Kepribadian Manusia (Five Factor Model of Personality - simplified)

0
0
Deskripsi

Pengenalan FFM

Kalo ngomongin psikologi tapi gak ngomongin kepribadian keknya kurang mantep sih. Five Factor Model atau yang sering dikenal sebagai Big Five Personality merupakan salah satu model yang menjelaskan bahwa kepribadian seseorang dibagi menjadi 5 traits. Model ini karena sudah banyak dipakai oleh para researchers dan mental health professionals. Alat ukur yang mengukur kepribadian melalui konstruk ini namanya NEO PI-R. Kalo kalian mau test gratis bisa pake yang versi public domainnya bisa...

Pengenalan FFM

Kalo ngomongin psikologi tapi gak ngomongin kepribadian keknya kurang mantep sih. Five Factor Model atau yang sering dikenal sebagai Big Five Personality merupakan salah satu model yang menjelaskan bahwa kepribadian seseorang dibagi menjadi 5 traits. Model ini karena sudah banyak dipakai oleh para researchers dan mental health professionals. Alat ukur yang mengukur kepribadian melalui konstruk ini namanya NEO PI-R. Kalo kalian mau test gratis bisa pake yang versi public domainnya bisa di akses online yaitu IPIP-NEO-PI-R. 

apa itu personality traits?

personality traits bisa kita pahami sebagai pola pemikiran, perasaan, dan perilaku yang relatif stabil dan bertahan pada seseorang semasa hidupnya.

Five Factor Model of Personality

Kita bisa mengingat 5 basic personality traits ini dari akronim OCEAN:

  • O = Openness to Experience

Mengacu pada adanya wawasan, rasa keterbukaan dan penasaran terhadap suatu hal, berpikir imajinatif, berpikir abstrak, berpikir kreatif, merasa nyaman dan mengapresiasi ide atau hal-hal baru. 

Orang yang punya skor tinggi pada traits ini cenderung lebih aware terhadap perasaan mereka, cukup fleksibel, suka berfantasi, mengapresiasi seni, dan punya Intellectual curiousity. Sebaliknya yang punya skor rendah cenderung kurang suka terhadap perubahan, suka terhadap rutinitas, memiliki rentang minat yang terbatas, punya toleransi rendah terhadap ide-ide baru, dan cenderung berpikir lebih kaku.

  • C = Conscientiousness

Mengacu pada adanya kemampuan untuk mengontrol impuls (dorongan dalam diri), tekun, penuh pertimbangan, baik dalam menentukan prioritas dan merencanakan sesuatu.

Orang yang punya skor tinggi pada traits ini, kita expect orang tersebut cenderung terorganisir, dapat diandalkan, pekerja keras, mandiri, teliti, ambisius, dan gigih. Sebaliknya yang punya skor rendah, kita akan melihat orang tersebut cenderung spontan, kurang terorganisir, kurang bisa diandalkan, malas, ceroboh, dan lalai.

  • E = Extraversion

Mengacu pada kuantitas dan intensitas interaksi sosial yang lebih disukai, tingkat aktivitas, energy recharge, dan kapasitas seseorang untuk bersenang-senang.

Orang yang punya skor tinggi pada traits ini cenderung mudah bergaul, aktif, talkative, person-oriented, optimis, dan penyayang. Sebaliknya yang punya skor rendah atau yang dikenal introvert biasanya kita melihat orang tersebut akan cenderung pendiam (bukan berarti tidak ramah), tenang, suka menyendiri, dan self-oriented. Introvert bukanlah orang yang tidak bahagia atau pesimis, tetapi mereka tidak mengalami semangat tinggi yang meluap-luap yang menjadi ciri ekstrovert.

  • A = Agreeableness

Mengacu pada cara yang disukai untuk berinteraksi pada seseorang dengan cara compassion (kasih sayang) atau sebaliknya antagonisme.

Orang yang punya skor tinggi pada traits ini cenderung berhati lembut, baik hati, kooperatif, mudah percaya, suka membantu, pemaaf, mudah berempati, responsif dan altruistik. Mereka cenderung berusaha menghindari konflik dan suka berkompromi. Sebaliknya yang punya skor rendah atau disagreeable umumnya cenderung kompetitif, sinis, skeptis, kurang kooperatif, kurang berempati, mudah tersinggung, keras kepala, pendendam, dan kurang responsif.

  • N = Neuroticism

Mengacu pada seberapa kronis tingkat penyesuaian dan ketidakstabilan emosional seseorang. Sedarhananya Neuroticism itu tentang disregulasi emosi, tingkat reaktifitas terhadap emosi, dan kecenderungan lebih untuk merasakan emosi negatif.

Orang yang punya skor tinggi pada traits ini cenderung rentan terhadap psychological distress (tekanan psikologis). Mereka cenderung memiliki negative affectivity, seperti mudah marah, lebih agresif, depresi, cemas, takut, dan emosi yang tidak stabil. Mereka juga umumnya memiliki kerentanan terhadap stres, self-esteem rendah, dan impulsif. Sebaliknya orang yang punya skor rendah pada traits ini akan merasa lebih tenang, punya toleransi atau ketahanan terhadap stress lebih baik, kestabilan emosi. Sederhananya orang yang memiliki skor rendah cenderung lebih memiliki emosi yang stabil dan merasakan lebih sedikit emosi negatif.

Reference:

  • Costa Jr, P. T., & McCrae, R. R. (1990). Personality disorders and the five-factor model of personality. Journal of personality disorders, 4(4), 362-371.
  • Roccas, S., Sagiv, L., Schwartz, S. H., & Knafo, A. (2002). The big five personality factors and personal values. Personality and social psychology bulletin, 28(6), 789-801

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Kenapa manusia cenderung lebih bijak menilai masalah orang lain daripada masalahnya sendiri?
0
0
Pernah gak?Kamu dipuji oleh saudara, sahabat, teman, atau orang lain karena kamu dianggap bijak dan solutif dalam menyikapi masalah mereka. Tapi ketika kamu mengalami masalah serupa, kamu tidak bisa bijak, tidak solutif, cenderung main aman, dan tidak berprogres terhadap masalahmu sendiri.Contoh sederhana:Sahabatmu suka banget menunda-nunda mengerjakan tugas. Sebagai teman yang baik, kamu pun memberi bermacam-macam nasihat dari manajemen waktu, coping-stress, self reward, dll. Kebalikannya jika kamu yang mengalami hal tersebut, seakan-akan pengetahuan tentang manajemen waktu tersebut tidak memiliki dampak yang solutif dan aplikatif.Yaps benar, kita bisa menjadi “good advicer” tapi “bad self-decision maker”, ini semua karena tau apa yang harus dilakukan berbeda dengan mampu untuk melakukannya.Fenomena ini juga dijelaskan oleh salah satu penelitian tentang kebijaksanaan oleh Igor Grosmann dan koleganya Ethan Kross dari University of Waterloo, Canada. Mereka berdua menjelaskan fenomena ini dengan nama “Solomon Paradox”.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan