
Adakah yang lebih menyakitkan dari tak dikenali oleh ibu sendiri? Adakah luka yang lebih parah dari melihat sang ibu mengalami gangguan jiwa?
Ia merindukan ibunya. Merindukan sentuhan tangan, pelukan, dan juga tatapan lembut dari sang Ibu. Dialah Giovanno Alfarizky, lelaki yang berjuang keras demi mencari ibunya yang hilang. Bekerja keras demi bisa menyembuhkan ibunya. Agar jiwa ibunya kembali dan melihat dirinya telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang bisa dibanggakan.
Bagian 1
๐๐๐
"Siapkan aku makan, Dir. Lapar aku." Aldi menyuruh Adira saat baru sampai rumah. Ia duduk di kursi ruang tamu sambil mengipas-kipas wajah dengan tangan.
"Nggak ada lauk, Mas. Gimana?" Adira menyahut sambil menggendong Shanum, bayinya yang baru berusia tiga minggu.
"Nggak ada lauk? Kok bisa?"
"Uangnya kupake buat beli susu formula, Mas. Asiku kan nggak keluar sama sekali. Kasihan Shanum, nangis karena lapar."
"Masa semuanya buat beli susu?"
"Uang yang Mas kasih kan nggak seberapa. Tanya aja sama Mbak Yuli harga susu formula untuk bayi itu berapa yang paling murah. Terus sisanya kubeliin kerupuk tadi buat makan aku sama Gio."
Aldi berdecak kesal kemudian menyambar jaket dan keluar.
"Mas mau ke mana?" Adira menyusul.
"Keluar cari makan," jawabnya ketus sambil menaiki motor.
"Masih ada kerupuk kalau mau."
"Kamu makan aja sendiri!"
Adira hanya menghela napas panjang untuk menghalau rasa sesak di dada. Sudah biasa, tapi tetap saja menyakitkan. Aldi selalu bersikap demikian. Marah saat pulang kerja, karena di rumah tidak ada makanan. Sedangkan uang yang dikasih hanya cukup untuk beli kebutuhan si bayi atau kakaknya yang berusia sepuluh tahun.
Sebelas tahun menikah, Adira sudah sangat memahami karakter suaminya. Terkadang ia malas meminta jatah belanja, karena selalu saja salah. Uang belanja tak seberapa, terkadang masih diungkit-ungkit dan dibilang boros.
Lebih menyakitkan lagi, ketika ibu mertuanya ikut campur masalah rumah tangganya. Bahkan Adira dibilang tak becus mengurus suami dan tak pandai mengurus keuangan. Adira tak berani membantah. Ia diam tapi terkadang menangis diam-diam.
***
"Bu, makan sama kerupuk lagi?" tanya Gio dengan wajah memelas. Menatap sepiring nasi dengan kerupuk sisa siang tadi.
"Besok kalau Ibu punya uang, kita beli makanan yang enak ya. Gio mau apa?" Adira mencoba membujuk.
"Kita beli ayam goreng ya, Bu!" Gio berseru dengan mata berbinar.
"Iya nanti kita beli ayam goreng yang banyak khusus buat Gio. Sekarang makan dulu biar perutnya nggak sakit."
Gio mengangguk cepat lalu mulai makan dengan lahap. Dalam hati, Adira meringis menahan perih. Sebagai Ibu, ia merasa gagal karena tak mampu memberikan makanan yang cukup gizi untuk anaknya.
"Bu, Ayah kok belum pulang?" tanya Gio di sela makan.
"Ayah lembur mungkin," jawabnya berbohong. Ia sendiri tidak tahu ke mana Aldi. Karena sejak sore tadi, lelaki itu belum pulang.
Suara ketukan pintu membuat Adira beranjak dari kursi. "Gio sambil lihatin Adek, ya," katanya dan mendapat anggukan dari Gio.
Adira berjalan keluar dari dapur untuk membuka pintu. "Sebentar!" serunya karena ketukan itu berulang-ulang. Jelas itu bukan suaminya.
Ketika pintu dibuka, benar saja bahwa yang datang bukanlah suaminya melainkan ibu mertuanya. Sulastri datang membawa bingkisan, langsung masuk begitu saja sambil mengomel.
"Lama banget buka pintu! Mana Gio?!" tanyanya sambil berjalan ke dalam.
"Di dapur lagi makan, Buk." Adira menjawab sambil menutup pintu.
Ia berjalan ke dapur mengikuti Sulastri. Ternyata Ibu mertuanya membawa lauk cha kangkung dan ikan goreng. Melihat itu seketika Adira menelan ludah. Rasa lapar yang ditahan membuatnya menginginkan lauk tersebut. Namun cukup tahu diri karena sepertinya ibu mertuanya hanya membawa untuk Gio saja.
"Makan ini. Makan kok sama kerupuk. Mana ada gizinya. Udah itu kerupuknya kasih ke ibumu, biar dia yang makan." Sulastri menyingkirkan sisa kerupuk yang tak seberapa itu lalu menaruh cha kangkung dan ikan goreng ke piring Gio.
"Kata Ibu, besok kalau Ibu punya uang nanti Gio bakal dibeliin ayam goreng, Eyang." Gio menjawab.
"Halah! Uang dari mana ibumu? Kerja juga nggak!"
Adira menahan perih saat mendengar ucapan Sulastri. Seakan-akan dirinya tidak ada di sana. Seperti tak ada rasa takut menyakiti.
"Ayahmu di rumah Eyang. Kamu mau tidur di rumah Eyang atau di sini saja?" Sulastri kembali bertanya setelah menarik kursi dan duduk di samping Gio.
"Loh Mas Aldi nggak pulang, Buk?" tanya Adira.
"Nggak. Pusing katanya. Sumpek di rumah apalagi kamu nggak becus ngurus suami."
Adira menggertakkan gigi, dan entah keberanian dari mana ia menyahut, "Mas Aldi saja nggak becus ngurus istri dan anak, kenapa menuntutku sedemikian?"
"Apa kamu bilang?" Sulastri melotot.
Adira memilih berjalan ke kamar tanpa menyahut lagi. Dadanya kian sesak dan akhirnya air matanya keluar.
"Berani sekali kamu bicara seperti itu!" Sulastri menyusul ke kamar. "Kamu tahu, sejak kecil Aldi itu hidup enak. Aku nggak pernah nyusahin dia. Aku selalu menuhin kebutuhannya. Setelah menikah, seharusnya kamu belajar bagaimana menyenangkan suami! Istri macam apa kamu ini!"
Adira memejamkan mata dan menepuk-tepuk Shanum yang menggeliat karena terganggu dengan suara Sulastri. Tak lama kemudian, Shanum menangis.
Sulastri pergi ke kamar dengan masih mengomel. Ia kembali ke dapur. Sedangkan Adira sesenggukan sambil menenangkan Shanum.
"Gio cepat makannya, ayo pulang ke rumah Eyang."
Gio menggeleng. "Gio mau tidur di sini saja."
"Di rumah Eyang ada roti banyak. Ayo! Kamu kelaperan kalau di sini."
Gio tetap menggeleng. "Nggak mau."
"Terserahlah. Anak aneh, malah lebih suka kelaperan." Sulastri berlalu begitu saja dan pergi tanpa pamitan.
Shanum sudah mulai tenang ketika diberi susu dalam botol. Adira mengusap wajahnya yang basah, berkali-kali tapi tetap saja air matanya mengalir.
"Ibu, Gio udah kenyang." Gio datang dan berdiri di ambang pintu.
"Gio udah cuci tangan?"
Gio mengangguk.
"Sini jagain adek. Ibu makan dulu."
Gio langsung mendekat dan tiduran di samping Shanum. Adira keluar kamar menuju dapur, dan terkejut saat melihat lauknya masih banyak. Ia tersenyum sambil menitikan air mata lagi. Ia sangat bersyukur memiliki anak yang sangat pengertian.
๐๐๐
Bagian 2
Hari-hari berlalu semakin menyakitkan. Aldi masih sama saja, memberikan uang belanja sesukanya. Kadang bahkan tidak sama sekali. Saat Adira protes, Aldi akan mengamuk dan bilang, "Nggak ada bersyukurnya jadi istri! Kamu kira gampang cari uang?"
Lalu lebih menyakitkan lagi ketika Adira meminta uang untuk beli susu. Aldi berkata sangat menyakitkan. "Istri-istri di luar sana bisa menyusui anaknya. Kamu aja yang manja nggak mau usaha. Mau enaknya saja. Beli susu terus apa nggak boros kamu pikir?"
Kemudian Aldi keluar rumah dengan meletakkan uang yang tak seberapa itu di meja makan. Uang yang tak mungkin cukup untuk beli susu. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengutang di toko.
"Yang kemarin saja belum dibayar, Mbak. Masa sekarang mau ngutang lagi? Lama-lama saya bangkrut, Mbak!" kata Mbak Yuli, pemilik toko.
"Nanti pasti saya bayar kok, Mbak. Maaf ya."
"Ini yang terakhir ya, Mbak. Utang Mbak Dira di sini sudah banyak lho. Ditambah ini berapa? Pokoknya nanti harus bayar dulu, baru utang lagi."
"Iya, Mbak. Maaf."
Adira pulang dengan rasa malu. Ia tak ingin berhutang sebenarnya. Tapi bagaimana lagi. Uang yang diberikan Aldi sama sekali tak mencukupi.
Ketika ia cerita pada Aldi tentang utang di warung, jawaban Aldi justru menyakitkan. "Itu kan utangmu. Siapa suruh utang. Harusnya kamu lebih pinter ngatur keuangan. Kayak ibuku, dulu dia kerja sendiri buat dapat uang tambahan, bukannya utang."
Adira buntu. Ia tak tahu harus bagaimana ketika susu untuk Shanum telah habis. Ia tidak mungkin minta pada Aldi, karena pasti akan mendapatkan jawaban menyakitkan, pun uang tak diberikan. Ingin utang ke toko lagi, ia tak berani.
Namun, karena Shanum terus menangis kelaparan, Adira nekat mendatangi toko untuk utang lagi. Sebelum pergi, ia memanggil Gio yang sedang bermain.
"Gio jagain adek dulu, ya. Ibu mau beli susu."
Gio mengangguk patuh dan segera masuk ke kamar. Adira pun segera meluncur ke toko.
"Oalah, Mbak. Maaf ya nggak bisa. Kan sudah janji mau bayar dulu utang sebelumnya."
"Sekali ini saja, Mbak Yuli. Saya janji akan bayar. Anak saya nangis terus karena lapar."
"Suaminya mana sih, Mbak? Mas Aldi kan kerja. Masa nggak punya uang. Karyawan pabrik padahal bayarannya jelas lho sebulan berapa, tapi bisa nggak punya uang begini."
"Iya, Mbak. Nanti saya suruh Mas Aldi bayar. Sekarang saya minta dulu ya. Saya mohon. Anak saya lapar, Mbak."
"Nggak bisa, Mbak. Maaf. Suruh suaminya bayar dulu ya."
Adira menyerah. Ia pulang dengan menangis karena malu dan sakit. Ia akhirnya berbalik, dan mencari toko lain. Dari satu toko ke toko lain, meski hujan sangat deras. Ia kebasahan. Tubuhnya menggigil kedinginan. Perutnya lapar. Tapi ia tetap berjalan mencari toko yang mau memberinya utangan susu.
Ia pulang hampir tengah malam dalam keadaan basah. Menggigil dengan mata sembab karena tak ada satu pun toko yang mau memberinya utangan. Sebenarnya ia tak mau pulang sebelum mendapatkan susu, karena pasti anaknya menangis.
Sesampainya di rumah, ia mengernyitkan dahi bingung. Kenapa banyak orang di rumahnya. Ada apa? Adira berjalan dan ia merasa orang-orang menatapnya sambil berbisik. Lalu, Aldi keluar dan langsung mendekati Adira.
"Mas, ada apa?" tanyanya tapi justru sebuah tamparan ia dapatkan.
"Bisa-bisanya kamu pergi. Ke mana aja kamu, hah?! Shanum kejang-kejang dan muntah-muntah, kamu pikir Gio bisa jaga bayi?"
Adira tersentak. "Shanum kejang? Terus gimana sekarang, Mas?"
Adira hendak melangkah masuk tapi didorong kasar oleh Aldi hingga terjengkang. "Nggak guna kamu! Anakku mati gara-gara kamu! Bodoh! Bodoh!"
Aldi hendak memukul Adira tapi para warga menghalangi dan menenangkan. Adira sendiri masuk dan melihat bayinya sudah dibungkus kain putih. Ia menjerit histeris lalu jatuh pingsan.
Semenjak itu, Adira sering menangis dan menjerit histeris. Ia diduga mengalami gangguan kejiwaan. Adira kerap keluar rumah menuju toko dan ingin mengutang susu untuk bayinya. Hampir setiap hari seperti itu. Karena tak tahan dengan kegilaan istrinya, Aldi mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Aldi tak tahan mendapat cemoohan dari para tetangga.
Gio yang biasanya diam, saat tahu ibunya akan dibawa ke rumah sakit jiwa langsung menangis histeris. "Jangan! Nggak boleh! Ibu nggak boleh dibawa pergi! Ibu nggak boleh pergi. Ibu harus tetap di rumah." Kemudian anak itu memohon pada ayahnya. "Ayah, tolong jangan bawa pergi Ibu. Jangan Ayah. Gio janji akan jagain Ibu. Jangan bawa pergi Ibu!"
Namun, Aldi justru mengatakan jika Adira itu menyusahkan karena gangguan jiwa. Jadi harus tetap dibawa ke rumah sakit jiwa. Aldi tetap membawa Adira, sedangkan Gio dipegangi oleh Sulastri.
***
Adira datang ke minimarket lalu menuju rak susu. Ia mengambil susu formula untuk bayi, kemudian tersenyum dan menuju kasir.
"Mbak, saya boleh utang dulu? Saya janji akan bayar nanti."
Si kasir terbengong karena baru pertama kali ada yang utang di minimarket. "Maaf nggak bisa, Ibu. Di sini tidak boleh utang."
"Saya janji akan bayar kok, Mbak. Bayi saya laper, Mbak. Belum nyusu sama sekali. Susu saya nggak bisa keluar. Boleh ya, Mbak. Saya janji akan bayar."
"Maaf tidak bisa, Bu. Tapi โฆ."
"Biar saya yang bayar," sahut seorang lelaki tampan dengan kemeja putih yang bagian tangan dilipat sesiku. Lelaki itu mengeluarkan dompet dari saku celana dan mengeluarkan selembar uang lalu menyerahkan ke kasir.
Adira tersenyum menatap lelaki di hadapannya. Selain tampan, tapi juga baik sekali.
Lelaki itu menatap Adira dengan senyuman. Ia mengulurkan tangan menyentuh pundak Adira. "Pulangnya saya antar ya, Bu."
Adira mengangguk cepat. Setelah selesai membayar, lelaki itu merangkul pundak Adira keluar dari minimarket. Lelaki itu membukakan pintu mobil dan menyuruh Adira masuk.
"Makasih ya sudah mau membayar susu ini. Tadi mbaknya nggak mau kasih utangan, padahal saya janji akan bayar."
Lelaki itu tersenyum menatap Adira, lalu mulai melajukan mobilnya.
"Namamu siapa?" tanya Adira kemudian.
"Nama saya Gio, Bu." Lelaki itu tersenyum saat menjawab.
"Gio? Namanya sama dengan anak saya."
Lelaki itu masih tersenyum. "Anak Ibu pasti sangat beruntung memiliki Ibu yang kuat dan hebat seperti Ibu."
Adira menggeleng dan mulai terisak-isak. Ia kemudian bercerita panjang lebar tentang kegagalannya menjadi seorang Ibu. Setelah puas bercerita dan menangis, Adira tertidur.
Gio menyentuh rambut Adira lembut dan mengusapnya, kemudian menghapus sisa air mata di wajah yang mulai keriput itu. Lima belas tahun berlalu, tapi ingatan Adira masih terpatri pada kejadian-kejadian menyakitkan kala itu. Adira masih suka pergi dari rumah dan lepas dari penjagaan. Hingga membuat Gio terkadang kelimpungan mencari ke sana-sini. Seperti hari ini, seharusnya ia ada meeting dengan client, tapi langsung ia batalkan saat mendapat kabar bahwa Adira hilang.
"Ibu nggak pernah gagal menjadi ibuku. Justru aku sangat bangga memiliki Ibu sepertimu, Bu." Kemudian Gio menggenggam tangan Adira lembut. "Jangan pergi dari rumah lagi ya, Bu. Jangan bikin Gio takut kehilangan Ibu untuk kedua kalinya. Meski sekarang Ibu tidak mengenali Gio, tapi bisa melihat Ibu dan selalu ada didekat Ibu sudah cukup membuat Gio tenang dan bahagia. I love you, Bu."
Bersambung โฆ.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
