— 250

2
0
Deskripsi

Narasi au the dark side part 250

— 250

Waktu menunjukkan pukul tiga tepat ketika Regan memutuskan keluar rumah dengan berbekal jaket tebal dan ponsel, serta beberapa lembar uang untuk membeli sesuatu nantinya.

Membaca pesan dari Keira membuatnya tidak bisa tinggal diam. Bagaimana tidak? Rentetan pesan berisi kebencian itu membuatnya bergerak untuk menyusul cewek itu yang saat ini sedang berada di sebuah atap bangunan kosong. Lagi pula tempatnya cukup dekat, meski dilarang untuk tidak menyusul, Regan tetap nekat pergi.

Di tengah perjalanan, Regan mampir ke apotek untuk membeli kasa steril, perban gulung dan obat merah. Setelahnya mampir ke minimarket untuk membeli air mineral dan juga beberapa cemilan.

Selesai dengan semua hal itu barulah dia berlari ke bangunan kosong yang sudah setengah jadi. Keira sering bilang kalau bangunan ini nantinya akan menjadi sebuah sekolah yang dikelola oleh keluarganya sendiri.

“Kei?” Regan memanggil begitu dirinya berada di atas, kepalanya celingukan mencari sosok Keira.

Cewek itu ada di ujung, sedang duduk membelakanginya dengan kepala yang sedikit menunduk entah sedang apa.

Regan menggigit pipi bagian dalamnya dan mengatur deru napasnya yang memburu karena habis berlari di undakan tangga barusan.

“Kei?” Panggilan itu mendapatkan respon, Keira menoleh ke belakang dan terkejut melihat kedatangan Regan.

“Ngapain ke sini?” Nada bicaranya meninggi. “Gue kan minta sama lo jangan ke sini, lo bisa masuk angin nanti.”

“Gue cuma mau mastiin.” Regan berjalan tergesa mendekati Keira, cewek itu dengan cepat mengelap sekitaran wajah dan menutupi kedua tangannya dengan lengan hoddie yang sebelumnya dia tarik sampai ke siku.

“Mastiin apa?” Suara Keira bergetar ketika bertanya itu, kepalanya menengadah pada Regan yang kini sudah berdiri di hadapannya.

Bukannya menjawab, Regan justru duduk di sebelahnya, menaruh tentengan yang dia bawa, lalu dengan sekonyong-konyong kedua tangannya bergerak menggulung lengan hoddie Keira. Regan menarik napasnya berat. Beberapa luka sayatan tipis terekspos begitu jelas di lengan cewek itu dengan darahnya yang sudah setengah mengering.

“Gue jadi tahu kenapa lo gak mau ketemu gue pas di sekolah,” Regan berujar sambil meraih sebotol air mineral yang kemudian dia buka tutupnya. “Lo gak mau ketahuan sama luka lo ini kan?”

“Iya...” Keira meringis merasakan air yang mengalir mengenai lukanya itu. “Lo ngapain sih? Perih tahu!”

“Bersihin luka lo.”

“Tapi—“ Keira berhenti berbicara karena perih yang amat luar biasa menyerangnya lagi.

“Sakit, kan?” tanya Regan, mulai membersihkan luka dengan kasa steril. “Harusnya lo pikir berulang kali sebelum lo ngelukain tangan kayak begini.”

Keira tertawa hambar, memalingkan wajahnya. “Pikir berulang kali lo bilang?”

Regan mengangguk sekali. “Gak sabaran ya?”

“Bukan gak sabar, gue capek harus ngertiin mereka yang gak bisa ngertiin gue sama sekali.”

“Gak perlu ngertiin mereka yang gak mau ngertiin lo, Kei.” Regan menatap mata Keira sebentar ketika cewek itu menoleh padanya, lalu dengan hati-hati meneteskan obat merah pada sekitaran luka sayatan yang cukup banyak di lengannya itu. “Fokus ke diri lo sendiri. Jangan mau dirugiin sama orang lain meskipun itu keluarga lo sendiri. Lo gak boleh ngelukain tangan hanya karena omongan mereka yang nyakitin lo, lo gak boleh keliatan pengen mati di depan mereka.”

“Daripada lo lukain tangan dan ngerasain perih kayak gini, lo bisa melampiasin rasa marah lo ke hal lain. Jangan ngelukain tangan dan bikin orang yang sayang sama lo khawatir. Berhenti bersikap konyol kayak gitu, Kei. Lo gak pantes ngelakuin ini. Ada banyak yang bisa lo lakuin. Lo suka apa?”

Selesai mengobati luka Keira di lengannya, Regan menengadah, menatap Keira lagi.

“Tapi gak segampang itu, R. Lo belum pernah ngerasain jadi gue. Dan siapa yang sayang sama gue? Gak ada.”

Regan diam, menarik napas dan mengeluarkannya perlahan.

“Lo gak sayang sama diri lo sendiri?”

“Gak.”

Regan membuang mukanya frustasi. “Kei, apa ngelakuin ini bikin lo merasa puas? Gak nyesel sama sekali?”

“Gue puas ngelakuin ini karena gak ada hal lain yang bisa gue lakuin.”

“Kalau begitu lo bisa loncat sekarang.”

Keira membeliak kaget. “Jangan gila, gue gak mau mati sekarang!”

“Loh tadi di chat katanya mau terjun.”

“ENGGAK YA, GUE CUMA BILANG KALAU GUE TERJUN HARI INI JUGA MEREKA GAK BAKAL PEDULI KAYAKNYA.” Amarah Keira meletup-letup. “Lagian gue maunya punya umur panjang!”

“Tadi bilangnya gak sayang sama diri sendiri.”

“Enggak, enggak, gue sayang sama diri sendiri kok.” Keira diam sejenak sebelum dia berkata lagi, “Gue takut mati sebenarnya.”

Regan tahu itu, sebab dari luka yang dia lihat di lengan Keira, sayatan itu tipis, hanya mengeluarkan sedikit darah, meski begitu rasa perihnya luar biasa. Dan luka yang dia toreh jauh dari pergelangan tangannya, letak di mana urat nadi itu berada.

“Gue juga gak mau ngelukain tangan tapi gimana ya, gue bingung harus ngelampiasinnya pake cara apalagi. Hidup gue juga gak tenang, gue kurang tidur, banyak pikiran, banyak tekanan.”

Keira menatap Regan, sedikit melengkungkan bibirnya ke bawah.

“Gue capek banget.”

Regan tidak berbicara apa pun karena dia tahu kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak akan memotivasi seseorang untuk jadi lebih baik. Dia bukan motivator yang tiba-tiba bisa mengubah perspektif orang-orang di sekitarnya. Jangankan begitu, membujuk adiknya saja dia tidak becus. Jadi Regan hanya diam ketika Keira menatapnya lama.

“Kei...”

“Hm?”

“Ada hal yang lo disuka gak?”

“Ada,” balas Keira cepat. “Gue suka banget ikut cheerleader, apalagi pas bagian gue loncat-loncat atau dilempar ke atas, gue juga suka tampil di depan banyak orang, gue suka sama Sheila on 7, gue pengen suatu hari nanti nonton konser mereka, gue suka duduk di sini sambil liatin bulan sama bintang, gue juga suka….” Namun ucapannya tersendat entah karena apa.

“Apalagi?” Regan bertanya penasaran.

Keira menggelengkan kepalanya sambil memalingkan wajah lagi. “Yang terakhir gak perlu tahu.”

Lalu dia menghela napas panjang dan menatap bulan yang bersinar di atas kepala mereka. “Untung lo dateng ke sini ya, R. Gue jadi waras lagi. Marah gue langsung ilang begitu lihat wajah lo, gue juga gak merasa sedih lagi. R, lo ngasih gue energi positif yang beneran positif banget. Dan lo tahu gak, gue kalo marah kadang kayak kakek, suka marah-marah gak jelas. Papa gue juga begitu, emang kalo garis keturunan suka nurun hal-hal jelek kayak begitu ya?”

Meski membingungkan melihat perubahan sikap Keira yang mendadak seperti itu. Yang tadi di chat marah-marah dan sekarang terlihat seperti tidak punya beban sama sekali —ralat, punya, namun menganggap semua masalah itu hal yang mengentengkan— bahkan menceritakan bagaimana keluarganya di rumah dengan begitu legowo membuat Regan sedikit lega karena kedatangannya kemari membuat Keira jadi sedikit lebih baik.

“Keras banget loh kakek gue orangnya. Hatinya terbuat dari batu kali ya,” katanya, tersenyum kecut sambil makan cemilan. “Kemarin sore, gue lihat ada banyak stroberi di kulkas, kalo ada kesempatan bakal gue curi satu wadah. Bodo amat itu mau buat siapa. Gue juga berhak atas makanan yang ada di rumah. Terus nanti gue bakal ngomong ke Papa buat nambahin uang jajan.”

Regan mendengarkan cerita Keira dengan senyum terukir tipis disudut bibirnya. Mendengarkan dengan jeli tanpa menyela sedikit pun, kadang diselingi sambil makan cemilan.

“Sebenernya waktu mereka liburan, gue seneng sih gak diajak, ya ada sebelnya dikit tapi seminggu tanpa mereka hidup gue tenang meskipun tidur gue masih suka kebalik. Eh tapi justru itu!” Keira memukul bahu Regan pelan sambil tertawa cekikikan. “Gue bisa tidur sepuasnya pas siang.” Namun detik selanjutnya dia memutar bola matanya kesal. “Kalau nanti kayaknya bakal kena marah.”

“Kalo begitu lo kayaknya gak akan ke sini lagi?” Regan bertanya spontan.

“Meskipun dilarang gue tetep bakal ke sini,” balas Keira tanpa ragu. “Kata lo gak perlu peduliin mereka yang gak peduli sama gue. Jadi ya gue gak akan ngedengerin apa pun yang mereka bilang. Gue juga bakal tetep ngelakuin apa yang gue suka.”

“Hahaha, oke, lakuin yang lo suka.”

“Okay, lo sendiri gimana? Kalo gue ajak ke sini, mau? Bentar lagi kan masuk sekolah tuh.”

Terlihat binar penuh harap dari mata Keira ketika Regan meliriknya.

Regan menimang-nimang karena selama liburan ini rasanya dirinya jadi seperti kelelawar, jam tidurnya berubah yang sebelumnya malam sekarang jadi pagi. Itu juga tidak tentu waktunya. Dia yang awalnya terbiasa tidur teratur dari jam sembilan sampai jam lima sekarang sudah tak terjadwal, selain karena terlalu berpikir rumit masalah adiknya yang masih susah untuk dibujuk pulang dia juga sepertinya harus membantu secara tersirat cewek yang habis melukai kedua tangannya itu.

“Gue mau-mau aja, asal gak tiap hari,” balas Regan yang perhatiannya tak lepas dari kedua lengan Keira yang dibalut perban gulung.

“Di sini sampe matahari terbit sanggup gak?”

“Sekarang jam berapa? Oh, setengah lima.” Regan mengangguk-angguk kepalanya sambil membalas lagi, “sanggup kok gue.”

Keira tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya lalu meraih sesuatu di saku jaket dengan hati-hati, mengeluarkan sekotak rokok yang kemudian dia ambil sebatang rokok utuh, diselipkannya di antara bibir.

“Mau gak?” tawar Keira, mengulurkan sekotak rokok yang tutupnya terbuka pada Regan. “Gue lihat-lihat lo kayak penasaran tiap kali gue nyebat.”

Regan hanya menatap kosong pada kotak rokok tersebut.

“Kalo penasaran coba aja, lagian belum tentu tahun depan kita masih hidup.”

Regan mengernyit keheranan. “Maksudnya tahun depan?”

“Ramalan suku maya katanya bakal kiamat akhir tahun nanti.”

“Hadeh, lo sama aja kayak adek gue.”

Keira tergelak puas. “Ambil aja satu, dicobanya kapan-kapan kalo lo udah siap.”

Keira mengambil sebatang rokok dari kotak itu karena Regan terlalu lamban untuk mengambil tindakan, gereget melihat Regan yang hanya diam ketika ia menyodorkan barang itu padanya, lalu mengambil salah satu tangan Regan yang sedari tadi menganggur, diletakkannya sebatang rokok di telapak tangan sambil memanggil,

“R…”

Regan mendongak.

“Udah inget aku?” tanya Keira kemudian.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya — 256
2
0
Narasi au the dark side part 256
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan