KEHILANGAN (Bab. 1, 2)๐Ÿ

17
4
Deskripsi

Ternyata, menyakitkan sekali rasanya. Ketika dekat, tapi tak dianggap. Kehadiranku sama sekali tak dibutuhkan. Kini, baru tersadar bahwa aku benar-benar telah kehilangan anakku.ย 

Kehilangan arti sebagai mamanya.

Bagian 1

๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Apa arti dari bahagia?

Pertanyaan itu selalu saja berputar-putar di kepalaku setiap kali aku bertengkar dengan Mas Anjar, suamiku. Lelaki itu sangat keras kepala. Kadang sikapnya membuatku hanya bisa menghela napas panjang dan memilih diam, mengalah. Jika aku berani membantah, aku pun akan kalah. Iya, aku selalu kalah karena Mas Anjar selalu mengungkit masa laluku.

Wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebelum menikah, adalah wanita yang sangat tidak berharga dan tidak layak untuk dicintai. Itulah yang ada di kepalaku setiap kali Mas Anjar mengungkit masa laluku yang hamil di luar nikah. Dadaku panas, tanganku terkepal menahan amarah, air mataku pecah, bibirku terkatup rapat karena terpaksa mengalah.

Karena nyatanya, aku memang wanita yang tidak berharga dan tak layak untuk dicintai. Benar kata suamiku.

Bermula dari kepulanganku kuliah di Universitas Semarang, yang membawa kabar kehamilan tanpa ada lelaki yang bisa diminta pertanggungjawaban. Membuat Bapak dan Ibu murka seketika. Mungkin, seumur hidup, ini adalah kali pertama aku melihat mereka semarah itu bahkan tak segan menampar.

Tak ingin berita buruk ini menyebar, dan berlarut hingga perutku akan semakin membesar. Beberapa hari kemudian, Bapak membawa seorang lelaki yang mau menikahiku. Entah perjanjian apa dan bagaimana caranya Bapak bisa mendapatkan lelaki yang mau menikahi wanita yang sudah hamil dua bulan sepertiku.

Aku tidak peduli! Demi menjaga kehormatan nama orangtua, aku menerima begitu saja dinikahkan. Sehari setelahnya, aku dibawa ke Jakarta di mana kami disediakan rumah sederhana oleh bapak dan ibuku. Lagi-lagi demi menghindari omongan tetangga jika aku melahirkan sebelum waktunya.

Layaknya wanita yang sudah kehilangan mahkota, maka tidak ada lagi harga dirinya. Suamiku memperlakukanku seenaknya saja. Bahkan, jika aku mengeluh sedikit saja, maka dia akan berkata, "Sudah beruntung aku mau menikahimu. Lelaki mana yang mau menikahi wanita yang sudah hamil duluan dengan lelaki lain?"

Aku diam. Aku memang salah. Aku wanita bodoh yang tidak bisa menjaga diri. Aku memang layak untuk dihina, bukan? Maka aku pun tidak dapat berkata-kata atau membantah sedikit saja. Pasrah menerima perlakuan apa pun dari Mas Anjar. Asalkan dia tidak melakukan kekerasan, sudah cukup bagiku untuk bertahan.

Sampai tiba saatnya aku melahirkan. Bayiku lahir sempurna, sehat, juga sangat tampan. Seharusnya aku bahagia, tapi sayangnya aku justru sangat membencinya. Karena bayiku mengingatkan pada lelaki kurang ajar yang telah merenggut kebahagiaanku dan menggantikannya dengan penderitaan yang tak akan pernah sirna.

Mas Anjar pun masih bersikap acuh tak acuh. Kehadiran bayi yang kuberi nama Irsya, sama sekali tak meluluhkan hatinya. Walaupun begitu, tak menyurutkan niatku untuk merebut hati suamiku. Dia adalah masa depan, dan kebahagiaanku saat ini untuk kembali bangkit dari keterpurukan. Aku tidak ingin ada perceraian, karena bagiku pernikahan hanya boleh terjadi sekali. Apa pun kekurangan dari Mas Anjar, akan kuusahakan terima.

ย 

Aku kembali hamil saat usia Irsya baru satu tahun. Kabar kehamilanku disambut antusias oleh Mas Anjar. Sikapnya semakin berubah. Tak seperti dulu, kini Mas Anjar benar-benar menjadi suami yang siap siaga. Binar cinta itu terpancar nyata, dan aku bisa merasakannya. Bahkan, ia membayar seorang pengasuh untuk Irsya, agar aku fokus menjaga kehamilan.

Semenjak ada Mbok Rum, yang mengasuh Irsya, aku hanya fokus pada kehamilan juga suami. Aku tidak lagi memedulikan perkembangan Irsya. Tak lagi peduli bagaimana makan, tidur, atau rengekan anakku itu. Semua kuserahkan kepada Mbok Rum.

Kelahiran kedua berjalan normal. Aku kembali melahirkan anak lelaki yang sehat. Walau tak setampan Irsya, tapi aku menyambutnya dengan suka cita. Terlebih saat Mas Anjar terlihat begitu bahagia. Aku merasa telah menjadi istri yang sempurna untuknya.

Bagas, adalah nama yang dipilih oleh Mas Anjar. Aku dan Mas Anjar selalu memberikan yang terbaik untuk Bagas. Di sini, perbedaan itu mulai terlihat nyata. Perbedaan kasih sayang antara Irsya dan Bagas.

Mas Anjar yang selalu membelikan mainan, dan oleh-oleh kepada Bagas. Sedangkan Irsya, justru menerima bekas atau yang sudah tidak disukai oleh Bagas. Layaknya anak-anak pada umumnya, Irsya terkadang merebut paksa mainan adiknya. Di saat itu, aku pasti akan sangat marah, dan menyuruh Irsya untuk mengalah.

Seperti sore itu, saat aku menemani Bagas belajar di kamar, Irsya datang dengan membawa buku gambar. Dengan antusias Irsya memperlihatkan hasil gambarnya, lalu meminta untuk dibelikan buku gambar dan pensil warna lagi.

Aku hanya menanggapi, "Jangan gambar terus. Mending belajar yang bener. Biar pinter kayak adikmu ini. Sana belajar."

Tidak ada jawaban, Irsya hanya memandang datar lalu keluar kamar.

Pernah saat pagi aku membuat sarapan, Irsya menghampiri ke dapur. Bertanya aku sedang memasak apa. Lalu ia meminta untuk dibuatkan martabak mie untuk bekal nanti. Aku hanya menjawab sekenanya lalu menyuruhnya untuk segera mandi dan berganti pakaian seragam.

Saat sarapan, tak kusangka jika Bagas sangat menyukai martabak mie yang kubuat. Hampir setengah ia memakan habis, lalu juga meminta lagi untuk bekal ke sekolah. Tidak ada lagi, kecuali setengah milik Irsya.

"Tapi ini punya Irsya!" Irsya menarik bekal makanannya. Tak terima saat aku hendak mengambil martabak mie miliknya.

"Irsya!" sentakku. "Ngalah sama adek kenapa, sih? Cuma martabak mie aja rebutan! Masih ada lauk lain, kamu bisa ambil sepuasnya. Besok 'kan bisa Mama bikinin lagi!" Irsya hanya diam, memandang datar makanannya. Dengan rasa jengkel, aku mengambil paksa bekal di tangannya.

Tahun pun berlalu bagai roda yang terus berputar begitu cepatnya. Bagaikan anak panah yang melesat dalam hitungan detik. Saat ini, Irsya sudah berusia delapan tahun, dan Bagas menginjak enam tahun. Dari pertama masuk sekolah, aku sama sekali tidak memerhatikan bagaimana belajarnya Irsya, dan bagaimana perkembangannya di sekolah. Bahkan saat Irsya memperlihatkan hasil ulangannya, aku hanya melirik sekilas dan kembali bersikap tak acuh.

Perhatianku sepenuhnya tercurah hanya untuk Bagas. Aku sangat tahu bagaimana belajarnya Bagas, keadaan di sekolah, juga perkembangan nilai ulangannya. Berbanding terbalik dengan Irsya yang bahkan aku tidak peduli jika nilainya hancur sekali pun.

Namun, ternyata ketidak pedulianku berdampak nyata. Irsya, tidak naik kelas. Dia masih tertinggal di kelas dua. Tentu saja sepulang dari sekolah mengambil rapot, aku murka pada Irsya. Hal yang benar-benar membuatku malu di hadapan banyak orangtua murid lainnya. Bagaimana bisa anakku tidak naik kelas. Bagaimana bisa nilai ulangannya semua merah.

"Besok, Mama akan pindahkan sekolah kamu di kampung Kakek dan Nenek!" sentakku masih dengan menggebu-gebu. Ya, itu adalah satu-satunya cara agar Irsya tidak mempermalukanku lagi. Percuma saja sekolah di sekolahan ternama, tapi nilai hancur bahkan tidak naik kelas.

Memalukan!

Mendengar keputusanku, Irsya menggeleng kuat dan meneteskan air mata. "Irsya gak mau dipindahkan ke desa, Ma. Irsya gak mau sekolah di sana. Irsya masih mau sekolah di sini." Ia terus merengek, menarik-narik tanganku dengan tatapan memohon.

Aku sempat menyipitkan mata. Bingung, karena sedari tadi aku memaki, dia hanya diam tertunduk. Namun, setelah aku memutuskan untuk memindahkannya ke rumah kakek neneknya, dia seakan-akan tidak rela.

"Irsya janji, Ma. Irsya akan rajin belajar. Irsya akan lebih giat lagi belajarnya. Irsya janji gak akan tinggal kelas lagi. Irsya janji."

"Benar?"

Irsya mengangguk cepat. Ia menyeka air mata dan masih menatapku seakan-akan berkata bahwa ia sungguh-sungguh dengan janjinya.

"Baik. Mama akan beri kamu kesempatan sekali. Tapi, jika nanti sampai tidak naik kelas lagi, jangan pernah protes kalau Mama memindahkanmu ke desa. Mengerti?!"

Meski sorot matanya masih terlihat tidak rela, tapi dia tetap mengangguk. Masih sesenggukan lalu melangkah pergi saat aku menyuruhnya masuk ke kamar.

Semenjak itu, sikap Irsya seakan-akan benar-benar berubah. Dia menjadi anak yang sangat pendiam. Hanya menjawab sepatah dua patah kata jika ditanya. Sekarang, sudah tidak lagi meminta ini itu atau memperlihatkan sesuatu padaku.

Entah, apa aku senang dengan sikapnya yang sekarang?

Aku tidak peduli. Masih ada Bagas yang lebih rajin dan nurut saat aku memintanya belajar. Yang terpenting, Mas Anjar pun semakin bersikap baik padaku, apalagi melihat perkembangan Bagas. Kami antusias mengantar Bagas ke sekolah saat di mana hari pertama masuk sekolah. Bagas sudah mulai masuk SD, sekolahan yang sama dengan Irsya.

๐Ÿฅ€๐Ÿฅ€๐Ÿฅ€

Bagian 2
๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Terkadang, aku juga merasa iba pada Irsya, karena walau bagaimana pun dia juga anakku, yang lahir dari rahimku. Tapi saat melihatnya, aku teringat hal menjijikkan yang dilakukan oleh laki-laki bejat yang merenggut kesucianku. Irsya hadir karena aku tidak siap dan tak kuinginkan. Emosiku tidak stabil, kadang aku juga suka menangis sendiri tanpa sebab. Hatiku sakit setiap kali aku marah-marah pada Irsya, tapi semua terjadi di luar kendali diriku sendiri.

Irsya tumbuh seperti tanpa sentuhan hangat dariku.

Setahun kemudian, Irsya naik ke kelas tiga. Ya, dia benar-benar menepati janjinya. Meski nilai ulangannya tak sebanding dengan Bagas, tapi sudah cukup ia membuktikan ucapannya dulu.

Malapetaka itu pun terjadi ketika Mas Anjar libur kerja dan mengganti tugasku menjemput anak-anak di sekolah. Sedangkan aku di rumah, menyiapkan makan siang untuk mereka.

Sesaat setelah suara mobil parkir di halaman, suara pintu depan seakan-akan dibanting dengan kerasnya, kemudian disusul suara pekikan Irsya. Aku yang berada di dapur bersama Mbok Rum, segera lari ke ruang depan.

"Mas, ada apa?" Aku bertanya bingung saat melihat Irsya terjatuh di lantai. Karena tidak biasanya Mas Anjar marah besar seperti ini.

"Kamu lihat sendiri wajahnya!"

Aku pun segera menghampiri Irsya dan mengangkat wajahnya yang tertunduk. Aku tercengang ketika mendapati wajah anakku penuh luka lebam.

"Kenapa?!" Aku bertanya dengan sorot mata tajam.

"Irsya hanya membela diri, Ma." Irsya menjawab dengan bibir sedikit gemetar.

"Membela diri apa? Kenapa? Yang jelas kalau ngomong!" Suaraku meninggi karena emosi sudah memuncak.

"Irsya terus-terusan dibilang anak aneh. Irsya terus-terusan dibilang pernah gak naik kelas. Irsya gak suka!" Irsya setengah berteriak dengan napas tersenggal-senggal juga air mata terus bercucuran.

"Tapi apa harus dengan cara berantem seperti itu!"

"Mereka yang memukul duluan! Irsya hanya membela diri!"

Belum sempat aku berkata lagi, Mas Anjar sudah menukasnya lebih dulu. "Oh, sudah jadi sok jagoan rupanya!" Mas Anjar manarik tangan Irsya secara kasar, menyeretnya dan mendorong tubuh kurus Irsya. "Biar aku ajarkan kamu sekalian kalau mau jadi sok jagoan!"

Mas Anjar melepas ikat pinggang lalu mengangkat tangannya tinggi. Sorot matanya tajam menikam. Kemudian tanpa aba-aba, ia memukul punggung Irsya. Sekali, Irsya memekik. Dua kali, Irsya meringis sambil menjauh. Namun, tanpa ampun Mas Anjar terus memukul dengan makian kasar.

Suamiku itu tak mau berhenti walau Irsya, mengiba di sela tangisnya. "Ampun, Pa, ampun!" Suara Irsya terus keluar meski tersenggal-senggal.

Anakku bersimpuh di kaki Mas Anjar sambil terus berteriak meminta ampun. Menangis meraung-raung kesakitan. Di sini, aku hanya diam melihat anak yang kulahirkan disiksa dengan kejam. Namun, pertahananku runtuh saat mata polos Irsya, menoleh padaku seakan-akan berkata, "Ma, tolong Irsya."

Aku melangkah mendekati Mas Anjar. "Cukup, Mas." Bahkan untuk mengatakan itu, suaraku seakan-akan tenggelam.

Mas Anjar dengan napas terengah-engah, akhirnya berhenti juga. Mengusap peluh di pelipis lalu berkata, "Ajari anakmu supaya tidak mempermalukanku!" Setelah itu, Mas Anjar pergi begitu saja.

Dari arah belakang, Mbok Rum tergopoh-gopoh menghampiri Irsya. Wanita paruh baya itu langsung berjongkok dan memeluk Irsya dengan tangis pilu.

"Sakit, Mbok, sakit." Irsya berkata di sela senggukannya. Tangisnya masih menggema dan begitu memilukan mendengarnya.

"Iya, Den, iya. Nanti Simbok obatin, ya?" Mbok Rum mengelus punggung Irsya menenangkan, mengusap wajah anakku yang sudah banjir air mata. "Sini, Simbok gendong. Ayo ke kamar, biar Simbok obatin, ya?"

Irsya berdiri dibantu Mbok Rum. Tubuh gempal Mbok Rum meski kesusahan dan terlihat keberatan saat menggendong Irsya, tapi tetap melangkah menuju kamar.

Di sini, aku seakan-akan bagai patung. Hanya diam dan berdiri tanpa melakukan apa pun untuk anakku. Sedangkan Mbok Rum, yang hanya sebatas pengasuhnya saja, ikut menangis melihat Irsya diperlakukan kejam begitu.

Semua itu, membuat hatiku tiba-tiba terenyuh dan tanpa sadar setetes air meluncur dari sudut mata.

Apa aku sudah keterlaluan?

ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย  ย ๐Ÿ๐Ÿ๐Ÿ

Paginya, pintu kamar diketuk berkali-kali saat aku dan Mas Anjar masih terlelap. Dengan langkah gontai aku membuka pintu. Berdecak saat mendapati Mbok Rum yang berdiri di depan pintu.

"Maaf, Non. Itu, Den Irsya badannya panas sekali. Menggigil dan terus mengigau. Saya takut, Non."

Tanpa pikir panjang, aku segera melangkah ke kamar Irsya yang terletak di lantai bawah.

Di atas ranjang sana, kulihat tubuh anakku menggigil. Aku mendekati, menyentuh kening dan wajahnya. Panas tinggi. Hatiku bergetar seketika saat mendengar lirih suara anakku berkata, "Papa, Mama, maaf." Begitu terus dan berulang-ulang.

Kuseka air mata yang menetes lalu menyuruh Mbok Rum menyiapkan keperluan Irsya. Aku kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Setelah itu segera meluncur ke rumah sakit.

Ini, adalah untuk pertama kalinya aku menatap secara seksama wajah anakku. Wajah yang sejak kelahirannya selalu kubenci hingga bertahun-tahun lamanya aku tak pernah memperlakukannya layaknya seorang anak.

"Mama โ€ฆ." Suara Irsya memanggil lirih saat ia sadarkan diri.

"Ya, Sayang. Ini Mama di sini." Aku mengusap rambutnya lembut.

"Isrya di mana?" Irsya menoleh memandang selang infus yang tertancap di tangannya.

"Di rumah sakit. Badan Irsya menggigil dan panas tinggi, makanya Mama bawa ke rumah sakit."

Matanya masih mengerjap pelan, menoleh ke sana-sini.

"Irsya cari siapa?" tanyaku.

"Mbok Rum mana?"

Aku terdiam. Hanya saja, hatiku yang terasa berdenyut sakit.

Siangnya, saat Mbok Rum datang, Irsya terlihat berbinar dengan senyum mengembang. Menyambut kedatangan Mbok Rum lalu memeluknya erat sekali.

Aku hanya memalingkan wajah dengan tangan menekan dada agar sakitnya tak begitu terasa.

Nyatanya, aku tak kuasa menahan kecemburuanku saat Mbok Rum yang menggantikanku menyuapi Irsya. Anakku dengan lahapnya memakan sesuap demi suap yang Mbok Rum berikan. Padahal, sejak pagi aku membujuk agar Irsya mau sedikit saja membuka mulut.

"Mbok Rum di sini saja." Irsya meminta saat Mbok Rum kuminta pulang untuk beres-beres rumah dan lainnya.

"Lho, Simbok 'kan harus masak untuk makan malam nanti." Mbok Rum dengan lembut mengelus genggaman tangan anakku.

"Biasanya Mama yang masak."

"Mama 'kan di sini jagain Irsya," sahutku.

"Mama โ€ฆ pulang saja. Biar Mbok Rum yang jagain Irsya."

Aku tertegun. Ucapan Irsya bagai tamparan keras, menghancurkan hatiku.

"Gak boleh begitu dong, Den. Mama 'kan juga mau jagain Irsya." Mbok Rum membujuk dengan lembut.

Irsya justru menarik lengan Mbok Rum dan menyandarkan kepalanya. "Irsya gak mau jauh-jauh dari Mbok Rum. Irsya gak mau pisah sama Mbok Rum. Irsya cuma mau sama Mbok Rum."

Hatiku seketika sakit sekali mendengar jawaban Irsya. Anakku seakan-akan lebih membutuhkan Mbok Rum, pengasuhnya, dibanding aku sebagai mamanya. Jujur, aku sangat cemburu pada Mbok Rum yang seakan-akan menempati tempat spesial di hati Irsya. Dan aku, justru sama sekali tidak ada artinya. Apa ini juga alasan Irsya tidak mau dipindahkan ke desa? Karena tidak mau pisah dengan Mbok Rum?

Oh Tuhan!

Ternyata, menyakitkan sekali rasanya. Ketika dekat, tapi tak dianggap. Kehadiranku sama sekali tak dibutuhkan. Kini, baru tersadar bahwa aku benar-benar telah kehilangan anakku.

Kehilangan arti sebagai mamanya.

Bersambung ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya KEHILANGAN (Bab. 3, 4)๐Ÿ
22
6
Ternyata, menyakitkan sekali rasanya. Ketika dekat, tapi tak dianggap. Kehadiranku sama sekali tak dibutuhkan. Kini, baru tersadar bahwa aku benar-benar telah kehilangan anakku.ย Kehilangan arti sebagai mamanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan