Parafrasa Rasa #1

231
8
Deskripsi

PENTING

  • Parafrasa Rasa akan tayang di dua platform: Karyakarsa (berbayar) dan Wattpad (gratis)
  • Di Karyakarsa kamu bisa membaca Parafrasa Rasa duluan. Dalam minggu ini, aku akan mengunggah prolog + bab 1-4  Parafrasa Rasa di KaryaKarsa. Sedangkan di Wattpad akan mulai diunggah prolog + bab 1. Untuk selanjutnya, Parafrasa Rasa akan update seminggu sekali pada akhir pekan (antara Jumat-Minggu, tergantung mana yang paling selow), baik di Karyakarsa maupun di Wattpad. Jadi beda ya, guys, update babnya....

 

Prolog

 

PERGELANGAN TANGANNYA berwarna biru.

Satu per satu kenangan itu terkuak, seturut munculnya sesal bergolak, juga perasaan bodoh yang begitu membuncah. Seharusnya tidak seperti ini, pikirnya. Seharusnya dirinya sudah tahu, tambahnya lagi.

Dayu masih ingat jelas awal dari ini semua. Hanya saat itu, dia tidak berpikir ujungnya akan sebegini jauhnya. 

Ada yang menikah karena sudah bertemu pasangan tepat. Ada yang menikah karena umur dan lelah didesak oleh orang-orang di sekitar. Ada yang menikah karena keharusan—sebuah kondisi yang terjadi akibat keegoisan dan hasrat menguasai manusia. Ada yang menikah karena tidak ingin dianggap tak laku. Semua orang punya alasan atas keputusan yang dia ambil dalam hidup, termasuk keputusan Dayu untuk tidak terlibat hubungan romantis apa pun dengan siapa pun. 

Dayu  tidak paham  mengapa  pilihannya membuat  semua orang  resah.  Membuat semua  orang  berlomba-lomba  untuk membujuknya berubah pikiran, dan meyakinkannya bahwa sendiri bukanlah hidup yang menyenangkan. Ketidakpedulian itu, bagaimanapun, ada titik jenuhnya. Lama kelamaan dia jadi lelah dengan segala komentar dan desakan—bukankah ada hal-hal lain yang lebih mendesak untuk dia pikirkan?

Jadi, saat  itu, dia  duduk di  sana. Memandang  seseorang yang datang menemuinya, satu dari beberapa akhir pekan yang agendanya sama. Pikirannya bercabang. Apakah dia menyerah saja? Mengikuti pakem agar orang-orang berhenti mengusiknya? Lagi pula, siapa tahu penolakannya hanya karena belum bertemu yang tepat. 

Apakah seseorang yang tepat itu adalah dia? Pria yang saat itu duduk di hadapannya, tersenyum simpatik di balik balutan kemeja slimfit biru tua dengan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Lengan kemejanya digulung sampai siku, menampakkan otot lengan yang terlihat kuat dengan garis-garis gelap pembuluh darah.

Perempuan lain akan berpikir pemandangan itu seksi. Jadi, Dayu juga berusaha keras berpikir demikian alih-alih membayangkan kapan tangan berotot itu akan membuka paksa pakaiannya, atau menjambak rambutnya, atau memukul pipinya, atau apa pun yang menciptakan bilur-bilur membiru di tubuhnya.

Dulu, Dayu bertanya-tanya sembari melawan segala ketakutannya. Dia juga tidak tahu apakah hasilnya akan sepadan atau justru membuatnya tenggelam. Ternyata baru hari ini jawabannya dia temukan.

Pergelangan tangannya berwarna biru. Atau ... akan berwarna biru. Sementara sosok di hadapannya memandang dengan mata melebar, tak jelas apakah karena rasa bersalah atau amarah. Sementara ketakutan yang terus-menerus berdengung di benaknya beberapa hari belakangan, kini semakin menggila.

“Maaf,” bisik pria itu panik. “Aku nggak bermaksud—”

Namun, perempuan itu tidak mendengarkan. Sebab, dia telah tenggelam dalam pusaran ketakutan yang selama ini menciptakan lubang hitam dalam dirinya.

 

 

1 ~ Drunk Friends

 

TEMPAT ITU sangat berisik. Musik mengentak-entak yang membuat telinga sakit, ditambah lampu mati-hidup yang membuat pusing kepala. Belum lagi seliweran tubuh-tubuh yang bergoyang mengikuti hasrat, menggila, meninggalkan segala norma, masalah, dan tagihan-tagihan di belakang. Besok pagi ketika pengaruh alkohol sudah hilang, masalah-masalah itu akan kembali menuntut dipikirkan. Namun, biarlah itu menjadi urusan besok.

Dayu berjalan cepat, sebisa mungkin menghindari orang-orang agar tidak perlu bertabrakan. Dalam hatinya, dia mengutuki agenda teman-temannya. Bisa-bisanya mereka mengajak party di hari kerja?

Dia berhenti sejenak, menyipitkan mata, memandang sekitar, mencari-cari di mana teman-temannya berada. Untung saja dia segera menemukan sosok cewek berambut pirang panjang dengan pakaian kurang bahan yang tengah berjoget di atas meja. Ya, di atas meja. Sahabatnya yang satu ini memang mudah sekali dicari.

Udah gila dia, ya, pikir Dayu sambil geleng-geleng kepala. Pesta lajang, sih, pesta lajang, tapi harus begini banget?

Baru saja Dayu melangkah untuk menghampiri sofa tempat kawan-kawannya menggila, seorang perempuan berambut pixie berjalan limbung ke arahnya. Disusul pria berbadan besar yang tidak kalah limbung—sepertinya sudah mabuk—menubruknya. Perbedaan postur yang terlalu besar, membuat Dayu tidak bisa mempertahankan posisi. Meski tidak mabuk, dia ikut-ikutan limbung dan nyaris terjerembap ke lantai, jika tidak ada sepasang lengan yang meraih lengannya tepat waktu.

“Got you!” kata suara itu, terdengar panik sekaligus lega. “Are you okay?”

Sangat lega, Dayu melepaskan diri dan memutar tubuhnya, menghadap penyelamatnya—seorang pria tinggi berkemeja denim dan jaket yang tersampir di lengannya.

“Yap. Thanks a bunch!” kata Dayu sembari tersenyum.

“No problem, sering terjadi,” jawab si pria, sebelum mereka berpisah. 

Dayu kembali melanjutkan langkah mendekati meja kawan-kawannya.

“Dayu!” panggil si pirang seksi yang berjoget di atas meja.

Hilda, salah satu sahabatnya sekaligus tuan rumah pesta kali ini, memakai gaun tipis bertali spageti yang rendah di bagian dada maupun punggung. Sobekan-sobekan konfeti menempel di kulitnya, gelas tinggi berisi cairan keemasan di tangannya, sementara badannya meliuk-liuk mengikuti musik yang diputar oleh DJ kenamaan. Turut menari bersamanya, dua sahabat Dayu yang lain, Winny dan Tine, yang penampilannya tidak kalah trendi dan seksi.

“Jahat banget lo, masa telat sampe satu setengah jam!” teriak Hilda lagi.

Dayu, berkebalikan dari itu semua. Alih-alih memakai gaun bertali spageti atau rok mini dengan rantai  yang  bergemerincing  di pinggang, dia  datang  dengan setelan  kantor yang  membosankan. Rok  pensil 7/8  bermotif kotak-kotak  dengan kemeja  putih  dan blazer  bermotif  sama seperti rok. Rambut panjangnya diikat ekor kuda tinggi. Ransel besar berayun di pundaknya.

“Mau party atau mau pitching ke klien, sih, Bund?” tanya Winny, yang rambutnya dipotong pendek sebatas leher, dengan rok mini berbahan kulit serta crop top hitam yang hanya menutupi bagian dadanya. Perut ratanya terpampang sempurna.

Dayu tertawa. Setelah melempar tas dan tubuhnya ke sofa, dia meraih botol Chivas yang sudah banyak berkurang, lalu menuang sisanya ke satu gelas kosong di meja. Tanpa berpikir, Dayu menegaknya sekaligus dan berdecak lega.

“Uhuuu!” siulnya sambil mencecap-cecap rasa alkohol itu di lidahnya. “Gila! Mau meledak rasanya kepala gue hari ini!”

Ketiga sahabatnya masih menari-nari liar. Winny berjoget dengan rokok terselip di sela-sela jari sementara Tine hanya berjoget-joget lemah gemulai, terlihat seperti mengalami trans.

Hilda melompat turun dari atas meja, kemudian mengempaskan diri di samping Dayu, memeluknya seperti koala.

“Bau banget!” gerutu Dayu sembari menutup hidungnya dan mendorong sahabatnya menjauh. “Lo udah minum berapa botol?” 

Hilda tergelak. “Namanya juga party, Bego. Lo yang aneh, datang ke tempat ginian pake outfit kantor.”

“Kan, gue emang langsung dari kantor, Pintar,” jawab Dayu. 

Dia memutuskan untuk melepas blazernya, menyisakan kemeja pendek putih dan rok.

“Tine!” panggilnya kepada Tine yang berdiri di pinggiran meja. “Ya Tuhan, udah teler lo?” Dayu tergelak melihat Tine berusaha turun dari meja dengan kagok. “Sini! Awas itu kepleset!” Kemudian Dayu berpaling kepada Hilda yang duduk menyandari sofa. “Lo apain si Tine? Buset, pada barbar bener, sih?”

Tidak lama kemudian, Winny juga turun dari meja dan ikut mengempaskan tubuhnya di samping Dayu. Aroma alkohol terpancar kuat. Dayu jadi penasaran sudah berapa botol yang mereka habiskan.

Malam ini, Hilda menggelar pesta lajang nonprivat untuk mereka berempat. Sebenarnya Dayu yakin itu alasan untuk mabuk-mabukan saja. Pertama, mana ada pesta lajang privat yang digelar di kelab malam, di tengah-tengah pengunjung lain yang juga sama gilanya? Kedua, meski minggu lalu sudah melangsungkan pertunangan dengan kekasihnya, Boy, pernikahan mereka masih lama. Dayu mengambil kesimpulan bahwa Hilda sedang suntuk dan ingin bersenang-senang saja.

Hilda mengajak mereka mabuk sampai black out sejak pukul sembilan malam. Sayangnya, Dayu harus menyelesaikan masalah pekerjaan. Editor di tempatnya  bekerja melakukan  kesalahan karena tidak segera mengecek approved draft dari klien untuk penayangan advertorial hari ini. Padahal klien sudah memberikan feedback sejak dua minggu sebelumnya. Saat hendak tayang, si editor baru menyadari ada satu foto pilihan klien yang diambil bebas dari internet. Editor menyarankan untuk mengganti foto lain yang bebas hak cipta, tetapi klien tidak berkenan karena tidak ada foto yang sesuai dengan keinginannya. Alhasil, timnya harus menghubungi pemilik foto pilihan klien untuk memproses pembelian. Sialnya, pemilik foto itu orang Hungaria. Jadi, bayangkan saja bagaimana serunya sore Dayu hari ini.

Meski bukan kesalahannya—dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menghibur klien selama tim editor bekerja—selaku sales manager  yang bertanggung jawab atas proyek yang dihendel oleh account executive di bawahnya, Dayu tetap ikut lembur di kantor untuk memastikan semuanya beres. Alhasil, dia baru tiba di Perfect Getaway menjelang pukul 23.30, dan teman-temannya sudah teler.

“Lo nggak capek, Bund, kerja sampe tengah malam begini terus?” tanya Winny kepada Dayu.

“Duit nggak bisa masuk sendiri ke rekening gue, Cuy,” jawab Dayu.

Matanya memilah-milah botol alkohol di meja, lantas pilihannya kembali pada sebotol Chivas yang tinggal setengah. Dayu langsung menenggaknya dari botol.

“Nikah makanya, Dayday, biar seenggaknya ada duit yang datang sendiri ke rekening,” sambar Tine, menggelosor di pinggiran meja.

Hilda tergelak. “Lo suruh Dayu nikah, Ne? Itu sama kayak gue nyuruh lo pake hijab.”

“Terus?” Tine mengerutkan dahi.

“Kan, lo Kristen, Christine!”

Dayu tergelak menyimak obrolan random orang-orang mabuk ini. Dayu tidak akan bersikap menye-menye  dengan mengatakan hal ini kepada ketiga sahabatnya, tetapi hanya inilah yang dia butuhkan. Sahabat-sahabat baik yang siap mendengar keluh kesahnya. Sahabat  yang, meski tidak  ragu  mengatainya tolol atau memarahinya habis-habisan saat dia melakukan kesalahan bodoh, selalu datang pertama dan mengulurkan tangan ketika Dayu butuh bantuan.

“Hilda yang the real bitch aja akhirnya tied the knot,” komentar Tine. “Gue yakin Dayday akhirnya bakal ketemu seseorang.”

“Barusan gue ketemu seseorang,” kata Dayu tanpa berpikir panjang. “Cowok, pake kemeja denim, kayaknya sih ganteng.”

Ketiga sahabatnya memandangnya dengan ekspresi tertarik.

“Siapa?” tanya Winny penasaran.

“Ya, mana gue tahu! Kan, gue bilang ketemu, bukan kenalan. Terus, ada lagi cowok gede kekar, cewek mabuk, satpam yang kepalanya plontos, ibu-ibu yang nungguin taksi—”

“Woi!” sergah Hilda kesal. “Lo mabuk atau gimana, sih?” 

Dayu tertawa. “Lo yang mabuk, Bego!”

“Maksud Tine, seseorang yang spesial, Tolol! Bukan random people yang lo temuin di jalan!”

Random people juga bisa jadi spesial,” sanggah Dayu.

“Udah, udah, jangan didesak terus si Dayu. Entar doi malah cabut.” Winny melerai. “Malam ini jadi, kan, nginep di tempat Hilda?”

Sontak Dayu berdecak. “Besok gue kerja, woiii.”

“Lo nggak jadi ambil cuti, Beb? Gue suruh ambil cuti, kan?”

“Cuti sih cuti, tapi di hari kerja gini ... takut ada yang urgen, terus guenya teler, gimana?”

Hilda berdecak. “Beb, bilang yang jujur! Lo paham arti cuti nggak?”

Alih-alih menjawab, Dayu hanya tertawa. Sahabatnya itu tentu tidak tahu artinya bekerja di bidang penjualan. Hidup dan matinya, kapan dia bisa liburan ke luar negeri, atau kapan dia bisa beli baju dan tas branded, semuanya ditentukan oleh klien. Cuti? Itu adalah kata-kata utopia yang terlalu digembar-gemborkan, menurut Dayu.

“Pokoknya, malam ini kita mabuk sampe teler!” jerit Hilda sembari mengambil sembarang gelas di meja, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

Dayu, Tine, dan Winny mengikutinya. Masing-masing memegang gelas dan mendentingkannya di udara.

“Ya udah, kalian aja yang teler. Biar gue stay sober sekalian jagain,” putus Dayu.

“Ih, ngapain? Semua yang ada di table  ini udah gue bayar. Mau nambah yang lain? Cuss! Minum sampe black out, Babe!”

“Kalau semua teler, yang nyetirin balik siapa, Malih?”

“Tenaaang,” jawab Hilda sembari mengisi ulang gelasnya. “Gue udah siapin sopir buat malam ini.”

“Sopir?” Alis Dayu mencuat naik. “Boy?”

“Bukan. Tuh, orangnya,” jawab Hilda sembari mengedikkan kepala ke sisi kanan mereka.

Dayu mengikuti arah kedikan Hilda, dan melihat seorang pria muncul dari sela-sela orang yang tengah berpesta. Pria itu memakai kemeja denim dan membawa minuman kaleng. Dayu menyipitkan mata begitu mengenali sesuatu.

Lho, itu kan cowok yang menolongnya tadi?

***

 

Ada banyak hal buruk yang terjadi saat mabuk-mabukan, versi Dayu. Pertama, dia sering lupa diri dan melakukan hal-hal konyol yang nantinya akan dia sesali. Misalnya, menelepon bos dan memprotes soal pekerjaan—untung saja Dayu tidak punya mantan pacar, jadi dia terselamatkan dari kemungkinan mengirim drunk text yang memalukan.

Kedua, after  effect mabuk alias hangover itu sungguh menyiksa. Kepalanya seperti habis dipukuli, tenggorokannya kering kerontang seperti setahun tidak dialiri air, perutnya mual dan seringnya asam lambung naik. Cahaya lampu kamar yang remang-remang pun menyiksa matanya. Apalagi saat dia keluar dari kamar dan memasuki ruang utama yang bersimbah cahaya. Matanya perih dan kepalanya seperti ditusuk-tusuk.

“Morning,” sapa seseorang yang sudah sibuk di dapur.

Jangan bayangkan Dayu pulang ke apartemen cowok stranger dan menjalani one night stand. Lantas cowok itu sekarang menungguinya bangun sembari memasak sarapan di dapur—tambahkan deskripsi hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, memamerkan ototnya yang menggoda. Nope.

Yang memasak di dapur itu Winny. Sudah rapi, bugar, dan penuh semangat. Jangan tertipu penampilan seksi nan sporty—menjurus ke hipster—Winny saat sedang party. Di balik itu semua, Winny adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak perempuan menggemaskan yang masing-masing berusia 5 dan 3 tahun. Suaminya adalah pengacara senior di sebuah firma hukum terkenal. Setiap hari, jika tidak ada pesta semacam ini, aktivitas Winny didominasi mengurus keluarga kecilnya, beramah tamah dengan tetangga sekitar, atau mendampingi suami ke acara-acara formal.

Sejak dulu, Winny paling kuat minum dan paling cepat pulih dari hangover di antara mereka berempat. Jika Dayu akan lesu dan mengantuk seharian setelah mabuk semalam, hal itu nggak ada dalam kamus Winny. Uniknya, daya tahan itu semakin bertambah setelah Winny menikah dan punya anak. Sementara Dayu, Tine, juga Hilda masih tepar dan berbau busuk, Winny sudah rapi dan siaga. Mungkin karena dia terbiasa bangun pagi dan menyiapkan keperluan  anak-anaknya. Winny  selalu turun  tangan  sendiri mengurus duo krucilnya, meski asisten rumah tangganya sudah berjejer, menunggu diberi instruksi.

Dayu selalu berpikir, Winny adalah sosok ibu yang baik. Bukan hanya untuk Aurelie dan Elsie—nama kedua anak Winny—melainkan juga untuk ketiga sahabatnya.

“Mandi, Bund, biar segar,” perintah Winny. 

Sejak punya anak, semua orang—mulai dari Bu RT, teman komunitas, istri-istri rekan kerja suaminya, pengajar di sekolah anaknya, sampai mbak-mbak SPG di mal—memanggil Winny dengan sebutan bunda. Mungkin karena itu Winny jadi terbawa dan memanggil semua orang bunda juga.

“Oh iya, itu di kulkas ada air kelapa. Tadi gue minta tolong Pak Tatang beliin.”

Dayu mengangguk. Sembari berserdawa keras-keras yang menguarkan bau asam, dia beranjak mengambil air kelapa di kulkas. Bertepatan Dayu menghabiskan isi gelasnya, Tine keluar dari kamar mandi dengan handuk menutupi kepala.

Morning, Dayday,” sapanya dengan suara serak, meski penampilannya sudah segar.

Morning. Hilda belum bangun, ya?” Dayu bertanya bingung. Dia berusaha mengingat-ingat apakah masih ada seonggok tubuh di kasur saat meninggalkan kamar tadi.

Saat itu, dari arah kamar terdengar suara gedabruk dan umpatan, yang disusul suara muntahan. Dayu meringis, memilih buru-buru masuk ke kamar mandi yang ada di dekat ruang tengah.

Semalam, sesuai rencana, keempatnya pulang ke rumah pribadi Hilda yang berada di kawasan Simprug—sehari-hari Hilda tinggal di rumah keluarga besarnya di daerah Pondok Indah. Hari ini, jika berjalan sesuai rencana, mereka akan shopping dan nonton konser gabungan band-band lawas semasa mereka SMA.

Dayu benar-benar menikmati waktu mandinya pagi itu. Dia berlama-lama berendam di bathtub yang dipenuhi air hangat. Dayu bahkan membawa ponselnya, lalu memutar lagu-lagu bossa nova yang menenangkan. Seandainya tidak hangover, mungkin Dayu akan membawa sebotol anggur sekalian.

Setelah otot-ototnya terasa lebih lentur dan sakit kepalanya berkurang, Dayu bangkit dari bathtub dan mengakhiri mandi paginya. Dengan segar aroma sabun pilihan Hilda yang nggak perlu diragukan, Dayu keluar dari kamar mandi berbalut bathrobe. Di dapur, ketiga sahabatnya sudah berkumpul.

“Gue kirain lo pingsan di kamar mandi!” seru Hilda. 

Dayu cuma nyengir, kemudian duduk di kursi kosong di sebelah Winny. Di meja makan pagi itu, sudah tersedia nasi goreng seafood lengkap dengan acar. Memang itu menu sarapan miliaran umat manusia di dunia. Namun, masakan Winny tidak perlu dipertanyakan. Andai tidak sibuk mengurus anak dan suami, Dayu akan menyarankan Winny untuk buka restoran saja.

Satu suapan masuk ke mulutnya, Dayu langsung berdecak-decak nikmat.

“Lo mau nggak jadi personal chef gue, Win?” tanya Dayu, selagi menikmati sarapan. “Gaji UMR, dapat BPJS, dan THR.”

Winny hanya tertawa, tetapi Hilda langsung nyolot.

“Bisa-bisanya lo nawarin gaji UMR ke dia. Lo nggak tahu gaji sopir Winny berapa? Dua digit, kali!”

Dayu mendengus. “Huuu ... sungguh nggak adil dunia ini. Gue kangen, deh, sama zaman kuliah dulu. Tiap hari Winny ke kampus bawa bekal ekstra. Itu masa-masa di mana kebutuhan gizi gue terpenuhi dengan baik.”

“Emang sekarang kurang gizi, Day?” tanya Tine polos.

Hilda tergelak. “Jelas. Dayu tuh kebanyakan meeting, kekurangan gizi.”

Dayu ikut tertawa. “Bener, sih.”

“Apa kabar work-life balance, Bunda?” tanya Winny.

Dayu mengedikkan bahu. “Mitos.”

“Apalagi kalau entar gue udah kewong. Apa makin nggak pernah makan tuh si Dayu?” sindir Hilda. “Selama ini, kan, gue yang rajin nyeret buat lunch bareng. Habis kewong, ya gue lunch bareng laki guelah.”

Dayu hanya bisa nyengir. Mau bagaimana lagi? Itu faktanya. Posisinya sebagai sales manager di kantor membuat Dayu beredar dari satu meeting ke meeting lain. Skip makan siang bukan hal baru, kecuali agendanya lunch meeting. Selama ini, Hilda menjadi partner lunch-nya yang setia. Selain kantor mereka berdekatan, hanya Hilda yang waktu luangnya masih cukup banyak karena belum berkeluarga.

“Pasang alarm tiap jam makan, Dayday,” saran Tine.

“Apa gunanya kalau cuma buat di-snooze, snooze lagi, snooze terus, snooze mulu? Kasihan alarmnya, udah nggak punya harga diri,” ledek Hilda.

“Makanya, Bund,” kata Winny tiba-tiba mengubah nadanya jadi lebih lembut. Dayu pun mulai berprasangka buruk. “Setuju, ya, yang kemarin itu?”

Tuh, kan. Pasti soal itu lagi yang mau dibahas. Dayu mengerang lelah.

“Apa, sih, susahnya?” tanya Hilda nggak habis pikir. “Tinggal jalan sekali atau dua kali. Kalau nggak cocok, ya nggak usah dilanjutin.”

“Males ribet,” jawab Dayu pendek. “Kalian lupa, hidup gue udah cukup ribet dengan target cari duit sepuluh miliar setahun itu?”

Baik Hilda, Winny, dan Tine sama-sama diam, tidak ada yang merespons alasan yang Dayu berikan. Mungkin karena mereka tahu alasan Dayu sebenarnya bukan itu. Hal ini juga yang membuat Dayu heran sendiri. Persahabatan mereka bukan hanya setahun atau dua tahun, melainkan sudah 12 tahun. Hilda, Winny, dan Tine barangkali lebih memahami dan mengerti dirinya dibanding Kak Widia sang kakak kandung, yang Dayu sendiri lupa kapan terakhir kali bertemu. Mereka bertiga juga tahu pasti kenapa Dayu selalu enggan terlibat hubungan romantis dengan siapa pun. Lantas, kenapa mereka masih mendesak juga? Apa tujuannya?

“Gue punya ide,” kata Hilda tiba-tiba. “Lo lagi nabung buat jalan-jalan keliling Eropa, kan, Day?”

Kali ini, Dayu menatap sahabatnya dengan alis terangkat.

“Tabungan lo nggak nambah-nambah karena lo kebanyakan cicilan. Ya, nggak?”

Dayu mendengus sebal. Haruskah Hilda mengungkit fakta betapa milenialnya Dayu? Gajinya yang sebenarnya tinggi, tidak berbekas karena kebanyakan cicilan. Ya apartemen, ya ponsel, baju dan sepatu branded, belum lagi biaya skincare, dan pastinya biaya senang-senang agar dia tidak gila, mengingat tekanan kerjanya sungguh berat.

“Kenapa? Lo mau bayarin liburan gue?” tantang Dayu.

Dia  hanya bercanda, tentu. Namun, Hilda mengangguk. Kening Dayu berkerut. Hilda memang tajir. Hilda Maharani Sosromihardjo   adalah  cucu   dari   Vahrudi  Sosromihardjo, salah satu orang terkaya di era orde baru Indonesia. Kekayaan keluarganya  tidak  bakal habis  dimakan  sampai 3-4  generasi keturunan Sosromihardjo. Kalau toh sekarang Hilda bekerja di perusahaan maskapai penerbangan, itu karena iseng saja, daripada nganggur dan bosan di rumah. Namun, masa iya Hilda sebegitu dermawannya sampai  mau  membiayai Dayu  liburan  keliling Eropa? Kalau sebatas liburan ke Paris atau ke Roma seminggu, sih, masih mungkin. Namun, target Dayu jelas. Keliling Eropa. Dia bahkan berencana dua bulan tidak pulang ke Indonesia.

“Ih, gue mau juga!” serobot Tine. “Bayarin gue juga dong, Heels!”

Jika Winny memanggil semua orang dengan sebutan Bunda, Tine punya kecenderungan ekstra kreatif untuk membuat pelesetan nama orang dalam bahasa Inggrisnya. Dayday untuk Dayu, Wine untuk Winny, dan Heels untuk Hilda—yang membuat Hilda mencak-mencak karena merasa namanya jadi tidak bermartabat, setidaknya sebelum tahu bahwa Tine memanggil Wira, suaminya, dengan nama welove.

“Nggak gue bayarin juga,” sanggah Hilda. “Gini, lo tahu, kan, apartemen gue yang di PIK? Yang gue taruh di AirBnB?”

Dayu mengangguk.

“Lo pegang selama setahun.”

 Seketika mata Dayu membeliak. “Serius lo?”

Hilda mengangguk. “Itu properti populer. Tiap minggu ada aja yang ambil. Jadi, keuntungan udah pasti gede.”

Tentu  saja. Apartemen  Hilda itu, selain  memang  bagus, lokasinya juga strategis menghadap ke laut dan dekat dengan keramaian. Apalagi saat ini PIK terus berkembang dan menjadi salah satu tujuan favorit untuk liburan singkat warga ibu kota di akhir pekan.

Apartemen tersebut hanya salah satu dari apartemen milik Hilda yang tidak dihuni secara tetap. Bagi Hilda, pendapatan dari sewa  apartemen  itu mungkin  cuma  recehan yang  habis untuk sekali beli baju di Hong Kong. Namun, bagi Dayu, itu bisa jadi sumber pendapatan lain yang bisa menambah pundi-pundi tabungannya.

“Selama setahun, lo boleh kelola itu apartemen. Mau lo ubah harganya juga terserah. Gue nggak bakal minta setoran sepeser pun,” kata Hilda. “Lumayan nggak tuh, buat nambahin tabungan lo?”

Mata Dayu menyipit.

“Syaratnya cuma satu, Beb.” Hilda menyibak rambut pirangnya dengan dramatis. “Lo harus kencan dengan seseorang.”

 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Parafrasa Rasa
Selanjutnya Parafrasa Rasa #2
123
3
“Kenapa orang butuh pacar, selama ada bathtub air hangat dan wine?  - Dayu, anak milenial yang gajinya besar, sebesar cicilannya tiap bulan- PENTINGParafrasa Rasa akan tayang di dua platform: Karyakarsa (berbayar) dan Wattpad (gratis)Di Karyakarsa kamu bisa membaca Parafrasa Rasa duluan. Dalam minggu ini, aku akan mengunggah prolog + bab 1- 4 Parafrasa Rasa di KaryaKarsa. Sedangkan di Wattpad akan mulai diunggah prolog + bab 1. Untuk selanjutnya, Parafrasa Rasa akan update seminggu sekali pada akhir pekan (antara Jumat-Minggu, tergantung mana yang paling selow), baik di Karyakarsa maupun di Wattpad. Jadi beda ya, guys, update babnya. Misal: minggu depan di KK akan update bab 4, sementara di WP update bab 2.Isinya sama nggak versi KK dan WP? Sebenernya sih sama, tapi mengingat ini genrenya adult romance, yang di WP ada bagian-bagian yang aku sensor, supaya aman dibaca segala usia. Sedangkan di KK, akan lebih leluasa (dan dewasa. Eheee)Oh ya, versi Wattpad akan dihapus sebagian kira-kira 2 minggu setelah cerita ini tamat yaa. Sementara yang di KK akan tetap ada. Jadi, yang ingin baca di Wattpad, kusarankan segera baca aja, jangan ditunda-tunda lalu ketinggalanDi KK ada harga paket nggak? Untuk sementara belum ada. Biasalah, naskahnya kan masih nyicil. Haha. Harga paket akan keluar nanti setelah ceritanya tamat.Untuk lebih hemat, kalian bisa transaksi kakoin via web aja (jangan aplikasi). Kalau mau pembayaran biasa kayak dulu (gopay, shoppepay, dll) juga bisa via web.*** Dayu tidak berencana menikah. Dia tidak ingin mengulang kesialan demi kesialan yang dialami oleh keluarganya. Rencana Dayu sejauh ini hanyalah kerja keras, menjadi kaya, dan menghabiskan masa tuanya di panti jompo. Dia tidak membutuhkan keluarga berikatan darah, karena dia punya sahabat-sahabat yang sempurna. Namun, ketika satu per satu sahabatnya menikah, mereka mulai mengkhawatirkan keputusan Dayu: mereka takut Dayu kesepian. Dengan barter sebuah uang sewa apartemen di kawasan strategis selama setahun, Dayu membiarkan teman-temannya mengatur kencan buta demi kencan buta dengan pria potensial. Sementara Dayu diam-diam, bagaimanapun caranya, membuat kencan-kencan itu tidak berhasil. Sampai akhirnya dia bertemu Rasen, si pria berengsek yang disodorkan Hilda--sahabatnya--yang kesal karena Dayu terus-terusan menolak pria-pria baik yang dia rekomendasikan. Sayangnya, Rasen menawarkan sesuatu yang sulit Dayu tolak. Padahal pria itu jelas-jelas seperti papan peringatan WASPADA" berjalan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan