tungkas bokap gue nggak terima
"Ma Rama dijebak."
"Kalau Rahman nggak mau tanggung jawab, gue bakalan-"
Tiba-tiba bokap gue memiting tangan nyokapnya Rama sambil mengacungkan clurit dilehernya. "Aaaaaaa...tolong, aku nggak mau mati. Aaaaa tolong." Mata gue langsung melotot, sejak kapan bokap gue bawa clurit yang disembunyiin dibalik bajunya?
Gue mulai ketar-ketir melihat tindakan bokap gue yang sudah keluar dari skenario yang gue jelaskan tadi di rumah. "Kalau anak lo kagak mau tanggung jawab, gue bakalan gorok leher lo sampek putus." Ancam bokap gue.
"Aaaaaa tolong, tolonggggg!" teriak nyokapnya Rama histeris sampek berdengung kuping gue dengernya.
"Pak tolong turunkan cluritnya. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik di dalam rumah." Akhirnya bokapnya Rama menengahi adegan pesetruan ini. Hufft, gue bisa bernafas lega.
Di ruangan tengah yaitu ruang tamu yang besarnya 3x lipat dari rumah gue, kita berkumpul untuk bermusyawarah mufakat.
"Saya menawarkan perjanjian yang menguntungkan untuk menyelesaikan permasalahan ini." ucap nyokapnya Rama mengawali pembicaraan. "Ini cek 1M untuk menggugurkan kandungan dan sisanya bisa kalian nikmati untuk hura-hura. Tentu ini bukanlah nominal yang sedikit untuk orang miskin seperti kalian."
Deg, Dasar orang kaya mereka pikir kartu As gue hanya seharga 1M. Itu hanya secuil kerikil harta dari keluarga Mahesa.
Terlihat bokap gue sesak napas menerima cek dari nyokapnya Rama. "Jangan diterima yah." Bisik gue memperingatkan. "Gue bisa dapetin lebih dari itu kalau gue jadi menantu di rumah ini. Harta warisan ingat!" tekan gue menyadarkan bokap gue yang hampir kalap.
"Gue nggak terima!" Brakk! Suara bokap disertai dengan gebrakan meja. "Anak lo Rahman harus segera kawinin anak gue! Titik."
"Bagaimana kalau itu ternyata bukan cucu kami?" tanya bokapnya Rama angkat bicara. "Saya tidak akan rela kalau anak saya bertanggung jawab atas kesalahan yang tidak pernah dia perbuat. Itu akan menghancurkan masa depan anak lelaki saya."
"Ris mana vidio yang tadi lo bilang, tunjukin ke mereka." Perintah bokap gue.
Belum gue sodorin hp gue, Rama udah angkat bicara duluan. "Saya akan segera nikahin Risa."
Berhasil, gue langsung tersenyum lebar mendengarnya. Gue menang lagi, terimakasih bokap gue yang tamvan udah ngebantuin gue. Nggak sia-sia gue ngadu ke dia dan menyusun rencana nglabrak ke rumahnya. Hahahaha.
Kali ini aku menangkapmu domba kecil...
Bab 7 : Doa Restu Oma
Bosan, satu kata itulah yang gue rasakan sekarang. Gue nggak bisa lagi masuk sekolah karena di DO, seharusnya gue nggak pernah percaya sama Tantri penjaga UKS yang bangsat itu. Perempuan itu sama sekali tidak bisa menyimpan rahasia. Setidaknya gue bisa mengundurkan diri secara terhormat atas keinginan gue, bukannya dikeluarkan paksa seperti itu seolah-olah gue telah berbuat kejahatan yang tidak bisa diampuni. Kalau begini ceritanya, gue nggak bisa ngawasin gerak gerik Rama di sekolah. Bisa jadi Rama dan ular kadut sekarang tengah memadu kasih, berpelukan mesra, ber-.
"Arghhh..." kenapa gue malah membayangkan mereka tengah berbuat mesum. Dasar otak ngeres!
Mengingat Rama, gue jadi tersenyum sendiri seperti orang gila saat ini. Sebentar lagi dia akan jadi suami sah gue, minggu depan akan dilangsungkan pernikahan kita. Tahta, harta, kedudukan yang gue dambakan sebentar lagi terwujud. Gue bakalan hidup enak berkelimang harta, semua ini berkat kartu As gue.
"Baik-baik lo diperut ya nak." Ucapku sambil mengelusnya lembut sambil memandang langit-langit kamarku menerawang masa depan gue.
Gue masih inget betul kemaren, perjanjian sekaligus ancaman yang dilontarkan nyokapnya Rama bahwa anaknya akan bertanggung jawab hanya sampai bayi ini lahir. Setelahnya jika tes DNA membuktikan bayi ini bukan cucunya, dia akan menjebloskan gue ke dalam penjara dengan tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik. Jikalau memang benar ini cucunya dan ditengah pernikahan Rama mulai mencintai gue, maka gue bisa mempertahankan hubungan ini tanpa adanya perceraian. Gue optimis bisa membuat Rama jatuh cinta perlahan-lahan, cuma butuh waktu dan sedikit rayuan maut maka dia akan jatuh kepelukan gue.
Melamun saja tanpa bertindak itu nggak akan ada gunanya. Gue beranjak dari tempat tidur segera bersiap-siap ke salon yang sudah Rama tentukan. Sebelumnya gue udah diperintahkan Rama untuk bertemu neneknya hari ini di rumah sakit untuk meminta doa restu pernikahan kami. Jadi dia minta gue untuk merubah penampilan gue yang katanya katrok menjadi lebih modis dan sopan. Padahal mantan-mantan gue sebelumnya menggilai penampilan gue selama ini yang berani, elegan dan terlihat sexy menggoda iman.
Berbicara tentang salon, sudah lama gue nggak nyalon. Terakhir kali gue kesalon 5 bulan yang lalu untuk mewarnai rambut gue menjadi merah terang, gue fikir dengan begitu otak gue bisa encer tapi nyatanya tetep aja bebal.
"Selamat siang mbak, silahkan duduk." Sapa wanita cantik pegawai salon. "Mbak ini mbak Risa ya?" tebaknya. Gue rasa pegawai ini peramal atau mungkin dukun, dengan mudah tau nama gue. Padahal gue nggak kenal situ.
"Tadi Rama bilang teman wanitanya akan berkunjung kesini, dia berpesan untuk make over kamu secantik mungkin." Gue tersenyum mendengarnya. Nggak usah dandan gue emang udah cantik dari orok.
Mereka mulai menyibukkan diri dengan meyiapkan berbagai peralatan. Salah satu pegawai memberikan perawatan rambut dengan mencuci rambut gue, entah shampo apa yang digunakan yang pasti aromanya membuat gue rileks apalagi pijatannya mantep pol.
"Hai Bel, udah selesai?" Suara calon suami gue, senengnya dijemput my lope-lope Rama.
"Belum Ram, masih lama."
"Gue mau lo ganti warna rambutnya."
"Gue emang udah bosen warna merah" celetuk gue menyetujui perintah Rama
"Kalau menurut lo gue cocoknya ganti warna apa ya Ram? tanya gue meminta saran. "Warna kuning, ijo, biru atau orange? Semoga aja nenek lo suka warna ungu, karena gue kepingin ganti warna itu sejak kemaren. Gimana?" Gue beralih menatap Rama intens.
"Ganti warna item." Putusnya.
Seketika gue melotot, itu adalah warna yang paling gue benci. "Nenek lo bener-bener nggak ngerti fashion jaman now." Sebel gue. "Warna item, nggak gaul banget." Celetuk gue lagi.
"Gue nggak menerima protes. Setelah ini lo ganti pakek baju ini." Rama meletakkan paperbag didepan gue. "Gue tunggu lo di depan." Dasar tukang perintah! Setelah menikah dengannya dia pasti akan lebih menyebalkan dari pada ini, gue yakin 1000%.
Setelah muka gue dipoles sana-sini, diratakan kanan kiri, dirasa perfect. Gue segera menyambar paperbag didepan gue menuju ruang ganti. Masih penasaran dengan penampilan, gue nggak langsung menemui Rama, tapi gue ngaca dulu. Asal kalian tau penampilan gue kek gimana? Penampilan gue sebelas dua belas sama emak-emak lagi otw ke pengajian. Semua serba panjang, mulai dari baju lengan panjang dan rok panjang sampai mata kaki. Kesexyan dan kemolekan tubuh gue tertutupi pakaian ini.
Dan rambut gue begitu mengerikan, gue lebih milih rambut gue kebakaran daripada kayak pantat panci yang kagak dicuci setaun jadi item gelap begini. Yang gue sukai cuma polesan make upnya doang, sapuan bedak tipis yang memperlihatkan kecantikan natural gue. Semuanya serba tipis sampek lipstikpun juga, oh tuhan... padahal harusnya bibirku yang sexy ini mendapatkan polesan lisptik tebal bewarna merah menyala. Hufft, selera Rama memang kampungan!
Gue berjalan mendekati Rama yang sedang menatap layar hpnya dengan serius. "Ram, woy gue udah kelar nih." Seketika dia mendongak memandang gue lama tanpa berkedip. Seaneh itukah penampilang gue? Sampek dia menatap gue segitunya.
Beberapa detik kemudian dia menyunggingkan senyumnya, ekspresi wajahnya sulit gue tebak. "Gue jelek ya?" tanya gue kikuk.
"Banget." Jawabnya tanpa dosa. Jahat! Tidak bisakah dia berbohong sedikit dengan muji gue cantik, lagipula gue berpenampilan seperti ini atas perintahnya.
"Buruan cabut, kita sudah telat." Perintahnya. Gue berdecak kesal berjalan mengikutinya dari belakang.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Sebelum menemui neneknya Rama, gue sebelumnya diberikan wejangan oleh Rama tentang tata krama bicara dengan orang tua. Gue harus membiasakan diri berbicara aku-kamu, berperilaku anggun, sopan bersahaja dan blablabla. Otak gue yang kecil ini tak akan mampu menghapalkan deretan nasehat yang dikumandangkan Rama.
"Assalamualikum Oma." Sapa Rama langsung masuk kedalam ruangan dimana neneknya dirawat, gue mengekorinya dari belakang. Gue lihat Oma sedang mengemasi barang-barangnya, nampaknya dia sudah sembuh dan akan pulang. Sebelumnya Rama bercerita bahwa neneknya punya riwayat penyakit jantung. Jadi aku harus hati-hati ketika berbicara dengannya jangan sampai salah berbicara apalagi yang dapat membuat Oma sakit hati, itu akan menyebabkan penyakitnya tambah parah.
"Walaikumsalam. Rama cucuku, sini le." Oma nampak gembira melihat kedatangan cucu kesayangannya.
"Dia siapa le?" tanya Oma menunjuk gue yang sembunyi di balik punggung tegap Rama, jujur gue takut kalau Oma sama galaknya seperti nyokapnya Rama.
Gue sedikit malu-malu menunjukkan wajah gue. "H-hai oma." Sapa gue sambil mengangkat kelima jari tanganku.
Oma tersenyum manis, begitu cantik meskipun sudah banyak keriput di pipinya tapi tidak menurunkan kadar keanggunannya. "Apakah dia calon istrimu?" Rama menganggukkan kepalanya.
"Kemarilah nduk." Gue melangkah pelan menghampiri Oma dengan ragu-ragu. Gue takut kena semprot, mengingat nyokapnya Rama buas seperti macan betina.
Gue duduk di tepi ranjang brankar. "Kamu gadis yang cantik." Puji oma sambil menyelipkan anak rambut ketelinga kanan gue.
Oma mengangkat tangannya mengelus lembut perut gue yang sudah nampak sedikit menonjol dengan lembut sarat akan kasih sayang. "Hai cicit Oma, kamu jangan menyusahkan bundamu didalam sana ya. Oma tau kamu anak baik, Oma menanti kehadiranmu."
Seketika gue berhambur kepelukannya. "Oma." Gue menangis terisak, melepaskan beban kesedihan. Gue trenyuh mendengar ucapan Oma, sebelumnya nggak ada yang pernah mengucapkan kalimat selembut itu selain ibu gue, sebelum dia pergi meninggalkan keluargannya sendiri demi pria lain. Gue kangen ibu, sangat...
Oma tipe orang yang friendly, buktinya kita bisa berbicara akrab bersenda gurau di didalam mobilnya Rama padahal kita baru aja kenal. Diperjalanan pulang gue nggak bisa berhenti tertawa karena oma menceritakan kisah lucu masa kecil Rama.
"Benarkah Oma, hahahaha." Bagaimana gue nggak ketawa, oma menceritakan bahwa Rama dulu waktu duduk di TK masih ngompol dan pup dicelana.
"Waktu kecil Rama nggak akan bisa tidur kalau nggak dikelonin Oma, dia selalu tidur dengan membenamkan kepalanya di ketiak Oma, hahaha. Ketek Oma wangi kali ya sampai itu jadi tempat favoritnya hahahaha." Gue ikutan ketawa sampek mata gue berair. Gue lirik dari kaca mobil, Rama menampakkan ekspresi kesal karena aibnya dibongkar oleh neneknya. Dia cuma bisa diam menahan malu.
"Oma begitu baik dan menyenangkan, tapi kenapa cucu Oma sifatnya berbanding terbalik?" Gue tau saat ini Rama yang sedang menyetir melirikku dari kaca mobil, ketika aku mulai menyebut dirinya. "Cucu oma sangat membosankan, dia irit bicara tapi sekali dia berbicara mulutnya sangat pedas. Dia seperti es didalam kulkas, sifatnya begitu dingin kepadaku." Aduku.
"Kalau cucuku membosankan kenapa kamu memiliki anak darinya yang akan membuatmu terikat bersama untuk waktu yang lama?" Oma menoel hidung gue dengan gemas.
"Aku menyukainya." Oma tersenyum mendengar jawaban gue. "Oma-oma ceritakan lagi dong tentang Rama, aku ingin tau." mintaku dengan manja sambil menggoyang-goyangkan tangan Oma seperti anak kecil.
"Dulu Rama nakal banget, waktu SD kelas berapa ya? Oma lupa, dia pernah berantem karena di bully teman-temanya. Dulu dia nggak sekeren dan seganteng sekarang. Cucu Oma dulu jelek banget pakek kacamata bulet gedhe, rambut klimis, gigi dikawat. Bisa dikatakan penampilannya culun. Dia pria pendiam di kelasnya, tapi sekali ada yang ganggu dia langsung marah seperti monster." Oma bercerita sambil sesekali cekikikan sendiri.
"Kerap kali mama dan papannya Rama dipanggil ke BK mengatasi permasalahan Rama." Oma menghela nafas perlahan menjeda kalimatnya. "Dulu nggak ada anak yang mau berteman dengan Rama, karena takut. Tapi hadirnya satu sahabat di hidup Rama merubah segalanya. Fisya, cuma anak itu yang mau berteman baik dengan cucu Oma."
Mata gue langsung melotot. "Nafisya maksut Oma?" tanya gue penasaran.
"Kamu kenal?" Gue menganggukkan kepala. Kenal banget oma, diakan selingkuhannya Rama. Gue semakin penasaran sejauh mana peran ular kadut di dalam kehidupan calon suami gue.
"Fisya mampu merubah Rama menjadi pria yang baik, tekun, disiplin, sopan dan jadi kebanggaan semua orang. Kamu bisa melihat sekarang, Ramaku jadi pusat perhatian, siapapun ingin mendekatinya menjadi temannya. Bahkan semua gadis berlomba-lomba ingin diakui menjadi kekasihnya." Kuping gue jadi panas denger ular kadut dipuji-puji terus sama oma.
"Oma fikir Rama nggak akan pernah bisa memberikan hatinya untuk orang lain selain fisya. Tapi nyatanya Rama lebih memilihmu menjadi istrinya." Batin gue tersentil, nyatanya Rama belum bisa mencintai gue. Oma pasti mengira kalau Rama menerima gue dengan hatinya, tidak! Rama menerima gue hanya karena beban tanggung jawab dan segala ancaman yang gue pusatkan ke arahnya untuk kehancurannya.
Apa mungkin gue bisa nyentuh hati lo, sedalam fisya yang telah jauh masuk kedalam relung hati lo, Rama.
Bab 8 : Menikah
"Saah"
"Saahhhh." Sahut mereka serempak.
"Alhamdulillah." Rama mengecup kening gue, gue sungguh terharu. Gue bahagia meskipun pernikahan ini digelar sangat keliwat sederhana hanya ijab kabul tanpa adanya resepsi. Keluarga Rama dan bokap gue aja yang hadir menjadi saksi pernikahan kami. Gue cukup tau diri, ini adalah pernikahan paksa atas tuntutan gue.
Jadi...gue hanya menurut aturan yang diputuskan nyokapnya Rama bahwa pernikahan ini menjadi rahasia bersama, nggak ada orang lain yang boleh mengetahuinya. Gue tau keluarga mereka mempunyai gengsi yang sangat tinggi, orang terpandang di kota ini.
Mereka akan malu jika orang-orang tau bahwa anaknya telah menghamili gadis diluar nikah apalagi gadis itu derajatnya jauh dibawah mereka. Nyokapnya Rama ingin anaknya terus bersekolah tanpa mendengar gunjingan yang tak sedap dari orang sekitar bahwa Rama kini sudah menjadi seorang suami, bapak dari bayi yang gue kandung agar Rama bisa menggapai cita-citanya. Masa depannya masih panjang.
Setelah menikah gue diboyong untuk tinggal bersama keluarga Mahesa. Gue cukup senang karena bisa menikmati fasilitas mewah tinggal di rumah gedongan, tapi gue harus sabar mengelus dada setiap hari untuk semua perlakuan pedas anggota keluarga Rama yang nggak sepenuhnya nerima gue menjadi bagian hidup mereka.
"Yuhuuuuu." Gue langsung ambruk ke kasur king size empuk di kamar Rama, gue lompat-lompat seolah-olah bermain trampolin. Emang kasur orang kaya is the best pokoknya, beda banget sama kasur keras di rumah gue bikin punggung encok.
Gue mengedarkan pandangan mata gue ke penjuru kamar ini yang bernuansa maskulin khas pria, dipojokan kanan dekat nakas terdapat gitar akustik. Disetiap dinding kamar terdapat poster pria asing membawa bola basket, di atas poster tertera nama Michael jordan dan Kobe Bryant. Dari banyaknya poster berderet di kamar ini cuma satu poster yang tampang artisnya pernah gue liat di tv yaitu tampang Denny sumargo tengah mendribble bola basket, posternya berada di pojok sebelah pintu kamar pas.
Di atas meja belajar yang jaraknya tak jauh dari kasur terdapat figura poto Rama yang tengah merangkul ular kadut dengan senyuman lebar, ingin sekali aku membuangnya kelaut tapi pikiran gue masih waras. Gue nggak mau membuat Rama marah di malam pertama pernikahan ini.
Haahhh, gue merebahkan tubuh gue dikasur seraya memejamkan mata merasakan kenyamanan dan kantuk yang mulai mendera berharap malam ini gue bisa tidur dengan mimpi yang indah.
"Woi bangun!"
"Hmm." Baru aja gue masuk ke alam mimpi ada aja yang ganggu, pakek nepuk-nepuk pipi gue dengan kasar lagi.
"Bangun! Nggak bangun gue tampol juga lo!"
"Apaan sih, gue ngantuk." Gue menyipitkan mata melihat sekilas Rama yang terlihat kesal. Bodo amat! Gue malah bergelung menyusrukkan wajah gue ke dalam bantal dan menyelimuti seluruh tubuh gue sampai kepala.
"Bangun!" Dia menyibakkan selimut gue nggak sabaran. "Sini lo!" Dia menarik tangan gue kasar sampai gue terbangun tepat menatap wajahnya yang berkilat marah, gue meneguk ludah dengan susah payah. Serem banget Rama kalau lagi marah gini.
"Lo nggak boleh tidur di kasur gue." Titahnya.
"Trus gue tidur dimana?"
"Terserah! Lo bisa tidur di lantai atau di kolong kasur." Buset, punya laki satu jahat amat sama bini lagi bunting.
"Apa susahnya sih Ram kita tidur berdua kan bisa. Gue juga nggak akan makan banyak tempat kok, lagipula kasur lo kan gedhe, buat 6 orang aja muat. Kenapa ribet banget sih?"
"Najis tidur sama lo! Buruan pindah." Dia menarik kasar tangan gue hingga gue hampir terjungkal kepentok tiang kasur.
"Aw-awww sakit." Gue meringis memeganggi perut gue.
"Lo kenapa? Lo nggak usah drama."
"Perut gue sakit. Sakit banget ram." Gue mencengkram tangan Rama kuat.
Dia seketika terlihat pucat dan ketakutan melihatku kesakitan. Tapi detik kemudian dia memasang ekspresi tenang. "Lo boleh tidur di kasur gue." Putusnya
Yes! Berhasil, berkat kartu As ini gue bisa tidur di kasur empuk malam ini.
"I-iya Ram." Gue pura-pura memasang wajah kesakitan. "Gue tidur sekarang, selamat malam. Aww-aw" Nyatanya gue emang berbakat jadi artis, bagus banget acting gue.
Segera gue memposisikan tidur senyaman mungkin dan menutup mata, takut-takut nanti Rama berubah pikiran. Meskipun gue udah menghitung banyaknya domba dalam pikiran gue tetep aja gue nggak bisa tidur. Gue penasaran Rama tidur dimana ya? Gue membalikkan badan dan melihat Rama tidur di sofa panjang, nampak gurat kelelahan diwajahnya. Gue beranjak dari kasur mendekatinya. Mengamati wajah tampannya mulai dari matanya yang tengah terpejam, hidungnya yang mancung dan jatuh pada bibirnya yang hobi sekali mengeluarkan umpatan kasar ke gue.
Sebenarnya gue kasian dengan Rama, dia harus terperangkap dalam pernikahan ini. Berulang kali dia bilang bahwa gue dengan licik menjebaknya malam itu, tapi gue berani bersumpah gue nggak pernah punya rencana kotor seperti itu. Semuannya murni karena faktor ketidak sengajaan.
Gue nggak pernah menjebak Rama, tapi gue cuma mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau bisa gue akan pergi melupakan apa yang telah terjadi, tapi gue terlalu egois. Gue ingin memiliki segalanya seperti apa yang lo punya, yang nggak pernah gue rasain selama ini. Mungkin gue bisa dapetin segalanya dengan kelicikan gue. Tapi untuk cinta, gue akan berusaha meskipun kemungkinannya kecil.
Gue mengelus pipi Rama pelan, lalu beranjak mengambil selimut dari kasur menyelimuti tubuh Rama yang nampak kedinginan.
"Good sleep my husband, have a nice dream." Bisikku, kemudian mengecup kening Rama.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Hoaaammm." Gue terbangun dan merentangkan kedua tangan. Gue kucek-kucek mata gue untuk menetralkan pandangan mata yang masih burem. Melihat jam weker di atas nakas seketika gue terlonjak kaget. Jam tersebut menunjukkan pukul 9 pagi. Astaga! Gue tidur apa kalap sih...
Kondisi sofa tempat Rama tidur semalam sudah kosong. Gue yakin dia sudah berangkat sekolah dari tadi. Istri macam apa sih gue? Menurut artikel yang gue baca dari internet, istri harus bisa bangun pagi lebih dulu daripada suaminya untuk menyiapkan keperluan suami, termasuk membuatkan sarapan itu yang paling penting. Halah, bodo amat! Mending sekarang gue mandi.
Setelah selesai gue siap-siap, keluar dari kamar menuju lantai bawah.
"Punya mantu nggak ada bedanya sama kebo. Enak banget ya tidur di kasur mahal, sampek jam segini baru nongol. Dasar orang miskin!" Baru aja gue nyampek di ruang makan, gue udah kena omelan nyokapnya Rama. Sekarang gue tau mulut pedas Rama itu keturunan dari nyokapnya yang judes.
"Ratna, sudah. Jangan seperti itu." Bela Oma. "Risa, kemarilah. Kamu pasti lapar kan? Oma ambilkan makan dulu, kamu duduk sini." Gue menuruti perintah Oma duduk di meja makan.
Oma meletakkan sepiring nasi beserta lauk ayam goreng dan sayur sop. "Risa makan yang banyak ya biar sehat. Cicit Oma juga biar tumbuh kuat." Oma mengangkat tangannya meniru binaragawan. Gue tersenyum melihat tingkah lucu Oma. Di rumah ini cuma omalah yang bisa menerima kehadiran gue. Sungguh gue sayang banget sama Oma...
"Oma kupasin buah, nanti kamu harus makan buah ini untuk pencuci mulut."
"Siap komandan."
Hmmm, setidaknya ada yang peduli sama gue dirumah laknat ini...
Bab 9 : Mertua Galak
"Rama-rama-rama yuk kita jalan-jalan pergi dugem, ke taman hiburan apa keliling kota liat pemandangan. Gue bosen dirumah terus."
"Mata lo buta! Nggak liat gue lagi sibuk ngerjain pr segini banyaknya." Bentak Rama.
Ih, nyebelin banget sih. Gue berdecak kesal mengambil hp langsung mengetik suatu pesan. Mata gue beralih tertuju kepada pria berkacamata yang masih senantiasa fokus pada laptopnya. Buku-buku tebal tertumpuk berantakan di atas meja.
"Betapa membosankannya hidupku ini mendapat suami seperti dirimu~" Keluhku yang terdengar seperti sedang menyanyikan syair lagu.
Pria yang sedang gue bicarain hanya menoleh menatap gue sekilas, detik kemudian dia langsung fokus kembali ke laptopnya. Lama-lama tu laptop gue bantai juga.
"Segitunya amat ngerjain tugas ngampek tu mata mau copot pantengin laptop mulu. Sekali-kali otak butuh refresing, santai. Jangan buat mikir terus-terusan, bisa pusing tu kepala." Sok-sokan gue nasehati Rama, padahal orangnya kagak mau gubris ucapan gue.
"Terserah lo dah." Gue beranjak mengambil tas selempang pergi keluar meninggalkan suami kutu bukuku itu dengan perasaan kesal.
Gue menemui Doni yang telah menjemput di depan gerbang. "Ajak gue jalan kemana kek terserah." Doni dengan perasaan bingungnya menuruti perintah gue. Wajar dia bingung, tiba-tiba gue chat dia, ngirimi alamat tempat tinggal gue sekarang nyuruh dia njemput gue.
Kita sampai di tempat biasa kita nongkrong. Bangunan kosong di lantai dua kita sulap menjadi basecamp. Rooftop bangunan ini menyuguhkan pemandangan yang bagus ketika malam tiba. Cahaya lampu kota nampak indah dari atas, bintang bertaburan di langit bersinar menawan membuat hati tenang melihatnya.
"Lo jahat banget Ris. Lo kawin kagak kasih tau gue, sahabat lo sediri. Jahat emang lo." Doni membanting helmnya di atas sofa yang busanya telah terurai dari tempatnya
"Jangan ngambek gitu napa." Akhirnya gue critain semua kejadian yang telah terjadi akhir-akhir ini. Cuma Doni tempat gue barbagi masalah hidup, jadi gue yakin Doni akan mengerti dan bisa merahasiakan ini.
"Gue kira lo udah lupa sama gue, mentang-mentang udah tinggal di rumah gedongan."
"Kagaklah Don. Kalau gue lupa, lo wajib ingetin gue."
"Apa anak manja itu mencintai lo?" tanya Doni mulai serius.
"Belum."
"Apa lo bisa bahagia hidup dengannya?"
Gue tersenyum sinis. "Rama itu pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Mahesa. Gue pasti bahagia hidup berkelimang harta."
"Lo nyuruh gue jemput, pasti lo ada masalah sama anak manja itu kan?" Tebaknya.
"Nggak ada hari tanpa masalah dengan anak itu."
Tiba-tiba Doni menggenggam kedua tangan gue. "Kalau lo berubah pikiran ingin pisah sama anak manja itu, gue akan gantiin tanggung jawab dia jadi bapak anak yang lo kandung. Gue bakal kawinin lo." Seketika gue dibuat cengo dengan ucapan Doni yang asal ngejeplak.
Gue menampol kepala Doni dengan kaleng bekas minuman. Siapa tau aja kepalanya yang konslet jadi connect kembali. "Gue yang ogah kawin sama cowok kere kaya lo. Mau jadi apa anak gue punya bapak preman macem lo gini. Kagak rela gue hahahaha."
"Gue seriusan Ris, kagak bercanda. Gue bakalan kerja keras sampek kaya biar bisa bahagiain lo."
"Selama ini lo bisa beli barang bagus itu hasil morotin duwit cewek mainan lo, sedangkan uang jajan hasil lo malak anak-anak di sekolah, trus lo mau nafkahin gue pakek duwit hasil ngrampok, ha? Pertanyaan Risa seketika menyadarkan Doni. "Apa ngepet? Hahahaha. Don-don lo kalau bercanda suka kelewatan."
Doni mengacak rambutnya dengan frustasi. Hari ini tingkahnya memang aneh. "Gue mau keluar aja dari sekolahan."
"Apa?!" Gue dibuat terkejut mendengar ucapannya. "Kenapa lagi? Ntar emak lo ngomel-ngomel, sedih. Apa lo kagak kasian?"
"Kagak ada lo disekolah gue jadi nggak semangat."
"Idih lebay banget lo. Kayak jablay kurang dibelai."
Doni mendekat intens menatap gue, dengan gerakan pelan dia memeluk gue erat. "Sekarang anak manja itu emang udah jadi suami lo, tapi dia nggak akan mampu melindungi lo. Nyatannya cuma gue yang selalu ada di samping lo buat ngejagain kalian." Gue tau 'kalian' itu maksutnya gue dan bayi dalam kandungan ini.
Doni melepas pelukannya. "Gue boleh nggak ngelus perut lo, gue penasaran gimana ransanya punya anak."
Gue hanya mengangguk memberi persetujuan. Tangannya terulur mengelus perut buncit gue, rasannya begitu hangat. "Hai bro!" Sapa Doni seolah-olah mengajak komunikasi bayi di dalam perut gue. "Gue nggak tau lo laki apa perempuan, terserah. Denger, bapak lo anak manja itu pecundang, dia selalu aja bikin ibumu sedih. Beda dengan Om Doni yang kece badai ini, Om Doni selalu setia ada ngehibur ibumu yang gila ini."
Gue tersenyum mendengar setiap celotehan Doni. Andai Rama bisa memberikan perhatiannya seperti Doni, sedikit saja kasih sayang mungkin kita bisa menjadi teman hidup yang baik.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Nggak terasa sudah 4 bulan gue tinggal di rumah hantu ini. Kenapa? Karena disini ada spesies nenek lampir dan juga anaknya grandong yang membuat gue tekanan batin setiap harinya.
"Punya mantu bisanya cuma makan tidur makan tidur nggak bisa apa-apa. Rumah kita ini dikiranya panti sosial, nampung perempuan nggak berguna itu. Ngrepotin aja bisanya, kasian anakku Rama tertekan dapet bini srampangan sepertinya." Gue tau nek lampir itu sengaja menaikkan volume bicaranya supaya gue panas mendengarnya.
"Jangan dimasukkan hati ya omongan mertuamu."
"Iya Oma." Mati-matian aku menahan emosi gue di depan Oma. Bayangkan 4 bulan ini telingaku yang suci telah ternodai.
Nek lampir itu dengan sombongnya menjadi penguasa di rumah ini. Bahkan dia berani perintah-perintah gue cuci piring kotor, ngepel lantai rumah dan setrika bajunya yang branded. Alhasil piring antiknya gue pecahin, lantainya gue bikin licin sampek nek lampir ngejungkal terpeleset dan baju brandednya gue bikin bolong semua. Lagian gue ini adalah menantu di keluarga Mahesa, bukannya pembantu yang seenaknya aja disuruh kesana kemari.
Gue masih ingat betul ketika nek lampir itu marah besar karena gue hampir membakar rumah ini saat mencoba untuk memasak mie instan karena malem-malem gue laper. Akibat ulahku itu gue tidak diijinkan lagi ke dapur menyentuh kompor, hampir aja gue membuat semua penghuni rumah ini mati terpanggang. Entah berapa uang yang dihabiskan keluarga mahesa untuk merenovasi bagian dapur akibat kecerobohan gue, yang pasti pekerja kuli bangunan dapat menyelesaikan dalam waktu seminggu mengingat kerusakannya cukup parah.
"Oma sini, sayur sopnya aku saja yang bawa." Cuma ini yang bisa gue lakuin, ngliatin Oma memasak lalu membantu naroh makanan yang sudah matang ke meja makan.
Ketika gue membawa sop panas dengan hati-hati, nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba gue diterjang nek lampir hingga air sopnya mengenai kakinya.
"Aw-aw-aw sialan panas!" umpatnya sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dalam hati gue tertawa, rasain lo. Makan tu sop kaki biawak!"
"Bodoh! Bawa ginian aja nggak becus."
"Makanya kalau jalan pakek mata jangan pakek mulut. Nrocos mulu." ups! Astaga keceplosan gue, mulut-mulut kenapa sih lu ngegas segala.
"Kurang ajar! Nggak sopan, kamu mulai berani nyela omongan saya." Nek lampir mulai murka.
Dia mencengkram rahang gue kuat. "Mulutmu ini harus diberi pelajaran bagaimana cara bicara yang baik sama mertua."
Gue segera menghempaskan tangannya dari wajah gue. Gila nyokapnya Rama, dia mau aniyaya gue. "Cukup!!" Bentak gue tepat didepan wajahnya yang terkejut atas tindakan gue yang berani.
"Dasar tidak tau diun-." Hampir aja gue mau digampar nek lampir kalau saja Rama tidak menahannya mungkin pipiku yang mulus ini kena tabokan maut.
"Ram, biarkan mama beri pelajaran perempuan ini." tegasnya.
"Biar Rama yang urus dia ma. Rama suaminya." Kenapa semua orang berebut buat nyiksa gue sih? Sebel. Tangan gue diseret paksa Rama menuju kamar, gue sempet ngelihat Oma yang memandang gue dengan tatapan kecewa. Mati-matian gue bersikap baik didepan Oma untuk mendapat simpatinya sekarang gue udah ketahuan belangnya.
"Bisa nggak sekali aja lo nggak buat masalah dirumah ini?!" Bentak Rama.
"Gu-gu--."
"Akibat ulah lo, gue sampek remidi ulangan harian biologi hari ini." potongnya.
"Lah, kenapa lo nyalahin gue? Makanya rajin belajar, jangan males."
"Apa?! Emang lo kira gue bego kayak otak lo ini yang kapasitasnya cuma 0,5 kb." Dia menoyor kepala gue. "Tanpa gue harus repot-repot belajar gue bisa dapetin nilai sempurna." Sombong amat!
"Lo ngasih bekal gue apaan tadi pagi?" tanyanya tiba-tiba.
"Roti"
"Gara-gara makan roti itu, gue jadi bolak-balik boker sampek sakit perut gue."
"Perut lo kali yang bermasalah, kagak biasa makan roti lo ya? Tenang besok ganti gue bawain oseng-oseng jengkol."
Rama terlihat kembang kempis menahan emosi. "Perut gue bermasalah karena roti yang lo kasih kadaluarsa bego!"
Apa? Ceroboh banget sih gue, untung aja Rama nggak mati keracunan, bisa masuk bui gue ngebunuh anak orang.
Akhir-akhir ini gue emang berusaha mencoba menjadi istri yang baik dengan membangunkan tidurnya pagi-pagi sekali supaya nggak telat pergi ke sekolah, meskipun kadang-kadang gue malah yang sering kesiangan. Membantu menyiapkan keperluan Rama mulai dari menyetrika baju-bajunya, menata buku-buku sekolahnya sesuai jadwal, menyiapkan bekal makan siangnya meskipun bukan gue yang masak. Bisa dibilang gue ini istri idaman, bahkan aku ini wanita paling sabar mendapat perlakuan buruk Rama yang semena-mena. Teringat setiap malam aku harus tidur di sofa karena Rama yang nggak mau berbagi kasur dan sialnya aku menerima perlakuan kejam Rama.
"Lo mencret?" tanya gue polos tanpa rasa bersalah.
"Rasanya aku ingin mencekikmu dan melemparmu ke laut. Biar lenyap sekalian dimakan buaya."
Dasar grandong! Nggak pernah doain gue hal yang baik.
"Emang buaya di laut?"
"Pikir aja sendiri." jawabnya dengan emosi meninggalkan gue sendiri di kamar.
Mungkin jika Rama terlalu lama menjalani hidup rumah tangga bersama gue, dia bisa jadi orang bego beneran.
Bab 10 : Ciuman Manis
Masa penjajahan Belanda telah usai, tapi gue masih aja disuruh kerja rodi di rumah mertua. Lagi asyik-asyiknya gue ngepel lantai rumah gedongan ini, nek lampir bersama grandong malah enak-enakan ngrumpi, bukannya bantuin gue. Seharusnya gue sebagai menantu yang lagi bunting gedhe gini dimanja-manja. Gue malah jadi pembantu dadakan tanpa dibayar. Apes gue!
"Mama udah nggak betah pengen segera usir perempuan sundal itu dari rumah ini."
"Sabar ma, setelah Risa lahiran Rama bakalan ceraikan dia."
Kampret emang! Mereka kasak-kusuk lagi bicarain gue dari tadi. Karena gue penasaran, gue nguping pengen tau mereka berdua lagi berdiskusi apa.
"Ingat Rama, pesta pertunangan kamu sebentar lagi, tinggal menghitung hari." Apa? Rama mau tunangan sama siapa? Kan gue istrinya.
"Nafisya nggak boleh tau kamu udah nikah sama perempuan sundal itu. Dia pasti nggak akan terima dan pertunangan kamu dengan Nafisya bisa batal." Wah parah! Baru sebentar gue nikah, gue udah mau dipoligami. Apalagi wanita kedua itu siluman ular kadut.
"Acara pertunangan Rama dengan Nafisya harus berjalan lancar bagaimanapun caranya. Rama nggak mau kehilangan Nafisya karena Rama sangat mencintainya ma."
"Mama akan usahakan apapun demi kebahagiaan kamu nak. Setelah wanita sundal itu melahirkan, kamu harus segera menceraikannya lalu menikah dengan Nafisya." Sialan! Mereka bersekutu rupanya. Nggak akan bisa nek lampir pisahin gue dengan Rama, gue akan bertindak.
"Mengenai bayi haram itu setelah lahir, Mama akan menyerahkannya ke panti asuhan yang dikelola papamu. Ingatkan cita-cita kamu dengan Nafisya ingin melanjutkan kuliah di London dan membina keluarga bahagia disana."
Deg! Rasanya hati gue seperti ditusuk beribu-ribu paku ketika Mama mengatakan anak didalam kandungan gue adalah anak haram. Semenjak hamil gedhe gue jadi lebih sensitive. Sering sakit hati merasa sedih jika Rama membicarakan wanita lain didepan gue, entah itu cemburu apa ketakutan gue kehilangan posisi di rumah besar ini. Masalah anak, gue menyayangi bayi ini tetapi mengapa mereka malah tega ingin membuangnya ke panti asuhan. Aku memang wanita yang buruk, tapi aku ingin mencoba menjadi ibu yang baik untuk anak ini.
"Iya Ma. Lagipula belum tentu anak yang dikandung Risa anak Rama." Mendengar pernyataan Rama tanpa terasa gue meneteskan air mata. Kamu memang baik dalam segala hal Ram, tapi kenapa kamu bisa sejahat ini menyangkut tentang istri dan anak lo sendiri.
Gue mengelus lembut perut gue. Tenanglah nak, ada Bunda disini yang akan menjagamu dari semua orang yang ingin menyingkirkanmu. Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk menyukai kita, tapi mungkin kita bisa belajar berbuat baik didepan mereka. Tolong ajari Bundamu ini ya, agar bunda bisa menjadi wanita impian Papamu seperti sosok Nafisya.
Gue mengusap air mata yang tanpa permisi membasahi pipi. Kartu As ini akan menjadi penguat dalam perjalanan hidup rumah tangga gue bersama Rama.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Dua hari kemudian Rama memutuskan pindah ke rumah lama Oma. Gue seneng banget akhirnya gue bisa minggat dari rumah terkutuk itu bersama Rama. Tapi gue merasa aneh kenapa tiba-tiba begini? Trus nek lampir juga mendukungnya, padahal gue tau betul dia nggak akan tenang kalau Rama jauh dari pengawasannya. Rumah Oma ternyata lebih gedhe dan lebih bagus dari rumah nek lampir, dan yang pasti gue cuma tinggal berdua aja dirumah ini tanpa ada yang ngrecokin rumah tangga kami apalagi nyinyiran pedas mertua gue.
Tok...tok...tok
"Ram gue masuk kamar lo ya? Kayaknya seperangkat BH dan CD gue ada di koper lo." Nggak ada sahutan dari dalam, akhirnya gue nylonong masuk lagipula nggak dikonci. Gue ubek-ubek koper Rama, gue menemukan BH renda merah milik gue. Ketemu satu tinggal nyari pasangannya.
"Ngapain lo disini?" Terdengar suara bariton laki-laki yang gue kenal dari arah belakang. Seketika gue menoleh menatap Rama lekat dari bawah sampai atas.
Dia berhasil membuat gue meneguk ludah dengan susah payah. Dia baru aja selesai mandi dengan rambut yang masih basah dan hanya memakai handuk putih yang dililitkan di pinggangnya. Sekarang aku bisa melihat perut kotak-kotak Rama hasil bentukan dari bermain basket selama ini. Rasanya tanganku ini gatal ingin menjelajahi dada Rama yang ter expos sempurna. Ya ampun karena hormon ibu hamil otak gue jadi mesum sekarang.
"Woy, malah nglamun." Segera aku mengangkat tinggi-tinggi BH yang tadi aku temukan di koper.
"Udah ketemukan, cepetan lo keluar. Gue mau pakai baju."
"Celana dalem gue belom ketemu."
Rama menghela nafas berat. "Ntar gue cariin."
"Gue bisa cari sendiri." ucap gue sewot. "Lagipula kenapa sih lo malu segala pakai baju di depan istri sendiri. Guekan udah tau isi luar dalem lo bentukannya kayak gimana."
"Gue takut lo nafsu trus perkosa gue untuk yang kedua kalinya."
"Gila lo." Gue langsung keluar dari kamarnya dengan perasaan kesal, gue seperti tersangka penjahat kelamin sedang menginginkan pria yang sudah tidak perjaka lagi.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Telur gosong, nasi mentah dengan sop sayur kobokan. Apa cuma ini yang bisa lo masak?" tanya Rama.
"Tinggal makan aja ribet banget. Pakek nyinyir ngomentari masakan gue kayak juri ajang pencarian master chef segala."
"Mending pesen go food, ketimbang perut gue mules." Rama beranjak meninggalkan meja makan. Nggak ngehargain banget sih tu anak, gue udah capek-capek masak lihat tutorial youtub malah dianggurin makanan gue. Huffft...
Setelah selesai beres-beres rumah beserta isinya, gue mau liat suami gue di kamar lagi ngapain.
"Ramaaaa." Gue langsung berhambur memeluknya yang sedang duduk santai diatas kasur sambil membaca buku.
"Najis, jauh-jauh lo sono dari gue." dia menoyor kepala gue untuk menjauh darinya. "Udah berapa kali gue bilang kalo masuk kamar gue ketuk pintu dulu anjing."
"Gue nggak tahan."
Rama mengernyitkan dahinya. "Nggak tahan nahan rindu sama kamu sayang." Tangan gue sekarang udah menjalar kemana-mana, meraba dada Rama dengan sensual berniat menggodanya.
Rama menghetikan pergerakan tangan gue dengan mencengkramnya kuat. "Jangan ganggu gue. Dasar cewek mesum." Dia mendorong gue hingga jatuh dari kasurnya.
Buk! Selalu aja berakhir seperti ini. Padahal gue kan ingin bermanja-manja seperti bumil pada umumnya. Dengan berat hati gue baranjak berdiri dan duduk disofa yang tak jauh letaknya dari kasur Rama. Apa buku itu lebih menggoda dari pada kemolekan tubuh gue sampai perhatiannya hanya fokus pada buku yang tengah dibacanya sekarang. Sejak hamil berat badan gue memang naik, gue jadi terlihat gendut. Gue merindukan tubuh sexy seperti dulu.
Gue mengeluarkan kertas poto dari saku baju gue. "Hahahaha, ya ampun jelek banget sih." sengaja gue cekikikan tertawa dengan keras sambil curi-curi pandang ke arah Rama berharap dia balik menatap gue.
"Ihh! Kecil, pendek, item, ingusan, tonggos, hidup pula. Kalau tau dulu penampakannya cupu gini, gue ogah jadi bininya." Gue rasa dia mulai penasaran.
"Hahahaha, kalau si udik Nafisya liat poto ini pasti dia nyesel setengah mampus pacaran sama pantat panci. Hahahahaha." aduhh, asli gue ketawa beneran sampai perut gue sakit. Jarang-jarang gue bisa hina suami sendiri. Berkat poto masa kecil Rama yang diberikan Oma ke gue bisa jadi senjata buat jahilin si kutu buku itu.
"Hahaha-."
"Serahin ke gue!" Seketika gue langsung menghentikan ketawa gue mendengar perintah Rama. Sejak kapan dia udah berdiri di belakang gue? Perasaan dari tadi dia nyantai di kasur sambil baca buku.
"Nggak!" tolak gue menyembunyikan poto itu.
"RISA!!"
"Nggak akan. Wleee." dia fikir gue takut sama gertakannya. Gue berlari menjauh darinya. Rama mengejar gue, kapan lagi coba bisa main kejar-kejaran kayak film India gini.
Oh, tidak. Rama berhasil nangkep gue, dia memeluk erat gue dari belakang.
"Lepasin gue Ram." Gue meronta-ronta dalam pelukannya.
"Serahin dulu fotonya ke gue."
"Nggak Rama." Dia berusaha mengambil foto itu dari tangan gue. Dia mendorong gue hingga jatuh diatas kasurnya, tapi karena gue tarik tangannya jadi dia ikutan jatuh menimpa gue.
Kita saling menatap cukup lama, dia berada di atas gue dengan tatapan yang sulit diartikan. Hidung kita bersentuhan hingga aku bisa merasakan deru nafasnya saking dekatnya, harum bau mint. Kita saling terengah-engah mengatur nafas masing-masing karena kejar-kejaran tadi, jantung gue berdetak tak karuan rasanya ingin putus. Gue menelan ludah susah payah, Oh tuhan betapa sempurnanya ciptaanmu ini. Rama begitu tampan, iris matanya begitu gelap sarat akan ketegasan, hidungnya mancung, dan bibirnya aku ingin merasakannya.
Cup
Aku mencium bibirnya sekilas. Dia cukup terkejut atas tindakan lancang gue, tapi dia kembali bersikap tenang. Dia nggak marah, aku cukup tertegun heran.
Gue seperti terhipnotis oleh tatapan Rama, fikiran gue kosong nggak bisa lagi berfikir jernih. Dengan ragu-ragu gue kembali mendekatkan wajah gue lalu menciumnya lagi untuk kedua kalinya. Kali ini cukup lama, melumat bibirnya dengan lembut meskipun Rama hanya diam mematung tak memberikan jalan untuk akses lebih dalam, gue cukup senang menikmatinya.
Tiba-tiba gue merasakan dorongan hebat menyudahi ciuman panas kami. Rupanya Rama telah sadar, dia segera merampas poto itu dari tangan gue. Segera dia beranjak pergi meninggalkan kamar tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Gue terpaku menatap punggungnya yang menghilang dari balik pintu, dia nggak marah sama sekali. Apa mungkin dia juga menyukainya? Kalau begitu setiap hari aja gue cekokin dia pake ciuman maut gue biar dia tambah sayang. Gue menjilat bibir bekas ciuman Rama terasa-
“Manis.”
Bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
