
Konsekuensi akibat pengkhianatan
Pukul sembilan malam, keheningan menyelimuti rumah Danu Bimantara. Tidak seluruh lampu di dalam rumah itu dalam keadaan menyala. Hanya terlihat cahaya dari ruang tamu, ruang tengah, dan ruang tidur Danu saja. Itu karena kedua orangtua Danu dan satu-satunya adik perempuan Danu tengah pergi ke luar kota untuk menyambangi kerabat mereka yang tengah sakit keras.
Meski tidak memiliki pembantu, bukan berarti Danu berada sendirian di rumahnya. Ia ditemani oleh Ariq, kekasihnya. Mereka duduk berdua di ruang tengah tanpa memperdulikan hujan deras yang tengah mengguyur bumi.
Suara butiran air hujan memukul-mukul genteng rumah, namun tak sanggup mengalahkan irama lagu yang berkumnadang dari seperangkat sound system di ruang tengah itu.
Danu merangkul bahu Ariq yang menengadahkan wajahnya, lalu ia menyuapkan sebuah cherry ke dalam mulut kekasihnya itu. Cherry merah yang diambilnya dari atas kue tart coklat di atas meja.
“Selamat ulang tahun, Sayang...” kata Danu pada kekasihnya itu.
“Ehmm...!” Ariq menerima cherry yang disuapkan oleh Danu, mengulumnya sebentar, baru mengunyahnya perlahan. Dan Danu menundukkan wajahnya. Tanpa memberi kesempatan pada Ariq untuk menelan cherry yang disuapkannya, ia mencium Ariq dengan mesra.
“Ehm...,” Ariq melenguh pelan.
“Ciuman ini hadiah ultah yang pertama. Aku punya dua buah hadiah lagi,” terang Danu.
“Oh, ya? Apa lagi?”
“Nanti kuberi tahu.”
“Nanti kapan? Sekarang udah jam sepuluh malam. Sebentar lagi aku mau pulang.”
“Pulang?” Danu tertawa. “Jangan becanda. Kamu harus tetap di sini sampai besok.”
“Aku nggak bisa, Dan. Aku nggak kasih tahu Ibu kalo bakal menginap. Kasihan ntar beliau khawatir...”
“Iya...iya. dasar anak mami, anak rumahan. Ntar aku anterin. Tapi tunggu hujannya reda, oke?”
“Emang kamu suka kalo aku jadi anak liar?” goda Ariq.
“Hmmm....mendingan jangan deh. Cukup aku aja, hehehe...” Danu melingkarkan sebelah lengannya yang dihiasi tato setangkai mawar merah ke bahu Ariq.
Danu kemudian memasukkan sebelah tangannya lagi ke dalam saku celana yang dikenakannya. Dari saku celana itu ia mengeluarkan sebuah benda.
“Ini hadiah keduaku,” Danu memberikan sebuah jam tangan merk terkenal ke Ariq.
“Ini harganya pasti mahal banget kan, Dan?”
“Harganya nggak seberapa kok,” Danu mengambil jam tangan itu dan memakaikannya ke pergelangan tangan Ariq. “Ini masih tak sebanding dengan arti dirimu bagiku...tapi...hanya ini yang dapat kuberikan padamu...” sambung Danu.
“Kamu nggak perlu melakukan ini, Dan...” ucap Ariq dengan perasaan bahagia campur terharu.
“Tapi aku suka melakukannya...”
Ariq menatap Danu yang tersenyum manis padanya. Ia segera memeluk leher cowok itu dan mengecupnya dengan mesra.
“Thanks, honey...” bisiknya di telinga Danu.
“Ya...tapi jangan dijual yaaa...” goda Danu, membuat Ariq segera menghadiahinya sebuah cubitan di perut cowok itu.
“Aduhh!” Danu pura-pura mengeluh kesakitan.
“By the way, mau tahu hadiahku yang ketiga, nggak?”
“Tentu. Aku pengen tahu apa lagi kejutan selanjutnya...” jawab Ariq.
“Sini,” Danu bangkit berdiri sambil menarik Ariq menuju kamarnya.
“Hadiah yang ketiga ada di kamarku.”
“Eh...??” Ariq ragu.
“Jangan takut. Aku nggak akan macam-macam, kok,” Danu tersenyum karena dapat membaca isi benak Ariq. Ia kembali menarik tangan Ariq ke kamarnya. Dan kali ini Ariq mengalah.
“Ini hadiahku yang ketiga,” Danu menunjukkan tiga botol tinta yang tergeletak di atas meja kecil dalam kamarnya.
“Itu?!” Ariq mengerutkan alisnya karena tak mengerti maksud Danu.
“Aku akan menghadiahimu sebuah gambar! Bagamana?!””tanya Danu bersemangat.
“Gam...bar..?”
“Heeh,” Danu memperlihatkan gambar mawar di tangannya.
“Tato?”
“Iya. Kerenkan?”
“Tt-tapi...”
“Apa lagi?” Danu mulai tak sabar. Ceria di wajahnya jadi berkurang. Dan ini membuat Ariq jadi tak enak hati.
Di satu sisi, Ariq memang mengagumi gambar yang dimiliki oleh Danu. Gambar itu menambah keseksian di tubuh kekasihnya itu. Tapi itu bukan berarti ia juga menginginkan sebuah tato melekat di tubuhnya.
“Ibu pasti nggak suka kalo aku punya tato,” kata Ariq.
Danu berjalan ke belakang Ariq, merengkuh bahu Ariq lalu mencium belakang telinga kekasihnya itu sambil berbisik,
“Aku akan membuat gambar itu di tempat yang tersembunyi hingga hanya kita berdua saja yang dapat melihatnya...”
Ariq menoleh, hendak membantah ucapan Danu, tapi Danu malah merengkuh pinggangnya dan menciumnya dengan mesra. Tindakan Danu itu membuat Ariq tak sempat bicara lagi. Ia tenggelam dalam rengkuhan dan belaian tangan Danu.
“Kamu gak akan menolak hadiahku ini kan...?” desak Danu dengan bisikannya di sela-sela kemesraan yang diberikannya.
Ariq melenguh. Benaknya ingin menolak, tapi hatinya tidak. Ia ingin membahagiakan Danu dengan memberikan apa yang diinginkan oleh cowoknya itu. Makanya, ketika tangan Danu menarik tubuhnya ke atas pembaringan, ia tak bisa menolak sama sekali.
Danu membelai punggung Ariq yang menelungkup, lalu ia menarik kerah baju Ariq. Tangannya dengan cepat membuka botol-botol tinta, dan ia mulai menggambar di atas kulit pungguk Ariq.
“Dan...”
“Iya?”
“Kamu mau menghadiahiku tato apa?”
“Mawar juga...”
“Sama kayak punya kamu?”
“Heeh.”
“Oke. Aku menyukainya..."
Sementara itu, hujan belum berhenti. Udara semakin dingin. Dan malam kian larut. Butiran-butiran peluh menetes di dahi Danu yang melukis mawar merah di punggung Ariq.
“Selesai sudah...,” kata Danu seraya tersenyum puas.
Ooo
Hujan sudah reda, tapi belum berhenti sepenuhnya. Masih ada tetesan airnya yang sesekali turun ke tanah berubah rintik-rintik gerimis. Tapi dengan jas hujannya, Danu membawa motornya untuk mengantar Ariq pulang.
Waktu hampir mendekati tengah malam saat motor Danu berhenti di depan rumah Ariq. Setelah membuka helmnya, ia dapat mendengar suara ribut barang-barang yang dibanting dari dalam rumah Ariq. Tapi Danu tetap bersikap wajar sekan tak mendengar apa-apa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ariq.
Setelah menerima helm yang diberikan oleh Ariq, Danu memegang lengan cowok itu.
"Sekarang di punggungmu telah tercantum tanda cintaku.”
Ariq tersenyum dan menunduk. Ya, meski ada sedikit rasa menyesal karena telah merajah tubuhnya, tapi ia merasa sangat bahagia karena gambar tersebut adalah perlambang cinta Danu padanya.
“Hujannya belum reda, “Ariq menarik lengannya.
“Good nite, Sayang...” ujar Danu seraya mengecup tangan Ariq.
Ariq mengangguk dan tersenyum.
“Nggak mau mampir dulu?” tanya Ariq.
“Sebaiknya aku langsung pulang aja. Sudah larut. Ntar ganggu ibu sama ayah kamu lagi. Mereka pasti sedang istirahat...”
Ariq tersenyum kecut. Ia tahu betul kalau Danu berkata demikian hanyalah utuk menghiburnya saja. Cowok itu tentu mendengar suara-suara ribut dari dalam rumah. Dan ia juga pasti tahu kalau suara-suara ribut itu berasal dari kedua orang tua Ariq yang bertengkar mulut dan saling melempar barang-barang.
“Ya udah,” Ariq akhirnya mengangguk. “Hati-hati di jalan, Dan.”
Danu mejulurkan lehernya dan mengecup pipi Ariq sekilas sebelum mengenakan kembali helmnya. Sesaat kemudian, ia meluncur menembus hujan gerimis. Meninggalkan Ariq sendirian.
Ariq membalikkan tubuhnya dan membuka pintu rumah dengan kunci yang ada di dalam kanting jeansnya. Begitu masuk ke dalam rumah, ia kembali mengunci pintu dari dalam. Tapi tiba-tiba saja...
Prangg! Hampir saja sebuah asbak kaca melayang mengenai Ariq kalau saja ia tak kebetulan sedang membalikkan tubuh setelah selesai mengunci pintu. Sepasang mata Ariq membelalak kaget saat asbak itu membentur dinding di sebelahnya dan pecah berhamburan dengan suara keras yang mengejutkan. Ia memejamkan mata menahan ngeri dan amarah.
“Kau memang bajingan, Rudy! Aku nyesal nikah sama kamu!” suara Siska, ibu kandung Ariq, terdengar memaki-maki ayah tiri Ariq.
Saat Ariq membuka matanya, ia melihat ibunya berdiri di perbatasan ruang tamu dan ruang tengah. Sementara di atas sofa, suaminya duduk dengan wajah tegang. Tampaknya, pasangan suami-istri itu tengah bersitegang seperti biasanya.
“Sekali lagi aku lihat kamu sama gadis itu, aku minta cerai! Ceraaiii!!!” pekik Siska lagi sambil tangannya menuding-nuding karena emosi. Sedang Rudy hanya mendengus setengah tak perduli malah matanya menatap anak tirinya yang baru masuk.
“Jangan ngomong aja! Kalo mau cerai, cerai!” timpal Ariq sambil berjalan masuk ke dalam kamar.
Kehadirannya itu membuat Siska diam, tak melanjutkan pertengkaran dengan suaminya. Tapi Ariq tahu, begitu ia masuk ke kamar, pertengkaran itu akan berlanjut lagi.
Klik! Ariq mengunci kamarnya dan membuka baju. Mengganti kemejanya yang basah dengan kaus tanpa lengan. Ia baru hendak keluar kamar untuk mencuci muka dan kaki ketika suara Siska terdengar lagi.
“Seharusnya aku gak percaya sama alasan kamu ngojek itu sebenarnya bohong! Alasan kamu supaya bisa nganterin anak perawan Wak Supi itukan?! Iya kan?!!!”
“Sudahlah...” kali ini Rudy menjawab. “Hentikan omelanmu itu Siska. Malu dengan orang!”
“Ooo... tahu malu juga???”
Rudy berdecak. Kehabisan kata-kata rupanya. Selama ini pria itu memang selalu kalah berdebat dengan Siska. Tapi bagi Ariq, Rudy bukanlah pria yang tidak pintar bicara ataupun tipe pengalah. Rudy tidak mau mendebat Siska karena takut Siska marah dan minta cerai. Kalau sudah bercerai, mau makan apa laki-laki itu?! Selama ini toh dia selalu menumpang makan dan segalanya pada Siska. Persis seperti benalu!
Justru dengan sikapnya yang berlagak lugu dan pengalah itulah Rudy menaklukkan Siska. Kalau lelaki itu terus berdiam diri dan tak membantah, lama kelamaan Siska pun akan melemah dan menghentikan omelan-omelannya yang pedas. Bahkan Siska bisa berbalik menyesal dan berlaku sangat manis pada Rudy setelah selesai menumpahkan uneg-unegnya dengan cara mengomeli pria tak tahu malu itu!
Kadang-kadang, Ariq tak habis mengerti mengapa ibunya begitu lemah terhadap laki-laki. Ketika masih kecil, Ariq tahu kalau ayah kandungnya memperlakukan istri dengan semena-mena. Ringan tangan, dan suka menyeleweng dengan perempuan lain.
Ariq sudah berusia sebelas tahun ketika Siska, ibunya, bercerai dengan ayahnya. Dan Siska harus berjuang di pengadilan untuk mendapatkan sedikit uang dan tunjangan dari mantan suaminya itu. Uang tunjangan itu akan dihentikan jika Siska menikah lagi. Tapi uang yang didapatnya itu masih cukup banyak untuk dikembangkan terus dalam toko kelontong miliknya yang cukup besar.
Setelah kedua orang tuanya berpisah, sejak saat itu ayahnya tak pernah menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Ariq tak pernah bertemu dengan ayhnya lagi. Sejak saat itu ia tidak lagi mendapat kasih sayang seorang ayah. Ia bertanya-tanya kenapa ayahnya begitu tega tidak memperdulikannya lagi. Harapan akan mendapatkan kasih sayang terbit ketika ibunya bertemu dengan Rudy dan jatuh cinta. Ariq senang ayah tirinya itu tak ringan tangan dan suka mmeukul seperti ayah kandungnya. Tapi ternyata dia tak lebih baik karena sifatnya ternyata juga suka berselingkuh dan...pengeretan! rudy punya pekerjaan yang tak jelas dan setiap hari minta uang terus pada Siska. Dan Siska selalu memberikannya tak perduli kalau uang yang diminta oleh Rudy itu membuat toko kelontongnya nyaris bangkrut!
Jelas ia tak bisa mengharapkan kasih sayang dari lelaki pengeretan itu. Ariq makin merindukan sosok seorang yang bisa menggantikan figur ayahnya. Ia membayangkan jika ayah temannya yang perhatian itu bisa menjadi ayahnya, atau membayangkan guru olahraganya yang tampan, atletis dan penuh perhatian itu menjadi sosok ayahnya...sementara itu, setiap hari yang ia dengar hanyalah pertengkaran antara Siska dengan Rudy karena sifat Rudy yang hobi berselingkuh itu. Tapi setiap hari pula Rudy selalu bisa melunakkan hati Siska dan berbaikan kembali. Malah Rudy sering memanfaatkan perasaan Siska yang merasa bersalah karena mengomelinya itu dengan cara meminta uang! Ariq benar-benar tak habis pikir bagaimana bisa seorang wanita yang cukup modern seperti ibunya bisa terjebak dalam perangkap yang sama dua kali!
“Kalau kau tahu malu, seharusnya jangan mengejar-ngejar perawan bau kencur yang genit itu, tahu!” suara Siska terdengar lagi.
Ariq menelungkupkan tubuhnya dan menutup telinganya dengan bantal. Ia membatalkan niatnya untuk ke kamar mandi. Pusing kepalanya mendengar suara Siska yang berteriak-teriak itu. Ia sudah capek menangani pertengkaran kedua orang tuanya itu. Ia sudah berbicara berkali-kali dari hati ke hati sama ibunya, begitu juga dengan ayah tirinya itu. Mereka berdua mengaku tidak akan bertengkar lagi dan akan menyelesaikan persoalan mereka secara baik-baik. Tapi janji tinggal janji. Pertengkaran terus menerus terjadi sampai Ariq kewalahan dan memilih untuk bersikap acuh tak acuh. Ia capek. Toh, nasehatnya tidak pernah dianggap. Jadi terserahlah!
Ariq memilih untuk mendengarkan radio. Saat itu lagu favoritnya tengah diputar. Ariq memejamkan matanya. Ia membalikkan tubuh menelentang dan memeluk dadanya sendiri dengan perasaan berbunga-bunga. Ingatannya melayang pada Danu.
Ya, setiap mendengar lagu kesayangannya itu, Ariq selalu teringat Danu. Teringat pada senyum dan tawa pemuda itu. Teringat sentuhannya, kecupannya dan semua yang ada pada diri Danu. Satu-satunya hal yang dapat membuat Ariq bahagia hanyalah Danu seorang.
Benak Ariq melayang-layang. Membayangkan apa gerangan yang sedang dilakukan oleh kekasih hatinya sekarang. Hingga malam kian larut, dan kantuk menyerang, Ariq terlelap dalam kesunyian...
***
Setelah mengantar Ariq pulang, Danu memacu motornya. Ia tidak membawa motornya itu pulang ke rumah, tapi membawanya ke Ortega, sebuah diskotek yang banyak didatangi kawula muda saat ini.
Terburu-buru, Danu memarkirkan motornya lalu ia bercermin, menyisir rambut dengan jemarinya di depan kaca spion motornya. Setelah merasa dirinya sudah rapi dan tampan, barulah ia berlari kecil, membeli tiket, dan masuk ke dalam Ortega.
Lagu R n B yang dimainkan oleh seorang DJ menyambut kedatangan Danu. Suasana remang-remang yang bermandikan laser membuat Danu tergerak untuk menggoyang-goyangkan kepalanya. Tapi ia tidak turun ke lantai disko untuk bergabung dengan orang-orang yang asyik menggoyangkan tubuh di sana, melainkan pergi ke sebuah meja di sudut ruangan diskotek itu. Di sana tekah duduk lima orang muda-mudi yang segera melambaikan tangan ke arahnya.
Kelima muda-mudi itu adalah Trisna yang berpasangan dengan Dewinta, Didit yang berpasangan dengan Yani, dan Vera yang duduk sendirian dengan wajah cemberut.
“Aku pikir kamu nggak jadi datang, Dan!” Didit memberi jalan agar Danu bisa duduk di sebelah Vera.
Sementara Trisna menonjok lengan Danu yang lewat di depannya sambil tertawa dan bekata, “Kasihan tuh, Vera. Dari tadi manyun nunggu kamu datang.”
Danu tertawa lebar. “Mana mungkin aku bohong. Kita kan sudah janjian, pasti aku datang.”
Vera melirik Danu sekilas. Wajahnya masih cemberut, tapi matanya tidak semuram ketika Danu baru muncul. Gadis itu terlihat lega karena ternyata Danu menepati janjinya untuk datang.
“Eh, ngomong-ngomong aku mau turun dulu nih,” Trisna menepuk bahu Danu sambil menuntun tangan Dewinta ke lantai disko.
“Aju juga, Dan. Dari tadi kami mau turun, tapi nggak enak ninggalin Vera sendirian,” Didit nggak mau ketinggalan, menarik tangan Yani ke lantai Disko.
“Oke, oke. Sip!” kata Danu.
Sepeninggalan teman-temannya, Danu menoleh ke arah Vera dan merangkul bahu gadis itu, tapi Vera melengos. Ngambek karena Danu datang terlambat dan membuatnya menunggu dalam waktu yang cukup lama.
“Mau ikutan turun, Ver?’ tanya Danu dengan jarak bibir yang hampir menyentuh telinga Vera. Tapi Vera tak menjawab pertanyaan itu.
Danu tertawa lebar melihat sikap Vera yang memunggunginya. Dengan tangan kanannya, pemuda itu lalu membalikkan bahu Vera hingga gadis itu menghadap ke arah dirinya.
“Masih ngambek nihh???’ goda Danu sambil mentowel dagu Vera.
“Jelas lah! Aku hampir lumutan nunggu kamu!” Vera masih merajuk.
“Iya deehh, aku salah. Maaf yaaa, Sayang. Jangan ngambek lagi dong...” rayu Danu sambil mendekatkan wajahnya untuk mengecup Vera. Tapi Vera segera mendorong dada pemuda itu agar menjauh.
Danu kembali tertawa melihat sikap Vera yang sudah dapat dibacanya dengan mudah itu. Dorongan tangan Vera bukan membuatnya melepaskan pelukan, tapi malah mempererat dekapannya. Kini kedua tangannya merangkul pinggang Vera yang duduk di pojokan gelap Ortega itu. Lutut keduanya bertemu, tangan saling berangkulan karena Vera tak sepenuhnya menolak Danu, dan...
“Hhhh...,” Vera mengeluh saat Danu mengecup bibirnya.
Kembali Vera berusaha melepaskan dirinya dengan gerakan tak sepenuh tenaga. Dan kembali Danu memperketat pelukannya hingga mereka berdua semakin dekat, semakin merapat, dan kecupan pun berubah menjadi ciuman panjang....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
