SIMPUL INGATAN - 2. Kamar Hotel

65
1
Deskripsi

Prolog sampai bab 4 repost dari yang sudah diunggah di Wattpad. Baca di sini atau di sana sama saja.

post-image-665d4ebdadf17.jpg

 

Jika rasa panik ada levelnya, mungkin sekarang aku sudah berada di level 9. Segalanya terasa lebih menyeramkan dibandingkan lima atau sepuluh detik yang lalu. Terikat di ruangan asing saja sudah buruk, apalagi terikat bersama laki-laki asing?

"Siapa kamu?!" tanyaku dengan suara melengking, kalau nggak bisa dibilang menjerit.

Ketakutan yang menyergap membuat tanpa sadar tanganku menyentak, menciptakan rasa perih yang seolah membakar pergelangan tanganku. Pria itu juga merintih pelan.

"Kamu benar-benar harus berhenti bergerak kalau nggak mau pergelangan tangan kita putus," kata pria itu.

"Kamu siapa?!" ulangku, mengabaikan kata-kata pria tersebut.

"Itu nggak penting. Yang penting–"

"Lepaskan! Lepaskan ikatannya!"

"Seandainya bisa, sudah dari tadi."

"Kenapa kita–"

"Tenang!" potong pria itu nggak sabar. "Jangan panik. Keadaan nggak lebih baik kalau kamu panik."

Apa yang terjadi?" tanyaku, tetap mengabaikannya. "Kenapa kita terikat begini?"

"Itu pertanyaan penting, tapi menurutku yang lebih penting adalah kita harus melepaskan tali ini."

"Caranya?"

"Pertama-tama, cobalah untuk tenang. Jangan banyak bergerak demi kebaikan kita berdua."

Aku mendengkus kesal, tapi merasa pria itu ada benarnya. Memaksa menarik tanganku hanya akan menyakiti kami berdua.

Napasku masih kembang kempis, tapi aku berhasil menguasai diri. Aku berusaha keras mengingat prinsip dasarku ketika menghadapi situasi darurat. Fokus dan jangan panik. Tetap tenang, supaya bisa berpikir jernih. Namun, aku harus memastikan satu hal untuk bisa tenang.

Kuangkat kepalaku untuk menunduk. Kutekuk leherku sebisa mungkin untuk menatap diriku sendiri. Sebenarnya aku sudah tahu, tapi aku tetap harus memastikannya lagi. Rasa lega mengguyurku ketika memastikan pakaianku masih lengkap–celana jeans dan blus berwarna kuning mustard. Kurasa aku bahkan masih memakai sepatu. Yah, setidaknya aku bisa yakin bahwa ini bukan soal cinta satu malam yang aneh dan kebablasan.

Aku menghela napas sekali lagi, dan kembali kepada pria di belakangku.

"Di mana posisimu?" tanyaku. "Maksudku, kamu tahu posisi kita sekarang gimana? Aku rasa kita saling membelakangi, tapi–"

"Betul," jawab pria itu. "Punggung saling beradu, aku bisa merasakannya. Kakiku juga terikat, tapi sepertinya masing-masing."

Aku berusaha menggerakkan kakiku. Benar juga. Aku bisa menekuk dan meluruskannya. Artinya kakiku memang diikat, tetapi nggak dijadikan satu dengan kaki pria itu.

"Oke." Aku berpikir cepat. "Bisa melihat sekelilingmu? Mungkin ada sesuatu yang bisa membantu."

"Aku ...." Pria itu nggak segera menjawab, mungkin sedang meneliti sekelilingnya.

Aku juga melakukan hal yang sama. Di nakas samping ranjang hanya ada lampu meja yang menyala. Ada laci di situ, tapi mustahil untuk bisa mengetahui isinya. Pandanganku beralih ke meja marmer di depan televisi. Di samping seperangkat cangkir untuk minum teh ada keranjang kecil berisi beranek macam kopi dan teh. Lalu ada kotak yang lebih kecil berisi sendok dan ....

"Ada gunting di situ," kataku cepat, setelah memfokuskan pandangan agar yakin dengan apa yang kulihat.

"Kamu yakin?"

"Sembilan puluh persen."

Masalahnya, bagaimana cara mengambil benda yang terletak sekitar tiga meter dari kami dengan kondisi tangan dan kaki terikat begini?

"Bagaimana kalau kita bergerak bersama?" tanya pria itu setelah beberapa detik hening. "Ini agak sulit, tapi bisa kita coba."

"Oke," jawabku cepat, karena aku nggak tahu apa solusi lainnya. "Setelah hitungan ketiga, kita bangun ke posisi duduk. Oke?"

Setelah pria itu sepakat, aku menghitung sampai tiga. Lalu dengan mengandalkan pinggul samping dan paha sebagai tumpuan utama, aku berusaha bangun. Namun, ini memang nggak semudah yang kubayangkan. Pinggulku kaku, dan tubuh kami bahkan nggak bergerak sedikit pun.

"Kita harus bergerak ke bawah dulu," saran pria itu. "Atau salah satu dari kita harus menarik yang lain ke pinggir samping."

"Kita geser ke bawah."

"Oke."

Keduanya beringsut sedikit demi sedikit ke bagian bawah ranjang sampai separuh kaki kami sudah keluar dari ranjang. Keringatku bercucuran, padahal ruangan ini ber-AC. Butuh upaya keras hingga kaki kami menyentuh lantai, sementara tubuh bagian atas kami masih setengah rebah di kasur.

"Good. Sekarang kita harus berdiri bersama-sama dengan cepat," kata pria itu lagi. "Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga!"

Lagi-lagi dengan bertumpu pada pinggul, kali ini upaya ini berhasil meski harus diganjar oleh sengatan perih di pergelangan tangan.

"Tahan!" seru pria itu saat tubuhku oleng karena gerakan dan juga rasa sakit. "Mundur. Kita harus merapat."

Aku mengikuti instruksinya. Punggung kami saling menempel, sedikit renggang di bagian pinggang karena terganjal ikatan. Setelah bisa berdiri dengan kokoh dan berhasil mengatur napas, pandanganku langsung tertuju pada gunting di meja.

"Putar sedikit ke kiri," pintaku. Dengan gerakan terbatas dan kagok, keduanya menggeser kaki sedikit demi sedikit sehingga posisinya agak serong. "Kamu bisa lihat gunting itu? Di atas meja?"

"Ya."

Namun kedua kaki kami sama-sama terikat, sehingga mustahil untuk berjalan secara normal.

"Apa kita harus berjalan lompat-lompat?" tanyaku.

"No. Jangan," jawabnya cepat dengan nada yang terdengar ngeri. "Bergeser aja. Pelan-pelan."

"Oke." Aku sepakat. "Kaki kanan duluan setelah hitungan ketiga."

Aku berhitung dan kami mulai bergerak. Sayangnya, aku lupa kalau kami beradu punggung sehingga kananku dan kanannya berseberangan. Alhasil, percobaan pertama membuatku nyaris teejungkal kalau saja pria itu nggak bersikukuh berdiri tegak, menahan beban kami berdua. Sengatan perih terasa di pergelangan tanganku, tapi aku berhasil tetap berdiri.

"Maaf!" sembur pria itu sedikit panik. "Maaf. Kamu nggak apa-apa? Sakit?"

Aku yakin tanganku sudah lecet sekarang, tapi pria itu pasti juga sama.

"Nggak apa-apa," jawabku. "Oke, sebelumnya kita samakan persepsi dulu. Kananku itu kiri kamu. Oke?"

Entah berapa menit waktu yang kami butuhkan, berapa instruksi saling sahut-sahutan. Punggungku basah oleh keringat, begitu juga punggung pria itu. Setelah usaha yang melelahkan, akhirnya kami berhasil mencapai meja TV.

"Kanan sedikit," pintaku.

Pria itu menurut. Aku memutar leher hingga 90 derajat untuk melihat posisi gunting di meja. Dengan keterbatasan tangan yang terikat, aku berusaha menggapai.

"Ugh! Nggak bisa," keluhku. Posisi tangan kami lebih tinggi daripada permukaan meja.

"Condongkan badanmu ke arah sebaliknya. Turunkan pundak kananmu," sarannya.

"Ini bakalan sakit."

"It's okay. Coba saja."

Aku melakukan apa yang pria itu katakan. Aku menurunkan pundak kanan–sementara pria itu menurunkan pundak kirinya–untuk memberi ruang agar tangan kami bisa bergeser ke kiri, sambil menahan perih. Tali itu pasti sudah merobek kulit. Aku berusaha menggapai, dan kini ujung telunjukku berhasil menyentuh besi yang dingin.

"Dapat!" seruku lega setelah berhasil mengaitkan jariku di pegangan gunting.

"Bagus! Sekarang potong talinya."

Aku kembali meraba-raba untuk menemukan letak tali itu. Kali ini cukup mudah karena aku bisa menggunakan kedua tanganku meski terbatas. Tanganku menyentuh tangan pria itu, rasanya hangat. Setelah menemukan posisi tali, aku membuka gunting itu dan memastikan posisi tali ada di tengahnya. Gunting itu terlalu kecil untuk tali yang kuat, tapi dengan banyak tenaga dan kemauan juga banyak gesekan, akhirnya tali itu putus juga.

"Finally!" seru pria itu lega, ketika tali meluncur turun jatuh ke bawah.

Aku segera berjongkok untuk memotong tali yang mengikat kakiku. Setelah aku sepenuhnya terbebas, tanganku menjangkau tali yang mengikat kaki pria itu dan memotongnya.

"Thanks!"

Pria itu bergerak sangat cepat. Sebelum aku sempat menghitung, dua tangannya mencekal bahuku–kuat, tapi nggak kasar–lalu menarikku kembali berdiri. Ketika aku sudah bisa menghitung, pria itu sudah berjalan dengan langkah lebar-lebar menginspeksi seluruh ruangan, sementara aku hanya mematung sembari menggosok-gosok pergelangan tanganku yang memerah dan lecet.

"Apa ... apa ini rumah kamu?" tanyaku sedikit terbata.

"Bukan," jawab pria itu pendek. Dia melangkah cepat membuka pintu kecil di dekat pintu. Lalu melongok sebentar ke dalam dan kembali keluar untuk membuka satu per satu pintu lemari pakaian.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku lagi, berusaha mengabaikan gerakan resah pria itu memeriksa seluruh ruangan. "Kenapa kita di sini? Kenapa kita terikat? Aku ...." Ingatan menyerbuku dengan brutal. "Aku harusnya di pesta lajang Yana ... aku ... kafe itu ada banyak orang. Chef Martin membawakan menu spesial. Gustav datang membawa hadiah kejutan. Ada gim yang berlangsung, tapi ... mestinya aku masih berpesta, kenapa aku ada di ... di mana sih ini? Dan kamu siapa?! Kenapa kita bisa–"

"Aku nggak tahu, oke? Aku nggak tahu," potong pria itu dengan nada frustrasi, entah karena tidak berhasil menemukan apa pun atau karena berondongan pertanyaanku yang nggak terkontrol. Pria itu meraih sesuatu dari laci yang terakhir dibukanya. Dua ponsel–yang satunya familier–lalu menoleh kepadaku. "Aku nggak tahu kamu siapa, kenapa kita di sini, kenapa kita terikat, dan apa yang terjadi. Aku nggak tahu!"

Aku terdiam, bingung nggak tahu harus menanggapi bagaimana.

"Ini punya kamu?" tanya pria itu, menunjukkan ponsel dengan gantungan Doraemon mini.

Aku mengangguk. Pria itu berjalan mendekat dan menatap mataku lekat-lekat. Mata pria itu tajam dan sedikit masuk ke dalam. Ada bekas luka kecil yang membelah alis kanannya menjadi dua bagian. Hidungnya besar, dan bibirnya tebal merah sedikit keunguan. Rahang perseginya yang dihiasi bayang hitam memberikan kesan yang "kasar" dan "bengis", tetapi belahan di dagunya memberi sentuhan yang manis dan lembut secara tidak terduga.

Pria ini memang bukan tipe pria dengan pesona ugal-ugalan yang membuat perempuan terpukau seperti artis Korea, tetapi jelas pria ini menarik. Komposisi di wajahnya, meski nggak sempurna, membentuk harmoni yang enak dilihat. Ada yang aneh dengan tatapannya. Sesuatu yang nggak sesuai. Sesuatu yang mengganggu, tapi aku nggak mampu mengidentifikasi tepatnya apa atau bagaimana.

"Siapa kamu?" tanya pria itu saat menyerahkan ponselku. Matanya menyipit, membuat alisnya yang terbelah menukik sedikit. "Apa kamu juga orangnya Mahendra?"

Aku mengangkat alis, menatap pria itu dengan ekspresi nggak paham. Siapa Mahendra?

Namun, kebingunganku sudah dia anggap sebagai jawaban. Pria itu menggeleng, lalu memalingkan pandang.

"Sebaiknya kita pergi dari sini."

Aku setuju, walau sebenarnya pria itu nggak menunggu persetujuanku. Dengan langkah lebar-lebar, pria itu menuju pintu besar dengan rantai besi–yang kuasumsikan sebagai pintu keluar-masuk ruangan. Benar saja, begitu pria itu membukanya, kami langsung berada di sebuah lorong panjang dengan lampu kuning yang cukup terang. Banyak pintu yang berderet di sepanjang dinding kiri dan kanan.

"Ini ... hotel, ya?" gumamku, berusaha mengenali keadaan.

Pria itu nggak menjawab. Dia hanya berjalan lurus ke kanan. Lorong itu sepi. Aku jadi penasaran. Kunyalakan layar ponselku dan mataku langsung membeliak mendapati penunjuk waktu. Pukul 03.38 AM. Pantas saja lorong ini sepi dari kehidupan.

"Ini dini hari," kataku pelan, sekadar memberi tahu.

Pria itu menoleh sedikit, tapi tetap diam. Di ujung lorong yang bercabang, dia berhenti sejenak.

"Kiri atau kanan?" tanyanya.

"Kiri," jawabku nyaris tanpa berpikir–juga tanpa alasan.

Aku nggak tahu kami sedang berada di hotel apa. Interior kamar dan lorong ini terasa asing. Aku juga nggak tahu ke arah mana yang menuju pintu keluar. Karenanya, agak aneh saat pria itu menuruti pilihanku kecuali dia sama nggak tahunya denganku. Yang lebih aneh lagi, ternyata pilihanku benar. Kami menemukan lift di ujung koridor. Ketika pintu terbuka, pria itu mempersilakanku masuk lebih dulu sebelum dia menyusul dan menekan tombol satu.

"Bisa jadi lantai satu untuk basemen," kataku mengingatkan.

"Kita akan tahu setelah sampai sana," jawab pria itu, menyandarkan punggung pada dinding lift lalu menarik dasinya yang sudah longgar hingga lepas.

Baru kali ini aku bisa mengamati penampilannya dengan benar. Pria itu memakai setelan–atau mungkin tadinya setelan–berwarna biru. Sekarang memang terlihat berantakan, tapi aku yakin bahwa dalam kondisi rapi, pria ini memiliki penampilan khas mas-mas yang berlalu lalang kawasan bisnis elit Jakarta itu. Penampilannya memang kusut seperti baru bangun tidur, tetapi samar-samar aroma parfum tercium ketika pria itu bergerak.

Masalahnya, siapa pria ini? Sekilas aku menangkap ada kesan akrab, tapi aku benar-benar nggak punya clue. Aku gagal mengingat satu nama pun. Apa dia pernah dirawat di OMC? Atau mungkin dia hanya orang yang pernah kulihat selintas di OMC? Kalau begitu, kenapa kami bisa berada di ruangan yang sama dan bahkan terikat?

Suara indikator lift membuyarkan pemikiranku. Pintu terbuka, pria itu melangkah lebih dulu. Lampu kuning yang jauh lebih terang seketika menyambut. Benar, kami ada di lobi hotel yang sangat luas dan terlihat megah. Lampu-lampu gantung menghiasi langit-langit dan cahayanya memantul ke lantai marmer yang mengilat. Dindingnya bermotif batik. Ada sofa-sofa mewah di salah satu sudut dan beberapa kursi rotan yang terlihat kokoh di sudut yang lain. Patung seukuran manusia dan ornamen-ornamen etnik lainnya tersebar di beberapa titik. Namun, yang paling membuatku terkejut adalah tulisan besar yang berada di dinding di balik meja resepsionis.

"Nusantara Heritage?!" seruku nggak mampu menahan diri.

Tentu saja aku tahu tahu Nusantara Heritage. Hotel ini kulewati setiap hari saat pulang pergi bekerja. Hotel bintang lima yang berdiri megah di tengah kota, dengan bangunan yang tinggi menjulang, seolah menasbihkan dirinya sebagai penguasa ibu kota. Hotel mewah dan mahal yang aku bahkan nggak pernah bermimpi bisa menginap di sana sekali seumur hidupnya.

Kini kekhawatiranku bertambah satu lagi. Siapa yang membayar kamar hotel itu?

Agaknya pria itu memikirkan hal yang sama karena langkahnya menuju resepsionis mulai melambat hingga akhirnya berhenti total. Pria itu menoleh kepadaku dan anehnya, aku langsung paham dengan apa yang dia pikirkan. Aku mengangguk tipis, lalu kami mengubah haluan menuju pintu keluar yang berada di sisi kanan.

Napasku tertahan ketika melewati doorman yang berdiri di samping pintu. Bagaimana jika kami diberhentikan? Bagaimana kalau kami dilarang pergi karena belum membayar? Bagaimana jika kami ditahan di ruang keamanan lalu dilaporkan ke polisi karena dianggap penyusup? Bagaimana kalau kami dikenai denda? Bagaimana caraku membayarnya? Bisa-bisa gajiku sebulan langsung ludes untuk membayar biaya menginap yang bahkan nggak kupahami ini.

Untung saja ketakutanku nggak terwujud. Kami melewati pintu dengan mulus. Doorman itu hanya menyapa kami dengan ramah dan mengucapkan selamat malam.

Angin segar terasa begitu aku sudah berada di luar hotel. Jalanan ibu kota di depan sana sudah sepi, tapi ada beberapa taksi yang stand by di lobi.

Pria itu mendadak berbalik, membuat langkahku juga seketika terhenti.

"Kamu yakin nggak tahu apa-apa soal ini?" tanya pria itu dengan nada curiga yang terlalu kentara.

Pertanyaan itu salah dan sangat menyinggung. Mendadak kekesalan muncul di hatiku. Apa-apaan nada bicara itu? Apa pria ini menuduhku menyembunyikan sesuatu? Apa pria ini menuduhku merencanakan ini semua?

Namun, bertengkar dengan orang asing di depan hotel saat dini hari begini jelas bukan hal yang bijak. Kepalaku sudah berdenyut-denyut sejak tadi. Aku cuma ingin rebahan di kamarku–kamarku yang sejati.

"Aku udah cerita apa yang aku ingat sebelum terdampar di kamar hotel dengan orang asing yang menyebalkan," jawabku dengan nada bersungut-sungut. "Kamu sendiri nggak bilang apa-apa. Mestinya kelihatan di sini siapa yang lebih mencurigakan."

"Masalahnya," pria itu memijat pangkal hidungnya dengan mata memejam. "Aku nggak ingat apa-apa."

Kini sebelah alisku mencuat naik. "Nggak ingat apa-apa?"

Pria itu mengangguk. "Hal terakhir yang kuingat adalah penerbangan dari Tokyo ke Jakarta, dan entah itu dua atau tiga hari yang lalu. Selebihnya, gelap."

Aku menatap pria itu lekat-lekat, berusaha menilai kejujurannya. Harus kuakui, ekspresinya terlihat jujur. Pria itu terlihat sama frustrasinya denganku, jadi semestinya dia nggak berbohong. Namun, tentu saja hal itu mau nggak mau menambah kebingungan dalam benakku.

Apa yang sudah terjadi sebenarnya?

"Oke, begini saja." Pria itu lagi-lagi memejamkan mata, seolah sedang merunutkan pikirannya. Sesaat kemudian matanya kembali terbuka, dan ekspresinya terlihat lebih tenang. "Kita sama-sama nggak tahu apa yang terjadi. Jadi, kita anggap aja nggak terjadi apa-apa. Oke? Mungkin seseorang lagi nge-prank kita–dan ini benar-benar prank yang nggak lucu–atau mungkin ... mungkin ..." pria itu terlihat bingung sendiri. "mungkin ... I don't know!"

"Neither do I," sahutku pelan.

"Jadi, mari kita pulang ke rumah masing-masing dan melanjutkan hidup. Di mana rumahmu? Bisa pulang sendiri?"

Aku mengangguk.

"Fine, then. Good luck," kata pria itu, dan bergegas melangkah pergi.

"Tunggu!" tahanku, sebelum sempat mencegah.

Pria itu berhenti, menoleh, dan menunggu.

"Di kamar itu ... kita ... maksudnya ...." Aku ragu-ragu dan sedikit malu. Kusingkirkan sejumput rambutku yang jatuh ke mata dengan resah. "Nggak terjadi apa-apa, kan?"

Pria itu menyipitkan mata. "Maksudnya?"

"Ehm ... kita nggak ... ngapa-ngapain, kan?"

Wajahku memerah, aku tahu. Aku bisa merasakan malunya menyebar dari wajah ke seluruh kulitku. Namun, hal ini harus dipastikan.

Lantas, untuk pertama kalinya setelah pertemuan kami yang aneh, pria itu tersenyum. Ekspresinya nyaris seperti meledek.

"Tentu saja," jawabnya dengan nada geli samar-samar. "Yang satu itu aku yakin sekali. Satu-satunya hal yang kuyakini hari ini."

Pria itu kembali melangkah menuju deretan taksi dan kali ini nggak menoleh lagi. Melihat punggung itu menjauh, lagi-lagi aku merasakan sabetan perasaan nggak asing yang aneh. Aku berusaha menajamkan penglihatan, siapa tahu aku bisa mengingat lebih baik. Namun hingga mataku melotot, tetap saja ingatanku buntu. Tidak ada penjelasan masuk akal yang bisa kubuat untuk kejadian hari ini. (*)

post-image-665d4ed90e745.jpg

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Simpul Ingatan
Selanjutnya SIMPUL INGATAN - 3. Hari-Hari Biasa
56
1
Prolog sampai bab 4 repost dari yang sudah diunggah di Wattpad. Baca di sini atau di sana sama saja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan