Birunya Cinta 4

6
0
Deskripsi

Judul : Birunya Cinta
Penulis : Prima Mutiara
Genre : Spritual Romance


Hidup Cinta yang awalnya berjalan tanpa tujuan berubah saat bertemu dengan Biru. Lelaki dingin, angkuh, tidak banyak bicara selain komentar pedas, dan yang paling Cinta benci adalah selalu membawa-bawa keyakinannya untuk dijadikan bahan kesinisan.

Namun, seperti kisah klise lainnya, Cinta akhirnya termakan omongannya sendiri. Gadis yang awalnya membenci Biru setengah mati, perlahan berubah haluan menyukai lelaki itu. Tapi kisahnya...



 

BAB 4

Langit siang begitu cerah, dan Cinta selalu suka suasana seperti ini. Saat warna biru terbentang luas, lengkap dengan arakan awan putih bagai kapas yang diterbangkan oleh angin. Indah. Gadis itu sangat betah berlama-lama duduk di kursi taman bermaterial besi di kampusnya hanya untuk menatap lama pemandangan itu.

"Suka sama langit, ya?" Suara seorang laki-laki yang Cinta hafal terdengar, tanpa permisi langsung duduk di sebelahnya. Langit, sekarang lelaki itu sering muncul tanpa peringatan, membuat jantung Cinta berdetak lebih cepat. Apalagi, pertanyaan dari bibirnya, membuat gadis itu menunduk dalam, menyembunyikan rona merah di pipi.

“Yaelah! Nunduk lagi!” seru Langit diiringi decakan pelan. “Emang muka gue segitu nakutin ya sampe buat lo takut gitu?”

“Eng-enggak.”

Kedua alis Langit hampir bertaut. “Terus?”

Cinta hanya menjawab dengan gelengan. Ia tak tahu harus berkata apa sekarang, rasanya kosa kata yang ia serap di buku selama ini menguap, hilang. 

Jeda beberapa detik, sampai Cinta mendengar lelaki itu mengeja, “Sabtu Bersama Bapak.” 

Mau tak mau Cinta mendongak. Langit sudah merebut buku yang ada di tangannya sedari tadi. 

“Ini salah satu novel favorit gue juga.” Mata Langit berbinar cerah.

“Oh iya?” 

“Iya, dong. Recommended banget buat cowok. Dari sini gue belajar bagaimana cara  bertanggung jawab menjadi seorang ayah, suami, juga jomblowan yang baik kayak gimana.”

Tawa Cinta terdengar pelan. “Apaan jomblowan? Tiap hari gonta-ganti cewek juga. Eh?” Cinta menutup mulutnya sendiri saat menyadari apa yang baru keluar dari sana. Ia biasanya tak seterus terang itu kepada orang yang tidak terlalu dekat. 

“Yeee … orang mereka cuma temen. Jangan percaya gosip di luaran deh, Ta. Gue orang yang setia, kok.” Sebelah mata Langit berkedip satu kali, membuat desiran aneh di hati Cinta semakin kencang, dan kembali menatap tanah yang ia pijak. 

“Nunduk lagi!” interupsi Langit, kesal. “Eh, Ta.” Lelaki itu kembali mengalihkan perhatian. “Lo selain suka baca, suka nulis juga, nggak?”

Cinta tampak berpikir sebelum menjawab, “Eng-gak.” 

“Lho? Kenapa?”

Gelengan pelan menjadi jawaban gadis itu. “Pengen, sih. Tapi aku nggak pede. Kayaknya aku nggak punya bakat.”

“Orang berbakat akan kalah dengan orang yang mau berusaha, Ta. Kenapa nggak nyoba aja? Orang itu harus punya tujuan, target hidup, mimpi yang harus dicapai.”

Omongan yang persis sama dengan Nadia. Apa sebegitu menyedihkannya hidup tanpa tujuan?

“Enggak semenyedihkan itu sih hidup tanpa tujuan.” Langit seolah bisa membaca pikiran Cinta. “Tapi setidaknya, hidup lo jadi lebih bersemangat. Mempunyai passion dalam diri itu akan membuat semangat juang menjadi tinggi, memacu adrenalin. Mau nyoba?”

“Eeumm … anu.” Gadis itu menggaruk pelipisnya. “Aku harus mulai dari mana?”

Langit bertepuk tangan satu kali membuat Cinta tersentak kaget. 

“Gue bakalan bantu!”

Dahi Cinta berlipat, Langit tersenyum miring. 
 

 

Atmosfer suasana kampus FBS atau Fakultas Bahasa dan Seni sangat berbeda dengan fakultas Cinta—Fakultas Ilmu Pendidikan. FBS mempunyai ukuran yang jauh lebih besar. Di beberapa tempat ada gazebo yang biasa dipakai untuk latihan atau sekadar kumpul-kumpul anak jurusan dan organisasi. Ada pohon berjejer di antara kursi taman berbahan kayu yang di cat warna-warni. Kesan bebas, ekspresif, berseni sangat nampak di tempat itu. 

Ini bukan kali pertama Cinta ke sini, Nadia sendiri mahasiswa jurusan musik yang sering meminta Cinta untuk menjemputnya saat pulang terlambat. Tapi untuk berdiam diri dalam waktu lama, apalagi bergabung bersama gerombolan di beberapa sudut belum pernah Cinta lakukan. Gadis itu terlalu minder dengan orang baru. 

Langitlah yang mengajak Cinta dan meyakinkannya untuk keluar dari zona nyaman. Lelaki itu membawa Cinta ke sebuah gazebo yang terbilang cukup luas, dengan atap dan tiang penyangga tanpa sekat apapun yang membatasi. Cinta melihat beberapa orang membentuk lingkaran kecil, mendiskusikan sesuatu. Salah satu di antaranya berdiri, memandang ke arah gerombolan itu. Cinta baru bisa melihat punggungnya, terlihat lebar dengan kemeja bergaris hitam putih.

“Mas,” sapa Langit yang membuat lelaki itu menoleh. Sekarang Cinta bisa melihatnya dengan jelas. Rambut bergelombang yang diberi pomade, tatapan ramah, senyum yang terkembang menyambut mereka berdua. Bisa dibilang lelaki ini adalah versi dewasa dari seorang Langit, wajah mereka memang hampir mirip. 

“Hoi, Lang. Udah dateng?” sapa lelaki itu seperti tak berjarak dengan adiknya. 

“Yo'i, Mas.”

Mereka ber-tos ria ala anak muda zaman sekarang, dengan tangan yang bersalaman kemudian memutar seperti sedang bermain panco. 

Untuk sejenak lelaki itu memperhatikan Cinta. “Kok nggak bilang bawa temen ke sini?”

“Dadakan, Mas.”

“Gebetan? Hm?” Kakak Langit mengerling jahil. 

Langit hanya tertawa garing untuk sesaat.  “Ngawur! Temen aja.” Kemudian Langit mengkode Cinta untuk mendekat. “Kenalin, ini Cinta.”—Langit menunjuk Cinta—“Ta, ini kakak gue, Asa.”

“Angkasa. Panggil aja Asa.” Lelaki itu mengulurkan tangan, dan disambut Cinta sembari tertawa kecil.

Asa mengernyitkan dahi. “Eh, ada yang lucu?”

Ekspresi Asa membuat Cinta merasa tidak enak hati. “Euumm … anu—”

“Paling dia lucu denger nama kita, Mas,” sahut Langit diiringi gelak tawa ringan. 

Asa pun ikut masuk dalam euforia Langit.  “Oh iya. Keren, kan? Nama Ayah Galaksi Bimasakti," ujar lelaki itu dengan bangganya.

Bola mata Cinta kontan membulat. “Beneran?”

“Terus Ibu kita namanya Matahari ya, Mas?” Kali ini Langit menyahut, masih dengan tawa yang menguar di udara. 

Cinta menyipitkan mata. “Eh? Serius?”

“Bercanda, Ta. Ah elah.” Langit mengibaskan tangan, kemudian arah pandangnya kembali ke  Asa. “Oh iya, Mas. Cinta ini mau belajar nulis, lho,” ungkap Langit akhirnya. 

Kepala Asa bergerak naik turun. “Makanya kamu bawa dia ke sini?” tanya lelaki itu dan dijawab Langit dengan cengiran.

“Anak LA lagi kumpul, kan?” Dagu Langit mengedik ke sekumpulan orang yang tadi diperhatikan Asa.

“LA?” Cinta bergumam pelan, namun ternyata mampu tertangkap indra pendengaran Langit. 

“Iya, Lingkar Aksara. Komunitas kepenulisan gitu.”

“Wah!” Binar antusias muncul dari mata Cinta. 

“Ini komunitas di luar kampus, sih. Cuma karena ketuanya anak sini, jadi sering kumpul di sini.” Ekor mata Asa melirik ke belakang punggung Cinta. “Itu ketuanya udah datang.”—Tangan Asa melambai—“Hoi, Ru!”

Spontan Cinta menoleh, dan mendapati dia. Lelaki dengan rambut hampir menyentuh tengkuk, kacamata berbingkai hitam yang ujungnya meruncing menambah ketajaman  matanya. Poni depannya, seperti biasa ia ikat di atas kepala. Memakai kemeja hitam dan celana jeans warna senada. Style-nya hampir selalu sama. 

Kenapa lagi-lagi dia? Cinta membatin, ia tak dapat menyembunyikan kekagetan.

Ya, lelaki itu adalah Biru. Pria menyebalkan yang ada di kafe. 

Asa menyongsong tubuh Biru dan memeluknya sekilas, semacam pelukan selamat datang dengan tepukan keras di punggung. 

“Dari mana aja baru dateng jam segini?” tanya Asa kemudian.

Biru sempat melirik Cinta sekilas sebelum menjawab, “Kafe.”

“Cari inspirasi buat nulis, hm?”

Ah, jadi dia sering nulis di kafe. Cinta berujar dalam hati, lalu dia tersentak dengan pikirannya sendiri. Bukunya! Gadis itu menggigit bibir bawahnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa membawa buku itu? Tapi siapa yang tahu dia akan bertemu Biru di tempat ini.

“Eh, Ru. LA masih open member, kan? Ini ada temen Langit mau masuk.”

Sekali lagi, Biru melihat ke arah Cinta, menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, seolah meremehkan.  “Kita hanya menerima orang yang pantas saja.”

Cinta melotot tak terima. Maksudnya aku tidak pantas?

Asa tertawa renyah, membuat garis-garis halus di sekitar matanya terlihat. Lelaki itu seolah sudah terbiasa dengan siap ketus Biru. Arah matanya kemudian beralih ke Cinta. “Artinya boleh. Karena kamu orang yang pantes, Ta.”

 “Tapi, Mas—”

“Jangan tersinggung sama cara ngomong dia.” Asa menyela Biru yang ingin membuka suara lagi. “Biru emang biasa makan cabe lima ton. Makanya rada pedes.”

Cinta hanya meringis, terlihat dipaksakan. Sekilas, ia melihat ke arah Biru yang berdecak ringan, raut mukanya menunjukkan ketidaksetujuan tapi ia juga tak ingin membantah Asa. Sepertinya, Asa adalah salah satu orang yang disegani oleh Biru.

“Oy! Mas Biru belum kenalan sama Cinta, kan?” Langit membuka suara lagi. “Hari ini gue demen banget ngenal-ngenalin orang, dah,” katanya diiringi tawa pelan. “Ta, ini Mas Biru. Mas Biru ini Cinta.”

Mencoba bersikap ramah, Cinta meluruhkan gengsinya dan mengulurkan tangan ke arah Biru. Namun, lelaki itu hanya melirik sekilas, tak terlihat ingin membalasnya.

“Oh iya!”—Langit menepuk dahinya—”Lupa ngasih tahu lo, Ta. Mas Biru nggak pegangan sama yang bukan mahram,” bisik Langit, membuat wajah Cinta memerah.  Kenapa dia bisa lupa cara Biru menegur orang tempo hari? Ya, dia pasti tidak akan mau bersinggungan dengan lawan jenis. 

“Dan juga jutek kalau sama cewek, makanya jomblo terus sampai sekarang,” sahut Asa seraya mengeluarkan tawa. 

"Di agama kita, status jomblo adalah yang paling mulia, Mas. Jomblo sampai halal,” jawab Biru masih mempertahankan wajah tanpa ekspresinya.

“Iya, iya. Udah sering denger ceramahnya Mas Biru.” Langit berceletuk. “Jadi gimana, Mas? Temen gue bisa masuk, kan?”

“Yakin anak ini bisa nulis?” Tanpa tedeng aling-aling Biru meragukan Cinta.

Tak gentar, Langit berusaha  meyakinkan lelaki di hadapannya. “Cinta ini suka baca buku, Mas. Terutama novel.”

"Nggak semua yang suka baca buku, bisa nulis.”

Cinta sadar, Biru sengaja merendahkan dirinya. Harga diri Cinta terusik, gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan luapan emosi yang terus bergerak naik. 

“Kenapa? Tersinggung?” Biru berujar seolah tahu isi hati Cinta. Gayanya begitu santai, tak ada sedikit pun rasa bersalah yang nampak.

“Mas—”

“Aku bisa,” ucap Cinta memotong ucapan Langit. “Aku yakin aku bisa nulis.”

Alis Biru terangkat, ujung bibirnya tertarik miring. “Buktikan!” 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Birunya Cinta 5
4
0
Birunya Cinta Bab 5
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan