Mainan Anak Perempuan

0
0
Deskripsi

Kisah seorang dancer yang dijauhi temannya karena bermain mesin Pump it Up yang mana masih dianggap hanya untuk perempuan pada zaman itu. Memang zaman dulu orang tidak pernah menganggap anak laki-laki bisa menari bahkan menjadi bahan olok-olokan. Namun kisah ini akan membuatmu paham bahwa dance bukan milik perempuan saja, terutama dance sih Pump it Up.

Konon, anak laki-laki lekat dengan hobi seperti bermain sepak bola, basket, mengendarai motor, atau bahkan balapan. Sementara itu, anak perempuan dianggap lebih cocok dengan kegiatan seperti menari, bermain boneka, atau menyulam. Hingga kini, masih ada orang tua yang melarang anak-anak mereka mencoba aktivitas yang dianggap “tidak sesuai” dengan stereotip gender. Pola pikir semacam ini—yang membatasi minat dan bakat berdasarkan jenis kelamin—tampaknya belum benar-benar hilang.

Darren pertama kali jatuh cinta pada Pump it Up secara tak sengaja. Saat itu, ia baru saja menyelesaikan sesi latihan menari di mal langganannya, ketika pandangannya tertarik pada sebuah mesin arcade tua di sudut lorong. Seri GX Zero—lebih kecil dan sederhana dibanding mesin-mesin modern yang biasa ia lihat di video—namun cukup untuk memikat hatinya.

Didorong rasa ingin tahu, Darren mendekat perlahan. Matanya menyapu seluruh bagian mesin: dari pad besi tempat menari, bar pegangan di belakang, speaker besar yang kokoh, hingga layar monitor yang memancarkan cahaya terang. Ia bisa membayangkan dirinya menari di atasnya, mengikuti panah-panah yang muncul seiring dentuman musik.

Namun kekaguman itu mendadak terhenti. Seorang anak perempuan naik ke atas mesin dengan langkah percaya diri. Ia memasukkan kredit tanpa ragu, lalu mulai memilih lagu. Lagu pilihannya: Starian, level 6 dari Duke—lagu legendaris yang dikenal luas di kalangan pemain Pump it Up.

Darren berdiri terpaku. Gadis itu memulai permainannya dengan mantap. Gerakannya luwes, seolah-olah mesin itu adalah sahabat lamanya. Kakinya menari mengikuti panah-panah yang meluncur, sinkron dengan irama. Darren tak bisa mengalihkan pandangan. Separuh lagu pertama berlalu, dan ia masih terpaku.

Tiba-tiba, suara ibunya memanggil dari kejauhan.

“Bu, aku mau coba main itu sebentar,” ucapnya, menunjuk mesin Pump it Up dengan penuh harap.

Ibunya menatap mesin itu sebentar, lalu menggeleng tegas. “Itu bukan untuk kamu. Permainan seperti itu buat anak perempuan. Ayo pulang.”

Tak ada ruang untuk protes. Darren hanya bisa menggigit bibir. Ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu mengapa ibunya berpikiran seperti itu—tapi ia tahu, semua akan berakhir di tembok yang sama. Ibunya jarang menjelaskan, dan Darren hanya bisa menelan rasa kecewa itu sendirian.

Minggu itu, ia tak sempat mendekati mesin itu lagi. Namun dalam diam, Darren mulai menyusun rencana. Ia ingin kembali ke mal minggu depan, apa pun caranya. Saat hari yang dinanti tiba, ia berhasil menyelinap keluar rumah dengan alasan sederhana: “Mau jalan-jalan.”

Ketertarikannya pada dunia tari sebenarnya bukan hal baru. Meski tak mendapat dukungan penuh dari keluarga, Darren tetap mencari celah untuk menari—memanfaatkan waktu-waktu kosong dan sudut-sudut sepi untuk berlatih. Namun, semua itu dilakukan dengan hati-hati. Ia tahu, kebebasannya punya batas.

Kali ini, tujuannya jelas: mencoba Pump it Up. Bagi Darren, ini lebih dari sekadar permainan—ini adalah pintu masuk menuju sesuatu yang baru, sesuatu yang terasa seperti panggilan.

“Bu, aku mau ke mal latihan dance,” ujarnya pagi itu, sambil bersiap. Ia tak menjelaskan lebih jauh. Tak ada alasan untuk menyebut “Pump it Up.” Istilah umum seperti “latihan dance” sudah cukup—dan aman.

Sesampainya di mal, pemandangan yang ia temui nyaris sama seperti minggu lalu. Anak perempuan yang sama kembali berdiri di depan mesin. Pakaian yang dikenakan pun serupa. Bedanya, kali ini ia memainkan lagu Don’t Bother Me, level Hard 7 dari Tashannie.

Darren memperhatikan dari kejauhan. Gadis itu bermain di pad sebelah kiri. Gerak tubuhnya selaras dengan ritme musik, penuh percaya diri dan presisi. Sekilas, permainan ini tampak mudah—hanya menginjak panah sesuai arah. Darren, yang memiliki dasar breakdance, merasa tertantang. “Ah, gerakan kaki begini mah gampang,” pikirnya.

Namun, semakin lama ia mengamati, semakin ia sadar: ini bukan soal menginjak asal. Ada pola rumit, koordinasi yang menuntut kecepatan, ritme, dan konsentrasi tinggi. Bukan sekadar refleks, tapi intuisi. Baginya, ini bukan hanya permainan—melainkan bentuk lain dari tarian. Cabang baru yang belum pernah ia coba.

Tiga lagu pun selesai. Anak perempuan itu turun dari pad, wajahnya berkeringat, tapi senyumnya tetap tenang. Ia mengambil handuk kecil dari tas dan menyeka keringat di dahi serta lehernya.

“Main duluan aja. Aku mau istirahat,” katanya, melirik Darren dengan ramah.

Darren sempat kaget, lalu mengangguk. Tapi ia buru-buru tersadar.

“Ah… saya belum punya kartunya,” ucapnya sambil terkekeh kikuk. Ia lalu bergegas menuju konter untuk membeli kartu permainan. Setelah membayar, ia kembali ke mesin, menyisipkan kartu ke dalam slot, dan mengaktifkan satu kredit.

Satu kredit. Tiga lagu. Tiga kesempatan untuk melangkah lebih jauh.

Darren memilih Arcade Station dan memulai permainannya dengan lagu Wuthering Heights level Hard 4 dari Eugene. Di awal, gerakannya masih canggung. Ia mencoba mencocokkan arah panah yang meluncur dari bawah ke atas dengan target di layar. Namun, perlahan, ia mulai menemukan ritmenya. Pengalaman bermain game ritme di rumah memberi keuntungan—ia cepat memahami mekanisme dasar permainan. Ia membiarkan irama lagu membimbing langkah kakinya, membuat setiap injakan terasa lebih alami.

Lagu pertama selesai. Skor A muncul di layar. Darren tersenyum puas.

Tak jauh darinya, anak perempuan yang tadi bermain menatap dengan mata berbinar. Wajahnya menyiratkan keterkejutan, seolah baru saja melihat sesuatu yang tidak ia duga. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian di arcade itu—ada seseorang yang mungkin bisa mengimbangi kemampuannya.

Namun Darren tahu, dirinya masih jauh dari kata mahir. Skor A itu hanyalah permulaan. Ia sadar, anak perempuan itu telah menempuh perjalanan panjang dalam permainan ini. Hari ini hanyalah langkah pertama—dan Darren merasa tertantang untuk melangkah lebih jauh.

Ketika ia bersiap memainkan lagu kedua, sebuah suara familiar terdengar dari belakang.

“Lah, bro, lu di sini?”

Darren menoleh dan mendapati Roki, sahabat sekaligus partner latihan breakdance-nya, berdiri di sana dengan ekspresi heran.

“Hei, bro. Iya nih, lagi nyoba main. Seru juga ternyata,” jawab Darren sambil tersenyum santai.

Namun respons yang ia terima jauh dari dukungan. Tatapan Roki berubah dingin, seolah menyembunyikan rasa kecewa.

“Lu yang bener aja main beginian?” gumam Roki sambil melirik ke arah anak perempuan yang sedang duduk, masih menyeka keringatnya. Ia menahan ucapannya, tapi tetap saja kalimat itu meluncur, meski dengan nada berbisik tajam,

“Ini kan mainan cewek. Lu malah main. Breakdance itu udah paling bener buat cowok. Jangan bikin malu komunitas bboy, bro.”

Kata-kata itu menghantam Darren seperti tamparan. Ia tercekat. Selama ini, ia menganggap Roki sebagai sosok paling suportif—teman seperjuangan di dunia breakdance. Mereka berlatih bersama, berbagi koreografi, bahkan mempersiapkan lomba. Tapi sekarang, Darren menyadari bahwa mencoba sesuatu yang baru, seperti Pump it Up, bisa dianggap sebagai bentuk “pengkhianatan” oleh sahabatnya sendiri.

Bagi Darren, semua bentuk tari adalah seni. Ia mengira Roki juga berpandangan sama. Namun, jelas sekali, batas toleransi temannya itu jauh lebih sempit dari yang ia bayangkan.

Meski hatinya terguncang, Darren tetap melanjutkan permainan. Tapi fokusnya buyar. Kata-kata Roki terus bergema di kepalanya. Langkah kakinya mulai kacau. Di lagu ketiga, ia hanya mampu meraih skor B—hasil yang membuatnya kecewa.

Selesai bermain, Darren menatap layar mesin sambil menarik napas panjang. Ia tak mengatakan apa pun kepada Roki. Tak ada bantahan, tak ada pembelaan. Dalam hatinya, ia tahu: permainan ini bukan sekadar permainan. Ini jalan baru yang ingin ia telusuri—meski tak semua orang bisa memahami.

Skor B itu tampaknya memberi bahan tambahan bagi Roki untuk menyindir.

“Tuh kan. Gue bilang juga apa. Lu aja nggak bisa main. Udahlah, ayo latihan. Fokus bikin koreo baru aja,” katanya dengan nada mencemooh, berusaha menarik Darren kembali ke zona nyaman mereka.

Darren, meski masih penasaran dengan mesin Pump it Up, akhirnya ikut berjalan bersama Roki. Sesi latihan mingguan mereka tetap berlangsung seperti biasa—dari pukul satu siang hingga lima sore. Namun hari itu, semuanya terasa hambar. Kata-kata Roki terus membekas, merusak kenyamanan yang biasanya selalu hadir saat mereka menari bersama.

*****

Ingatan tentang awal pertemanan mereka melintas di benak Darren. Ia teringat hari ketika pertama kali bertemu Roki di sebuah acara bboy di mal. Sejak saat itu, mereka menjadi tak terpisahkan. Latihan bersama, menyusun koreografi, saling menyemangati menjelang lomba—semua kenangan itu kini terasa jauh. Ada jurang kecil yang mulai terbentuk, dan Darren merasakannya semakin nyata.

Saat istirahat, Roki duduk di sebelah Darren sambil meneguk air dari botol minumnya. Wajahnya tampak lebih tenang.

“Dar.”

“Hmm?”

“Sorry ya… soal tadi.”

Darren diam sebentar. Ia masih meneguk air, berusaha meredam emosi. Sebenarnya ia tidak ingin membesarkan masalah itu. Tapi karena Roki yang memulai, mungkin inilah waktunya untuk bicara jujur.

“Kenapa?” tanyanya singkat, masih tanpa menoleh.

“Ya… soal lu main game tadi.”

Darren menarik napas panjang. Ia menutup botol air minumnya dan menatap lurus ke depan.

“Lu tadi bilang itu mainan cewek,” ujarnya datar.

“Ya… gue kaget aja. Emang ada cowok yang main gituan?”

“Ada. Gue.”

Darren menjawab lugas, menatap Roki dengan ekspresi datar.

“Yah… aneh aja. Selama ini nggak pernah ada cowok yang main, tiba-tiba lu muncul.”

“Mesin ini kan nggak cuma ada di mal ini, Rok. Bisa aja di tempat lain banyak player cowok.”

Roki terkekeh pelan sambil menggeleng. “Bisa sih. Tapi gue belum pernah liat. Udahlah, Dar. Jangan bikin hal aneh-aneh lagi.”

Darren menyadari, perdebatan ini tidak akan selesai dalam satu hari. Jika diteruskan, mereka hanya akan terjebak dalam argumen tanpa ujung. Maka, ia memilih untuk mengalah—bukan karena menyerah, tapi karena tahu tekadnya tak akan berubah.

“Terserah lu, Rok,” ujarnya, lalu berdiri sambil meregangkan tubuh. Dalam hati, Darren sudah menetapkan pilihan: apa pun kata orang, termasuk sahabatnya sendiri, Pump it Up telah membuka dunia baru baginya—dan ia ingin terus menjelajahinya.

“Udahlah… mending kita fokus bikin koreo buat lomba. Biar bisa bantai lawan nanti.”

“Ya udah. Tapi awas aja lu balik-balik main game cewek lagi,” goda Roki setengah sinis.

Darren hanya terkekeh kecil. “Urusan gue itu. Tapi soal koreo, tenang. Aman.”

*****

Saat mereka hendak melanjutkan latihan, Roki tiba-tiba menunjuk ke arah seberang.

“Bro, sini deh.”

“Apaan sih?”

“Tuh, ada yang cantik lewat.”

Darren menoleh mengikuti arah telunjuk Roki—dan matanya langsung mengenali sosok itu. Gadis yang tadi bermain Pump it Up kini berjalan melewati lorong latihan mereka. Wajahnya familiar, meski jelas bukan anak sekolah yang sering ia temui.

Saat pandangan gadis itu bertemu dengan milik mereka, Roki buru-buru menurunkan tangannya, pura-pura tidak memperhatikan. Tapi Darren tetap menatap, merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan benar saja—langkah gadis itu mengarah padanya. Bukan ke pintu keluar seperti yang ia duga.

Semakin dekat… hingga akhirnya berhenti tepat di depannya.

“Ini punyanya Kakak ya? Tadi ketinggalan di mesin Pump,” katanya sambil menyodorkan sapu tangan kecil, senyumnya ramah.

Darren terpaku sejenak, baru sadar bahwa sapu tangan itu memang miliknya. Ia menerimanya dengan sedikit canggung.

“Wah… makasih banyak ya. Sampai repot-repot nganterin ke sini.”

“Iya, sama-sama, Kak. Sering main di sini?”

“Lebih sering latihan dance sih. Tapi akhir-akhir ini lagi nyoba Pump juga. Kamu sering main?”

“Setiap Sabtu aku latihan di sini juga,” jawab gadis itu. Lalu, sambil mengulurkan tangan, ia bertanya, “Nama Kakak siapa?”

Darren terkejut, tapi segera menjabat tangan itu dengan sopan. “Darren. Ini temen latihan gue, Roki.”

Roki menjabat tangan si gadis tanpa ekspresi, sekadar formalitas. Ia bahkan tak menyembunyikan ketidaksenangannya. Darren bisa menangkap jelas: Roki tidak menyukai kenyataan bahwa gadis cantik ini ternyata pemain Pump it Up.

“Aku Gita. Aku balik dulu ya, Kak.”

“Iya, selamat latihan.”

Gita berbalik dan berjalan kembali ke arah arcade. Darren tersenyum kecil, senang karena punya kenalan baru yang menyukai hal yang sama. Tapi ia tahu, wajah Roki akan berubah lagi.

“Hoy, Ki. Kok gitu amat muka lu tadi? Gue kira lu bakal seneng bisa kenalan. Tadi lu yang bilang dia cantik,” ledek Darren sambil mendorong pundaknya.

Roki mendecak. “Cantik sih… pake banget. Tapi gue ilfeel aja, Dar. Sama dancer yang main di mesin. Itu tuh… gerakannya terbatas. Kagak bebas. Bisa kepentok besi. Nggak ada ruhnya.”

Darren mengangguk pelan. Ia paham arah pikir Roki—tapi tetap tak sependapat.

“Menurut gue, justru dari batasan kayak gitu kita belajar nyiptain sesuatu. Kreativitas itu bukan cuma soal kebebasan, tapi juga soal cara kita ngolah keterbatasan.”

Roki tetap tak bergeming. Darren tahu, untuk saat ini, sahabatnya belum siap menerima perspektif lain. Tapi itu tidak masalah. Tidak semua orang bisa langsung mengerti.

“Iya iya, ngomel mulu. Mending energi ngomel lu dipake buat latihan. Yuk!”

*****

Biasanya setelah latihan, Darren langsung pulang. Tapi hari ini berbeda. Sejak mencoba Pump it Up, pikirannya terus tertarik pada pola panah, irama, dan kemungkinan gerakan yang bisa disatukan. Maka, setelah berpisah dengan Roki, ia kembali ke arcade.

Ia menyisipkan kartu, memilih Arcade Station, dan kali ini, dengan keberanian baru, ia memilih mode Freestyle—menggunakan dua pad sekaligus. Lagunya: Don’t Bother Me, level 5. Ia ingin tahu sejauh mana ia bisa berimprovisasi sambil mengikuti panah.

Musik mulai. Darren berdiri di tengah pad, siap. Tapi hanya beberapa detik setelah intro, ia dikejutkan oleh kemunculan panah berurutan di sisi kiri selama dua bar. Ritmenya cepat, menyulitkan. Ia mencoba menyesuaikan—tapi jelas belum terbiasa. Gerakan freestyle-nya malah mengganggu fokus.

Darren sadar, menggabungkan koreografi dengan panah tidak semudah yang ia kira. Bahkan koreografi pendek lima menit pun jadi rumit ketika dibenturkan dengan pola visual yang spesifik.

Diam-diam, ia mengeluarkan ponsel. Mengaktifkan kamera, merekam satu sesi permainan. Niatnya jelas: ia ingin mempelajari pola itu di rumah, lalu mencoba menyusunnya ulang dengan gerakan miliknya sendiri.

Setelah permainan selesai, ia duduk di bangku arcade dan memutar rekamannya. Di hadapannya, layar ponsel menampilkan panah-panah dan lagunya—dan di kepalanya, Darren membayangkan gerakan demi gerakan. Lalu ia berdiri, dan seperti latihan koreografi biasanya, ia mencoba mencocokkan gerakan dengan irama dan arah panah.

Tapi tantangan lain muncul. Gerakan breakdance miliknya kadang menuntut bukaan kaki yang lebar, sementara jarak pad di mode double lebih sempit dari yang ia bayangkan. Ia harus beradaptasi, merapatkan kakinya, menyesuaikan tempo.

Namun bukannya menyerah, Darren justru semakin penasaran.

“Hei, kamu latihan terus, ya?”

Sebuah suara lembut memotong lamunannya.

Darren menoleh saat suara familiar memanggilnya. Ternyata, Gita. Ia agak terkejut—gadis itu rupanya belum pulang.

“Hei, Gita. Kamu mau main? Aku tadi cuma coba-coba aja,” ucap Darren sambil turun dari mesin, mempersilakannya.

“Nggak kok, main aja. Aku cuma penasaran, koreo kamu bakal kayak gimana. Coba dong, main pakai lagunya,” kata Gita sambil tersenyum, matanya berbinar penuh antusias.

Sebenarnya, Darren belum berniat memamerkan koreografi barunya sebelum benar-benar siap. Tapi karena Gita yang meminta, ada dorongan yang sulit dijelaskan. Mungkin karena ia mulai menyukai gadis ini.

“Hmmm… aku belum hafal banget, sih. Tapi oke lah, aku coba,” jawabnya santai, meski dalam hati jantungnya mulai berdebar lebih cepat dari biasanya.

“Wih, keren! Aku juga pengen nunjukin kalau game ini bukan cuma buat cewek doang—cowok juga bisa,” balas Gita mantap. Kalimat itu membuat Darren menoleh penasaran.

“Emangnya teman-teman kamu banyak yang bilang ini mainan cewek?” tanyanya sambil mengambil kartu permainan dari saku hoodie-nya.

Gita mengangguk pelan. “Banyak. Kalau aku ajak, mereka biasanya nolak, ‘Itu kan mainan cewek.’ Yang cewek-cewek malah malu. Katanya takut diliatin orang.”

Darren tertawa kecil. “Padahal kan dance memang buat dilihat.” Ia menggesek kartu ke scanner, lalu menginjak panel kuning untuk memulai.

Dengan lincah, ia memilih Arcade Station, lalu menggulir ke lagu Don’t Bother Me dalam mode freestyle.

“Kamu suka banget lagu itu, ya?” tanya Gita, matanya mengikuti gerakan jari kaki Darren di atas panel.

“Ah, iya. Beat-nya langsung nempel waktu pertama kali denger. Kayaknya cocok aja sama gaya aku. Tapi step-nya masih perlu dipelajari lagi,” jawab Darren sambil tersenyum kecil.

Gita mengangguk, menatap layar dengan ekspresi penasaran.

Lagu dimulai.

Darren berdiri di posisi tengah, membelakangi layar—menghadapkan tubuh ke arah “penonton” yang sebenarnya hanya Gita dan beberapa pengunjung arcade lain yang lewat. Ia memulai koreografinya dengan percaya diri. Setiap injakan mengenai panel dengan akurat. Gerakan-gerakannya belum sempurna, tapi sudah mulai membentuk pola. Beberapa bagian terasa kasar, seperti masih mencari bentuk. Namun ada potensi besar di dalamnya.

Tidak seperti latihan tari biasa, Darren sadar ia tak bisa berhenti dan mengulang. Musik terus berjalan, dan kesalahan kecil harus diatasi saat itu juga. Ia berjuang tetap sinkron, tetap bergerak.

Lagu usai. Skor B muncul di layar.

Darren menarik napas dalam, sedikit kelelahan, tapi ada rasa puas di wajahnya. Ia sudah mengambil langkah penting hari ini.

“Sulit, ya? Apalagi sambil ngadep belakang,” kata Gita, kini berdiri di sampingnya.

“Lumayan. Soalnya belum hafal semua step-nya. Tapi tinggal latihan,” ujar Darren sambil menyeka peluh.

“Wiih, keren banget! Aku baru kali ini lihat langsung ada yang main freestyle. Belum sempurna sih, tapi aku udah kagum!” Gita memujinya tanpa ragu, membuat Darren tersenyum kikuk.

Darren mengeluarkan ponselnya dan membuka video latihan yang tadi direkam. Tapi suasana arcade yang ramai membuat suara video nyaris tak terdengar. Ia menyadari, tempat ini terlalu bising untuk analisis detail.

“Kayaknya aku harus pulang buat latihan. Di sini terlalu rame, nggak bisa denger musiknya,” katanya sambil memasukkan barang-barangnya ke tas.

“Iya sih… kalau sambil nonton video pasti susah,” sahut Gita. Nada suaranya semakin menunjukkan ketertarikan—bukan hanya pada gamenya, tapi pada pendekatan Darren terhadap freestyle.

“Mungkin aku butuh speaker kecil. Atau alat bantu lain, biar bisa latihan lebih nyaman,” kata Darren, menutup ritsleting tas.

“Biasanya butuh berapa lama, sih, buat bikin satu koreografi penuh?” tanya Gita penasaran.

Darren berpikir sejenak. “Kalau sekadar sinkron sama step, ya, seminggu-dua minggu. Tapi kalau mau bikin yang bener-bener matang, bisa lebih lama. Aku juga masih belajar, kok.”

“Minggu depan, ya? Aku bakal bawa teman-teman. Biar mereka lihat langsung. Terutama yang cowok—yang suka ngeledekin aku.”

“Bawa aja,” jawab Darren sambil menatap Gita lebih dekat. “Emang mereka seberapa parah sih?”

Gita menghela napas, lalu mulai menceritakan.

Di kelas, ia satu-satunya yang menyukai Pump it Up. Awalnya ia tertarik karena musik K-Pop, tapi lama-kelamaan ia jatuh cinta pada tantangannya. Sayangnya, teman-teman—baik cowok maupun cewek—sering memberi komentar meremehkan.

“‘Ah, itu mah mainan cewek. Ntar jadi bencong.’” Ia menirukan nada sinis teman-temannya. “Sering banget aku dengar yang kayak gitu. Mereka nggak paham aja.”

Darren mengangguk, ikut merasa kesal. “Parah juga. Tapi itu bukan salah kamu.”

“Yang cewek juga nggak kalah aneh. Malu katanya. ‘Diliatin orang nanti,’ padahal kan latihan itu butuh panggung juga. Harus berani dulu.”

Gita menunduk sesaat, suaranya melembut. “Kadang aku mikir, apa mereka nggak ngerti seni? Dance itu universal. Buat siapa aja.”

Darren menatapnya, lalu berkata pelan, “Mereka cuma belum lihat yang seperti kamu, Git.”

Gita menoleh, tersenyum tipis—senyum yang menandakan, mungkin, ia tidak lagi merasa sendirian.

“Minggu depan, aku bakal buat kejutan buat teman-teman kamu,” ucap Darren, mantap.

“Serius?” Gita menatapnya penuh harap.

Darren hanya membalas dengan senyuman. Bukan senyum yang besar, tapi cukup untuk menenangkan hati Gita—bahwa ia tak lagi sendiri dalam perjalanan ini.

Kunci dari latihan freestyle bukan sekadar bakat, tapi fokus. Seperti halnya bidang lain, hanya dengan perhatian penuh seseorang bisa menghasilkan sesuatu yang layak diingat. Darren tahu itu. Maka ia memilih satu lagu, mengunduh video step chart-nya dari situs resmi Pump it Up, memastikan kualitasnya tinggi—minimal 1080p—agar detail tiap panah bisa terlihat jelas.

Latihan dijadwalkan di jam yang tidak biasa: sebelum subuh, saat rumah masih sunyi, ketika dunia belum benar-benar bangun. Saat di mana suara napas sendiri terdengar paling jelas.

Tepat pukul 04.00, alarm berbunyi nyaring. Darren membuka mata. Masih berat, masih gelap. Tapi ia tak menunda. “Cicil koreo sedikit demi sedikit,” gumamnya pelan, menyemangati dirinya sendiri.

Ia bangkit, menapakkan kaki di lantai yang dingin, lalu menuju meja belajar tempat handphone-nya masih tersambung charger. Matanya masih buram, jadi ia memilih mencuci muka terlebih dahulu. Air dingin menyentuh kulitnya, menyegarkan, dan perlahan kesadaran mulai utuh.

Kembali ke kamar, ia berdiri menghadap layar. Video step chart sudah terbuka. Lantai kamarnya, dengan garis-garis ubin sebagai panduan, menjadi “pad” sementara. Dengan kaki telanjang, Darren mulai mengikuti langkah demi langkah. Ketika bagian sulit muncul, ia menjeda, memundurkan, dan mengulang—berulang-ulang hingga pola itu melekat di tubuhnya.

Satu jam setengah berlalu. Darren baru menguasai bagian pembuka lagu. Masih banyak yang harus dihafal, tapi waktu sudah habis. Ia harus bersiap sekolah.

“Nak, sarapan dulu,” panggil ibunya dari lantai bawah.

Darren turun dengan seragam lengkap, masih memegang handphone. Ia duduk di meja makan, tetap menonton video, bahkan saat jus pepaya diletakkan di hadapannya.

“Diminum dulu jusnya,” ucap ibunya.

Tanpa mengalihkan pandangan, Darren meraih gelas dan meneguknya hingga habis. “Sudah, Bu,” ujarnya singkat, lalu kembali menonton.

Ibunya hanya menghela napas dan tersenyum tipis. “Ayo, berangkat sekarang.”

“Iya, Bu.”

Di dalam mobil, Darren kembali menonton video yang sama. Lagu Don’t Bother Me mengalun pelan dari speaker ponselnya. Ibunya, yang menyetir, melirik sekilas sebelum akhirnya bertanya.

“Kamu ngafalin apa, Nak?”

“Step Pump, Bu,” jawab Darren singkat.

“Kamu masih latihan sama Roki?”

“Masih. Tapi sekarang aku juga belajar main mesin Pump.”

“Ini udah mau sampai sekolah. Fokus ke pelajaran, ya.”

Darren menghela napas pendek. “Pelajarannya berat, Bu. Matematika, Fisika, sama KWN. Mending nonton dulu sebelum otak mumet.”

Ibunya mendecak pelan. “Kamu tuh, jawab terus.”

“Namanya juga komunikasi, Bu. Harus ada feedback,” Darren menjawab enteng sambil tetap menatap layar.

Sesampainya di sekolah, Darren turun, menyapa ringan, lalu berjalan menuju ruang kepala sekolah untuk menitipkan handphone—prosedur wajib setiap pagi. Tapi pikirannya masih menari di atas panel-panel virtual. Kakinya bahkan bergerak refleks mengikuti pola irama yang terus berdengung dalam benaknya.

“Darren, jangan lupa titipin handphone-nya,” tegur seorang guru yang lewat.

“Pasti, Pak. Kalau lupa, bisa bubar semua,” jawab Darren sambil tersenyum kecil.

Saat menyerahkan handphone, kepala sekolah yang menyambutnya tampak memperhatikannya tajam.

“Kamu serius banget nonton. Sampai nggak sadar saya berdiri di sini,” ujarnya.

Darren tersenyum sopan. “Maaf, Bu. Tadi saya lagi belajar.”

“Belajar apa? Itu kan cuma video game.”

“Justru itu yang saya pelajari, Bu. Step Pump it Up.”

Kepala sekolah mengangkat alis. “Itu kan hiburan, Darren.”

Darren menatapnya, kali ini tanpa senyum. “Karena hiburan, saya suka. Dan kalau boleh jujur, Bu, jadi kepala sekolah juga berat, kan? Harus bisa bikin pelajaran jadi hiburan supaya murid suka.”

Sejenak, ruangan itu sunyi.

Sang kepala sekolah tidak membalas. Tapi ketika Darren melangkah keluar, ia tahu: apa pun pendapat orang dewasa soal game, soal hobi, soal masa depan—ia telah memilih jalannya sendiri. Dan di jalur itu, ia akan terus melangkah.

Kepala sekolah mendengus pelan. “Kamu sok pintar, ya?”

Darren menaikkan sebelah alis. “Kalau pintar beneran, gimana?”

“Ya, coba kamu implementasikan!” Nada suara kepala sekolah mulai meninggi, kesabaran mulai menipis.

Darren tersenyum santai. “Lah, kok enak. Mending saya aja yang jadi kepala sekolah,” ucapnya sambil melenggang keluar ruangan, menyisakan tatapan bingung sekaligus kesal dari si pemimpin sekolah.

Sepanjang hari, Darren mencuri waktu untuk mengulang-ulang koreografi dalam pikirannya. Saat menaiki tangga, ia membayangkan posisi kaki dan irama beat. Saat istirahat, ia memanfaatkan sudut aula yang sepi untuk mengulang langkah-langkah, tak peduli pada tatapan heran dari siswa lain. Baginya, setiap detik yang terbuang adalah jarak yang menjauhkan dari kesempurnaan. Saat sedang mengulang langkah-langkah koreografi di lorong sekolah yang sepi, suara tawa menghentikannya. Sekelompok anak laki-laki menghampiri. Mereka dikenal sebagai “anak-anak keren” di sekolah—bukan karena prestasi atau sikap, tapi karena wajah-wajah blasteran mereka yang disebut-sebut “Indo-Eropa.” Kulit cerah, rambut cokelat terang, hidung mancung. Sering jadi model dadakan di brosur sekolah atau sampul mading.

Sayangnya, kelakuan mereka jauh dari kata menawan.

“Ngapain lu?” seru salah satu dari mereka dengan nada mencibir. “Sok keren joget-joget gak jelas, ya? Hahaha!”

Yang lain langsung ikut-ikutan tertawa.

“Lu joget kayak gitu gak ada kerennya sama sekali. Malah ngotor-ngotorin lantai. Dasar tukang pel berbakat pembantu!”

Tawa meledak dari mulut mereka, tanpa rasa malu.

Darren menatap mereka sejenak. Bukan dengan marah—tapi dengan sorot mata yang tenang, nyaris meremehkan.

“Daripada ngetawain orang, mending datang aja hari Sabtu sore, di Teras Kota. Gua tunjukin skill gua,” ucap Darren dengan nada datar, tapi mantap.

“Lah lu pede banget, gak ngaca? Mau nunjuk-nunjukin? Di tempat umum pula! Pas banget, bisa gua videoin terus viral-in biar sekalian gua bikin lu malu,” balas salah satu dari mereka, dengan nada meremehkan.

Darren hanya tersenyum tipis. Senyum yang tak menjelaskan niatnya, tapi cukup untuk membuat suasana sesaat hening.

“Gua tunggu,” katanya, lalu berbalik meninggalkan mereka begitu saja.

Ia tak membalas hinaan mereka. Tak perlu. Darren tahu, kadang satu tarian bisa berbicara lebih lantang daripada seribu kalimat.

Dan hari Sabtu nanti, ia akan membiarkan langkah-langkahnya yang menjawab semuanya.

Dua circle sudah menanti aksinya hari Sabtu. Bukan karena mereka mendukungnya—justru sebaliknya. Mereka ingin melihat Darren gagal. Ingin membuktikan bahwa Pump it Up hanyalah permainan ringan yang tak layak diperjuangkan, apalagi oleh laki-laki. Tapi Darren? Ia justru menantikan hari itu. Kesempatan untuk membuktikan bahwa tarian, seperti seni lainnya, tak mengenal batas.

Setiap hari sepulang sekolah, Darren kembali ke rutinitas: latihan koreografi, evaluasi gerakan, dan menyelaraskan ritme tubuh dengan panah-panah yang meluncur cepat di layar. Lagu latihannya diputar tak kurang dari 50 kali sehari. Bagian-bagian sulit ia ulang berkali-kali, bahkan ratusan kali, sampai otot-ototnya bergerak otomatis. Ia menambahkan elemen freestyle: handhop pada panah kuning, flare pada panah biru, bar-spin saat transisi diagonal, dan roll forward di akhir lagu sebagai penutup dramatis.

Tidurnya semakin larut, bangunnya semakin pagi. Jika ia lupa satu bagian, latihan ulang dari awal. Tak ada kompromi.

Hari Sabtu tiba.

Darren berdiri di depan cermin sebelum berangkat. Ia tahu koreografinya belum sempurna, tapi hatinya mantap. Ia tak ingin tampil sebagai pemain yang ‘benar’—ia ingin tampil sebagai pemain yang berani. Dan itu cukup.

Di game center, Gita sudah datang lebih dulu bersama tiga temannya. Seorang gadis tampak malu-malu, sementara dua laki-laki berdiri dengan tangan bersilang—satu menunjukkan wajah sinis, satunya lagi penasaran namun enggan menunjukkan ketertarikan.

“Hai, Gita. Udah lama?” sapa Darren sembari menghampiri mereka.

“Baru aja. Nih, kenalin temen-temenku. Mereka penasaran banget sama gaya main kamu.”

“Darren ini beda sama aku,” jelas Gita bangga. “Dia bukan cuma nendang panah, dia nari. Freestyle.”

“Freestyle di mesin? Bukannya kehalang bar?” celetuk salah satu cowok dengan tawa setengah menyepelekan.

Darren tak menggubris. Ia hanya tersenyum dan mulai melakukan pemanasan. Badannya lentur, ritmenya stabil. Selama lima menit ia meregangkan otot, mengatur napas, membiarkan tubuhnya memasuki mode bertarung.

Tak lama, circle dari sekolah lain berdatangan. Salah satu dari mereka langsung menyapa dengan nada menantang. “Gua mau lihat beneran lu bisa nari di atas mesin.”

“Boleh. Tunggu bentar, gue pemanasan,” jawab Darren tenang.

Gita dan teman-temannya duduk di sisi kursi panjang. Dua anak cowok berdiri dengan ekspresi tak percaya. Darren memasukkan kartunya, memilih Arcade Station, dan memulai dengan lagu What’s Going On, mode Crazy 7—sebagai pemanasan.

Langkah-langkahnya cepat dan presisi. Saat verse dimulai, panah-panah membanjiri layar. Tapi Darren tetap tenang. Ia menari seolah tubuhnya menyatu dengan ritme. Gerakannya luwes, tak ada yang dipaksakan.

“Gila… kayak nggak ada capeknya,” gumam teman Gita, matanya membelalak.

“Ntar freestyle-nya lebih gila,” sahut Gita, tersenyum lebar.

Lagu usai. Tanpa jeda, Darren memilih lagu andalannya: Don’t Bother Me. Ia mengatur speed, memilih mode Freestyle, dan berdiri di posisi tengah.

Delapan hitungan kosong. Lalu—BOOM.

Darren mulai.

Gerakan demi gerakan mengalir tanpa jeda. Saat lirik “what yeah baby T” terdengar, ia melakukan handhop sempurna. Pada bagian “while we pass you by,” ia memutar tubuh dengan bar-flare enerjik. Lalu di bagian klimaks, “이제서야 너의 그늘을 벗어나,” ia melakukan handstand, diikuti dua kali forward roll tanpa menyentuh bar.

Dan di akhir lagu—ia menjatuhkan tubuhnya ke pad, berbaring santai dengan tangan menopang kepala, seperti sedang rebahan di sofa. Sebuah sentuhan humor di ujung energi. Arcade pun pecah oleh tawa dan tepuk tangan.

Gita dan teman-temannya berdiri. Gadis yang tadinya malu-malu kini bertepuk tangan heboh, matanya berbinar. Dua cowok yang tadi sinis mulai mengangguk-angguk, lalu menghampiri.

“Gila… Lu kok bisa kayak gitu?” tanya salah satunya.

Darren turun dari mesin dengan senyum puas. “Latihan terus sambil cari ide. Game ini seru. Lagu-lagunya pas buat dance. Cowok atau cewek, semua bisa main. Yang penting niat.”

Ia menoleh ke mereka, kini dengan tatapan penuh percaya diri.

“Kalau kalian tertarik, gue punya referensi channel bagus buat belajar freestyle.”

Teman-teman Gita mendengarkan. Bahkan yang tadinya menyepelekan, kini penasaran. Yang penasaran, mulai berani mencoba. Dan yang diam-diam suka, mulai membiarkan rasa itu tumbuh.

Gita berdiri di samping Darren. Ia tak berkata apa-apa, tapi senyum di wajahnya cukup menjelaskan segalanya.

Sejak hari itu, game center berubah. Anak-anak mulai berkumpul tak hanya untuk bermain, tapi juga belajar. Gita dan teman-temannya kini rutin datang tiap Sabtu, saling mendukung dan tertawa. Darren menjadi simbol bahwa keberanian untuk mencoba sesuatu yang berbeda bisa menginspirasi lebih banyak dari yang dibayangkan.

Ia belum tahu apa perasaannya pada Gita. Mungkin ia belum sempat. Namun setiap kali Gita tersenyum padanya, ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa—ia sedang melakukan hal yang benar.

Dan bagi Darren, Pump it Up bukan lagi sekadar permainan. Ini adalah panggung. Sebuah ruang untuk menari melawan stereotip. Dan ia telah memenangkannya.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lautan Kredit
0
0
Darren, seorang pemain Pump it Up yang ahli freestyle, menghadapi gadis arogan yang meremehkannya. Pertarungan di arcade memanas, tetapi segalanya berubah ketika gadis itu mencoba freestyle untuk pertama kalinya, memukau semua orang.Persaingan mereka bukan sekadar tentang permainan, tapi juga tentang menemukan kepercayaan diri dan rasa hormat. Akankah rivalitas ini membawa mereka lebih jauh, atau justru mendekatkan mereka? Siapa yang akan keluar sebagai pemenang?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan