
Judul : Birunya Cinta
Penulis : Prima Mutiara
Genre : Spritual Romance
Hidup Cinta yang awalnya berjalan tanpa tujuan berubah saat bertemu dengan Biru. Lelaki dingin, angkuh, tidak banyak bicara selain komentar pedas, dan yang paling Cinta benci adalah selalu membawa-bawa keyakinannya untuk dijadikan bahan kesinisan.
Namun, seperti kisah klise lainnya, Cinta akhirnya termakan omongannya sendiri. Gadis yang awalnya membenci Biru setengah mati, perlahan berubah haluan menyukai lelaki itu. Tapi kisahnya...
BAB 2
Jam kuliahnya baru dimulai setengah jam lagi, tetapi kebiasaan Cinta selalu datang lebih awal dari anak-anak yang lain. Sepi, dia suka suasana sunyi yang mampu membuatnya lebih mudah berkonsentrasi. Saat yang lain sedang asyik nongkrong di kantin, dia justru lebih memilih menunggu di kelas, berteman dengan lagu yang teralun di earphone dan buku yang tak pernah lepas dari perhatiannya.
“Pagi-pagi udah nyendiri aja, Ta? Didatengin penunggu gedung ini baru tahu rasa.”
Mendadak sebuah suara menginterupsi Cinta untuk mendongak, Langit, lelaki itu datang menghampirinya, dan tanpa permisi langsung duduk persis di sebelah tempatnya berdiam diri.
Langit terlihat sangat tampan pagi ini, rambut warna cokelat yang dipotong simetris di atas telinga masih terlihat basah dan acak-acakan, bibir pink alaminya tertarik lebar membuat mata sipit lelaki itu hanya tinggal segaris. Gaya busana Langit cukup simple, dengan kaus putih dan celana jeans biru yang sobek di bagian lutut, sedangkan tas ransel ia sampirkan di sebelah bahu.
“Iya, iya. Gue emang ganteng,” goda Langit saat menyadari Cinta memperhatikannya.
Godaan Langit tentu saja langsung membuat pipi Cinta lagi-lagi bersemu dan memilih untuk menatap lantai.
“Yeeee ... malah nunduk. Gue mau tanya sesuatu nih, Ta.”
Mata Cinta mengerjap, ia kembali mendongak dan menatap Langit dengan dahi berkerut. Memang aneh bila hari ini Langit ke kelasnya kalau tidak ada sesuatu.
“Ya?”
“Lo kenal sama Nadia?” tanya Langit akhirnya.
Pertanyaan Langit sontak membuat dahi Cinta berlipat. Batinnya bertanya dari mana Langit mengenal Nadia, sepupu terdekatnya dan anak dari Budhe Sri, orang yang selama ini Cinta tumpangi saat merantau di Semarang. Cinta memang bukan asli kota tersebut. Kammpung asalnya adalah Pati, sebuah kota kecil yang berjarak dua jam dari ibukota Jawa Tengah.
“Malah diem.” Ucapan Langit membuat Cinta membuyarkan lamunannya.
“Kamu tahu Nadia dari mana?” tanya Cinta akhirnya.
“Ada lah. Kenal nggak?”
Meski masih terlihat bingung, akhirnya Cinta mengangguk juga.
Melihat itu, mata Langit seketika berbinar. “Nah! Kebetulan banget! Kenalin gue sama dia, dong.”
Mendengar hal itu Cinta tersenyum miris. Seharusnya dia tahu maksud seorang lelaki menanyakan tentang Nadia padanya. Seharusnya dia juga tidak perlu bertanya dari mana Langit mengenal Nadia. Mereka sama-sama populer di kampus ini, dan lingkup pergaulan mereka sangat luas. Bisa saja mereka sering bertemu di luar sana.
“Malah ngelamun. Gimana?”
Cinta hanya menggaruk kepala yang berlapis kerudung krem, lalu tertawa canggung.
Decakan pelan keluar dari mulut Langit. “Sekarang ketawa.” Lelaki itu mendesah pelan, lalu tanpa sadar fokusnya terpecah ke sebuah buku yang ada di meja.
“Wah buku. Lagi baca buku apa, sih?”
Gadis itu menunjukkan cover buku yang ia pegang. “Novel Rindu Dendam.”
Langit mengangguk tanda mengerti. “Karya Age Airlangga dan Racky Rachman, kan?”
“Eh? Kok tahu?”
“Tahu lah.” Langit memiringkan bibir. “Purnama yang bulat sempurna. Gambarkan kisahku di wajahmu. Bahwa rindu bukanlah suatu yang indah. Namun sebuah rasa yang membuat resah ....”
Cinta mendelik kaget, lelaki ini ternyata hafal sebuah puisi yang ada di dalam buku yang ia pegang sekarang. “Purnama yang bulat sempurna. Gambarkan amarahku di bayanganmu. Bahwa dendam bukanlah suatu hal yang kejam. Namun sebuah rasa dan gairah untuk menempuh hidup.” Gadis itu pun melanjutkan bait puisi yang Langit lantunkan.
“Gue paling suka puisi itu,” kata Langit kemudian.
“Wah ... aku nggak nyangka kamu tau kayak ginian juga.”
“Lo ngomong gitu seolah gue ini anak pemales banget yang nggak pernah baca buku ya, Ta?”
Tangan Cinta bergerak tak tentu arah. “Eh, bukan gitu maksudnya.”
Seringai usil keluar dari bibir Langit. “Gue dijejelin terus sama kakak, ya lama-lama jadi suka juga.”
“Kakak kamu suka baca novel?”
Langit mengangguk. “Lumayan, suka nulis juga.”
“Wah ... keren.” Mata Cinta berbinar cerah.
“Mau aku kenalin sama dia?”
Cinta mengangguk semangat, seperti anak kecil yang diiming-imingi permen oleh orang tuanya.
“Kenalin gue sama sepupu lo dulu, dong.”
Cinta berdecak malas, membuat Langit semakin tertawa keras.
***
Tatapan lelaki itu fokus ke sebuah rumah bercat kuning gading yang terlihat paling mencolok di antara rumah yang lain. Dari sini, dari kafe langganannya, ia dapat melihat bangunan sederhana itu berdiri kokoh. Jaraknya memang agak jauh. Posisi kafe yang berada di ujung bukit di daerah Gunung Pati, memberikan efek landscape pemandangan perumahan di kawasan yang ada di bawahnya.
Sesekali laki-laki itu menyesap kopi yang ada di depannya. Masih dengan tatapan yang belum terlepas dari sana, ia menyandarkan punggung ke kursi dan bersedekap, sesekali menaikkan kacamata yang melorot ke bawah lalu menyugar rambutnya, rambut berwarna hitam—senada dengan baju dan celana—agak panjang, setengkuk, bagian poni yang menutupi mata ia ikat ke belakang.
Sebuah bunyi lonceng mengalihkan perhatiannya. Sosok perempuan dengan setelan kaos salem dan rok krem memasuki kafe. Seperti biasa, ia mengenakan ransel hitam yang membuatnya seperti kura-kura ninja, dan tangannya mengapit beberapa buku.
Lelaki itu hanya melihatnya sekilas, kemudian meletakkan secangkir kopi yang hampir habis. Ia mengambil buku kecil di atas meja, menuliskan sesuatu di sana, beberapa waktu asyik dengan kegiatannya sampai ada sebuah nada dering mengganggu konsentrasi.
Ponsel itu ada di dekat buku yang sedang ia tulis, lelaki itu melirik sekilas, lalu menggeser tombol hijau.
“Assalamua’alaikum.”
Ia mendengar dengan saksama seseorang yang berbicara di ujung telepon sana.
“Iya, nanti aku di tempat biasa.” Lalu jeda sejenak. “Moccacino?”
Sedetik kemudian ia memutar bola mata. “Hmmm, nanti aku pesenin. Ya udah, aku pulang dulu. Assalamualaikum.”
Lelaki itu memasukkan ponsel ke dalam saku, kemudian beranjak ke meja bar, di mana gadis yang tadi ia perhatikan juga ada di sana.
“Mbak Cinta, ini pesenannya, dan ini bill-nya.” Satya—pelayan kafe—mengangsurkan sebungkus paper bag yang berisi pesanan sang gadis bernama Cinta, lalu tatapan Satya beralih ke lelaki bermata minus yang menunggunya di balik meja. “Mas Biru sudah selesai?”
Mendengar nama itu tersebut, Cinta segera menoleh, kaget.
Sedangkan lelaki yang dipanggil Biru mengangguk. “Saya pesan es moccacino.”
“Oh iya. Sebentar, Mas.” Sementara Satya menangani pesanannya, Biru menengok ke sebelah, menyadari kekagetan yang nampak dari wajah Cinta.
“Apa?” ucapnya datar.
Cinta menggeleng, gadis itu segera mengalihkan perhatian ke tasnya, mencari sesuatu di sana.
“Mana, sih?” Biru mendengar Cinta bergumam, lalu sibuk sendiri dengan dunianya.
Sebelah alis Biru naik, memerhatikan gadis yang sepertinya tak menemukan apa yang ia cari, mengaduk-aduk tas, hingga bermaksud menaruhnya di atas meja, namun hal itu bersamaan dengan Satya yang mengangsurkan pesanan Biru, sontak gelas kertas itu pun terjatuh, menumpahkan isinya dan mengenai baju milik lelaki itu.
Cinta meringis.
Tatapan Biru yang semula datar berubah menjadi tajam, menatap Cinta nyalang. Nyali gadis itu langsung menciut seketika. Mati aku!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
