Akhir untuk mereka

3
0
Deskripsi

cw // mention of death , mention of divorce , mental health issues ,  broken home


Tok tok....

Ketukan pintu terdengar, disusul dengan kemunculan seseorang dari balik kaca kecil yang tengah mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Atha dan seorang wanita yang duduk di samping ranjang kontan menoleh ke arah pintu yang perlahan berderit terbuka.

"Eh, Nak Yasa kok baru ke sini hari ini? Kemana aja kamu? Kirain Tante kamu udah pulang ke Jakarta." Ibu Atha menyambut dengan ramah, beliau beranjak dari kursi dan langsung membawa Yasa ke pelukan.

"Aku banyak kesibukan, Tan, jadi belum sempet jengukin Atha dan baru bisa hari ini." Kemudian, Yasa menoleh pada Atha selepas pelukan itu melonggar. "Atha gimana kabarnya?"

"Sama aja kayak kemaren." Atha membalas ketus, memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Marah-marah mulu dia. Tante gak tau kenapa."

Yasa tersenyum canggung.

"Mumpung kamu di sini, Tante mau ke luar dulu ya. Jagain dia sebentar." Ibu Atha menepuk pundak Yasa dan melengos pergi meninggalkan keduanya di dalam ruangan bernuasa putih tersebut.

Suasana makin canggung ketika Ibu Atha sudah benar-benar pergi dari sana. Yasa lalu duduk di kursi bekas Ibu Atha barusan. Dia berdeham berulang kali, berusaha mengenyahkan perasaan gugup yang tiba-tiba menjalar ke dirinya. Mulutnya sulit terbuka padahal dalam hati ia terus merangkai banyak kata untuk ia katakan nanti. Sementara Atha enggan untuk menoleh, matanya terus melirik ke yang lain, asal bukan pada Yasa. Dia tidak ingin melihatnya.

"Mana temen lo?" Atha memulai pembicaraan setelah keheningan lama menyergap mereka.

Yasa menelan saliva. "Dia nunggu di luar."

"Katanya mau minta maaf."

"Aku suruh nanti."

Atha melirik sesaat. "Ini udah lewat satu menit. Waktu lo udah habis."

"..."

"Pergi!"

Yasa menatap sisi wajah Atha dengan lekat. Dia masih duduk di kursinya, mengabaikan apa yang Atha suruh.

Atha tertawa, jenis tawa yang agak terdengar menyebalkan. Dia merasa kalau saat ini Yasa menatapnya, dia agak risih. Matanya berputar malas, sebelum akhirnya balas menatap Yasa.

"Keluargaku juga gak cemara, Tha." Atha menaikkan sebelah alis kirinya ketika Yasa berkata demikian. "Orangtuaku cerai waktu aku kelas enam SD. Dan aku tinggal sama Mama. Selama tinggal sama Mama, mental Mama selalu gak stabil, tiap hari kerjaannya marah-marah dan banting barang apa aja yang ada dideket dia. Aku gak bisa bantu banyak karena aku gak tau harus apa selain nangis. Tapi beruntungnya tetanggaku baik-baik. Mereka nolongin aku sama Mama."

"..."

"Waktu aku kelas dua SMP. Aku tinggal sama orangtua dari pihak Mama. Mereka juga yang ngurusin Mama, tapi cara mereka agak aneh dan kolot. Mama malah dipasung dan diisolasi. Kakek bilang Mama harus digituan kalo gak mau bikin gaduh tetangga lain. Tapi Mama tetep suka teriak-teriak, dan aku benci banget gak bisa ngapa-ngapain padahal aku anaknya."

"Lo cerita begini berharap simpati dari gue, kan? Lo kira gue bakal luluh dan kasih lo kesempatan kedua, begitu?"

"Aku cuma pengen cerita aja karena belum ada satu pun yang tau soal ini. Termasuk, Rei sendiri."

Atha mengerjap beberapa kali. "Dia gak tau?"

Yasa menggeleng. Kedua matanya sudah sangat berkaca-kaca.

"kenapa?"

"Aku gak mau. Ini aib buat aku."

"..."

"Aib karena aku gak bisa bikin Mama terus hidup sampai maut yang menjemput." Yasa diam sejenak. "Mama aku meninggal beberapa jam setelah aku ngebebasin dia dari pasungan yang kakek buat. Awalnya aku kira itu cara yang tepat karena Mama keliatan bahagia banget, dia meluk aku erat dan bilang mau kabur dari rumah. Aku ngebiarin Mama pergi begitu aja karena mungkin itu yang dia mau, supaya dia hidup bebas dan gak menderita. Tapi gak lama dari itu, aku dengar kabar kalau Mama meninggal karena terjun dari jembatan layang."

Tanpa sadar, ujung mata Atha ada yang menetes.

"Jangan nangis." Yasa mengelap ujung mata Atha dengan ibu jarinya.

"Lo sendiri nangis."

"Oh." Yasa terperangah dan tergelak setelah mengetahui jika kedua pipinya sudah sangat basah. "Aku gak sadar kalo aku juga nangis."

"Waktu aku tau soal tanda itu, aku langsung keinget sama Mama. Aku gak bisa mikir bener, Tha. Aku takut kalo Rei bakal berakhir sama kayak Mama. Aku mau Rei punya hidup yang panjang sampai maut yang ngejemput bukan dianya sendiri yang mencari."

"Jadi kamu bantuin dia?"

"Iya, aku bantu dia. Tapi seperti yang kamu tau dia keberatan dan gak enak sama kamu. Tapi aku kepikiran, kalo terlambat nolong dia yang butuh banget seseorang gimana nantinya? Aku takut dia berakhir sama kayak Mama aku, meskipun udah ditolong tapi pikiran untuk mengakhiri hidup itu ada karena dia terlalu capek sama keadaan."

"Dia bisa berobat ke psikolog, Yas."

"Iya, dia memang bisa. Tapi Rei merasa dia gak perlu sampai ke psikolog karena apa yang dia lakuin gak terlalu fatal. Tapi Atha, asal kamu tau, meskipun dia gak sampai nyakitin dirinya dengan cara nge-barcode, dia ngelakuin hal lain dengan ngebiarin rambutnya rontok, dia sengaja salah beli sampo, dia sengaja rebahan seharian sampai lupa segalanya. Dia sengaja ngebiarin dirinya terlihat kacau. Terus aku harus ngebiarin dia gitu aja? Biarin dia bergelut dengan pikirannya sendiri dan akhirnya Rei punya pemikiran buat ngakhirin hidup dia sama kayak Mama aku?"

"Tapi gak perlu ngorbanin gue juga kan untuk ngebantuin dia? Lo gak mikirin perasaan gue, Yas."

"Untuk itu, aku ngaku salah. Aku terlalu pede nganggep kalo mental kamu kuat sampai akhirnya aku mutusin kamu dengan alasan selingkuh. Aku pikir kamu bakal baik-baik aja. Tapi lama-lama, aku merasa bersalah karena bohongin kamu. Aku chat kamu buat bilang yang sebenarnya sampai akhirnya aku sadar kalau kamu gak sekuat yang aku kira."

Atha diam, meremas ujung pakaian rumah sakit sampai meninggalkan bekas kusut di sana.

"Aku minta maaf sama apa yang terjadi dengan kita belakangan ini. Aku ada di sini bukan untuk ngajak kamu balikan atau apa karena aku tau kesalahan aku udah fatal banget buat kamu. Aku di sini karena pengen ngeliat kamu untuk terakhir kalinya sebelum kita jadi asing sama kayak kita waktu SMA dulu. Makasih untuk satu tahunnya, Tha. Aku harap kamu dapet cowok yang lebih baik dari aku. Yang tentunya dia gak punya sahabat cewek kayak aku sama Rei."

Yasa beranjak, lalu tersenyum getir ke arah Atha sebelum akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh.

"Yasa—“ suara Atha tercekat ketika Yasa sudah berada dekat dengan pintu.

Yasa diam, pintu sudah terbuka sedikit, tangannya mengepal kuat pada pegangan. Lalu dia membalikkan tubuhnya, menghadap Atha yang mengedarkan pandangan dengan gusar.

"Kamu—“ gaya bicaranya berubah, Atha menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia ingin menghentikan Yasa supaya tidak pergi meninggalkannya. Tapi kemudian dia teringat dengan prinsip yang sudah lama dia pegang selama ini. Gak ada kesempatan kedua untuk orang yang udah nyakitin kamu. " Gak jadi."

"Baik-baik ya, Tha. Cepet sembuh. Maaf untuk luka yang aku kasih ke kamu."

Dan kemudian, pintu tertutup.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya One Step Closer — 08
5
0
Aku terlalu terbawa suasana ya jadinya?Regan sekali lagi mengangguk tanpa ragu.Tapi dia bilang aku satu-satunya cewek yang lagi deket sama dia.“Seperti yang saya bilang. Dia memang baik ke semua orang, tanpa terkecuali. Saya pikir kamu sudah tahu masa lalunya, mengingat Han anak yang terlalu suka oversharing. Dia pasti sudah menceritakan itu pada kamu.”Dia cerita.Kamu teman perempuan pertama yang dia punya, Raissa. Regan berujar dengan kalem. "Dan kamu nggak seharusnya merusak sebutan itu hari ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan