
Namikaze Boruto bertekad untuk tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak, dan tidak akan pernah.
Namun, ketika dia kembali dipeluk oleh bayangan lama akan cinta pertamanya, dia menemukan seseorang. Dalam balutan rasa sakit dan keadaan yang tidak benar-benar baik, Boruto mendapati gadis itu memukau dan memiliki secercah asa guna mengubah kehidupannya yang kelam.
Tetapi, bagaimana jika kegelapan lagi-lagi menarik jiwanya untuk tenggelam dan menikmati rasa sakit yang seolah menjadi adiksi, dan membiarkan hatinya...
Pandangannya berkabut dan berputar. Telapaknya meraba-raba sekitar guna mencari pegangan agar tak terjatuh ketika mendadak kedua kakinya tak begitu kuat untuk menopang berat tubuhnya.
Bibirnya mendesis, kepalanya begitu pening. Namun dia merasa lega setelah mendapati papan nomor 307 sudah ada di depan wajahnya. Kiriyama Mitsuki—teman yang memesan kamar ini—telah menyuruh resepsionis untuk memberikan kunci cadangan kepadanya karena Mitsuki tak ingin diganggu ketika tidur.
Namikaze Boruto berusaha mengingat di sela-sela kecil mana dia menaruh kunci itu di tas besarnya saat di lobi tadi. Dia hampir merutuk karena berkali-kali tak sanggup memegang erat kartu kunci itu agar bisa segera membuka pintu dan tertidur bersama temannya di dalam. Hingga kemudian tatkala kepalanya ia bentur di depan pintu secara sengaja, dia akhirnya bisa memindai kartu dan membuat pintunya terbuka diiringi helaan kasar yang terembus dari mulut berbau alkoholnya.
Boruto meringis, bau citrus, teh dan melati. Dia akan muntah. Keadaan begitu gelap, dia enggan masuk lebih dalam sebab tampaknya jika dibiarkan maka dirinya hanya akan membuat Mitsuki marah dengan mengeluarkan isi perutnya mendadak di dekat ranjang. Mereka jelas tak ingin membersihkannya, dan merasa malu jika memanggil petugas untuk bekerja.
Sejak kapan Mitsuki mengubah parfumnya? Mereka baru berpisah kurang dari dua jam! Dan harusnya parfum Mitsuki masih kalah dominan dari bau sake yang mereka minum di bar tadi.
Boruto langsung abai, mengeluarkan cairan asam dari lambungnya lebih baik daripada menahan mual sambil memikirkan mengapa Mitsuki terlihat amat feminin di atas ranjang dengan selimut yang membalut tubuhnya ketika lampu tak menyala?
Setelah sukses berdiskusi dengan keran air dan menatap pantulan diri di depan cermin dengan mata sayu, Boruto kembali dan berjalan untuk mengambil air persediaan hotel di dekat laci samping ranjang. Dia sama sekali tak melihat ke arah ranjang, rasa-rasanya berpikir untuk hanya tidur berdua dengan Mitsuki saja sudah membuatnya kembali mual, dia jelas tak ingin terlihat seperti seorang pria yang homoseksual. Bahkan, kendati tak seorangpun melihatnya. Ugh, tetap saja tidak. Baru dipikirkan sudah membuatnya bergidik.
Boruto mengambil sebungkus obat pereda pening di tasnya dan menuang bubuk itu ke dalam gelas besar. Masih tanpa menyalakan lampu, Boruto lantas meneguk isi gelas sampai setengah dan merasa lega karena mual dan pusingnya sedikit mereda.
Boruto menghela napas, berpikir untuk tidur di sofa saja. Persetan dengan siapa yang membayar lebih untuk penginapan satu malam di hotel ini. Yang penting dirinya dan Mitsuki tak satu ranjang.
Kemudian tak sampai lima menit merebahkan diri di atas ranjang, Boruto mendadak merasa panas. Dia bersumpah-serapah tentang mengapa pendingin ruangan hanya mengembuskan udara dinginnya ke satu arah? Mitsuki jadi mendapat kesejukan yang—entah mengapa—sangat Boruto inginkan saat ini.
Boruto benar-benar tak merasakan secuilpun angin dan dadanya perlahan mulai sesak. Ia berdiri, sempoyongan dan nyaris jatuh ketika sebelah kakinya tersandung karpet, lalu berdiri di depan ranjang untuk menghirup udara dari pendingin ruangan.
Aneh. Embusan amat sejuk dari Air Conditioner tak mengubah golakan panas dari tubuhnya menjadi kenyamanan. Justru Boruto malah merasa janggal, pula mendadak keringat mulai membanjiri tiap inci tubuhnya yang terbalut kaos biru lengan panjang.
Boruto segera melepas kaos tersebut, melemparnya lalu mengambil udara begitu banyak sampai paru-parunya penuh. Kemudian memaki dirinya setelah menyadari bahwa ia tidak membawa satu jenis obat saja.
Jadi, apa yang tadi ia minum?
Boruto tak percaya, dia sulit menahannya. Apa yang harus dilakukan? Membangunkan Mitsuki dan menyuruh kawannya itu mencari wanita panggilan untuk membantunya meredakan ketegangan pada tubuhnya ini? Tidak mungkin! Barangkali malah Mitsuki yang akan menendang miliknya dan membiarkan dia mati kesakitan.
Oke, Boruto tidak akan melakukan hal itu. Namun, dia akan mengusir Mitsuki dan menyuruhya tidur di sofa. Kemudian dirinya akan mencoba meredakannya sendiri di kamar mandi, dan berharap semoga tubuhnya cepat dibuat mengerti.
Namun, belum selangkah Boruto maju ke sisi ranjang, dia sudah dibuat terkesiap. Alih-alih berteriak marah kepada sahabatnya, Boruto malah nyaris benar-benar membeku di tempat tatkala menyadari bahwa sosok yang berbaring nyaman di atas ranjang bukanlah Kiriyama Mitsuki. Boruto menahan gejolak aneh dalam tubuhnya, namun dia malah tertarik untuk mendekat pada sosok itu.
Sosok perempuan yang entah sejak kapan telah berada di kamar yang ia dan Mitsuki pesan untuk mereka menginap malam ini. Dan ... di mana Mitsuki?
"Siapa dia?"
Boruto berbisik, memajukan tubuhnya guna memandang lekat wajah gadis yang tertidur pulas, menyamping ke kiri itu.
"Aku harus mencari Mitsuki!"
Tekadnya kuat. Ini pasti sebuah kesalahan! Tidak mungkin gadis manis bersurai gelap—entah lebih tepatnya warna apa—itu salah masuk kamar, atau ... dirinyalah yang salah? Boruto mendadak tertegun, lalu meringis karena kejantanannya sudah tak dapat lagi diajak kompromi.
Sial!
Boruto tergoda untuk menghampiri gadis tersebut. Dia akan membayarnya nanti setelah usai, namun ia sadar bahwa gadis ini bahkan tak terlihat seperti wanita dewasa, apalagi wanita tunasusila. Bahkan, dia nyaris tampak seperti gadis sekolah berusia lima belas tahun yang polos. Gila! Jika Boruto menidurinya, maka ia akan ditangkap karena memperkosa gadis di bawah umur. Oh, itu akan menjadi hal terakhir yang Boruto inginkan dalam hidup. Bagaimana dengan keluarganya?
Karena ragu, Boruto akhirnya menyalakan lampu tidur. Dia tak ingin ambil risiko membangunkan gadis itu dengan menyalakan lampu utama. Kemudian Boruto lantas mundur saat mendapati bahwa argumennya kelewat benar. Gadis itu ... benar-benar seperti masih sekolah.
"Kenapa kau bisa ada di sini, hei, Nona Kecil." Boruto tersenyum memandangi paras gadis bersurai hitam itu. Lalu buru-buru mengambil ponselnya di tas untuk segera menghubungi Mitsuki.
"Engh ...."
Boruto berhenti, menoleh, terbelalak. Ingin mundur, dia akan ketahuan! Kalau maju? Sama saja, jadi Boruto hanya diam dan menunggu reaksi apa selanjutnya dari gadis itu jika menyadari kehadirannya.
"Siapa yang menyalakan lampu tidur? Kurasa aku sudah mematikannya tadi." Gadis itu bergeser sedikit agar tangannya dapat menggapai tali lampu, kemudian membuang napas. "Oh, aku butuh air,"
Boruto menahan napas, dia melirik ke sisi kanan dan melihat gadis itu beranjak duduk di tepi sebelah kiri. Boruto mulai panik sebab jika dibiarkan maka bencana akan terjadi, namun, berdiri tegak saja ia rasanya sudah tak kuat. Panas sekali! Dan ... tegang. Boruto butuh banyak air putih! Tetapi di sana, sepertinya gadis itu mengambil gelas sisa minuman sialannya.
"Oh, aku menyisakan minuman hangatku. Ini pasti sudah dingin, sudahlah." Gadis itu benar-benar meneguknya!
Oh, tidak!
Boruto menahan suaranya sampai gadis tersebut menaruh gelas kosong itu di tempat semula. Lalu ia nyaris terjungkal ke belakang saat si gadis refleks menoleh ke tempatnya guna melihat jam yang berada di dekat AC.
"Sudah pukul dua ternyata. Hah ... aku benar-benar mengantuk! Eh—,"
Boruto membeku.
"Ada orang di sana?" Gadis itu bertanya hati-hati. Tangannya meraba sekitar, kemudian ia merutuk kecil karena sesuatu yang ia cari tak kunjung ketemu. "S-siapa? Apa aku hanya salah lihat? Katakan jika ada orang."
Boruto hampir meringis keras, dia menahan segalanya seperti di bawah tekanan. Ketegangan yang dirasakan membuatnya merasa ingin mati, dan jantungnya berdegup penuh adrenalin ketika dalam masa seperti ini, apalagi ketika gadis itu beringsut untuk mendekat kepadanya selepas menyalakan kembali lampu tidur.
"Siapa kau?"
"A-aku—ehm ...."
Gadis itu mundur. Namun tak melepas tatapannya dari Boruto yang mati-matian menahan gejolak nafsu dalam tubuhnya.
"Kenapa Anda bisa ada di sini? Apa mau Anda, Pak? Dan ... kenapa Anda melepas pakaian Anda?"
"Pak?"
Boruto akhirnya tak sanggup lagi. Dia berlari ke arah si gadis yang terkejut dan langsung menariknya ke ranjang. Gadis itu berontak, sementara Boruto yang sudah dikabuti hawa nafsu kini sekonyong-konyong menahan paksa gerakan si gadis dengan menindih seluruh tubuhnya dengan tubuhnya sendiri.
"L-lepaskan!"
"Maafkan aku, tapi kau sebentar lagi juga akan mau." Boruto memandangi paras cantik dengan ekspresi ketakutan di hadapannya. Dia menunggu waktu di mana gadis itu mulai merasa panas kendati tubuhnya sendiri sudah amat tegang dan sudah amat sulit dibuat menahan golakan gila ini. Dia tahu pula, gadis itu sudah pasti ketakutan setengah mati sebab merasakan kejantanannya yang mengacung tegak di bawah sana. Namun Boruto tahu, sebentar lagi, ya, hanya tinggal menunggu gadis di bawahnya itu merasakan efek dari minuman sisa miliknya tadi.
Kemudian dia akan melakukannya.
Dengan seorang gadis di bawah umur yang tak berdosa.
Boruto tahu, barangkali setelah ini hidupnya akan berantakan. Menghancurkan hidup seseorang, dan mengacaukan segalanya termasuk kehidupan keluarganya. Namun, sial! Gejolak nafsu ini sudah tak bisa ia tahan lagi.
Boruto akhirnya sambil tersenyum pedih membisikkan sesuatu di telinga gadis itu—yang kini juga sudah termakan oleh kemelut nafsu di sekujur tubuhnya.
"Maafkan aku, Nona. Tetapi aku berjanji akan bertanggung-jawab."
"Dan maaf telah membawamu masuk ke dalam kehidupan gelapku. Mungkin, ini takdir kita. Dan ... aku harap kau-lah orang yang dia katakan."
~o0O0o~
To be continued...
Regards, Ima~
First Publication on Wattpad : 10 December 2022
Karyakarsa : 17 Juli 2024