RENDEZVOUS (Bab 3-4)

111
3
Deskripsi

RENDEZVOUS Bab 3-4

 

Holaaa!

Kalau kalian pernah baca bukuku yang berjudul Falling In You, nggak perlu baca cerita ini lagi yaa. Karena ini adalah kisah Gia dan Arya yang kupublish dengan judul baru. 

Ceritanya sama dengan Falling in You nggaaaak? Kalaupun beda ya nggak banyak, seperti perubahan detail adegan, percakapan, dll. Tapi secara alur dan cerita nggak berbeda. 

Buat yang belum baca, dan mungkin susah menemukan bukunya, kuy dibacaaa~

Trims!

Bab 3 - Pertemuan Kedua

 

2006

Hari ini Tuhan benar-benar mengabaikan seluruh doaku. Doa supaya hujan cepat berhenti, doa supaya bus yang biasa kutumpangi segera datang, doa supaya Aga segera pergi dari halte sekolah, dan doa supaya aku segera sampai di rumah dan tidur nyenyak. Semuanya gagal. Hujan benar-benar tidak mau berhenti bahkan sampai pukul tujuh malam. Bus berwarna biru langgananku yang biasanya berlalu lalang juga sama sekali tidak terlihat, entah karena supir bus sedang pada demo atau memang mereka malas bekerja di tengah hujan, aku tidak tahu. Lalu Aga, yang kupikir akan segera pergi setelah aku menolak tumpangan yang dia tawarkan, ternyata malah duduk manis di sampingku sambil jarinya bergerak lincah di ponselnya. 

Tepat pukul tujuh malam, Aga menawarkan lagi, apa aku mau bareng dia, atau dia harus meneleponkan taksi agar aku cepat sampai rumah. Seumur-umur aku tidak pernah naik taksi. Aku terlalu sayang pada uangku untuk dihambur-hamburkan kepada taksi. Ongkos sekali naik taksi bisa digunakan untuk lima kali naik angkot, coba bayangkan. Mau tidak mau, akhirnya kuterima tawaran Aga, karena tidak ada tanda-tanda cowok itu mau pergi tanpa aku ikut dengannya.

Tepat seperti yang kupikirkan, Aga tidak langsung mengantarkanku ke rumah. Dengan alasan dingin, Aga membelokkan mobilnya ke halaman sebuah kafe dan mengajakku untuk mencari kopi hangat untuk mengatasi dinginnya udara malam ini. Sebenarnya aku sudah begitu merindukan kasurku yang empuk, juga sop ayam masakan Ibu yang hangat. Di luar semua itu aku juga tidak mau terlalu lama bersama pria ini. Aku termasuk orang yang susah memercayai orang lain. Namun, mengingat aku hanya menumpang, mau menolak kok rasanya agak tidak enak kalau aku memerintahkan orang yang sudah berbaik hati memberiku tumpangan untuk mempercepat perjalanan. Akhirnya aku hanya mengikuti saja apa mau Aga.

Sekarang di depanku ada secangkir latte yang mengepulkan uap panas. 

“Kamu seangkatan sama Sita?” tanya Aga membuka percakapan.

“Satu kelas malah.”

“Oh ya?” Aga melebarkan matanya. “Aku agak-agak heran ya, Sita punya teman cewek kayak kamu.”

Aku tertawa kecil. Aga adalah orang kesekian yang mengatakan hal itu kepadaku. Dan mungkin kepada Sita juga. Aku dan Sita, kalau diibaratkan warna, sudah pasti hitam dan putih. Terkadang malah ada yang mengatakan kalau kami ibarat malaikat dan setan. Orang suci dan orang terkutuk. Tentu saja aku orang suci dan Sita orang terkutuknya. 

Kata orang, aku adalah tipe gadis lemah lembut, gadis baik-baik yang hanya tahu jalan dari rumah ke sekolah, dan juga hanya tahu kegiatan-kegiatan di sekolah yang kata orangtua dan guru-guruku sebagai kegiatan positif. Sedangkan Sita, sahabatku itu mungkin sudah berulang kali mendapat surat peringatan dari sekolah karena keliarannya. Dunia malam, clubbing, rokok, minuman keras, bukan hal yang baru untuk Sita. Orang selalu memberiku wejangan dan peringatan bahwa berteman dengan Sita mungkin akan membuatku kacau juga. Namun, siapa yang peduli? Aku lebih mengenal Sita dibandingkan mereka. Selama aku dan Sita bisa hidup berdampingan sebagai sahabat baik, tanpa yang satu memengaruhi yang lain, tidak ada yang perlu dipikirkan. 

“Kamu kenal Sita di mana?” Aku balas bertanya. 

“Dia adik kelasku pas SMP. Dan pacar temenku juga. Kamu kenal Dimas?”

“Oh, ya,” aku mengangguk-angguk. “Dimas yang malaikat,” tambahku.

“Kamu juga katanya malaikat kan?”

Mendadak aku salah tingkah. Apa saja yang sudah Sita ceritakan tentangku kepada orang ini?

***

 

2012

“Jadi tadi gue nyari buku yang ditulis si Dion itu, Gi.” Sita membongkar isi plastik yang ditentengnya. “Tapi karena nggak ketemu, jadinya gue beli baju aja. Lucu nggak?” tanyanya tanpa dosa sambil menunjukkan sebuah mini dress dengan strap model spageti yang kurasa kekurangan bahan.

“Pengen tahu apa komentar Akbar kalo lihat lo pake baju itu,” jawabku. 

