RESIMEN TJAKRABIRAWA

4
1
Deskripsi

Membicarakan sosok kesatuan pengawal kepresidenan ini, banyak orang akan selalu mengaitkan peran mereka dalam sebuah peristiwa yang pernah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia yaitu peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965.  Tulisan ini  tidak akan membahas keterkaitan Resimen Tjakrabirawa dalam masalah Gerakan 30 September 1965, akan tetapi memandang Resimen Tjakrabirawa sebagai salah satu kesatuan pengawal kepresidenan yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Pengawalan...

Membicarakan sosok kesatuan pengawal kepresidenan ini, banyak orang akan selalu mengaitkan peran mereka dalam sebuah peristiwa yang pernah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia yaitu peristiwa kelam Gerakan 30 September 1965.  Tulisan ini  tidak akan membahas keterkaitan Resimen Tjakrabirawa dalam masalah Gerakan 30 September 1965, akan tetapi memandang Resimen Tjakrabirawa sebagai salah satu kesatuan pengawal kepresidenan yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia.

Pengawalan Soekarno sebelum pembentukan Resimen Tjakrabirawa

Sebelum dibentuk Resimen Tjakrabirawa, menurut buku berjudul “20 tahun Indonesia Merdeka 1945-1965  jilid III “  halaman 797 yang diiterbitkan Departemen Penerangan Republik Indonesia menyebutkan bahwa  pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah terbentuk kesatuan pengawal pribadi Presiden di Jakarta. Mereka berasal dari Tokubetsu Tokomu Kosaku Tai yang dipimpin Kanapi dan Suhodo. Keduanya berpangkat Keibu atau Inspektur Polisi. Mereka bertugas menjaga keamanan dan keselamatan Presiden dan keluarga, Wakil presiden dan menteri dalam kabinet RI saat itu. Sedang para pemuda mantan anggota kesatuan Peta (Pembela Tanah Air) berperan sebagai pengawal Istana. Pada saat Soekarno, Hatta beserta keluarga terpaksa “hijrah” dari Jakarta  menuju Yogyakarta pada 3 Januari 1946, pasukan pengawal pribadi Presiden melakukan pengawalan di bawah pimpinan Mangil dan Sudiyo. Anggota yang berperan serat dalam pengawalan tersebut adalah Soekasah, Winarso, Seopandi, Mangil, Rasmad, Didi Kardi, Ramelan, Soehardjo, Oding Suhendar, Soekanda, Sudiyo, Karnadi dan  Moh Toha.  Mereka ini kemudian diresmikan oleh Kapolri Raden Said Sukanto sebagai Polisi Pengawal Presiden (PPP). Kemudian dalam peristiwa 3 Juli 1946, pasukan PPP juga berperan dalam mengamankan Soekarno saat itu. Pimpinan kup, RP Soedarsono, menyerahkan senjatanya dengan sukarela kepada anggota  PPP. Hingga Agresi 19 Desember 1948 dimana Soekarno berhasil ditawan Belanda, PPP selalu setia menemani Soekarno dimana saja. Pada saat Soekarno di pengasingan, sebagian dari anggota PPP yang dilepaskan dari tahanan Belanda, dipercaya menjaga keamanan para keluarga Soekarno dan Hatta yang tinggal di rumah Ibu Sukanto ( Ibu Kapolri saat itu). Selain melibatkan PPP, di Istana Negara Yogyakarta juga dikawal oleh satuan dari Polisi Militer atau CPM hingga kedatangan pasukan Belanda pada 19 Desember 1948.  Pada saat  itu yang berhadapan dengan pasukan Belanda dalam tembak menembak di Istana adalah Kompi II dari Batalyon Mobil II CPM. Kompi II dipimpin Letnan Soesatio berkekuatan 3 seksi senapan dengan persenjataan 100 pucuk Lee Enfield MK I No 1 kaliber 7,7mm, 1 Karabin Mitraliur 6,5mm , 1 Senapan mesin ringan 6,3 mm buatan Jepang, 1 senapan mesin Hotchkiss , beberapa pucuk submachine gun dan pistol berbagai kaliber. Dalam tembak menembak tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan Kompi II menghentikan perlawanan. Akibatnya banyak anggota Kompi II yang ditawan Belanda. Meski demikian akhirnya banyak anggota kompi II yang berhasil melarikan diri ketika proses penyerahan senjata milik Kompi II dilakukan. Akhirnya anggota Kompi II yang berhasil lolos dari tawanan melakukan regrouping dan melancarkan perang gerilya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya hingga penyerahan Yogyakarta kembali pada 29 Juni 1949.  
Pada era 1950-1962 terjadi beberapa kali upaya pembunuhan dengan target presiden Soekarno. Sejarah mencatat pada pada 30 November 1957 terjadi upaya pembunuhan terhdap Soekarno di Perguruan Cikini yang sedang berulangtahun. Soekarno hadir sebagai orangtua murid dari Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati dan Guruh. Kehadiran Soekarno membuat acara menjadi meriah dan padat dengan massa yang ingin hadir dan menyaksikan acara ulangtahun tersebut. Tetapi di balik kemeriahan ada sekelompok orang dari gerakan anti Soekarno yang merencanakan teror dalam kesempatan tersebut. Mereka melemparkan granat untuk membunuh Soekarno. Sudiyo dan Oding Suhendar dari kesatuan Pengawal Pribadi Presiden bergerak cepat mengamankan Soekarno dan rela menjadi tameng hidup dengana memeluk Soekarno agar tidak terkena ledakan atau pecahan granat. Kemudian mereka segera membawa Soekarno ke tempat yang aman. Dalam peristiwa tersebut 9 orang tewas dan ratusan luka, termasuk yang menderita luka berat dan ringan  adalah Ajun Inspektur Polisi I (AIP I) Oding Suhendar,  AIP I Sumardi, AIP II Ngatijo dan  AIP I Tupon Waluyo. Para pelaku dalam peristiwa Cikini yaitu Jusuf Ismail, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh Tasin bin Abubakar berhasil dibekuk dan di hadapkan ke pengadilan militer. Mereka di jatuhi hukuman mati pada 28 April 1958. Pelaku dituduh sebagai antek teror gerakan DI/TII.  Pada 9 Maret 1960, percobaan pembunuhan lebih canggih lagi. Pelaku bernama Maukar menggunakan pesawat tempur jenis MiG-17 untuk menyerang Istana Negara. Akibatnya timbul kerusakan dan melukai AIP II Mochmamad Anwar. 
Kejadian terakhir yang cukup menegangkan adalah pada Idul Adha 14 Mei 1962 ketika Seoakrno melaksanakan Shalat Id di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara. Saat itu para anggota Pengawal pribadi Presiden yaitu Mangil dan Inspektur Sudiyo bertugas mengawal Soekarno dengan mengambil posisi menghadap massa, sedang AIP Amoen Soedrajat, Abdul Karim dan Brigadir Susilo berpakaian pakaian sipil dan berpistol duduk disekeliling Soekarno. Penyusup yang berniat membunuh Soekarno berhasil mendekati hingga jarak 4 shaf dan menembakkan pistol sebanyak tiga kali ke arah Soekarno. AIP I Amoen Soedrajat bertindak cepat melindungi Soekarno. Akibatnya . AIP I Amoen Soedrajat terkena peluru di dada, sedang Brigadir Susilo terkena pada lehernya. Tanpa menghiraukan lukanya, Brigadir Susilo segera dan menerjang sang penembak dan dibantu anggota lainnya meringkusnya. Pelaku bernama Bachrum  berhasil diamankan berikut pistolnya. Selain kedua pengawal pribadi Soekarno, korban lain adalah Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang juga terkena peluru pada bahu dan Wakil Ketua MPRS Idham Chalid. 
Dari peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa para anggota Pengawal Pribadi Presiden rela menjadi benteng dan tameng dalam melindungi Soekarno. Mungkin inilah juga yang dijadikan alasan para oknum Resimen Tjakrabirawa yang pada malam 30 September 1965 mengambil tindakan tegas terhadap para jenderal yang diduga akan melakukan kudeta atau gerakan yang membahayakan Soekarno saat itu.  

Pembentukan Resimen Tjakarabirawa
Setelah upaya pembunuhan Presiden Soekarno pada 14 Mei 1962 yang gagal, maka digagaslah sebuah kesatuan yang bertanggung atas keamanan Presiden Soekarno dan keluarganya. Usul pembentukan dilontarkan Menkohankam/KASAB (Kepala Staf Angkatan Bersenjata) Jenderal A.H Nasution. Ironis sekali, kelak sebagian dari oknum Resimen Tjakrabirawa nantinya bertanggungjawab atas upaya penculikan yang gagal terhadap  Jenderal Abdul Haris Nasution, kematian putrinya yang bernama Ade Irma Suryani dan ajudannya Letnan Satu CZi Pierre Tendean pada dini hari 1 Oktober 1965. Menindaklanjuti usul tersebut, Tim survei pembentukan dipimpin Mayor CPM Sukotjo, Komandan Pusat Pendidikan Pom (Polisi Militer) yang telah melakukan studi banding ke Jepang dan Amerika Serikat, memberikan rekomendasi pembentukan sebuah kesatuan yang kemudian diberi nama Resimen Tjakrabirawa. Nama Tjakrabirawa diambil dari nama senjata pamungkas milik Batara Kresna yang digunakan sebagai senjata penumpas semua kejahatan. Menurut Kepala DKP (Detasemen Kawal Pribadi), AKBP (Ajun Komisaris Besar Polisi) Mangil, Presiden Soekarno sendiri yang memilih nama Tjakarabirawa. Bertepatan dengan hari ulang tahun kelahiran Presiden Soekarno tanggal 6 Juni 1962 dibentuklah kesatuan khusus Resimen Tjakrabirawa dengan Surat Keputusan Nomor 211/PLT/1962. Resimen Tjakrabirawa kemudian berkembang menjadi satuan yang anggotanya dipilih dari anggota terbaik dari empat angkatan yaitu, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian. Kekuatan Resimen Tjakrabirawa diperkirakan sekitar 3.000 orang. Resimen Tjakrabirawa pada awalnya dipimpin oleh Komandan Brigadir Jenderal Moh. Sabur dengan wakilnya yakni, Kolonel Cpm Maulwi Saelan. Keduanya naik pangkat dari sebelumnya dari Kolonel dan Letnan Kolonel. 
Resimen Tjakrabirawa berkedudukan langsung di bawah Pemerintahan Agung Republik Indonesia. Tugas pokoknya adalah sebagai kesatuan khusus yang diberi wewenang dan tanggungjawab tunggal terhadap keamanan dan keselamatan Kepala Negara beserta keluarganya di dalam Istana-istana, tempat-tempat kediaman resmi Kepala Negara beserta keluarganya serta ditempat lain dimana Kepala Negara dan keluarganya berada. Jadi bisa dikatakan dimana Presiden Soekarno dan keluarga berada, di tempat tersebut pasti ditempatkan anggota Resimen Tjakrabirawa sebagai pengawalnya. Sedang fungsi dari Resimen Tjakrabirawa adalah sebagai satuan pengawal dan penjagaan pribadi, pengamanan fisik baik pengamanan perorangan dan pengamanan wilayah, tugas protokoler seperti upcara kenegaraan di istana. Akan tetapi pada saat eksekusi mati tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Kartosuwiryo di Pulau Ubi, terlihat juga beberapa personel Resimen Tjakrabirawa yang ikut terlibat dalam pengamanan eksekusi tersebut. 
Dalam masalah kesejahteraan, menurut hasil wawancara dengan sumber yang pernah berdinas di Tjakrabirawa, gaji anggota Tjakrabirawa sama dengan anggota TNI/Polri diluar Tjakrabirawa. Akan tetapi anggota Tjakrabirawa memperoleh tambahan asupan gizi seperti susu, kacang hijau , telur dan lain-lain. Hal ini menepis dugaan sebelumnya bahwa ada anggapan bertugas di Resimen Tjakarbirawa memperoleh penghasilan lebih besar dari anggota di luar resimen. Hal ini juga diperkuat pengakuan dari Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Tjakrabirawa yang mengatakan hal serupa dalam buku berjudul Penjaga Terkahir Soekarno. Anggota Tjakrabirawa dapat dikenali lewat atributnya seperti baret warna merah bata dengan lambang cakra dipakai miring ke kiri, pemakaian lambang resimen di lengan kanan dan seragam warna hijau botol. Lambang kesatuan asal dipakai di sebelah lengan kiri. Sebagai ilustrasi, anggota Tjakrabirawa yang berasal dari Polisi Militer, yang bersangkutan menempatkan lambang Polisi Militer di sebelah kiri, sedang sebelah kanan terdapat lambang resimen. Warna baret yang hampir menyerupai baret merah miik RPKAD inilah yang diduga menjadi penyebab bentrok antara RPKAD dan Batalyon II KK dari unsur Korps Komando Operasi ( KKO) di Jakarta pada tahun 1960-an.  Dalam foto-foto bersejarah, juga sering ditemukan pemakaian sabuk warna hitam dan suspender warna hitam sebagai kelengkapan meski kadang dijumpai pula pemakaian sabuk dan suspender warna putih . Sedang senjata yang digunakan bervariasi sekali karena mengikuti standar masing angkatan. Dalam buku yang memuat foto eksekusi tokoh Darul Islam, Kartosuwiryo, didapati anggota Tjakrabirawa yang menggunakan senjata Garand Kaliber 7,62 X 63 mm. Ada juga penampakan Tjakrabirawa bersenjata AR-15 buatan Amerika Serikat sedang mengawal  Presiden Sukarno dalam sebuah kegiatan keistanaan. Dan yang jelas ketika oknum Tjakrabirawa mengeksekusi Letnan Jenderal Ahmad Yani mereka menggunakan Sub Machine Gun tipe Grease Gun. Senjata lainnya yang kedapatan digunakan oleh Resimen Tjakrabirawa antara lain jenis kopian SKS-46 buatan Tiongkok yaitu tipe Chung yang dipergunakan Batalyon II KK dari unsur Korps Komando Operasi (KKO).  Sebenarnya masih banyak jenis senjata yang kemungkinan digunakan Tjakrabirawa, mengingat kesatuan ini pada masa tersebut merupakan salah satu kesatuan elit dan tentunya mendapat perhatian lebih bila dibanding pasukan  regular lainnya dalam tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
. Adapun struktur organisasi Resimen Tjakarabirawa berdasar lampiran Surat Keputusan Presiden/Pangliam Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia No 01/PLT/TH.1963 mengenai organisasi dan tugas Resimen Tjakrabirawa adalah sebagai berikut :
 Image
Komandan Resimen
Komandan Resimen dijabat oleh Brigadir Jenderal Moh. Sabur, NRP 12901.  Nama Sabur terpilih setelah menyingkirkan kandidat lainnya yaitu Kolonel CPM Sutradhio dan Mayor Infanteri Santoso dari RPKAD. Presiden Soekarno lebih menyukai  Sabur yang berasal dari Korps Polisi Militer atau CPM. Pada masa pemberontakan Madiun 1948, Sabur pernah ditawan pasukan PKI tetapi berhasil lolos dan kemudian ikut  melumpuhkan pasukan PKI. Tugas Komandan Resimen Tjakrabirawa adalah mengendalikan, memimpin, membina teknis dan taktis seluruh kesatuan resimen dan menyelenggarakan administrasi seluruh kegiatan resimen. Sebagai Komandan, Sabur bertanggung jawab kepada Presiden Soekarno.
Kepala Staf Resimen
Jabatan ini dipegang oleh Kolonel CPM Maulwi Saelan, NRP 12872. Seperti Sabur, Saelan berasal dari korps yang sama. Mengawali karirnya di CPM sebagai Letnan Satu pada satuan Polisi Militer TNI AD di  Yogyakarta dan sebelum menjadi Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa pernah menjabat  sebagai Komandan POMAD TJADUAD ( Polisi Militer Angakatan Darat Cadangan Umum Angkatan Darat) di Makassar pada tahun 1962.  Tugas Kepala Staf Resimen antara lain membantu dan memberikan nasehat kepada Komandan Resimen tentang tugas pokok Komandan. Selain itu berfungsi dalam menentukan , mengkoordinasikan tata kerja staf resimen,  mewakili komandan bila berhalangan, memelihara tata tertib di staf dan mengawasi keterampilan anggota staf.
Staf Khusus
Bertugas sebagai penasehat utama dari Komandan Resimen. Staf Khusus juga menjadi penghubung antara Komandan Resimen dengan masing-masing Angkatan dalam ABRI. Selain itu membantu dalam merumuskan dan mengolah peraturan dalam pelaksanaan tugas resimen. Perwira yang pernah bertugas dalam Staf Khusus ini antara lain Mayor Udara PGT Sudarjo, Kompol Sumarto dari Brigade Mobil.  
Staf Pribadi
Tugas pokok dari staf pribadi adalah menyelenggarakan tugas khusus yang diberikan komandan resimen. Sedang fungsinya adalah melaksanakan segala kegiatan yang tidak termasuk dalam bidang satuan bawahan yang ditinjau dari unsur komando dan staf. Perwira yang pernah bertugas di dalam Staf Pribadi ini adalah Mayor CPM Harun.
Ajudan
Ajudan bertugas membantu komandan resimen dalam penyelesaian tugas administrasi harian dan pekerjaan komandan resimen yang berhubungan dengan kedinasan. Ajudan bertanggungjawab kepada komandan resimen. Sebagai ajudan, tentunya mengurusi juga soal surat menyurat urusan dinas atau pribadi dari komandan resimen. Juga meneruskan pesan dan kehendak  dari komandan resimen, mengatur tamu komandan, mengatur persiapan dan keperluan dinas komandan, segala sesuatu yang bersangkutan dengan protokoler dimana komandan resimen merupakan salah satu unsurnya. Ajudan yang diketahui pernah bertugas adalah Pembantu Letnan Dua JB Suparno.
Bagian I
Bagian I ini bertugas mengurusi masalah intelijen, membuat perencanaan, koordinas dan menyuplai informasi penyelidikan ke Komandan Resimen. Sebagai unit dalam hal intelijen dan operasi maka bagian I melakukan pengumpulan informasi, pengolahan, penyusunan , pencatatan, penggunaan keterangan intelijen. Selain itu merencanakan, mengkoordinasikan dan mengawasi kegiatan dan staf intelijen. Kepala bagian I pernah dijabat Kompol Dodo SW Amiarsa dan Letkol Ali Ebram, mantan Danyon I KK . 
Bagian II
Bagian II merencanakan operasi dan membuat perintah operasi. Pemeliharaan kesiapsiagaan dan kewaspadaan resimen berada dalam tugas Bagian II. Bagian II juga menyusun satuan untuk pergerakan pasukan, bekerja sama dengan Bagian III dan IV menyangkut kebutuhan organisasi, personel dan materi logistic. Selain itu Bagian II juga merencanakan dan mengawasi kegiatan latihan pemeliharaan kemampuan resimen, menyiapkan dan membuat perintah operasi dan berkoordinasi dengan satuan lain dalam operasi.
Bagian III
Bagian ini mengurusi masalah perencanaan dan pembinaan personel baik sipil maupun militer di resimen. Hal yang dikerjakan seperti perekrutan anggota, laporan kekuatan dan dislokasi resimen, penggantian dan penambahan personel, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dalam, melakukan upaya pemeliharaan moril baik kesejahteraan rohani, materil dan administrasi di resimen.
Bagian IV
Bagian IV bertugas mengurusi masalah logistik seperti perlengkapan, pengangkutan dan koordinasi dengan dinas teknik lainnya.
Detasemen Markas
Denma melakukan tugas pokok seperti menyelenggarakan sesuatu yang berhubungan dengan administrasi dan pelayanan perawatan resimen. Denma di bantu oleh kelompok komando dan kesatuan yang ditugaskan untuk membantu tugas Denma. Dalam melaksanankan tugas didukung oleh :
1. Pemegang Kas Militer yang mengurusi masalah keuangan resimen 
2. Kompi Perhubungan
3. Kompi Angkutan
4. Kompi Peralatan
5. Kompi Kesehatan 
6. Sekretariat. 
Detasemen Kawal Pribadi
DKP merupakan pagar hidup bagi Presiden dan keluarganya. Dipimpin oleh AKBP Mangil, bertugas mengawal Presiden dan keluarganya pada ring I . Anggotanya berasal dari kepolisian. AKBP Mangil telah mengawal Bung Karno sejak tahun 1945.  Fungsinya antara lain sebagai pagar hidup dalam penyelamatan Presiden dan keluarga, menguasai wilayah dimana presiden dan keluarga berada.
Detasemen Pengamanan Chusus
Dipimpin Mayor CPM Djoko Sujatno, bertugas mengawal Presiden dan keluarganya pada ring II atau 20 meter dari jarak Presiden dimanapun berada.  Pedoman pengamanan oleh DPC ditentukan Bagian I dan II. Setelah Mayor CPM Djoko Sujatno, perwira yang pernah menjabat sebagai komandan DPC adalah Mayor CPM Gatot Amino


Batalyon Kawal Kehormatan
Kesatuan ini bertugas hanya pada lingkar ketiga atau jarak 30 meter dari Presiden . Batalyon KK ( Kawal Kehormatan) berasal dari empat angkatan saat itu. Masing-masing angkatan menyumbangkan pasukan terbaik mereka.
Batalyon I KK berasal dari TNI-AD dengan komandan pertama Mayor Ali Ebram ( mantan Komandan Yonif 454 Banteng Raiders). Batalyon ini bermarkas di Jalan Tanah Abang , Jakarta yang kini digunakan sebagai markas Paspampres. Mayor Ali Ebram hanya setahun menjabat lalu digantikan Letnan Kolonel Untung dari batalyon yang sama. Kemudian Mayor Ali Ebram naik jabatan menjadi staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa.  Nama Untung inilah yang  sering menjadi perbincangan dan perdebatan sejarah. Untung sendiri telah kenyang mengalami asam garam berbagai medan pertempuran seperti perang gerilya yang sangat merepotkan Belanda di wilayah Wonogiri, penumpasan Darul Islam, PRRI di Sumatera Barat dan puncaknya ketika dalam rangka Operasi Trikora, pasukan yang dipimpinnya berhasil menyusup lewat udara sehingga memperoleh penghargaan tertinggi Bintang Sakti dari Presiden Soekarno. Sebelum bergabung di Batalyon 454 Banteng Raiders, Untung berdinas lama di Batalyon infanteri-444, sebuah tangguh di Solo yang telah ada sejak masa revolusi 1945. Batalyon ini pada 1953 mempunyai daya tempur tangguh diperkuat 1 kompi raiders. Padahal pada masa tersebut batalyon infanteri lainnya belum mendapat pelatihan raiders kecuali Batalyon 431 Banteng Raiders ( cikal bakal Batalyon 454). Batalyon I KK diperkuat kurang lebih dua kompi raiders. Meski demikian didapati ada dari kesatuan lain yang bergabung seperti dari Batalyon Infanteri 450 dari Purwokerto. Sebelumnya pihak RPKAD (Resimen Para Komando AD) pernah akan ditarik sebagai Batalyon I KK, tetapi ditolak oleh Mayor Benny Moerdani. Dalam peristiwa G30S PKI menurut Komandan Resimen Tjakrabirawa, Brigjen Sabur yang dimuat di Kompas 21 Oktober 1965 disebutkan hanya 106 dari anggota Batalyon I KK yang terlibat di dalam peristiwa tersebut.  
Dari TNI-AL dimasukkan satu batalyon KKO (Korps Komando Operasi-sekarang Korps Marinir TNI AL) dari batalyon 4 KKO sebagai inti. Batalyon ini bernama Batalyon II KK dengan pimpinan Mayor KKO Saminu, marinir veteran perang kemerdekaan melawan Belanda. Batalyon II bermarkas di asrama Kwini. Seperti Batalyon I,  batalyon ini juga menjaga Istana Negara di Jakarta. Batalyon 4 KKO diresmikan di Cilandak pada 9 April 1962 dengan modal 500 prajurit KKO. Bahkan untuk memperingati angka 9 sebagai tanggal lahir, Batalyon 4 KKO rutin mengadakan apel batalyon di tiap tanggal tersebut. 
AURI juga menyumbangkan satu batalyon PGT (Pasukan Gerak Tjepat-sekarang Paskhas TNI-AU) di bawah pimpinan Mayor Sutoro.  Batalyon ini mendapat nama Batalyon III KK dan berasal dari Batalyon I PGT di Bogor. Sebagai Batalyon IV KK diambilkan dari satuan Brigade Mobil Polri. Batalyon 1129 menjadi inti dari batalyon IV KK yang personelnya diambil dari seleksi seluruh Mobrig di Indonesia. Batalyon IV  dipimpin oleh AKBP Satoto. Tugas Batalyon III dan IV adalah melakukan penjagaan di Istana Bogor, Cipanas, Yogyakarta dan Tampaksiring Bali. Dengan demikian Resimen Tjakrabirawa boleh dikatakan mempunyai benteng dari empat pasukan elit yang terpilih.   
Setelah masuk jajaran resimen Tjakrabirawa, maka batalyon terpilih melakukan latihan untuk memantapkan tugas mereka.  Pada April sampai Juni 1963 diadakan latihan SATYAWIRA I di Cisarua. Latihan meliputi perang hutan, aksi partisan, aksi polisionil, pengendalian huru hara, latihan senjata tajam seperti kapak dan pisau lempar, intelijen dan kontra intelijen. Dan bagi anggota yang belum berkualifikasi para, diadakan pendidikan para dasar di Margahayu Bandung. Dengan demikian lengkaplah kemampuan tempur Resimen Tjakrabirawa sebagai benteng yang melindungi institusi kepresidenan Indonesia.

Angkutan Udara 
Selain itu, resimen juga diperkuat sarana bantuan dalam rangka melakukan fungsi pengangkutan udara di dalam tugas pengamanan yang dibebankan kepada Resimen Tjakrabirawa. Unit ini diperkuat berbagai jensi helicopter. Jenis helikopter yang digunakan antara lain Sikorsky S-61 buatan Amerika Serikat. Helikopter ini sangat istimewa karena pemberian dari Presiden Amerika Serikat John F Keneddy . Selain itu masih ada satu buah S-58, dua Bell Jet Ranger, enam Bell-205. Penerbang yang bertugas antara lain Kolonel Udara Kardjono, Kapten Udara Suhardono, Letnan Satu Udara Steven Adam dan Letnan Satu Udara Achmad Ilham. Selain heli ada perkuatan satu buah pesawat kepresidenan jenis C-140 Jetstar dan Kapal KRI Varuna.  

Detasemen Bantuan
Merupakan kesatuan yang diperbantukan dalam rangka tugas pengamanan Resimen Tjakrabirawa. Berfungsi menyelanggarakan tugas khusus dalam rangka tugas pengamanan Resimen Tjakrabirawa.

Selain berdasar penelusuran data ditemukan fakta adanya perkuatan dari unsur kavaleri sebanyak 1 kompi panser. Meski sebenarnya kompi ini di bawah komando Komandan Batalyon Kavaleri-1 Kostrad,  tetapi bisa digerakkan oleh komandan resimen. Penempatan bersifat Bawah Perintah atau BP. Setiap saat disediakan 1 kompi yang siaga, meski dalam praktek hanya 1 peleton yang bertugas. Hal ini dikarenakan sarana dan prasarana yang belum memadai untuk menampung pasukan setingkat kompi. Jenis panser yang dipergunakan antara lain Ferret, Saladin dan Saracen. Tugas dari kompi ini dititikberatkan pada evakuasi VIP dan ditempatkan pada ring luar.  Kelak Kompi ini juga berperan besar dalam penerobosan kawasan Halim dalam rangka penumpasan G 30 S PKI.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Informasi Tambahan

Untuk menjadi anggota Resimen Tjakrabirawa diperlukan sejumlah persyaratan. Tidak semua anggota ABRI pada saat itu bisa direkrut menjadi anggota resimen. Adapun persyaratan tersebut antara lain :
Persyaratan Mental 
1. Warga negara Indonesia yang tidak disangsikan loyalitas dan kesadaran nasionalnya.
2. Bernilai Manipol-Usdek.
3. Tidak pernah absen dalam perjuangan Republik Indonesia dalam segala fase (untuk junior aktif dalam fase terakhir).
4. Melalui pendidikan khusus.
5. Konduite baik daripada kesatuan asalnya.

Persyaratan fisik dan kemampuan teknis.
1. Mahir menembak.
2. Mahir melepar pisau.
3. Bersedia mengorbankan jiwa untuk kepentingan tugasnya.
4. Berkondisi fisik untuk tujuan kerja.

SUMBER PENULISAN

1. Majalah Korps Komando No 14 edisi 15 nopember 1963
2. Majalah Tjakrabirawa edisi No. 5/Djuni 1963
3. Kompas 21 Oktober 1965
4. Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa : Dari revolusi 45 Sampai Kudeta 66, Visimedia Pustaka Jakarta , 2008.
5. Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F Isnaeni, M.F. Mukhti, Maulwi Saelan : Penjaga Terakhir Soekarno, Jakarta : Kompas, 2014.
6. Lampiran Surat Keputusan Republik Indonesia No. 154 Tahun 1963 Tentang  Duadja  Resimen TJakrabirawa .
7. 20 Tahun Indonesia Merdeka Jilid III, Departemen Penerangan RI, 1965.  
8. Julius Pour , Gerakan 30 September 1965 : Pelaku, Pahlawan dan Petualang, Gramedia 2010.
9. Tjokropranolo, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman : Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Surya Persindo Jakarta 1992.
10. Petrik Matanasi, Untung, Cakrabirawa dan G30 S, Trompet Book, Yogyakarta, 2011.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kompi Mobile Darsono Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
3
0
Kompi Mobile Darsono Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949Gerakan mobil ini dilakukan dengan pola infanteri berjalan kaki.Sesuai rencana operasi serangan umum ke kota Yogyakarta oleh satuan di lingkup Wehrkreise III, maka Komandan Wehrekreise III, Letnan Kolonel Soeharto mengirim surat perintah kepada Batalyon 3 yang dipimpin Mayor Sroehardoyo untuk menyiapkan satu kompi dan yang ditunjuk adalah Kompi 1 Irawan atau Kompi Darsono yang dipimpin oleh Kapten Soedarsono Bismo. Dalam gerakan ke Yogyakarta , Kompi Darsono berjumlah kurang lebih 200 orang termasuk perkuatan satu peleton senapan mesin dari Corps Armada Angkatan Laut Republik Indonesia yang dipimpin Letnan Satu Soedjarwo.Dalam rencana akan digunakan 2 kompi yaitu 1 Kompi dari Batalyon 3 dan satu kompi dari Batalyon 4. Pada tanggal 16 Februari 1949 , Kapten Darsono memimpin kompi tesebut mulai berjalan kaki dari Bruno, Purworejo melewati Banyuasin kemudian memasuki wilayah Yogyakarta tepatnya di daerah Nanggulan Kulonprogo.Daerah tersebut merupakan daerah deretan perbukitan Menoreh.Daerah tersebut masih sangat banyak ditumbuhi pepohonan .Pepohonan tersebut dapat digunakan sebagai perlindungan dan bersembunyi apabila dalam gerakan kepergok pesawat pengintai Belanda yang mengintai dari atas. Kompi Darsono tiba di Nanggulan dalam kondisi hari sudah malam dan beristirahat. Di sini kurir dari markas Wehrekreise III datang dan menyampaikan perintah pergeseran pasukan menuju daerah Celereng, Pengasih, Kulon Progo.Keesokan harinya , Kompi Darsono tiba di Celereng setelah berjalan kaki 4 hari 3 malam.Kapten Darsono kemudian melapor kepada Letnan Kolonel Soeharto dan menerima perintah operasi. Pada tanggal 23 dan 24 Februari 1949 dimulai aksi Kompi Darsono dengan dukungan pasukan lainnya dari Wehrkreise III..Serangan kali ini ditujukan ke jembatan Bantar yang menghubungkan kota Yogyakarta dengan Kulon Progo .Di bawahnya mengalir Sungai Progo yang saat itu sedang banjir. Letnan Kolonel Soeharto memimpin serangan lewat daerah Sentolo.Pos Belanda dihujani tembakan gencar dari pasukan TNI.Kompi Darsono menyerang dari arah barat daya, sedang dari utara pasukan Batalyon 151 ikut menyerang dan pasukan Sub Wehrkreise 106 dari arah barat daya.Satu-satunya daerah yang dapat digunakan pasukan Belanda untuk pengunduran adalah ke selatan jalan dengan catatan mereka tetap akan terkena serangan dari Kompi Darsono yang berada di barat Kali Progo.Seperti biasa, setelah menyerang kemudian pasukan TNI mundur teratur.Serangan tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian Belanda.Kompi Darsono kemudian menyusup ke selatan dan menuju daerah Pandak, Bantul.Di Pandak, Kompi Darsono melapor Ke Komandan Sub Wehrekreise 102 yaitu Mayor Sardjono.Selama di bawah perintahkan ke Mayor Sardjono, Kompi Darsono dilibatkan dalam penyerangan ke dalam Kota Bantul tanggal 26 Februari 1949 dan penyerangan ke Pucung pada 27 Februari 1949. Sementara itu pada tanggal 26 Februari 1949, Perintah Serangan Umum sudah mulai disampaikan ke semua komandan lapangan dengan hari H 1 Maret 1949 dan Jam J adalah 06.00 pagi dengan tanda sirine berakhirnya jam malam.Pada tanggal 28 Februari 1949, pasukan Sub Wehrkreise 102 bergerak memasuki kota Yogya.Pasukan tiba di daerah Gading pada malam hari,kemudian menyusuri terowongan dan selokan air menuju beberapa daerah persiapan yaitu Kompleks Kraton , daerah Alun-Alun Selatan, SD Keputran dan pagelaran Kraton.Sedang Kompi Darsono mendapat jatah daerah Tungkak dan Jalan Taman Siswo sebagai garis start untuk penyerangan ke dalam kota. Pada pukul 04.00 tanggal 1 Maret 1949, semua pasukan sudah mengendap. Infanteri TNI telah mencari dan mendekat, tinggal menunggu perintah penghancuran musuh. Sebagai tanda pengenal, semua pasukan mengenakan janur kuning . Pada pukul 06.00 pagi , sirine yang lebih dikenal dengan nama gaung mulai meraung-raung.Letnan Kolonel Soeharto yang saat itu mengendap di Patuk dekat Ngampilan mengeluarkan tembakan tanda serangan dimulai.Senjata Owen Gun yang dibawanya ikut meramaikan Serangan Umum 1 Maret 1949.Ribuan pasukan TNI yang dibantu satuan Polisi Negara dan Mobile Brigade secara serentak menyerbu kota Yogyakarta.Beribu peluru dari berbagai jenis senjata dimuntahkan.Kota Yogya menjadi riuh karena adanya pesta adu timah panas dari kedua pihak.Korban berjatuhan dari kedua pihak.Banyak tentara Belanda di sepanjang jalan Malioboro tumbang.Demikian juga , banyak tentara Belanda yang berhasil dipaksa bertahan di pos pertahanan mereka.Pasukan TNI dengan segala bala bantuan mulai diatas angin.Satu persatu kampung-kampung di dalam kota mulai disesaki oleh pasukan TNI yang menyusup dari semua sektor.Untuk mendesak pasukan TNI yang sebagian besar berperan sebagai infanteri ringan, maka kendaraan lapis baja mulai dikerahkan Belanda.Brencarrier Belanda ikut beraksi meski dengan susah payah.Pasukan Sub Wehrkreise 102 melayani dengan gigih kendaraan tempur tersebut.Ketika bergerak menuju daerah pojok Alun-alun utara, tiba-tiba brencarrier mereka mengalami gangguan yaitu ranjau darat TNI.Tercatat tiga buah kendaraan tempur Belanda mengalami kerusakan dan akhirnya pasukan Belanda mundur ke utara menuju Maliboro.Di tempat lain pertempuran masih berjalan dengan seru.Hanya pasukan Belanda di Kota Baru dan Hotel Tugu yang masih mampu melayani pasukan TNI dengan hebat.Sementara itu, Kompi Darsono menyerang dengan kekuatan 3 peleton senapan dan 1 peleton bantuan.Dari arah tenggara, 1 peleton senapan dan kelompok Komando Kompi Darsono menyerang dan berhasil menguasai wilayah Wirogunan yang diserang dari arah kampung Tungkak yang dibatasi oleh Kali Code. Sedang peleton 1 dan 2 ikut menduduki Alun-Alun Utara bersama pasukan lainnya.Hingga siang hari, praktis seluruh kota diduduki oleh pasukan TNI. Pukul 10.00 pesawat pengintai ringan Belanda mulai melakukan pengintai.Pasukan Belanda berhasil menghubungi pasukan lainnya di luar kota untuk meminta bantuan.Melihat hal tersebut maka Mayor Sardjono segera memerintahkan pasukannya untuk mengibarkan bendera merah putih di Alun-Alun Utara sebelum mundur untuk tanda kemenangan pasukan TNI.Pada tengah hari pasukan bantuan Belanda yaitu Batalyon Gadjah Merah , Anjing Nica , 1 kompi panser, 1 peleton tank dikerahkan dari Magelang dan Semarang..Pasukan TNI tidak dapat menahan laju mereka.Di sini penting sekali adanya senjata lawan tank untuk pasukan infanteri .Penghambatan yang diupayakan oleh TNI kebanyakan dilakukan dengan senjata infanteri ringan saja.Sesuai perintah, pada siang hari itu juga pasukan TNI mulai mundur ke basis semula.Pada pengunduran ini, Kompi Darsono melakukan pengunduran ke daerah Beji untuk berkonsolidasi sebelum bergeser ke daerah Pandak, Bantul di sektor Selatan. Di Beji, Mayor Sardjono melepaskan status bawah perintah Kompi Darsono pada Sub Wehrkreise 102 menjadi Kompi di bawah Komandan Wehrkreise III , yaitu Letnan Kolonel Soeharto. Pasca serangan umum, pasukan Wehrkreise III ditata lagi.Untuk itu Letnan Kolonel Soeharto membentuk pasukan ekpsidisi Wehrkreise III dengan kekuatan 2 kompi.Kompi yang dipilih adalah Kompi Darsono dan Kompi Widodo ( kelak menjabat KASAD pada era 1970-an).Pasukan ekspidisi ini akan bertempur tanpa batas di wilayah Wehrkreise III, artinya dapat bertempur di wilayah sub wehkreise manapun baik secara mandiri atau bekerja sama dengan pasukan setempat.Dalam era modern pasukan model ini dapat kita temukan pada detasemen mobil Komando Pasukan Khusus atau Kompi Intai Tempur Kostrad yang selalu aktif bergerak mencari dan menghancurkan separatis Gerakan Aceh Merdeka dalam konflik Aceh. Tujuan pasukan ekspidisi kali ini adalah untuk melakukan serangan terbatas, gangguan dan pengalihan perhatian musuh. Pada tanggal 3 Maret 1949, kedua komandan kompi ditarik ke Segoroyoso, Bantul untuk menerima perintah operasi.Kali ini daerah di luar kota Yogya yang akan menjadi sasaran.Tujuannya adalah untuk menimbulkan kesan bahwa TNI melakukan perlawanan di mana-mana di luar kota sehingga perhatian Belanda terpecah, mengangkat moral rakyat tentang masih adanya TNI dan uniknya dalam salah satu serangan di Wonosari , Gunung Kidul juga digunakan pola perang urat syarat dengan menyebarkan desas-desus penyebaran wabah pes oleh tikus.Pada 11 maret 1949, Jembatan Bantar kembali diserang pada malam hari .Kali ini 1 kompi Belanda diganggu oleh pasukan ekspidisi yang dibantu oleh pasukan sub wehrkreise lainnya.Dari selatan, Barat dan Utara pasukan ekspisidi menguasai wilayah tersebut.Satu-satunya yang tersisa dalah sebelah timur atau jalur jalan Yogya-Sentolo. Rute tersebut sebenarnya juga dipenuhi pasukan TNI pada titik tertentu seperti di Gamping yang bertugas menghadang bala bantuan Belanda dari arah kota. Pada hari pertama , salah satu pos Belanda dan senjatanya berhasil direbut Kompi Widodo.Pertempuran berjalan hinga esoknya ketika pesawat Cocor Merah ikut berkasi dan menimbulkan korban pada Kompi Widodo dan sejumlah penduduk di lokasi pertempuran.Pasukan Ekspidisi segera mengundurkan diri sesuai prinsip gerilya yaitu ketika lawan kuat, maka gerilya harus menghindar dan menuju Godean pada tanggal 17 Maret 1949.Di sini mereka beristirahat dan sudah bisa bernafas lega untuk menyusun kekuatan lagi.Sialnya keesokan harinya Belanda yang dibantu pesawat terbang menyerbu Godean dan menimbulkan korban rakyat serta anggota TNI.Untuk itu semua pasukan harus bergeser lagi .Kali ini mereka menuju Pakem dan dalam perjalanan di daerah Cebongan pada 20 Maret 1949 terjadi tembak menembak.Terjadi pertempuran perjumpaan yang melukai seorang anggota Kompi Darsono.Setelah pertempuran reda, Kompi Darsono melintasi jalan jurusan Yogyakarta-Magelang untuk menuju daerah Ngemplak.Di sini mereka beristirahat dan menyusun rencana selanjutnya.dua hari berikutnya , Pasukan Ekspidisi menghadang Belanda di selatan Pakem dan merusak satu truk.Kali ini dibantu oleh satuan Tentara Pelajar Brigade 17.Tanggal 26 Maret 1949, Kompi Darsono menyerang Gadingan dengan beberapa korban tentara Belanda.Sehari kemudian melakukan penghadangan di Desa Ngabean, Ngaglik dan Projangan dengan hasil satu truk hancur berikut korban tewas.Rencana ekspidisi berikutnya adalah Kota Wonosari di Gunung Kidul.Untuk menuju daerah ini, maka mau tak mau harus melewati jalur utama Yogya-Solo.Ketika melintas di sekitar Prambanan ,salah satu Kompi ekspidisi yaitu Kompi Widodo mendapat mangsa.Satu unit patroli Belanda yang sedang melintas dihajar pasukan Kompi Widodo.Satu jeep,satu sepeda motor dirusak ,dan 3 pucuk senapan berhasil direbut.Sedang lainnya termasuk sebuah kendaraan tempur Brencarrier berhasil kabur. Mereka kemudian tiba di daerah Gunung Kidul.Pada tanggal 30 Maret 1949, Kompi Darsono menyerang lapangan terbang Gading di Playen.Pasukan Belanda tidak menduga sama sekali , kalau pasukan TNI sudah menjangkau wilayah Gunung Kidul.Sebelumnya pada tanggal 10 Maret 1949, Belanda melakukan operasi lintas udara untuk menduduki wilayah Wonosari dan sekitarnya.Belanda semual menduga bahwa serangan umum 1 Maret 1949 dikendalikan oleh TNI dari wilayah tersebut.Akan tetapi hasilnya nihil karena tidak ditenukan aktivitas berarti dari pasukan TNI di wilayah tersebut. Sehari berikutnya giliran Wonosari selatan diserang oleh Kompi Widodo dari arah Playen .Dalam serangan tersebut dilakukan pula perang urat syaraf akan adanya wabah pes di kota tersebut.Sedang Kompi Darsono pada tanggal 2 April 1949 giliran mengacaukan konsentrasi Belanda dengan menyerang kota yang sama. Kedua kompi mundur pada tanggal 4 April 1949 .Kompi Widodo menuju Pandak, sedang Kompi Darsono ke Imogiri.Keduanya berada di wilayah Bantul.Hampir 2 bulan, Kompi Darsono bertempur di seluruh wilayah Yogyakarta dengan berjalan kaki .Pasukan mulai dilanda rasa lelah dan beberapa anggota yang sudah berkeluarga mencemaskan keluarga mereka di Purworejo.Kerinduan akan kampung halaman mulai melanda sebagian anggota Kompi Darsono.Ketika pasukan dalam perjalanan ke Pandak, Kapten Soedarsono selaku komandan kompi membicarakan hal tersebut ke Letnan Kolonel Soeharto.Kapten Soedarsono meminta izin agar pasukan bisa kembali ke daerah asal. Letnan Kolonel Suharto mengabulkannya dengan syarat ada kompi pengganti.Akhirnya pada 6 April 1949, Kompi Darsono bertolak ke Purworejo.Pasukan bergerak ke daerah Pandak Bantul, lalu menyusuri daerah sepanjang pantai selatan menuju Purworejo.Sebagai pengganti, Kompi Gatotkaca yang dipimpin oleh Kapten Seogijono dikirim oleh induknya Batalyon Soedarmo di Kebumen untuk mengisi posisi Kompi Ekspidisi Wehrkreise III.   Sumber :Gema Infanteri no 41Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan