
Sadarkah kau bahwa sejak pertemuan tak sengaja itu kau telah mengacaukan segalanya? Kau meruntuhkan segala dunia yang telah mati-matian kususun setelah kepergianmu. Dengan mudahnya kau masuk kembali, memorakporandakan pikiranku, dan menjungkir balikkan cintaku. Aku baru menyadarinya, bahwa kau masih menempati ruang di hatiku. Ruang yang terlampau luas.
Seharusnya kau pergi, hilang dari peredaran bumi sejak kita memutuskan untuk tidak lagi sejalan bertahun-tahun lalu. Pergi saja dan tak usah...
PROLOG
Anggia baru menyadari bahwa matahari belum sepenuhnya timbul ketika dia menatap jalan setapak terjal di hadapannya. Pohon dan semak-semak itu akan dengan mudah menggores kulitnya. Apalagi ia hanya mengandalkan sebuah senter mungil sebagai satu-satunya penerangan. Namun, kesadaran itu hanya sebagian kecil saja. Otaknya buntu. Hatinya beku, tidak bisa lagi merasakan kekawatiran harus menuruni gunung ini sendirian. Sebenarnya, dia bahkan tidak peduli apa yang mungkin bisa terjadi, karena fokusnya hanya pergi dari tempat ini.
Mati-matian dia menahan isaknya. Membekap mulutnya agar tidak bersuara, dan menahan kakinya untuk tidak berlari kencang. Napasnya terengah-engah, menyadari betapa sakit yang dia rasakan sudah melewati batas. Usaha mati-matian yang ia lakukan berhari-hari ini, dengan puncaknya dia berani masuk dalam dunia yang sama sekali bukan dunianya, ternyata hanyalah kesia-siaan belaka. Dia hanya melakukan kebodohan-kebodohan saja yang membuat kekecewaannya semakin berlipat-lipat.
Laki-laki itu benar-benar menghancurkan hatinya. Namun, Anggia lebih marah pada dirinya sendiri daripada pada siapa pun. Karena kebodohannya menyakiti malaikat itulah yang membuatnya berakhir di sini. Menangis, menggigil, dan terseok-seok sendirian menyusuri jalan setapak yang gelap. Anggia mengakui dosanya. Anggi mengakui hukuman itu memang pantas dia terima.
Namun, harus sebegini sakitkah?
Tiba-tiba sebuah lengan yang kokoh menarik tangannya. Menahan langkahnya dan melingkarkan sebelah lengannya ke tubuh Anggia yang menahan napas. Anggia memejamkan mata. Dia mengenali pelukan ini. Pelukan sehangat sinar matahari pagi. Seharusnya dia pergi. Pergi saja, kalau dia tidak bisa membantu apa-apa untuk meringankan luka ini. Ini kesalahannya sendiri. Laki-laki itu harus pergi sekarang juga. Karena jika tidak, entah apakah hati Anggia bisa lebih hancur dari ini.
Namun, pelukan satu tangan itu semakin erat. Napas laki-laki itu yang memburu dapat dirasakan berembus di puncak kepalanya. Anggia menghela napas, mengingat kalimat yang didengarnya beberapa saat yang lalu.
“Sakit, Gia? Bagaimana rasanya? Mungkin dengan begitu kamu tahu perasaanku.”
***
Bab 1 - Familiar View
2012
“Aduh!”
“Eh, sorry! Sorry!”
Jempol kakiku terasa mau pecah setelah terinjak oleh orang di sebelahku. Laki-laki berbadan besar, hampir dua kali lebar badanku kurasa, dan tengah keasyikan bergoyang mengikuti musik heavy metal yang menggema. Aku meringis, sebagai tanda aku tidak apa-apa, juga untuk menahan nyeri di kakiku. Pantas rasanya seperti gepeng. Jempol kakiku, maksudku.
Kerumunan orang di konser ini benar-benar menyesakkan. Ke mana pun aku berjalan, yang kutemui adalah jalan buntu. Maju salah, mundur juga salah. Aku terkurung dalam lautan manusia yang sedang sibuk berjingkrak-jingkrak mengikuti alunan musik yang mengentak-entak dari panggung. Sebenarnya, telingaku malah sudah mulai berdengung. Musik ini bagus, hanya saja telingaku tidak terlalu terbiasa dengannya. Yang terdengar di telingaku hanyalah raungan-raungan dan teriakan-teriakan tanpa arti, yang bahkan sering kali tidak bisa kutangkap artikulasinya. Ini adalah waktu dan tempat bagi orang-orang pecinta musik keras yang sedang mengumbar euforia. Kenapa aku terjebak di dalamnya, mari kita tanya pria yang berdiri di samping kiriku ini.
Putus asa, aku menarik-narik lengan Arya, yang juga tengah asyik menikmati musik keras ini, dan meminta perhatiannya.
“Aku pusing!” teriakku, setelah berjinjit untuk berteriak di telinga Arya. “Musiknya kenceng banget!”
Arya merendahkan badan dan balas berteriak, “Nanggung nih! Bentar lagi, deh!”
Aku menggeleng buru-buru. “Kamu nonton aja, aku pulang sendiri bisa kok.”
Arya mengerutkan dahi, menarik tanganku untuk melihat jam, dan kembali memandangku tidak percaya. Well, kadang ini menyebalkan. Arya selalu tidak memercayaiku terutama untuk hal-hal seremeh ini.
“Sembilan empat lima,” katanya.
Aku memasang wajah ‘terus kenapa?’, dan Arya menggeleng final. Iya, kata-kata Arya seringkali bermakna final bagiku. Arya selalu bisa membuatku menuruti kata-katanya, walau dia juga tidak pernah memaksa. Dia terlalu pandai berdebat, sampai aku selalu dibuat terdiam dan kalah. Itu bukan salahnya, tentu saja. Mungkin aku saja yang terlalu maras mikir, malas ribut, dan malas mempertahankan argumenku sendiri.
“Tapi kepalaku udah mau pecah, nih!” rengekku.
“Pecah kenapa sih?”
“Musiknya kenceng banget! Nggak jelas!”
“Musik keren gini kok dibilang nggak jelas?”
“Aku nggak ngerti! Kamu nonton aja, biar aku pulang naik taksi.”
Arya berdecak. “Ya udah, ya udaaah. Ayo pulang!” katanya mengalah, sambil menggandeng tanganku, membantuku menerobos kerumunan manusia yang sedang menggila berjamaah.
“Tapi kan acaranya belum kelar?”
“Anggap aja udah kelar,” jawabnya sembarangan. “Aku males kalau kamu marah-marah. Suka lama!”
Aku mendengus kesal. Enak saja dia menuduhku suka marah-marah. Kurasa dia sedang membicarakan dirinya sendiri, si Arya ini.
Angin segar segera menderaku begitu terlepas dari pusaran manusia yang tengah bersuka ria itu. Ini sederhana, tetapi rasanya kini aku mengerti perasaan orang yang tergesa-gesa mencari tiket liburan setiap akhir pekan. Sejenak keluar dari Jakarta dan segala polusi serta kemacetannya tentu bisa menjadi stress-healing. Apalagi kalau lokasi tujuannya adalah pedesaan, di mana udara masih sangat segar dan tak ada macet berlebihan. Napasku terasa lebih longgar, setelah tadi di dalam sana asmaku nyaris kambuh. Mungkin itu juga yang membuat Arya mau meninggalkan konser musik rock favoritnya itu. Karena dia takut aku bengek!
Arya tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku, seperti kebiasaannya yang selalu membuatku kesal, ketika aku memintanya berjanji untuk tidak pernah mengajakku lagi kalau dia sedang ingin menonton musik-musik keras seperti tadi. Bukannya apa-apa, kan dia sendiri yang rugi kalau aku minta pulang lebih awal seperti ini. Sudah beli tiket mahal-mahal, malah nggak bisa menikmati acaranya karena pacar manja yang rewel.
Tapi awas saja kalau sampai Arya menganggapku pacar manja yang rewel. Kan dia juga yang melarangku pulang sendiri.
“Tunggu di sini bentar, ya,” katanya kemudian
Arya pergi ke salah satu penjual minuman untuk mencari air dingin dan mungkin juga rokok. Sementara itu, aku menunggunya di ujung gerbang area gedung. Halaman luar gedung itu sepi. Hanya ada beberapa penjual minuman dan makanan kecil yang mencoba mencari peruntungan di acara besar ini. Di sebuah stand yang menjual kebab turki, aku melihat dua orang laki-laki dan perempuan duduk berdua. Mungkin mereka sama seperti aku dan Arya. Tadinya menonton konser di dalam, tapi karena si cewek bosan dan merengek-rengek, maka si cowok pun terpaksa meninggalkan konser band favoritnya itu. Mungkin cowok itu sama pengertiannya dengan Arya. Dan mungkin cewek itu sama menyebalkannya denganku.
Rasanya aku tidak asing dengan sosok cowok yang duduk menyampingiku itu. Dia mengenakan topi hitam dan jaket kulit hitam. Apa dia tadi berdiri di sebelahku, saat di konser tadi? Bukan. Yang ada di sebelahku adalah si laki-laki besar yang menginjak kakiku tadi. Sementara sebelahku yang lain, tentu saja, Arya.
“Yuk!” Terdengar suara Arya, menghentikanku dari kegiatan observasi. Di tangannya ada sebotol air mineral dingin dan sekotak rokok. Nah, benar kan? Arya tidak pernah bisa berhenti merokok.
Aku mengikuti langkah Arya menuju parkiran. Tanpa sengaja aku kembali menoleh menatap stand kebab, kepada cowok dan cewek yang sedang duduk berdua, menanti pesanan mereka. Sialnya, cowok itu tiba-tiba menoleh, menatapku sebelum aku sempat memalingkan wajah kearah lain. Sekaligus menjelaskan rasa ‘tidak asing’ yang tadi kupikirkan.
Alis tebalnya, garis wajahnya, rahangnya yang tegas, matanya yang kecokelatan. Mendadak saja, jantungku berlari lebih cepat.
***
2006
Aku pernah bertanya tanya, mengapa seseorang bisa memiliki pendapat yang berbeda mengenai waktu. Waktu yang sama. Sama-sama satu jam, tetapi satu jam menonton film tentu berbeda dengan satu jam menunggu teman di sekolah, tanpa aktivitas yang berarti, dengan perut keroncongan, dan rasa ngantuk yang luar biasa. Ya, sama-sama satu jam. Namun, menonton film jelas lebih berguna daripada aktivitas menunggu seperti yang kulakukan ini.
Sorak-sorai dari arah lapangan basket terdengar sampai ke tempatku duduk. Nyaris tidak ada orang yang berkeliaran di sekitarku. Selain karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.30, waktu yang cukup sore untuk sekolahan, juga karena seluruh penghuni sekolah yang masih tersisa tersedot ke lapangan basket untuk menyaksikan pertandingan antara SMA Nusapati dan SMA Budi Pertiwi.
“Gia!”
Sebuah panggilan dari arah lapangan basket menyadarkanku bahwa aku sedang dan masih berada di sekolah. Ketika aku mendongak, Sita melambai-lambaikan tangannya dengan heboh. Di sebelahnya ada seorang laki-laki yang menggenakan seragam basket SMA Budi Pertiwi, tim basket yang menjadi lawan sekolahku kali ini. Melihat Sita dan laki-laki itu membuat harapanku untuk segera pulang akan terwujud. Mungkin pertandingan sudah selesai.
Namun, bukannya segera mengampirku dan mengajakku pulang, Sita terus melambai lambai. “Sini!” teriaknya.
Aku menggeleng. “Males, ah! Buruan lo! Gue ngantuk nih!”
Sita lah satu-satunya alasan mengapa aku masih berada di sekolah di waktu-waktu seperti ini, dan terjebak dalam momen satu jam menyiksa yang jelas berbeda jauh dengan satu jam menonton film. Aku tidak suka dan tidak mengerti basket. Sayangnya, Sita, sahabatku yang tinggal tak jauh dari rumahku itu, mengerti sekali cara menyiksaku dengan memaksaku menungguinya menonton pertandingan basket. Diajak pulang dia menolak, ditinggal pulang duluan dia juga marah-marah. Malas berdebat lebih lama, aku mengiakan saja permintaan Sita untuk menungguinya nonton dari jarak terjauh yang mungkin. Sita ini memang aneh. Aneh dan menyebalkan.
“Lo lagi ngapain, sih?” tanya Sita, mendekatiku dan mengintip ke balik ponselku yang terhubung dengan earphone di telingaku.
“Menurut lo?!”
“Dih, marah! Eh, gue kenalin sama temen gue, yuk?”
“Males, ah.”
“Ayoooo!”
Tanpa belas kasihan Sita langsung menarikku bangkit dan menyeretku mendekati temannya, si laki-laki dari tim basket lawan yang sedang menegak air dari botol air mineral.
“Sit! Sita! Nggak mau gue!” tahanku panik, terseok-seok mengikuti langkah Sita yang lebar-lebar. “Ngapain, sih?! Pulang aja, yuk!”
“Sebentar doang. Nah, ini nih temen gue yang gue ceritain itu!” kata Sita riang gembira kepada cowok yang-tadi-sedang-menegak-air-putih-dari-botol-dan-sekarang-menatap-mereka. Membuatku ingin mengambil batu dan melemparkannya ke kepala Sita supaya otaknya sedikit waras. “Namanya Gia. Ang-Gi-A. Jangan salah eja, ya!” Lalu Sita berpaling kepadaku yang salah tingkah, antara malas tersenyum dan terpaksa tersenyum untuk menjaga kesopanan. “Ini temen gue anak Budi Pertiwi Gi, namanya Aga. Lo tau nama lengkapnya? Raga Jiwa Pratama! Aneh, kan? Aneh, kan?”
***
2012
“Kenapa, sih?”
Aku mendongak, menatap Arya yang juga sedang menunduk menatapku dengan kening berkerut.
“Apanya yang kenapa?” aku balas bertanya. Bahkan aku bisa merasakan nada yang aneh dari suaraku.
Arya mengangkat tanganku yang sedang digenggamnya. “Tangan kamu dingin gini. Keringetan lagi. Kamu lagi panik?”
Refleks aku menarik tanganku dari genggaman Arya dan mengusap-ngusapkannya ke belakang bajuku. Lantas, kukeluarkan senjata pamungkasku: nyengir lebar-lebar.
“Ya … sedikit, sih,” jawabku berbohong. “Udah jam segini, Ar. Aku takut kemaleman terus nggak boleh masuk sama Ayah.”
Arya menatap jam tanganku dan lagi-lagi keningnya berkerut. “Baru juga puku sepuluh. Kemarin pas main sama Sita kamu pulang pukul berapa?”
Lagi-lagi aku nyengir. Salah topik berbohong.
“Pukul dua belas, sih. Tapi kan sama Sita. Kalau sama kamu, urusannya jadi lebih rumit.”
“Rumit gimana, tuh?”
“Bisa-bisa kita dianggap berbuat yang nggak bener.”
Arya tertawa kecil. “Jadi, maksudmu aku ya yang dianggap nggak bener?” Aku mengangguk, dan Arya langsung berdecak. “Padahal kalau dibandingkan Sita, aku itu bagaikan remaja masjid yang lurus dan taat jam malam. Beneran, deh.”
Aku ikut-ikutan tertawa. Soal yang satu ini, aku tidak bisa membantah. Soalnya aku juga tidak yakin mana yang lebih lurus antara Sita atau Arya.
“Iya, iya, percaya.”
Bukannya buru-buru pulang, Arya malah mengajakku mampir di sebuah warung pecel lele pinggir jalan dengan alasan laper-banget-kalau-nggak-makan-dulu-nggak-bisa-nyetir-sumpah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti langkah ringannya. Padahal satu-satunya yang kuinginkan adalah pulang kerumah, membaringkan diri di atas ranjang, dan menatap langit-langit kamar. Lebih tepatnya, aku ingin segera meninggalkan area gedung tempat konser ini. Walaupun kami sudah berada di luarnya, aku masih bisa melihat gerbang halaman gedung itu. Dan sosok yang kutemui di dalam tadi, bisa melewati gerbang hitam tinggi itu kapan saja.
“Dimakan, Gi,” kata Arya melihatku hanya membolak-balik lele bakar dalam piringku.
Aku berdecak. “Kamu harusnya tahu, cewek tuh nggak boleh makan di atas pukul sembilan,” dengusku beralasan. Padahal aku hanya merasa, setelah bertemu orang yang sedang makan kebab itu lagi, mungkin tenggorokanku tidak akan semudah biasanya untuk menelan makanan.
“Termasuk kamu juga?”
“Aku kan juga cewek!”
“Yang bilang kamu cowok siapa, sih? Maksudku, termasuk kamu juga cewek yang nggak makan di atas pukul sembilan itu?”
Aku menggeleng.
“Ya udah, dong? Beres, kan?” Arya mengangkat alis. “Dimakan dulu. Sore tadi kan kamu belum makan. Kalau nggak dimakan, kita nginep di warung ini aja.”
Ingin rasanya aku menumpahkan mangkuk sambalku ke wajah Arya. Enak saja dia berkata begitu. Namun, aku mulai makan juga. Kata-kata Arya punya daya magis yang membuatnya menjadi tak terbantahkan. Lagi pula, Arya tidak pernah main-main dengan kata-katanya. Bisa jadi dia benar-benar membuat kami menginap di sini jika aku tidak segera memakan makananku.
Sambil sesekali aku melirik gerbang gedung seni, memastikan tidak ada orang yang sedang melewatinya. Aku berdecak kecil. Menyadari betapa aku bingung mengartikan perasaanku sendiri. Apakah benar aku tidak ingin melihatnya berjalan melewati gerbang hitam itu dan melihatku di sini bersama Arya? Ataukah aku justru ingin melihatnya sekali lagi? Melihat wajahnya, memastikan dia adalah orang yang sama dengan yang kupikirkan? Dan menuntaskan rindu yang ternyata, masih ada?
***
Bab 2 - Titik Awal
2012
Sinar matahari mulai menerobos dari jendela kamar dan secara langsung menyengat kulitku, karena aku lupa menutup jendela kamarku semalam. Suara weker yang memekakkan telinga membuatku sadar bahwa hari sudah berganti.
Mungkin sebaiknya aku tidak pernah menyalakan weker kuno pemberian Nenek ini setiap kali akan tidur. Suaranya di pagi hari yang ‘Kriiing’ banget itu benar-benar mengganggu. Bayangkan saja, saat kamu sedang asyik-asyiknya bermimpi, mencicipi semua makanan di restoran Italia misalnya, tiba-tiba saja bunyi ‘Kriiing’ yang begitu kencang itu memecah pagimu yang luar biasa indah. Suara ayam tetangga pun tidak semengerikan bunyi weker tua ini. Namun, tidak tahu kenapa, memutar jarum weker ke angka enam, itu seperti sudah menjadi suatu kebiasaan. Suatu rutinitas sebelum tidur, bebarengan dengan rutinitas-rutinitas sebelum tidur yang lain.
Aku menarik selimut lagi setelah mematikan weker mengerikan itu. Namun, tak lama kemudian ganti ponselku berbunyi nyaring. Bukan, bukan suara alarm yang sengaja kunyalakan juga. Lagi pula, memangnya aku sekurang kerjaan itu menyalakan weker dan alarm sekaligus? Itu suara panggilan masuk. Entah siapa yang kurang kerjaan menelepon pagi buta seperti ini. Seharusnya ia cukup tahu diri, bahwa di hari Minggu seperti ini matahari terbit pukul sembilan nanti.
Dengan malas aku meraba-raba ponselku, mencari tombol hijau untuk menjawab panggilan itu, tanpa membuka mata sebelumnya. Kurasa aku bisa membayangkan betapa malasnya suaraku, sampai-sampai Sita yang berada di seberang sana berteriak mengataiku pemalas.
“Banguuuuuun! Parah banget sih lo? Perawan jam segini masih molor! Ntar jodoh lo diambil orang lho!” Sita terdiam sebentar, seperti sedang berpikir. “Tapi … itu dia masalahnya, Are you still virgin, by the way?”
“SITAAAA!” teriakku tidak tanggung-tanggung. Jauh lebih nyaring dari dering weker kuno itu.
Sita tertawa geli dan malah meledek, “Kenapa sewot? Iya bilang iya, enggak ya bilang enggak. Gue nggak ada masalah sama itu.”
Aku benar-benar bangun sekarang. Selimutku sudah kutendang. Kalau saja Sita yang ada di sini, pasti dia lah yang kutendang.
“Mau apa sih lo? Pagi-pagi udah ngajak berantem!”
“Kuliah nggak, Gi?”
“Kuliah? Kuliah apaaaaan? Ini kan hari Minggu!”
Hening. Mungkin di sana Sita sedang mencari-cari kalender atau sesuatu yang bisa menjelaskan kepadanya bahwa hari ini benar-benar hari Minggu. Bagus. Mungkin aku perlu melemparkan kalender di mejaku ini kesana.
“Oh iya ya. Hari Minggu ternyata,” katanya kemudian, sementara aku sudah menggigit-gigit jariku sendiri. Kalau Sita ada di sini, mungkin dia yang sedang kugigit-gigit sekarang. “Gue kirain udah Senin aja. Kita kan ada kuis Pak Sigit.”
“Sit?”
“Apa?”
“Lo tahu artinya sialan nggak?”
“Ya tahu dong. Kenapa?”
“Ya, itu. Sialan banget sih lo! Bangunin gue subuh-subuh! Hari Minggu pula!”
“Ini udah pukul enam lewat tiga puluh, cumi! Lo tinggal di mana sih, jam segini masih subuh?”
“Intinya lo itu ngerusak tidur indah gue! Bodo amat mau jam berapa! Gue mau tidur lagi! Sana lo kuliah sendiri!”
Aku memutuskan telepon secara sepihak. Terserah Sita mau mengataiku tidak sopan atau apa. Memangnya sopan, menelepon orang jam setengah tujuh pagi di hari Minggu?
Baru saja aku berniat menarik selimut, dan meneruskan tidurku yang terganggu sampai matahari terbit, kira-kira dua jam lagi, ponselku kembali berdering. Aku berteriak kesal. Sepertinya alam benar-benar tidak mengizinkan aku untuk tidur sampai pukul sembilan. Padahal semalam aku baru tidur pukul satu dini hari.
“Apa lagi sih?!” jawabku ketus, tanpa melihat caller id di layar ponsel.
“Weit, ada apa nih? Kenapa tiba-tiba aku kena marah?” Bukan suara cempreng Sita yang kudengar, melainkan suara berat Arya yang selalu bernada lembut bila sedang bicara padaku.
“Kirain Sita yang telepon,” kataku merasa bersalah. “Ada apa?”
“Kamu baru bangun ya? Udah pukul tujuh nih!”
Aku melirik jam weker. Tadi masih jam setengah tujuh, masa sekarang sudah jam tujuh? Cepat sekali waktu berputar.
“Emangnya kamu doang yang boleh bangun siang?” Aku balas bertanya. “Ada apa sih? Tumben bener jam segini udah bangun?”
“Aku mau berangkat ke Malang. Udah di basecamp sekarang.”
“Ooh. Ya ya, pukul berapa berangkat?”
Beberapa hari yang lalu Arya mengatakan kalau dia akan ke Malang untuk mendaki gunung Bromo bersama anak-anak Pala yang lain. Kalau sudah soal gunung, Arya tidak pernah mau kompromi. Jangankan hanya membolos kuliah, dia nyaris berhenti kuliah karena orangtuanya mengancam akan menghentikan subsidi biaya kuliahnya kalau dia tidak bisa mengontrol hobi mendakinya yang membuatnya mengabaikan kuliahnya itu. Itu juga yang membuatnya banyak mengambil mata kuliah yang sama denganku semester ini. Padahal, seharusnya, Arya ada dua tahun di atasku.
“Titip tanda tangan, ya? Sampai hari Kamis,” pintanya kemudian.
“Nggak janji deh!”
“Janji aja dong, please? Sama Sita aja kamu mau janji, masa sama aku nggak?"
Aku tergelak. “Apaan, sih? Nggak jelas banget.”
“Ya? Ya? Ya dong? Masa enggak sih. Ya udah aku berangkat dulu, ya? Ingat, toga wisudaku ada di tanganmu, Gi. Jangan lirik-lirik cowok lain. Jangan mau-mau aja kalau diajak nongkrong si Patra. Tunggu aku pulang, oke?”
Aku menjawab pesan-pesan Arya dengan menguap lebar. Bosan. Itu-itu saja yang dia katakan setiap kali hendak meninggalkanku demi gunung. Seolah-olah dia selalu khawatir dan tidak rela meninggalkan aku sendiri di kota ini. Namun, kekhawatiran-kekhawatiran itu tidak pernah membuat Arya berniat mengurungkan niatnya untuk mendaki gunung dan meninggalkanku berhari-hari. Kurasa kalau Arya ditanya, siapa yang lebih dicintainya, apakah aku atau gunung, dia akan menjawab … ah, sudahlah! Aku tidak mau merusak pagiku yang sudah rusak ini dengan memikirkan hal itu.
“Nanti aku bawain bunga edelweiss.”
“Buat apaaaa? Kamu tuh malah ngerusak lingkungan, tahu! Metik bunga sembarangan. Nggak usah! Bawain makanan aja yang banyak!”
Arya tertawa kecil. “Oke sip. Nggak usah marah-marah. Sana bangun!”
Setelah Arya menutup teleponnya, muncul SMS Sita.
‘Cin, daripada lo cuma tiduran di rmh, mending temenin gue nyari buku yuk?
Sklian kita shopping2. Gw ke rmh lo stngah jam lg. Buruan siap2!
Numpang sarapan ya! Maklum anak kos. Love you.’
SMS macam apa ini? Minta ditemani belanja kok maksa? Sita bahkan tidak memberikan kesempatan padaku untuk menolak ajakannya. Sudah begitu, ini baru pukul tujuh. Mana ada toko buku yang sudah buka? Terlebih lagi, buku apa yang mau dicari Sita? Atau mungkin Sita typo, dan sebenarnya dia ingin menulis baju alih-alih buku? Ada apa dengan anak itu sebenarnya? Sita, kacau, itu sudah biasa. Namun, kekacauannya hari ini benar-benar parah. Lebih parah dari yang sudah-sudah.
Bodo amat dengan SMS Sita, aku kembali menarik selimut dan meneruskan tidurku setelah mengatur hpku dalam mode ke silent. Aku tidak mau diganggu lagi.
***
2006
Hujan masih bandel membasahi bumi sejak empat puluh lima menit yang lalu. Tidak ada petir atau kilat. Hanya air yang seperti ditumpahkan dari langit menghajar bumi yang bersalah. Sayangnya, bus biru yang kutunggu belum juga tiba.
Beberapa percikan air yang memantul dari lantai halte yang mengenaiku sudah membuat sepatu dan kaus kakiku basah. Sebentar lagi kurasa bajuku juga akan basah. Padahal aku sudah merapatkan diri ke halte. Namun, hujan yang terlalu deras membuat air menyembur ke mana-mana.
Aku benci ketika aku harus mengulang sebuah mata pelajaran akibat nilai ulanganku tidak memenuhi standar KKM. Apalagi jika remed pelajaran tersebut bebarengan dengan kegiatan-kegiatan OSIS yang kuikuti. Inilah yang membuatku terjebak di sore hujan di halte sekolah.
“Siaaal! Malem minggu, bukannya kencan! Malah bengong di halte sekolah!” geramku dalam hati.
Halte itu benar-benar sepi. Hanya ada aku dan seorang bocah tukang ojek payung yang sedang menunggu pekerjaan menghampiri. Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depanku. Kaca penumpang terbuka. Aku menyipitkan mata, mencoba menembus hujan untuk mengenali siapa pengendara mobil itu. Namun, karena hujan derasnya tidak tanggung-tanggung, tidak ada apa pun yang bisa kulihat selain siluet kabur seorang laki-laki. Apalagi langit sudah mulai menguning, memulai pergantian dari siang ke malam.
Lalu, pengemudi mobil yang ternyata laki-laki itu keluar dari sisi kemudi, membawa payung cokelat, berlari-lari kecil menghampiriku yang duduk menyempil di salah satu sisi halte. Sampai saat itu, aku belum mendapat bayangan tentang siapa laki-laki ini.
“Wah! Ternyata nggak salah lihat!” seru cowok yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapanku. Air hujan menetes-netes dari ujung payungnya. “Hai! Sendirian aja?”
Aku bisa merasakan alisku terangkat dan keningku berkerut. Begitu ekspresiku ketika berusaha mengingat sesuatu.
“Aga,” kata cowok itu buru-buru, seolah tahu aku tidak mengenalinya. “Lupa?”
Satu memori seketika melesat dalam benakku. Sontak, aku langsung nyengir, sedikit merasa bersalah. “Ingat, kok, ingaat. Cuman tadi belum kelihatan jelas aja,” jawabku berbohong.
“Lagi nungguin siapa? Mau balik, ya?”
“Nungguin hujan.”
Aga mengibas-ngibaskan lengannya yang terkena air hujan. “Bareng aja, yuk? Kebetulan sebelahku lagi kosong,” tawarnya sambil menunjuk sisi penumpang di mobilnya. “Kalau nggak mau di sebelahku, belakangku juga kosong kok. Tapi kalau bisa sih di depan aja, biar aku nggak kayak supir taksi.”
Aku tidak segera menjawab. Kupasang ekspresi menimbang-nimbang. Sebenarnya aku sedang mencari alasan untuk menolak tawaran Aga tanpa terkesan sombong atau membuatnya tersinggung. Maksudku, hey, aku nggak mengenal cowok ini! Aku hanya tahu bahwa dia teman Sita, terlebih, dia adalah teman Sita. Masa aku mau-mau saja diantar pulang oleh cowok asing yang adalah teman Sita? Meski terkesan jahat karena menggeneralisir, tapi aku memang harus curiga kepada setiap teman Sita, karena mereka biasanya orang-orang nggak jelas. Tidak tahu kenapa, sahabatku itu sepertinya selalu tertarik pada hal-hal yang aneh, buruk, dan berisiko.
“Emm … nggak usah deh. Rumahku jauh banget,” jawabku beralasan. “Tapi makasih banget, ya, atas tawarannya.”
“Sejauh apa? Masih di Bandung, kan?”
“Ya masih, tapi jauh banget pokoknya. Nggak usahlah. Aku nunggu hujan berenti aja. Bentar lagi juga busnya datang.”
Aga mengangguk. Namun, salah bila tadinya aku mengira Aga akan segera pamit dan meninggalkanku sendiri. Aga justru menaruh payung cokelatnya, lantas duduk di sebelahku.
“Aku temenin, deh. Udah mau gelap. Kalau sampai magrib belum berenti hujannya, nanti bareng aku aja, ya?”
Aku menelan ludah. Mau apa sebenarnya orang ini?
***
2012
Sukses menarikku dari kasur menuju kamar mandi, sekarang Sita benar-benar memaksaku untuk menemainya ke Blok M untuk mencari buku-buku murah. Nona yang satu ini memang tidak pernah putus asa untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia tidak pernah peduli jika kelakuannya ini seringkali menyiksaku sebagai orang yang tidak berdosa. Sudahlah dia merusak pagiku, sekarang dia malah menyiksaku dengan menyuruhku olahraga mengelilingi lantai basement Blok M Square entah untuk yang ke berapa kalinya.
“Si Arya balik kapan, Gi?”
“Kamis. Buruan kenapa sih, Yas? Capek nih gue! Lo nyari buku apa sih?”
Sita pura-pura tidak mendengar, dan langsung ngeloyor menuju abang-abang lain yang menjual komik-komik. Dari abang-abang komik, Sita kembali berjalan menuju bapak-bapak yang sedang membereskan barang dagangannya. Setelah menanyakan entah apa, lagi-lagi Sita berjalan entah menuju kemana. Dan aku benar-benar mengikuti di belakangnya seperti mbok emban yang sedang mengawal puteri raja. Sialan si Sita!
Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan Sita berkelana sendiri, mau dia mencari kitab suci ke barat seperti Kera Sakti juga aku tidak mau peduli. Biar saja dia berusaha menemukan apa yang dia butuhkan sendiri. Sementara itu, aku minta izin untuk duduk di kursi kosong di sebelah Ibu-ibu yang menjual DVD bajakan. Sambil mengipas-ngipaskan selembar kertas, aku menenangkan otot-otot kakiku yang mengeluh kecapekan semua. Sita sudah menghilang entah ke mana. Tapi Sumpah, aku tidak peduli kali ini. Dia toh juga tidak peduli kalau aku terkena kram kaki gara-gara terlalu banyak berjalan tanpa tujuan.
Bertahun-tahun berteman dengan Sita, aku sudah terbiasa dengan hal-hal absurd yang sering dilakukannya itu. Sita adalah manusia yang paling kacau, paling tidak jelas, dan yang paling tidak bisa ditebak yang pernah kukenal. Setidaknya aku baru bertemu satu manusia yang seperti Sita itu. Anehnya, aku juga tidak pernah bisa membayangkan jika aku tidak pernah bertemu Sita. Pasti hidupku akan lebih hambar dari sekarang.
“Ada buku Bhagavad Gita nggak, Bang?”
Aku mendongak, mendengar suara yang sepertinya tidak asing yang menanyakan soal buku Bhagavad Gita. Tak jauh dari tempatku menumpang duduk, aku melihat seorang laki-laki jangkung sedang menawar buku kepada bapak berkaus loreng yang sedang membereskan barang dagangannya. Laki-laki itu berdiri membelakangiku, membuatku hanya bisa menangkap punggungnya.
Setelah menyelesaikan transaksinya, sambil menenteng kantong plastik yang kuduga berisi kitab Bhagavad Gita, dia berbalik untuk pergi ke arah yang sama dengan arah Sita tadi. Sedetik dia sempat menoleh ke arahku duduk. Hanya sedetik.
Kemudian langkahnya terhenti.
Begitu juga dengan napasku.
Kertas yang kugunakan untuk mengipasi wajahku berhenti begitu saja di tengah-tengah udara.
“Anggia.”
Suasanya sedang ramai saat itu. Jarak kami pun tidak bisa dibilang dekat. Namun, entah bagaimana, aku bisa tahu bahwa bibirnya mendesiskan namaku. Seolah dia sedang ada di sebelahku, dan membisikkan namaku di telingaku sendiri.
“Gia!!” sebuah teriakan lain memanggilku dari kejauhan.
Sita melambai-lambaikan tangannya. Aku melirik sebentar kepada laki-laki yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan mata yang terarah tepat kepadaku, sebelum akhirnya aku berjalan cepat memenuhi panggilan Sita tanpa menoleh lagi. Aku nyaris berlari saat menghampiri Sita yang sudah menenteng plastik besar entah berisi apa. Kalau memungkinkan, aku ingin terbang, menghilangkan diri dari sosok yang baru saja menyebut namaku.
Dia mengenaliku.
Dia tahu namaku.
Dia ingat padaku.
-Bersambung-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