Sita tergelak. “Bego kalau lo mikir gue bakal make baju ini di depan Akbar.”

Tak cuma persahabatan, Sita juga memiliki selera yang aneh untuk urusan cowok. Stigma badboy lebih menarik tidak berlaku bagi Sita. Meski dia termasuk cewek yang bergaul secara bebas, Sita sering kali memilih cowok-cowok polos menjurus ke alim sebagai pacarnya. Mungkin Sita menyadari bahwa dia harus mencari pacar yang bisa mengontrolnya, yang bisa memarahinya, bukan yang sama brengseknya dengan dia sendiri. Sita selalu bilang, “Mau jadi apa gue kalo gue nyari cowok yang berengsek juga?”.

Aku menyetujuinya. 

“Ngomong-ngomong tadi lo kenapa sih, Gi? Tampang lo pucet banget pas keluar dari basement. Lo ketemu hantu? Katanya sih emang ada hantu cewek transparan gitu yang suka gentayangan di dalam.”

Hatiku mencelus. Aku sudah berusaha keras untuk melupakan kejadian di basement tadi, menganggap aku tidak pernah bertemu orang itu di dalam sana, eh, sekarang Sita malah membuatku teringat kejadian tadi lagi. Well … Sitatidak sepenuhnya salah. Karena faktanya, aku memang tidak benar-benar bisa melupakan kejadian itu. Sita hanya memaksaku mengakui apa yang mati-matian kusangkal. Lagi pula, bertemu dengan orang yang sama, dua kali dalam waktu dua puluh empat jam, memangnya aku bisa semudah itu melupakan?

“Gue ketemu Aga.”

Mini dress di tangan Sita langsung luruh ke pangkuannya. Sementara orangnya menatapku dengan mata terbelalak lebar, tidak percaya. 

“Bohong lo,” katanya tak percaya. 

Aku menggeleng. Andai saja aku memang berbohong.

“Aga yang … itu?” tanya Sita memastikan. 

“Emang ada berapa Aga sih yang gue kenal?” aku balas bertanya. “Iya, Aga temen lo.”

“Di dalam? Di basement sana?”

Aku mengangguk. “Juga semalam waktu gue nonton konser sama Arya. Kalau sampai ketemu sekali lagi, udah kayak jadwal minum amoxicillin.”

Sita mengerjapkan matanya. Lalu ia bergegas melipat gaunnya sembarangan, dan memasukkannya dalam plastik. “Kayak gimana doi sekarang?”

Dia lebih tampan dari yang terakhir kali kuingat. “Sama aja sih,” jawabku berbohong. “Seperti Aga yang selama ini gue kenal.”

“Kok dia ada di sini, ya?”

Terakhir kali aku bertemu cowok tadi, adalah di sebuah kota yang jauh dari tempatku tinggal sekarang. Tidak jauh-jauh amat sih, tapi, yah, bisa dibilang jauh.

“Setelah berapa tahun, Gi, lo ketemu dia lagi?”

Aku menghela napas. “Empat tahun.”

***

 

2006

“Cieeeee!” teriak Sita tepat di telingaku, membuat telingaku berdengung dan aku harus menggosok-gosoknya untuk menghilangkan dengungnya.

"Apaan sih, Sit? Kalau gue kena gangguan pendengaran, lo yang tanggung jawab, ya!”

Sita tertawa lebar. 

“Kok diam-diam aja, sih?” tanyanya. “Kemarin aja gue kenalin sok ogah-ogah! Eh, tahu-tahu jadiaaan!”

Wajahku langsung memerah. “Enggaaaaaakk! Siapa yang jadian sih? Jadian apaan?”

“Emang nggak jadian?”

“Belum.”

Sita tertawa lebar dan melemparkan plastik berisi roti ke arah wajahku, yang bisa kutangkap dengan mudah. 

“Tapi lo udah tahu kan, Gi?”

Aku mengerutkan dahi. “Soal?”

Sita ikut-ikutan mengerutkan dahi. “Oh, belum bilang doi? Aga udah dijodohin sama keluarganya.”

***

 

2012

“Kangen ya lo, sama dia?” Sita bertanya dengan nada usil.

Aku buru-buru menggeleng, tetapi tanpa bisa kucegah wajahku jadi memerah. Bodoh kalau Sita sampai tidak menangkap kebohonganku kali ini.

***

 

2006

Jika hidupnya sudah ditentukan, lalu apa maksudnya mendekatiku?

Sudah satu jam aku duduk di depan meja belajar yang terletak di pinggir jendela kamar, dengan buku-buku yang berserakan di meja, dan pensil 2B yang ujungnya sudah geripis karena seringnya kugigiti.

Tadinya aku berencana mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Dengan suasana langit malam yang cerah dan angin yang bertiup semilir dari jendela kamarku yang berada di lantai dua. Kupikir suasana yang mendukung ini akan mempermudah aku mengerjakan tugas tentang kalimat majemuk. Namun ternyata, nama Aga terselip di pikiranku. Hanya sekilas, lalu konsentrasiku buyar. Susunan kalimat majemuk digantikan oleh kalimat-kalimat Sita tadi siang. Kini suasana menjadi benar-benar mendukung untuk melamun.

Aku terkejut ketika ponselku berdering, menampilkan nama dari orang yang satu jam ini kupikirkan. Ini bukan pertama kalinya Aga menelepon. Sejak dia mengantarku pulang kapan itu, dan ternyata dia nggak seburuk yang kubayangkan sebelumnya, kami lumayan sering ngobrol. Kami bahkan sudah sempat pergi berdua untuk nonton film dan sekadar nongkrong di kafe sepulang sekolah. Namun, baru kali ini aku berdebar ketika melihat namanya di layar ponselku. Debar antara aku senang dia menelepon, dan juga karena aku kesal serta malas meladeninya. Malas, setelah aku tahu bahwa dia sudah dijodohkan.

Setelah panggilannya kubiarkan berubah menjadi missed call, Aga menelepon sekali lagi. Mau apa sih dia sebenarnya? Namun, aku tidak bisa mengabaikannya lagi. Dengan decakan malas, segera kutekan tombol hijau.  

“Lama banget!” komentar Aga di seberang begitu aku mengatakan halo. "Lagi apa sih?"

“Toilet,” jawabku berbohong. “Ada apa?”

Aga terdiam sebentar, lantas ia tertawa kecil. “Wah, kayaknya udah lama nih aku nggak ditanya ada apa pas telepon kamu. Kok tumben? Lagi sibuk ya, Gia?”

Memangnya buat apa aku meluangkan waktu untuk orang yang mungkin hanya berniat main-main denganku? Menghabiskan waktu sembari menunggu jodoh yang ditentukan keluarganya tiba?

“Ya nggak juga sih,” jawabku pendek.

“Ngomong-ngomong soal tadi sore, maaf, ya? Aku beneran ada acara mendadak.”

“Oh. Nggak apa-apa kok,” jawabku. Sore tadi seharusnya kami janjian nonton film, tetapi Aga membatalkannya di detik-detik terakhir .“Emang tadi ada acara apa kamu?”

“Bokap,” jawab Aga singkat. “Rese banget.”

"Ohh …” aku ber-Oh pendek lagi. “Soal perjodohan bukan?”

Hening. Aga tidak segera menjawab. Aku lagi-lagi nyengir kecut. Menyesali pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Bukannya aku merasa lancang menanyakan apa yang bukan urusanku, tetapi karena respons Aga ini membuatku yakin bahwa apa yang dikatakan Sita benar.

“Sita, ya?” tebak Aga. Aku mengangguk, sadar kalau Aga tidak bisa melihat anggukannya, tapi aku terlalu kesal untuk peduli. “Sial tuh anak!” Aga tertawa kecil. “Iya, aku emang udah dijodohin, kalau kamu mau nanyain itu. Sama anak temen bokap, anak rekan bisnisnya.”

Jadi, apa niatnya padaku? Mengapa dia melakukan semua ini? Mendekati dengan manis, memberinya harapan, dan membuatku gelisah nyaris gila memikirkan semuanya. Bagus. Sekarang dia membuatku benar-benar merasa bodoh. Si bodoh yang sedang dibodohi

“Asyik, ya? Kamu nggak perlu repot-repot cari pacar,”  kataku dengan nada menyindir. “Aku tebak, pasti dia cantik?” 

Lebih cantik daripada aku kan, ya? Iya, kan? Sialan, kan? Sialan deh.

“Ya, cantik. Kan dia cewek. Kalau ganteng, berarti dia cowok dong.” 

Garing, dengkusku semakin kesal. 

“Yah, intinya, sebenarnya aku nggak setuju sama perjodohan itu. Ya kali? Ini kan udah bukan zaman kerajaan. Masih zaman dijodoh-dijodohin?”

“Oh gitu.”

“Bokap ngamuk waktu aku menolak perjodohan itu. Katanya, aku anak yang nggak tahu diri. Nggak berbakti.” Terdengar Aga menghela napas. “Tapi, apa boleh buat? Aku sama sekali nggak punya perasaan sama cewek itu. Yah, dia cantik. Kamu bener kok, dia emang cantik. Tapi, ya itu tadi, cantik aja nggak cukup, kalau kita ngomongin perasaan. Ya nggak?”

“Wah, entah deh. Segala hal kan bisa terjadi dua menit ke depan. Kita nggak pernah tahu, Ga. Jadi, mendingan jangan sombong.”

Aga tertawa kecil. “Gitu ya? Oke, kita lihat apa yang akan terjadi dua menit ke depan.”

“Oke.”

“Anggia.”

“Apa?”

“Bentar lagi pulsaku habis.”

“Ya udah, tutup aja teleponnya.”

“Bentar. Kamu nggak pengin tahu kenapa aku nyeritain soal tadi ke kamu? Padahal kalau dipikir-pikir, buat apa juga aku cerita soal itu ke kamu, ya?”

Aku menelan ludah. 

“Kamu nggak pengin tahu apa yang akan terjadi dua menit ke depan?”

Lagi-lagi aku menelan ludah, mendapat pertanyaan yang bertubi-tubi dari Aga. Sementara itu, nada peringatan pulsa Aga yang mendekati habis sudah mulai terdengar.

“Gi, teleponnya udah mau mati.”

“Ng…”

Terdengar nada peringatan lagi.

“Aku repot-repot menjelaskan, karena kamu emang harus mendengar penjelasanku. Supaya kamu nggak mikir macam-macam.”

Peringatan ketiga.

“Karena aku penginnya sama kamu, Gia.”

Telepon terputus.

***

 

2012

“Ngomong apa aja dia?” tanya Sita.

Aku mengaduk-aduk jus alpukatku dengan malas. “Nggak ada. Nggak sempet nyapa. Gue buru-buru kabur.”

Sita berdecak mencemooh. Mungkin dia menganggapku pengecut yang tidak sanggup menghadapi masa laluku. Atau sebenarnya dia mencemooh Aga yang tidak berusaha apa-apa untuk bicara padaku. Astaga. Memang begitu kan? Dua kali pertemuan kami, Aga hanya diam ketika melihatku. Tidak berusaha menyapa apalagi mengejar. Hei, apa dia bahkan tidak ingin minta maaf tentang perbuatannya dulu?

“Tapi dia masih ingat sama lo, kan?”

Dia bahkan menyebutkan namaku. 

Sita memaki pelan. “Sinetron banget!”

Aku mengangguk. Menyetujuinya. Kupikir, cerita seperti yang kualami dengan Aga itu hanya terjadi di dalam sinetron saja. Tapi, yah, memangnya apa bedanya hidup ini dengan sinetron? Sama saja. Penuh drama dan terkadang lebay. Bedanya mungkin bahwa dalam hidup, alur cerita sulit tertebak, dan tidak ada jeda iklan. 

***

 

2006

Layar ponselku yang menampilkan call duration kini terlihat begitu ganjil. Apa yang baru saja dikatakan Aga, seperti terpampang tidak sempurna. Sepertinya barusan aku mendengar Aga mengatakan dia ingin bersamaku? Atau apa? Kalau benar, maksudnya bersama dalam hal apa? Atau jangan-jangan dia hanya menanyakan kabarku saja? Di udara sedingin ini, siapa tahu pendengaranku terganggu. 

Tapi … masa iya dia menyatakan cinta padaku? Ah, pasti cuma salah dengar. Pasti. Sudahlah, Giaaaaa! Lupakan! Dia sudah dijodohkan! Apalagi yang kamu harapkan coba? Bodoh!

Baru saja aku beranjak untuk menutup jendela kamar karena udara semakin dingin, mataku menangkap lambaian tangan seseorang dari bawah. Dari balik pagar rumah. Siluetnya yang tinggi menjulang, terlihat akrab. 

“Lho, Aga …?” gumamku tak percaya.

Pertanyaanku terjawab dengan sebuah seruan kecil memanggil namaku dari orang yang berdiri di bawah sana. Astaga. Itu memang Aga.

Mengabaikan jendelaku yang masih terbuka, aku buru-buru menuruni tangga dan keluar menemui Aga.

“Hai!” Aga tersenyum lebar. Aku seperti melayang. Berkali-kali aku melihat sanyum Aga, tapi rasanya ini yang paling indah. Indah karena bermacam-macam alasan. Termasuk karena aku sedang kesal kepadanya.

“Kamu—”

“Iya,” jawab Aga buru-buru, seperti bisa membaca pikiranku. “Dari tadi itu aku ada disini. Tuh, di situ,” tunjuknya pada warung yang berada di depan rumah. “Aku juga lihat kamu duduk di pinggir jendela. Lagi belajar, ya?” Senyuman jahil tercetak di wajahnya.

“Ng…” Aku salah tingkah sendiri. Demi Tuhan, seumur-umur, baru kali ini aku salah tingkah berhadapan dengan seorang cowok.

“Tapi aku nggak lihat kamu sempet ke toilet tadi?”

Aku nyengir lebar, semakin salah tingkah. Pasti kebohongan kecilku tadi kini menjadi teramat sangat tolol di mata Aga.

Seperti menyadari bahwa aku salah tingkah, Aga tersenyum kecil. “Mau nanyain yang tadi?” tanyanya. “Ya itu, yang terjadi di lima menit yang lalu.”

“Itu serius … eh … maksudnya ….”

“Iyalah. Aku selalu serius, kan?”

“Jadi?”

“Perlu aku perjelas lagi? Aku sayang sama kamu, Anggia. Mau jadi pacar aku?”

***


 

Bab 4 - Pertemuan Ketiga

2012

Sita benar. Kuis Pak Sigit adalah nerakanya kuliah di semester lima ini. Aku tidak tahu bagaimana nasib Arya yang telah melewatkan kuis maha penting ini demi acaranya ke gunung yang juga maha penting baginya. Bukan hal yang patut ditiru, tetapi bagi Arya, akademik adalah persoalan ke sekian di daftar prioritasnya. Apalagi kalau dipertentangkan dengan rencana pendakian. Tidak akan butuh waktu lama atau pertimbangan macam-macam untuk Arya memilih yang mana.

“Perpus, yuk?” Sita menepuk pundakku.

Aku langsung menoleh, dan mengerutkan dahi. Setelah toko buku, sekarang perpustakaan? Bertahun-tahun berteman dengan Sita, baru kali ini dia mengajakku ke perpustakaan. Sita lebih pantas menjadi cewek yang suka nongkrong di kantin seharian sambil merokok daripada sebagai cewek yang diam di perpus, sibuk dengan bukunya, walau hanya sepuluh menit.

“Akbar nungguin gue di sana.”

“Oh.”

Tidak heran. Ada Akbar. Sita bukan mau ke perpus, tapi mau ke Akbar.

Aku selalu suka menonton Sita dan Akbar pacaran. Menurutku, mereka agak aneh. Mungkin tidak aneh juga bagi orang lain. Hanya saja, karena aku tahu background keduanya, kesan aneh dan lucu itu selalu tertangkap di benakku. Ketika sedang bersama Akbar, Sita berubah menjadi cewek penurut yang lugu dan sedikit terlalu manja. Jauh berbeda dengan Sita ketika hanya bersamaku saja. Akbar selalu bisa memaksa Sita menjadi sosok yang berbeda, walau Akbar sendiri tidak pernah memintanya. Mungkin karena Sita begitu menghargai Akbar atau apa entahlah. 

Aku selalu menyukai konsep ini. Bahwa, semua manusia pada dasarnya berbeda. Seperti Sita dan Akbar yang jelas-jelas dilihat dari mana pun adalah dua karakter yang jauh berbeda. Sebanyak apa pun kadar persamaan antara dua manusia, tetap saja mereka berbeda. Sebab setiap dari kita punya pikiran sendiri-sendiri, dan pikiran itu tidak mungkin sama persis. 

Syair-syair lagu yang mengatakan bahwa dengan cinta, maka akan menyatukan dua orang yang berbeda, itu tidak cukup logis bagiku. Selamanya kita adalah dua, dan tidak akan tereduksi menjadi satu. Namun dua, juga bukan alasan untuk saling menjauh dan menyakiti. Di situlah keistimewaannya. Cinta dan sebuah hubungan bukan persoalan tentang bagaimana menyatukan dua pikiran-pikiran yang berbeda, melainkan lebih kepada bagaimana membuat pikiran-pikiran yang berbeda itu bisa berjalan beriringan. 

Seperti aku dan Arya. Atau Sita dan Akbar. Kami begitu berbeda, tetapi tidak ada masalah dalam menjalani kebersamaan kami. Maka aku menyebutnya cinta. Kalau tidak begitu, mungkin itu bukan cinta. Mungkin saja itu hanyalah sebuah kedok dari nafsu untuk saling mendominasi satu sama lainnya.

Di perpustakaan, ketika Sita dan Akbar sedang bercengkerama, aku menyibukkan diri dengan mencari-cari novel klasik yang bisa kubaca. Aku perlu menjernihkan otakku setelah digempur oleh kuis yang nyaris tidak kuketahui setengah dari jawabannya tadi.

Aku cukup menyukai perpustakaan. Hanya saja, perpus di kampus ini sangat jarang kusinggahi. Selama hampir dua tahun kuliah, mungkin tidak sampai sepuluh kali aku ke perpustakaan. Bukan karena aku tidak suka membaca buku, tetapi karena perpustakaan di kampusku ini lebih tepat disebut sebagai toko buku bekas yang biasanya ada di sekitar stasiun daripada perpustakaan kampus swasta yang cukup bergengsi. Berantakan. AC-nya lebih pantas disebut sebagai pemanas ruangan daripada pendingin ruangan. Buku-bukunya berantakan tidak jelas tempat dan sub temanya. Mungkin hanya anak-anak menjelang skripsi saja yang mau tidak mau harus mau mengabiskan waktu di perpustakaan ini. Seperti si Akbar itu misalnya. Arya juga sedang menyiapkan skripsi. Namun, dia tidak pernah bersusah payah menyiksa paru-parunya di perpustakaan. Dia lebih suka bertanya langsung kepada dosen, atau berdiskusi dengan siapa pun yang bisa diajak berdiskusi. Buku, dan perpustakaan, adalah pilihan terakhir bagi Arya untuk mengetahui sesuatu.

“Hai, Gi.” 

Saat aku tengah melihat-lihat rak novel, seseorang menyapaku. Aku berbalik, dan menemukan seorang perempuan berpakaian feminin yang tersenyum ramah. 

“Hai, Des,” aku balas menyapanya. 

Namanya Desita. Ia satu angkatan dengan Arya. Di kampus, sudah menjadi rahasia umum bahwa Desita adalah penyuka sesama jenis. Sepertinya, Desita juga tidak terlalu berusaha untuk menyembunyikan orientasi seksualnya. 

Aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Maksudku, aku memahami bahwa ada banyak hal yang berbeda di dunia ini, termasuk orientasi seksual. Berbeda juga bukan berarti tidak normal. Bukan hanya Desita, aku mengenal beberapa orang lain di sekitarku yang juga memiliki pilihan hidup yang berbeda. Apalagi Desita juga selalu ramah dan baik padaku. Kebetulan, dia dan Arya juga bersahabat baik. Saking ramah dan baiknya, nggak bisa dimungkiri kadang-kadang aku curiga bahwa ada maksud tersembunyi di balik semua itu. Apa mungkin Desita menyukaiku?

Aku pernah mengutarakan kecurigaan ini pada Arya, dan cowok itu hanya menanggapinya dengan santai. Menurut Arya, kalau Desita menyukaiku itu wajar, karena Arya mengerti bagaimana perasaan itu. Kata-kata Arya waktu itu cukup rumit, tapi bisa kusederhanakan dengan satu kalimat: Arya dan Desita memandangku dengan kacamata yang sama. Arya bisa memahami perasaan Desita, karena perasaan mereka kepadaku sama. 

“Kalau cuma sebatas perasaan kan nggak masalah, Gia. Namanya juga rasa, siapa yang bisa nyalahin? Kita bebas jatuh cinta pada siapa pun di dunia ini, kan? Kamu aja boleh-boleh aja tuh jatuh cinta sama … siapa tuh? Yang member-nya Super Junior? Yah itulah pokoknya. Yang penting dia nggak berbuat yang aneh-aneh. Dan kalau dia berbuat aneh-aneh, misalkan ngajakin ini dan itu atau nunjukin gestur-gestur yang bikin kamu nggak nyaman, kamu harus speak up.”

“Speak up?” tanyaku waktu itu, kurang paham.

“Ya bilang kalau kamu nggak mau. Nggak nyaman. Jangan takut atau merasa nggak enak, kamu sangat-sangat berhak untuk bilang ‘nggak’. Ini aku nggak cuma ngomongin soal Desita, lho.” Arya menyugar rambutnya. “Soal banyak hal, cowok-cowok lain misalnya. Termasuk aku juga. Kalau ada sikapku atau permintaanku yang nggak kamu suka, you have to say no. Oke?”

Atas ceramahnya padaku itu, Sita yang saat itu kebetulan ada di dekat kami, langsung memberikan Arya standing applaush. Sita bilang, “Kalau kalian nggak pacaran, gue bakalan pacarin lo, Ar.” 

Sita memang gila. 

Kembali ke masa kini, Desita menghampiriku dengan senyum lebarnya yang terkembang sempurna.

“Cari apa?” tanyaku basa-basi.

“Bahan skripsi. Kamu sendirian, Gi?” tanyanya, mencari-cari sosok di sekitarku. Mungkin dia mencari Arya. Mungkin Sita. Entahlah. 

“Nggak. Sama Sita.”

Desita ber-oh pendek, lalu menanyakan Arya ke mana. 

“Biasa. Lagi ngedaki gunung dia,” jawabku. “Ke Bromo.”

“Oh. Pasti lama, ya? Sampai kapan?”

“Kamis.”

“Kamu kesepian dong? Nggak tahu diri banget sih tuh orang, hobi kok ninggalin pacar.” Desita tersenyum. “Omong-omong, aku ngadain acara malam ini,  di kafe aku. Kamu boleh datang, kok. Daripada nggak ada kerjaan dan mikirin Arya mulu. Mendingan datang ke acara aku, ya?”

Aku meringis. “Duh, Kak. Nggak deh, aku kan nggak kenal siapa-siapa.”

“Lho, kan kenal aku? Aku bakal temenin kamu deh.”

Aku meringis lagi. “Next time aja kalau Arya lagi di kota ini. Tapi thanks, Kak, atas undangannya.”

Desita tersenyum, dan untung saja dia tidak memaksa. Desita hanya mengiakan dan berkata akan menagih janjiku kapan-kapan untuk datang ke kafenya bersama Arya.

“Kak Desita sendirian aja?” tanyaku.

“Nggak. Sebenernya aku juga cuma nemenin temen aja yang butuh nyari buku. Dia bukan dari kampus ini.”

Kali ini aku ber-oh panjang, dan segera berpamitan untuk kembali ke Sita. Desita tidak menahanku, karena ia juga harus mencari temannya. Takut temannya tersesat di perpustakaan yang penuh sesak ini.

“Kenapa lo? Pucat gitu?” tanya Akbar.

Aku mengatur napasku yang ngos-ngosan. “Ketemu Desita.”

Sontak Sita dan Akbar tertawa lebar. Bagi mereka, fakta bahwa aku dikejar-kejar cewek adalah sesuatu yang sangat lucu. Lucu sekali. 

“Gue rasa tampang lo emang tampang-tampang cewek lesbi deh, Gi. Udah, terima aja tuh Desita. Lumayan, buat temen kalau Arya nggak ada.”

Aku menjawab sindiran Sita dengan lemparan novel klasik berat. Nyaris mengenai mukanya sebelum Akbar menangkapnya dengan sukses, menyelamatkan pacarnya dari luka di wajah akibat buku itu. Sita masih saja tertawa-tawa.

“Gi, tuh.” Akbar mengedikkan dagu ke arah belakangku. 

Aku mengerang bosan. “Jangan bilang dia ikut ke sini?”

Akbar mengangguk. Ada seringai geli di sudut bibirnya. Namun, justru ekspresi Sita yang membuatku heran. Dia membelalakkan mata, seolah baru pertama kali melihat Desita, setelahnya, dia menatapku aneh. Aku mengangkat alis dengan pandangan bertanya. Sita mengedikkan dagu ke belakang punggungku, sebelum kemudian menyapa seseorang dengan nada riang. Atau dibuat seriang mungkin.

“Aga! Lo Aga, kan?! Aga, kan? Ya Tuhan! Mimpi apa gue ketemu lo di sini?!”

Kupikir aku sedang berhalusinasi saja, membayangkan kalau Sita sedang memanggil-manggil Aga atau semacamnya. Lalu aku menoleh, melihat apa yang membuat Sita sedemikian heboh. Sontak … napasku seperti tertahan. Di sisi lain, jantungku mendadak menggila. Mataku terpaku pada sosok yang berjalan di sebelah Desita, menenteng tas hitam dan sebuah buku tebal.

Sosok yang kupandang menjatuhkan pandangannya dari Sita kepadaku. Dan tidak perlu lah mendeskripsikan bagaimana raut mukanya, kurasa ekspresinya sama dengan ekspresiku tadi. 

Semuanya seperti melayang. Melayang, mengabur, lalu tidak nampak apa-apa, kecuali wajah Aga di depanku.

***

 

2006

“Aku mau bilang sama bokap.” 

Aku mengangkat wajahku dari halaman buku yang sedang kubaca, dan langsung menemukan wajah Aga yang menatapku, seperti meminta pertimbangan. Kututup novel remaja di tanganku.

 “Serius?” Aku bertanya.

Aga mengangguk.

Dahiku berkerut sebentar, lalu kemudian aku menggelengkan kepala. “Jangan dulu.”

“Kenapa?”

“Pokoknya jangan. Aku nggak mau kamu ribut sama papa kamu.”

Aga berdecak. “Ini bukan pertama kalinya aku ribut sama bokap. Santai aja. Udah biasa kok. Lagian …”

Kalimat Aga terhenti ketika ponsel di saku celana jinsnya bergetar. Aga mengambilnya, dan langsung berdecak kesal setelah melihat caller id yang tertera di layar ponselnya. Berikutnya dia menyerahkan ponsel itu kepadaku, yang hanya menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Angkat, deh. Dari Jani.”

Jani adalah nama cewek yang dijodohkan dengan Aga. Aku menerimanya dengan ragu-ragu. Aga mengangkat alis, seperti memberikan tantangan kepadanku. Berani nggak? Begitulah mata Aga berbicara. Tanpa berpikir panjang, aku nyengir lebar dan menerima ponsel Aga untuk menjawab telepon Jani. Seperti yang kuduga, Jani langsung bertanya siapa aku, dan kenapa aku yang menjawab telepon Aga. Sekalem mungkin, kukatakan padanya bahwa aku adalah kekasih Aga, dan Aga sedang ada di sebelahku tetapi sedang tidak ingin berbincang dengannya. Di sebelahku, Aga tertawa tanpa suara. Suara Jani yang tadinya masih sopan, langsung berubah ketus, dan meminta untuk bicara dengan Aga. Masih dengan tawa geli, Aga menerima ponsel itu, dan menjawab sendiri pertanyaan Jani yang bertubi-tubi. Aga membenarkan bahwa aku memang pacarnya. Kini giliranku yang tertawa tanpa suara.

Tidak berapa lama, pembicaraan itu berakhir. Aga mengerutkan dahi menatap layar ponselnya. Tampaknya Jani memutuskan pembicaraan secara sepihak. Lalu Aga menyeringai kecil, dan menatapku.

“Kayaknya, aku nggak perlu ngomong sama bokap lagi,” katanya. “Jani yang bakal ngomong.”

***

 

2012

Sebuah tendangan di tulang keringku, mengembalikanku ke realita. Ke hadapan Aga yang masih berdiri kaku di sebelah Desita yang memandangku penuh minat, juga di antara Sita yang masih saja sok heboh menyambut teman lamanya yang sudah lama tidak ditemuinya itu.

Aku mengerjapkan mata. Lalu beringsut sedikit untuk membereskan barang-barangku. Aku berniat pergi, menjauh dari sana, tapi suara Aga menahanku.

“Kita ketemu lagi, Anggia,” katanya. 

Aku menatapnya sekilas dengan salah tingkah, dan memutuskan untuk segera pergi alih-alih menjawab pertanyaan Aga. Aku hanya melirik Sita, berusaha berkomunikasi melalui mata, Sita mengangguk, dan akhirnya aku meninggalkan perpustakaan tanpa sedikit pun mengeluarkan suara untuk menyapa Aga. Ataupun Desita.

Sialnya, aku meninggalkan kunci mobil Sita di dalam. Aku tidak bisa segera meninggalkan kampus seperti rencanaku. Dan ternyata Aga bergerak lebih cepat dari yang kubayangkan. Tahu-tahu dia sudah berdiri di sampingku.

“Mau ke mana?” tanyanya yang menyentakkanku, dan menyadarkanku tentang keberadaannya. “Buru-buru?”

Aku mengangguk.

“Sibuk? Atau cuma menghindar aja?”

Aku mendongak menatapnya. “Gue nggak pengen ketemu sama lo.”

Aga menyunggingkan senyum. “Aku tahu kok. Tiga kali pertemuan kita kamu selalu menghindar, kan?” tanyanya. “Tapi setelah tiga hari kita terus-terusan ketemu nggak sengaja, apa kamu masih berniat nyuekin pertandanya?”

Lah, menghindar? Dia bilang aku selalu berusaha menghindar? Seingatku, di dua pertemuan sebelumnya tidak ada interaksi apa-apa di antara kami dan Aga juga tidak terlihat ingin berinteraksi.

“Pertanda apa sih? Lo ini lagi ngomongin apa?” 

Aku berniat untuk meninggalkannya, tapi Aga menahan tanganku“Tuhan mengatur pertemuan kita. Kamu tahu pasti, ada yang belum selesai di antara kita.”

“Oh, gitu?” Aku menyentakkan tangan Aga. “Menurut lo, ya? Kalau menurut gue, kita udah kelar dari lama. Udah ah! Gue duluan. Dah!”

***

 

2006

“Dasar anak nggak tahu diri! Anak nggak tahu diuntung!”

“Aku nggak suka sama Jani, Pa! Ini hidupku! Aku punya hak atas hidupku sendiri!”

Bugh! Bugh! 

Pukulan demi pukulan mendarat di wajah Aga, membuat cowok itu terhuyung-huyung jatuh.

Di sudut lingkaran, aku hanya terpaku menatap kejadian di depan mataku. Suaraku hilang ditelan rasa terkejut dan tidak percaya. Aku ingin berteriak, ingin melarang laki-laki itu menghajar Aga, tetapi yang kulakukan hanya berdiri kaku memilin-milin jari dengan wajah pucat pasi. Di hadapanku, Aga terbungkuk-bungkuk kesakitan, sambil memegangi pipinya. Betapa aku ingin menghampiri Aga dan mengusap luka-lukanya. Namun, kedua kakiku terpancang di lantai. Tidak bisa bergerak, kalah dengan debar di jantungku. Di depan Aga, seorang laki-laki tinggi besar sedang murka. Laki-laki itulah yang tadi melayangkan tangannya, menampar pipi Aga entah berapa kali. Laki-laki yang juga Ayah Aga itu terlihat terperanjat melihat hasil dari perbuatannya kepada anaknya. Ada darah mengalir dari sudut bibir Aga. 

Rasa tidak berguna menyelimuti hatiku ketika aku hanya bisa menjadi penonton saja. Menyaksikan kekasihku dihajar habis-habisan.

“Maaf … tapi aku nggak bisa nurutin Papa kali ini,” Aga berkata pelan. “Aku punya Gia. Aku nggak pengin apa-apa lagi.”

***

 

2012

Napasku masih terasa berat, walau sekarang aku sudah berada di suatu tempat, yang tidak mungkin akan dicapai oleh Aga. Kalaupun dia berhasil mencapainya, dia tidak akan berani memasukinya. Aku sedang berada di dalam toilet perempuan di kawasan perpustakaan, bersama beberapa orang yang melirikku aneh karena wajahku yang pucat pasi. Seseorang bahkan sudah bertanya apakah aku baik-baik saja.

Aku gelisah dan belingsatan tidak karuan. Bahkan jantungku masih berdetak lebih kencang daripada yang seharusnya. Pertemuan sekaligus pembicaraan dengan Aga untuk pertama kalinya setelah empat tahun terakhir tadi, benar-benar menguras enerjiku. Terlebih, aku harus menahan diri habis-habisan semua perasaan yang kupendam kepadanya selama ini. Itulah bagian yang paling sulit. 

Aku mengambil air untuk mencuci muka dan mengambil napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Setelah sedikit lebih tenang, aku mancari-cari ponsel yang tadi kulempar begitu saja ke dasar tasku. Aku selalu mencari suara Arya setiap kali membutuhkan sesuatu untuk menenangkan diri. Ada sesuatu dari Arya, walau hanya sekedar suaranya, yang selalu saja bisa menenangkanku. Mungkin dalam tubuh Arya itu ada zat psikotropika yang bisa memberikan ketenangan. Dan tentu saja, aku sudah kecanduan zat itu.

Agak lama, sebelum akhirnya Arya menjawab panggilanku, dengan backsound suara-suara yang sangat gaduh. 

“Ya?” tanya Arya bahkan tanpa menyapa terlebih dahulu. Nada suaranya terdengar begitu sibuk.

“Gitu banget sih jawabnya? Nggak suka, aku telepon?” tanyaku sewot. Emosiku sedang tidak stabil. Seharusnya Arya bisa membaca itu. Ya, dia pasti bisa membaca itu jika dia ada di sini sekarang.

Arya berdecak beberapa kali. “Wah, kenapa lagi ini? Sensi banget? Iya, kenapa sayang? Ada apa kamu telepon siang-siang begini? Lagi banyak pulsa kah? Biasanya SMS-an aja nunggu dapat bonusan dulu? Apa lagi punya banyak bonusan telepon? Oh, lagi kangen, ya? Iya, aku tahu kok. Sabar, ya, Rabu aku sampai di Jakarta lagi. Maju sehari, demi kamu nih!”

Lantas begitu saja, aku yang tadi panik setengah mati, kini nyengir lebar.

Aku sering berpikir negatif bahwa Arya mempunyai kepribadian ganda. Siapa pun tidak akan ada yang membantahku kalau aku mengatakan Arya adalah seorang cowok gunung yang serampangan, kadang juga berangasan, berantakan, kasar, juga liar. Namun, orang-orang terdekatku juga tidak akan ada yang protes kalau aku mengatakan Arya sebagai pacar yang sempurna. Yang suaranya selalu melembut setiap kali sedang bicara denganku. Yang akan langsung membuang rokoknya saat aku datang walau rokok itu baru diisapnya sekali. Yang setia menungguku saat aku harus rapat BEM atau sedang kuliah sampai sore. Yang hanya akan diam kalau dia sedang marah padaku tapi akan langsung mengamuk dan menantang berkelahi kalau marah kepada orang lain. Berhadapan dengannya membuatku merasa begitu spesial.

“Masih di situ? Diem-diem itu pulsa jalan terus, tuh.”

Aku tertawa kecil. Hatiku sedikit lebih tenang. Bicara dengan Arya, walau dia tidak memberikan saran-saran yang hebat dan solusi yang luar biasa, sudah cukup membuatku merasa baik-baik saja.

“Kamu lagi ngapain?” tanyaku.

“Persiapan naik, nih.”

“Oh gitu. Hati-hati, ya. Jadi pulang Rabu?”

“Kenapa? Kagen, kamu?”

“Iya. Buruan pulang, ya? Aku nggak sabar ketemu kamu lagi,” jawabku akhirnya. Sedikit mengernyit, karena sok romantis seperti ini bukan gayaku. 

Hening sebentar. 

“Ada apa?” tanya Arya kemudian.

Refleks aku menepuk dahi. Bersikap sok romantis dan sok manja kepada Arya bukan tindakan yang tepat. Itu bukan aku yang biasa, Arya tahu itu. Pasti ada sesuatu yang menggangguku, Arya juga tahu itu. Sial.

“Nggak ada apa-apa sih. Beda aja nggak ada kamu,” jawabku sambil memijat-mijat kening mengutuki kebodohanku.

“Yakin? Aneh tahu, kalau kamu jadi manja gini?”

-Bersambung-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rendezvous
Selanjutnya RENDEZVOUS (Bab 5-6)
70
5
RENDEZVOUS Bab 4-5 Di dua bab ini kalian akan mengetahui apa saja yang terjadi di masa lalu Gia dan Aga, serta kenapa Gia benci banget sama Aga. Eh, benci-benci tapi kangen kali ya ;p
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan