Indomie seleraku, Indomie membawa kenanganku #CeritadanRasaIndomie

3
2
Deskripsi

Anin anak sulung dari tiga bersaudara, ia dan kedua saudaranya tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu. Ayahnya yang berprofesi sebagai ojek motor dan ibunya hanya menjadi buruh cuci pakaian kotor membuatnya terpaksa menjadi ojek payung di kala musim hujan. Anin yang masih berusia dua belas tahun kala itu, tidak bisa hanya berpangku tangan saat tahu kondisi keluarganya, tubuhnya yang ringkih ia paksa untuk menerjang hujan demi membantu ibunya membeli beras untuk makan mereka berlima. 

Hembusan angin menyeruak dari celah jendela terasa begitu menusuk, dinginnya yang tidak mampu ditawar, menggoda untuk menyembunyikan diri di balik selimut tebal. Awan keabuan bertengger memenuhi langit yang seolah ikut bekerjasama untuk mendatangkan hujan membasahi tanah. Bahkan hujanpun menyambutnya dengan riang gembira, menari-nari di dedaunan sebelum memutuskan untuk menyentuh tanah. Jangan lupakan bau petrikor yang menguar membuat memori itu kembali lagi. 

Hujan pertama di bulan Juni, seorang perempuan berambut hitam legam mematung di depan jendela menatapi langit mendung penuh akan muntahan air hujan. Ia berusaha menggosok-gosokkan lengan dengan telapak tangan bermaksud untuk menghalau rasa dingin yang merangsek masuk. Alih-alih menaiki ranjang dan mengambil selimut tebal, ia malah menikmati hawa dingin ini. 

Aroma petrikor dan indomie berlomba meminta perhatiannya, ia menatap bergantian rintikan hujan dan mangkuk mie yang ada di hadapannya. Tangannya bergerak mengaduk kumpulan mie di dalam mangkuk sehingga membuat asapnya mengepul dan menari disapu hembusan angin. 

Hari ini tepat hari dimana kenangan itu bermula, ia yang saat itu masih berusia dua belas tahun, ingat betul bagaimana kejadian itu terjadi. Tangannya bergerak kembali menyendok mie dan meniupnya kemudian menyuapnya pelan. Wanita mengunyah pelan dan merasakan rasa mie dalam mulutnya dengan pandangan menerawang.

Tanpa sadar sebulir air mata memaksa keluar dari sudut matanya, tiba-tiba saja rasa yang dulu ia rasakan kembali, rasa yang tidak pernah ia lupakan dari lima belas tahun yang lalu. Kini ingatannya menerawang ke peristiwa lima belas tahun lalu.

Jakarta, hari sabtu minggu pertama di bulan juni.

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh petang, hujan masih mengguyur tanah Jakarta dengan begitu lebatnya. Bahkan hujan hari ini tidak berhenti dari pagi hari hingga saat ini, ibu terlihat sibuk menata panci dan baskom kosong untuk menggantikan ember-ember yang sudah penuh dengan air hujan. Ibu bahkan sudah bolak balik sedari tadi dibantu oleh Anin, kakak perempuan pertama Anggun. Sedangkan Anggun dan Adel, kakak kedua Anggun, sibuk menyelamatkan beberapa sandal mereka yang hampir hanyut terbawa banjir. Mereka, Anin, adel dan Anggun adalah tiga bersaudara yang usianya terpaut tidak terlalu jauh. 

Tidak lupa Anggun menggendong Loli masuk ke rumah, Loli adalah kucing berbulu oranye yang Anggun temukan di jalan saat pulang sekolah bersama Adel. Saat mereka berdua berjalan pulang sekolah mereka mendengar Loli mengeong sangat keras dari dalam got, sejak saat itu Anggun dan Adel memutuskan untuk memelihara Loli. Awalnya ibu dan ayah tidak setuju mereka memelihara Loli melihat kondisi Loli yang begitu kurus dan penuh luka, tetapi Anggun berusaha meyakinkan mereka berdua untuk bisa menjadikan Loli peliharaan di rumah, akhirnya ibu dan ayah luluh dan mengijinkan Anggun memelihara Loli. 

"Anggun, cepat ganti bajumu yang basah, jangan sampai kamu sakit dan besok tidak bisa pergi ke sekolah." Lastri sang ibu, menyuruh Anggun cepat-cepat masuk saat melihat anak itu basah kuyup. 

"Iya, bu." sahut Anggun sembari masuk ke kamar dengan tersungut-sungut dengan Loli di dalam gendongannya. 

 "Adel jangan lupa tutup jendelanya yang benar agar air hujannya tidak masuk." Lastri memberikan isyarat menggunakan dagunya sembari mengganti kembali baskom yang sudah penuh itu dengan yang kosong. 

"Baik bu." Adel bergerak menutup jendela dengan hati-hati agar tangannya tidak terkena pecahan kaca di ujung jendela.

"Ayah kapan pulang ya bu, Anggun lapar." Anggun kleuar setelah mengganti bajunya dan duduk di atas sofa yang gabusnya sedikit keluar dan kulit sofa yang mengelupas.

"Mungkin sebentar lagi ayah akan pulang, Anggun main bareng Loli saja dulu biar laparnya hilang." Lastri mengusap lembut puncak kepala Anggun. Lastri merasakan hatinya teriris melihat tatapan polos anak ketiganya itu. Sebenarnya Lastri tidak tega melihat tatapan polos itu tetapi ia tidak tahu harus bagaimana, hari ini ia benar-benar tidak memiliki uang hanya untuk sekedar membeli beras, pasalnya ia tidak mendapatkan upah dari tetangganya karena hujan deras mengguyur. Biasanya Lastri akan menjadi buruh cuci pakaian kotor  ataupun sekedar menyetrika tumpukan pakaian milik tetangganya, dari sanalah ia mendapat bayaran untuk kebutuhan dapurnya. Biasanya Lastri akan dibayar sebesar dua puluh ribu rupiah untuk mencuci dan menyetrika pakaian, tetapi hari ini tidak satupun tetangganya yang menggunakan jasanya. Sedangkan Joko suaminya, berprofesi sebagai tukang ojek, biasanya Joko sudah berangkat untuk mengojek pagi-pagi sekali, beruntung Joko masih bisa mengojek dan membantu Lastri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari walaupun tidak banyak. 

Lastri masih menatap ketiga anaknya yang bermain-main bersama Loli, kucing peliharaan mereka. Hari ini ketiga anaknya sedang libur sekolah, sebutir air mata jatuh dari sudut mata Lastri saat memandangi ketiga putrinya, tadi pagi mereka semua hanya sarapan dengan semangkuk bubur yang ditaburi garam, bubur itupun dibuat Lastri dari nasi sisa kemarin malam. Lastri sengaja memasaknya menjadi bubur agar cukup untuk makan mereka berlima, Lastri tidak bisa membeli lauk karena kemaren Joko pulang dengan tangan hampa begitupun Lastri yang tidak memegang uang sama sekali untuk membeli lauk dan sayur. Sebenarnya Lastri juga merasa lapar sama seperti anak-anaknya tetapi ia berusaha menahannya.

Hingga hari berganti petang mereka belum makan sama sekali, Lastri menunggu kepulangan Joko dari mengojek berharap suaminya itu membawa uang untuk membeli lauk dan beras untuk dimasaknya hari ini. 

“Kak Anin, Anggun lapar.” Rengek Anggun di sela-sela kegiatan bermainnya. 

“Anggun harus sabar sebentar lagi ayah pulang, semoga saja ayah membawa makanan saat pulang nanti.” rayu Anin mengelus puncak kepala adik bungsunya itu.

“Iya, benar kata Kak Anin, lebih baik kita bermain saja dulu nanti juga ayah datang,” timpal Adel sembari membawa Loli ke gendongannya.

Lastri mengusap-usap matanya yang terasa panas, “ibu, kenapa mata ibu merah?” tanya Anggun dengan polosnya. 

“Oh ini, ini karena mata ibu kelilipan debu.” Sahut Lastri memaksakan senyuman di wajahnya. 

Sedetik kemudian pintu terbuka dan menampilkan sosok Joko dnegan masih mengenakan jas hujan, Joko melepas helm dan jas hujannya, kemudian ketiga anaknya bersorak gembira ketika melihat kedatangan Joko terutama si bungsu Anggun. 

“Hore ayah pulang.” Sorak mereka bertiga secara besrsamaan dan berlari memeluk kaki Joko.

“Iya, ayah pulang nak. Anggun, anak ayah sudah mandi belum?” kekeh Joko sembari mengangkat tubuh Anggun dan membawa kegendongannya. 

“Sudah dong ayah. Iya kan Kak Adel.”  Anggun bersedekap dan megangguk ke arah Adel.

“Iya, kita bertiga kan sudah mandi dari tadi,” timpal Anin dan Adel bersamaan.

Anggun menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri seolah memeriksa barang bawaan ayahnya. “Ayah, ayah tidak membawa makanan, Anggun lapar.”

“Anggun, ayah kan baru pulang kasih ayah ganti baju dulu, kasian ayah kehujanan dari pangkalan ojeknya.” Lastri meraih Anggun dari gendongan Joko dan menurunkan putrinya itu dengan pelan.

“Baik, bu.” Sahut Anggun dengan mulut mengerucut, Lastri memberikan isyarat untuk Anin dan Adel agar membawa adiknya itu masuk ke kamar dan mereka menurutinya. 

“Maafin ayah ya bu, hari ini sepi, ayah belum dapat pelanggan satupun karena hujan sangat deras tadi di pangkalan ojek sempat banjir jadi ayah mangkalnya di tempat lain.” Ucap Joko lesu sembari merapikan dan menyampirkan jas hujannya di atas kursi kayu. 

“Lalu bagaimana dengan anak-anak yah? Mereka bilang mereka lapar.” 

“Ayah tadi sempat menolong seorang nenek penjual sayur di tengah banjir, nenek itu tengah kesulitan berjalan membawa barang dagangannya sebagai tanda terima kasih beliau memberikan ayah ini.” Joko memberikan kresek berwarna hitam pada istrinya.

“Dua bungkus indomie dan dua buah telur, yah?” ucap Lastri saat melihat isi dalam kantong kresek. 

“Iya, nenek itu mengatakan tadinya ia mau memasaknya bersama cucunya di rumah, tetapi ia memberikannya pada ayah sebagai ucapan terima kasihnya. Sebenarnya nenek itu ingin memberikan seikat sayur bayam pada ayah tetapi semua sayurnya rusak terkena air banjir dan jadilah ia memberikan indomie itu pada ayah.” 

Lastri mengangguk pelan dan mengelus lengan Joko lembut. Tidak apa-apa jika hari ini Joko belum dapat menarik pelanggan yang terpenting masih ada orang baik yang mau bersedekah pada keluarga mereka sehingga hari ini mereka masih bisa mengisi perut mereka. “Baiklah kalau begitu ibu akan memasaknya terlebih dahulu, ayah mandi saja dulu, malam ini kita makan dengan ini saja.” 

“Baik bu, ayah mandi dulu kalau begitu.” Jokopun berlalu dan mengambil handuk kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. 

*** 

“Anggun, makanlah pelan-pelan sayang, jika makan dengan cepat begitu nanti tersedak nak.” Sergah Joko sambil mengelap dagu Anggun menggunakan tisu. 

Mereka berlima sedang makan malam bersama dengan berbagi semangkuk indomie yang dicampur bersama telur. Dua bungkus indomie dan telur tadi dimasak jadi satu oleh Lastri dan dibagi bersama-sama. Joko dan Lastri menatap ketiga putrinya yang lahap memakan makanannya dengan gamang. Hati Joko terasa teriris melihat keadaan keluarganya saat ini, matanya terasa memaanas menahan kesedihan hatinya, Tiba-tiba Joko merasakan sentuhan lembut di tangannya. Lastri tersenyum menepuk pelan punggung tangan Joko sebagai penenang.  

“Baik yah.” Sahut Anggun menyengir memerlihatkan deretan giginya yang rapi. 

“Nanti setelah makan kalian ingat kerjakan pr setelah itu cuci kaki dan tangan kemudian pergi tidur.”

 “Baik bu.” Sahut Adel dan Anggun bersamaan. 

Setelah menghabiskan makan malam, Anin membantu ibunya mencuci piring bekas makan mereka tadi, sedangkan Adel dan Anggun mulai mengerjakan pr mereka masing-masing dan Joko sedang memperbaiki engsel pintu yang sedikit rusak. 

“Bu, Adel dan Anggun sudah selesai mengerjakan pr.” Ucap Adel melongokkan kepala dari balik pintu dapur.

“Kalau begitu sekarang cuci tangan dan kaki kalian,” sahut Lastri dari arah dapur, “Anin kamu sudah mengerjakan pr belum?” lanjutnya menoleh pada Anin yang berdiri di sebelahnya sedang mengelap sendok. 

“Kebetulan Anin tidak ada pr bu.”

“Baiklah, sekarang sudah selesai, terima kasih karna Anin sudah membantu ibu mencuci piring-piring ini. Sekarang ajaklah adik-adikmu pergi tidur.” 

“Baik bu.”

*** 

“Bagaimana jika Bu Supri tidak mengijinkan kita mengutang lagi, Yah, karena baru dua minggu lalu kita berhutang padanya seratus lima puluh ribu di warungnya dan kita belum bisa mengembalikannya, Yah.” Ucap Lastri lesu sembari duduk di sebelah Joko, mereka berdua duduk di kursi kayu di teras rumah. 

Ketiga anak mereka sudah tidur sedari tadi, mereka berdua sedang berusaha memikirkan cara untuk bisa memberikan makan untuk anak mereka besok karena mereka sama sekali tidak memiliki uang dan juga beras. Bahkan perut Joko sesekali mengeluarkan bunyi saat ia dan Lastri berbincang. Sebenarnya Joko masih merasa lapar, dua bungkus indomie yang dibagi untuk lima orang tidak cukup membuat perut Joko kenyang tetapi ia menahannya, pasalnya setelah sarapan semangkuk bubur di pagi harinya, setelah itu ia tidak memakan apapun apalagi saat berada di pangkalan ojek ia kehujanan dan melewati banjir. Begitu pula dengan Lastri, setelah selesai mencuci piring ia memilih meminum banyak air bukan karena haus tetapi untuk menahan rasa laparnya, dengan meminum banyak air Lastri menjadi kenyang.    

Joko menghela napasnya masih memandangi rintikan hujan. “Kalau begitu coba besok pagi Ayah ke rumah Mang Cecep untuk mencari pinjaman, semoga saja besok Mang Cecep bisa memberikan pinjaman agar kita bisa membeli beras untuk besok.” 

“Tapi, Yah, bukannya istri Mang cecep lagi hamil besar dan bakal melahirkan bulan ini, apa Mang Cecep bisa meminjamkan uang buat kita Yah?”

“Ayah akan coba meminjam dua puluh ribu saja untuk membeli beras bu dan sebungkus tahu tempe untuk lauk kita besok, semoga besok hujan sudah reda agar ayah bisa mengojek lagi.”

“Semoga saja Mang cecep bisa dipinjami ya, besok juga ibu mau mencoba ke rumah Bu Sarinah, siapa tahu saja ia memiliki cucian kotor yang bisa ibu cucikan.” 

“Kita berdoa saja bu malam ini agar besok anak-anak tetap bisa makan.”

“Semoga saja kita diberikan jalannya ya, Yah.”

“Ini sudah malam sebaiknya kita pergi tidur bu.” Mereka berdua pun beranjak dari teras untuk masuk dan pergi tidur. 

*** 

“Terima kasih, Mbak.” Ucap Anin sembari menyengir dan memasukkan uang dua ribu rupiah ke dalam kantong kresek berwarna hitam yang ia bawa.

“Sama-sama kamu hati-hati ya.” Sahut wanita berambut pendek itu sembari berlalu. 

“Ojek payung, ojek payung,” teriak Anin lantang sembari berlarian menawarkan ojek payung pada pejalan kaki yang tidak membawa payung, “ojek payung mas,” tawar Anin kembali pada pejalan kaki yang terlihat berlari kecil dengan terburu. 

Anin sengaja bangun lebih dulu dari kedua adiknya, ia bangun pagi dan beralasan pada ibunya bahwa ia pergi ke tempat temannya untuk membantu temannya belajar, padahal ia pergi untuk menjadi ojek payung. Anin bukan mau menipu ibunya tetapi ia semata-mata ingin membantu ayah dan ibunya untuk mencari tambahan, kemarin malam saat ia terbangun untuk buang air kecil ke kamar mandi, ia tidak sengaja mendengar obrolan ayah dan ibunya perihal tidak memiliki uang untuk membeli makanan. 

Sebagai anak pertama ia sangat ingin membantu orangtuanya juga, sayangnya Anin hanya anak berusia dua belas tahun yang masih duduk di bangku kelas enam SD, ia tidak tahu bagaimana cara membantu orangtuanya. Sampai akhirnya kemarin malam ia memiliki ide untuk menjadi ojek payung, beruntung hujan hari ini cukup deras sama seperti kemarin hingga ia bisa melakukan pekerjaan ini. 

“Berapa tarifnya, Dek?” Tanya pria berkemeja biru itu. 

“Dua ribu saja mas.” Anin mengangkat dua jarinya dan menunjukkannya. 

“Iya deh, anterin saya ke halte sana ya.” 

“Siap mas.” 

“Makasi ya, Dek.” Pria berkemeja biru itu mengeluarkan uang sepuluh ribu dan menyodorkannya ke arah Anin.

“Sama-sama Mas, ini kembaliannya.” Anin memberikan empat pecahan dua ribuan sebagai kembalian.

“Ngga usah Dek, kamu ambil aja kembaliannya buat beli permen.” 

“Beneran Mas.” Sahut Anin dengan wajah senang. 

“Iya bener.” 

“Makasi ya Mas.” Anin bersorak dalam hatinya karena hari ini ia bertemu dengan orang baik dan juga ia merasa senang karena rejeki nomplok yang ia dapatkan hari ini. 

Setelah beberapa saat Anin memilih untuk duduk di depan teras toko buku sembari menghitung hasil dari mengojek payung hari ini. “Satu .. dua .. tiga .., wah empat puluh ribu, penghasilanku hari ini cukup banyak juga.” Gumamnya dengan perasaan senang, kemudian ia cepat-cepat beranjak dari sana untuk pulang ke rumah. 

Saat pulang ke rumah ia melihat kedua adiknya sedang bermain dengan Loli tetapi dengan wajah lesu, sedangkan ayahnya sudah tidak ada di rumah, mungkin sudah pergi mengojek. Sedangkan ibunya berada di dapur, saat masuk ke dapur Anin melihat ibunya sedang menangis tanpa suara karena Lastri menahan suara tangisnya dengan telapak tangan. 

“Ibu,” panggil Anin sembari menepuk punggung ibunya yang bergetar karena menahan tangis. 

“Eh, Anin kamu sudah pulang Nak.” Lastri tersentak dan cepat-cepat mengusap air matanya dan berbalik menatap Anin.

“Ibu menangis?” Tanya Anin melihat mata ibunya yang memerah.

“Ah, tidak, ibu …” 

“Ibu jangan nangis bu,” Anin mengusap pipi Lastri yang masih basah oleh sisa air mata, “ini Anin bawa ini bu,” lanjut Anin sembari menyerahkan kresek hitam miliknya. 

Lastri menerima kresek hitam itu dengan raut bingung dan memeriksa isinya, Lastri tersentak mendapati pecahan uang dua ribuan di dalam tas kresek dan ia menatap bergantian antara kresek di tangannya dan wajah anak pertamanya itu. “Anin darimana kamu dapat uang ini?” ucap Lastri dengan suara tinggi akibat kaget sehingga Adel dan Anggun melongokkan kepalanya dari pintu dapur. 

“Sebenarnya Anin tadi tidak pergi ke rumah teman tetapi Anin pergi untuk menjadi ojek payung bu, maafkan Anin berbohong pada ibu, Anin tidak bermaksud untuk berbohong hanya saja Anin ingin membantu ayah dan ibu,” ucap Anin menatap ibunya dengan sendu, “kemarin malam Anin tidak sengaja mendengar percakapan ayah dan ibu perihal ingin meminjam uang,” lanjutnya. Tangis Lastri pecah dan ia bergerak untuk memeluk tubuh anaknya itu, melihat ibu mereka menangis Adel dan Anggun masuk ke dapur dan menghambur memeluk tubuh ibunya.

“Ibu, ibu kenapa menangis?” Tanya Adel mengeratkan pelukannya pada tubuh Lastri. 

“Ibu, ibu jangan menangis bu,” timpal Anggun sembari mendongak mencoba menatap wajah ibunya.

Lastri mengurai pelukannya dan tersenyum kecil pada ketiga anaknya itu. “Tidak, ibu tidak apa-apa sayang.”

“Lalu dimana ayah, bu? Ayah sudah berangkat mengojek?” Tanya Anin.

“Tidak, ayah tadi pamit dengan ibu untuk mencari pinjaman tetapi sampai sekarang belum kembali, mungkin sebenatr lagi ayah akan kembali, Anin jagalah adik-adikmu di rumah dulu. Ibu akan pergi untuk membeli beras dan lauk.”

“Baik bu.” Lastri beranjak dari rumah dan cepat-cepat pergi menuju warung untuk membeli beras dan lauk dengan mencengkram kresek hitam yang diberikan Anin. 

Sebenarnya sedari tadi Adel dan Anin sudah merengek meminta sarapan hingga kini pukul sepuluh pagi, mereka berdua mengatakan sangat lapar, tetapi Lastri mencoba merayu kedua anaknya itu dengan halus agar mau berhenti merengek sedangkan Joko juga belum datang yang membuat tangis Lastri pecah tadi, untung saja Anin membawa beberapa lembar uang yang bisa ia belanjakan hari ini. Lastri tadi sempat pergi ke rumah Bu Sarinah tetapi rumahnya kosong dan kata tetangga sebelah, keluarga Bu Sarinah sedang berlibur ke luar Kota. Lastri juga tadi sempat menawarkan diri untuk mencuci pakaian kotor pad beberapa tetangga tetapi mereka menolak niat Lastri. Untung saja Tuhan masih memberikan rejeki lewat Anin, sebenarnya ia tidak tega melihat anaknya itu menjadi ojek payung tetapi apa boleh buat keadaan mereka saat ini begitu morat marit. 

*** 

“Ayah, ayah sudah datang.” Tanya Anggun polos saat melihat ayahnya memarkirkan motor di depan rumahnya.

“Tumben sekali ayah sudah pulang dari mengojek.” Adel ikut bertanya sembari menggendong Loli. 

“Hari ini ayah tidak pergi mengojek karena pangkalan ojek masih banjir.” Sahut Joko sambil melepas jas hujannya dan menyampirkannya di atas motor. 

“Ayah sudah pulang, ayo cuci tangan dulu setelah itu kita makan bersama, ibu sudah selesai memasak.” Lastri muncul dari arah dapur sembari membawa semangkuk sayur bayam dibantu Anin membawa tahu dan tempe yang sudah selesai di goreng.

“Ibu mendapat uang darimana?” Joko terlihat kaget melihat di atas meja sudah terhidang makanan yang baru selesai dimasak oleh istrinya.  

“Nanti ibu ceritakan ayo sekarang ayah cuci tangan dulu.”

*** 

Joko mengelus puncak kepala Anin dengan lembut, kedua mata Joko berkaca-kaca mendengar bahwa putris sulungnya itu pergi menjadi ojek payung demi membantu ia dan istrinya membeli beras. Ada rasa bersalah dari diri Joko saat menatap wajah anaknya itu.  “Ayah minta maaf sama Anin, karena …” 

“Tidak apa-apa ayah, Anin senang bisa membantu ayah dan ibu.” Anin menggeleng pelan sembari tersenyum.

“Tetapi Anin masih kecil tidak seharusnya Anin membantu bekerja, cukup Anin rajin belajar agar menjadi anak yang pintar dan kelak bisa membanggakan ayah dan ibu.” 

“Tidak apa-apa ayah, apa yang Anin lakukan tadi bukan pekerjaan yang berat, Anin hanya menawarkan payung pada pejalan kaki yang kehujanan.”

“Terima kasih Anin, anak ayah minta maaf kalau ayah belum bisa menjadi ayah yang baik untuk Anin.” 

“Tidak, ayah selalu menjadi ayah yang terbaik buat Anin dan adik-adik, Anin sayang ayah, semoga besok ayah bisa menarik pelanggan yang banyak.” Anin bergerak memeluk tubuh kurus ayahnya. 

“Amin,” Sahut Joko merangkul tubuh kecil putrinya itu, “nah sekarang ayo belajar, besok Anin kan sudah harus pergi sekolah lagi,” lanjut Joko. 

“Baik ayah.” 

*** 

Memang benar kata pepatah, hasil tidak akan menghianati usaha, selama manusia mau bekerja keras dan berusaha serta sabar. Tuhan pasti akan memberikan jalannya sama halnya seperti Lastri dan Joko, setelah mereka melalui banyak kesulitan dalam menjalani rumah tangga. Lastri yang tadinya hanya menjadi buruh cuci pakaian kotor sekarang mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan gaji tetap yang mampu memenuhi kebutuhan dapur mereka. Sebulan setelah kepulangan Bu Sarinah dari luar kota, wanita itu membuka toko oleh-oleh dan ia merekrut Lastri untuk bekerja menjadi karyawannya di sana. Tugas Lastri hanya mengepak barang dan menghitung serta mencatat barang yang masuk gudang, walaupun bukan pekerjaan yang elit tetapi mampu membuat dapur Lastri mengepul. 

Sedangkan Joko juga sudah berhenti mengojek dari dua minggu yang lalu karena Mang Cecep merekomendasikan Joko kepada temannya untuk menjadikan Joko sebagai cleaning service di Bank, kebetulan teman Joko adalah seorang sopir di Bank dan temannya itu mengatakan jika perusaaan sedang mencari karyawan di bagian cleaning service, jadilah Mang Cecep merekomendasikan Joko padanya. Joko mengiyakan tawaran Mang Cecep, karena jika bekerja menjadi cleaning service ia tidak perlu lagi merasakan panas dan hujan seperti saat mengojek. Lagipula gaji menjadi cleaning service di Bank lumayan bisa membantunya membayar spp anak-anaknya serta membayar listrik di rumahnya, yang terpenting adalah anak-anaknya tidak perlu harus ikut membantu ia dan Lastri untuk ikut bekerja hanya demi memenuhi kebutuhan dapur. 

Setidaknya mereka tidak perlu harus berhutang di warung lagi jika sudah memiliki pekerjaan tetap dan gaji tetap, terkadang Joko dan Lastri merasa malu saat keluar rumah karena beberapa tetangga yang mereka pinjami uang akan melihat mereka dengan pandangan tidak suka. Begitu juga saat mereka berbelanja di warung atau di pasar, beberapa pedagang akan selalu menanyakan kapan mereka bisa melunasi bon mereka. Jadi bersyukur kini mereka diberi pekerjaan tetap. 

*** 

THE END, kata terakhir yang penuh emosi yang selesai aku tulis, aku menghentikan gerakan jariku memencet keyboard dan menatap layar laptop cukup lama dengan air mata masih menetes tanpa bisa aku cegah. Kisah itu sudah berakhir tetapi air mata ini masih belum berhenti.

“Sayang kamu kenapa menangis? Apa novel yang sedang kau tulis memiliki akhir yang menyedihkan, bukankah kau salah satu penulis yang menyukai happy ending, tumben sekali kau membuat kisah sad ending.”

Aku menggeleng, “tidak, bukan itu, ini bukan karena happy ending atau sad ending, ini tentang aku,” aku meraih sekotak tisu yang di sodorkan oleh suamiku kemudian menyeka air mataku, “aku sedang menulis kisah hidupku sendiri dan aku tidak menyangka hidupku dulu begitu menyedihkan,” lanjutku lagi. 

Leon menarik laptop mendekat padanya dan membaca cerita yang baru saja selesai aku tulis, aku memerhatikan raut wajahnya yang setiap kali berubah-ubah saat membaca cerita itu. Sedetik kemudian ia menutup laptop dan menggerutu, “ah Anin, kenapa hari ini kau menyebalkan sekali,” decak Leon.

“Memangnya apa yang sudah aku lakukan?” aku mengerutkan alis mendengar tuduhannya.

“Kenapa kau menulis cerita yang begitu menyedihkan, lebih baik aku pergi saja.” Protesnya sembari bangkit dari kursi.

“Kau mau kemana sayang?” pekikku melihat ia berjalan menjauh

“Lebih baik aku memasak mie saja daripada membaca cerita sialan itu, cerita itu mengguncang emosiku saja.” Leon masuk ke dapur dan mulai memasak mie, aku terkekeh melihat tingkahnya yang menggemaskan. 

Setelah beberapa saat Leon muncul dari dapur dengan membawa dua mangkuk mie kuah, “ini satu untukmu.” Leon menyodorkan satu mangkuk mie padaku. 

“Hei apa kau tidak melihat, aku baru saja selesai memakan satu mangkuk mie dan kau memberikan aku semangkuk lagi, apa kau mau membuatku gemuk?” protesku dan melirik mangkuk kosong di sebelah laptopku, tadinya aku hanya ingin memakan mie sambil menikmati hujan tetapi kenangan yang muncul itu mendorongku untuk menulis cerita lagi. 

“Tidak apa-apa, satu mangkuk lagi tidak  akan membuatmu gemuk?” ucapnya santai.

“Dasar kau ini.” Decakku dan mulai menyuap mie yang diberikan oleh Leon. 

Leon adalah suamiku yang aku nikahi setahun lalu, kami berdua kini tinggal di Bali dan aku memutuskan untuk menjadi penulis setelah aku menikah dengan Leon. Setelah aku lulus SMA aku memutuskan untuk bekerja di salah satu toko buku di Jakarta, jika teman-temanku memutuskan untuk kuliah, aku lebih memilih untuk langsung bekerja, mengingat kedua orang tuaku yang sudah renta dan kedua adikku yang masih sekolah saat itu. Aku bertemu Leonpun dari tempatku bekerja, ia adalah pelanggan tetap kami yang sangat sering datang untuk membeli buku lambat laun kami berteman dan akhirnya menikah seperti saat ini. 

Leon berprofesi sebagai editor buku dan saat ini kami berdua memutuskan membangun penerbitan online yang kami mulai dari nol bersama-sama. Sedangkan kedua adikku, Adel dan Anggun mereka masih tinggal di Jakarta. Adel bekerja sebagai akuntan di perusahaan swasta dan baru saja melangsungkan pertunangan. Anggun, adikku tinggal bersama dnegan orang tuaku karena ia belum menikah dan sedang menyusun skripsi untuk kuliahnya, kemudian kedua orang tuaku sudah berhenti bekerja. Mereka sekarang tidak kami ijinkan bekerja lagi karena sudah renta, cukup kami ketiga anaknya yang menanggung biaya hidupnya. Bukan hanya itu, Anggun pun berjanji kepada aku, Adel dan orangtuaku bahwa jika ia menikah nanti ia tidak akan mau meninggalkan orang tuaku. Anggun ingin menjaga kedua orang tuaku sampai mereka menutup mata. 

Aku dan Adel walaupun sudah menikah dan tinggal jauh dari mereka, kami selalu menyempatkan diri melakukan video call untuk sekedar mengetahui kabar mereka, kadang juga kami mencari hari libur dan datang berkunjung. Kami putri-putrinya tidak akan pernah lupa bagaimana pengorbanan dan usaha mereka untuk membesarkan kami bertiga hingga kami menjadi sukses seperti saat ini. Bagi aku dan kedua adikku orang tuaku adalah harta yang tak ternilai harganya, karena didikan mereka kami bisa seperti saat ini. Bagi aku dan kedua adikku kasih sayang mereka berdua tidak ternilai harganya. Selagi ayah dan ibu ada kami tidak akan berhenti mencintai mereka. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Playing Victim (Obsession 2 🔞)
3
2
Cerita ini sedang dikolaborasikan dengan cerita Ocha Youzha berjudul (untouchable) ~Ophelia Nayshelle seorang penulis pemula yang sedang meniti karir di dunia kepenulisan mencoba peruntungannya dengan mengikuti audisi menulis di Penerbit MaviBook. Di sisi lain Odhelia Nachelle pun melakukan hal yang sama ketika ia menemukan pemberitahuan di sosmed bahwa Perbitan milik Declan Lysander itu sedang mencari naskah yang terbaik yang akan di terbitkan. Sampai tiba disaat pengumuman pemenang Odhelia yang kala itu disebutkan namanya sebagai juara dan akan diterbitkan naskahnya begitu girang. Tetapi ada yang janggal pada hasil kemenangan itu, ternyata naskah Odhelia bukan miliknya melainkan naskah itu adalah milik Ophelia. Bisa dikatakan seharusnya Ophelialah yang memenangkan audisi karena naskahnya tertukar dengan naskah yang dikirimkan Odhelia. Ophelia yang tak terima mendatangi Penerbit dan meminta keadilan. Tetapi diluar prediksi ternyata Odhelia mengaku Ophelia sebagai plagiat dan mulai menjadi Drama Queen dan membuat Ophelia dibully oleh sebagian penggemarnya. Declan Lysander selaku pemilik penerbitan mengusut tuntas kasus ini. Bagaimana akhir dari kasus merrka berdua? Apakah Ophelia akhirnya mendapat keadilan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan