Menikahlah (Bab 1-8)

0
0
Deskripsi

Sky panik saat mendapati Summer, putri kecilnya, menghilang. Siapa sangka, balita berusia empat tahun itu ternyata pergi untuk menghentikan lamaran Louis Harper, cinta pertama sekaligus sahabat lama ibunya. Summer tidak setuju jika Louis menikah dengan orang lain. Ia ingin Louis menikahi Sky dan menjadi ayahnya!

Melihat kegigihan sang putri, Sky menjadi bimbang. Haruskah ia memaksa putrinya untuk pulang dengan kekecewaan? Atau ia harus turut memperjuangkan Louis dengan mengungkap rahasia besar yang...

Chapter 1. Kesedihan Sky 

“Hentikan! Kau tidak boleh menikah dengan gadis itu, Tuan Louis Harper. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui kalian!”

Semua orang terkesiap mendengar suara imut yang melengking itu. Tak terkecuali Louis yang sedang berlutut memegang kotak cincin. Begitu menoleh, mulutnya langsung terbuka lebar. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Seorang gadis cilik sedang berkacak pinggang di pintu masuk restoran! Jumpsuit bergambar beruang membuatnya terlihat sangat lucu, apalagi dengan pipi gembul yang digembungkan dan mata bulat yang dipaksakan seram.

“Astaga! Siapa gadis kecil itu? Berani-beraninya dia mengacaukan lamaranku?” pikir Louis, geram. 

Seminggu yang lalu ....

“Aku sebetulnya ragu untuk mengatakan ini, tapi kurasa kau berhak tahu. Louis berencana melamar kekasihnya Sabtu depan. Barangkali, ada yang mau kau ungkapkan kepadanya. Lakukanlah sebelum terlambat. Jangan sampai kau menyesal.”

Sudah berapa kali Sky berusaha melupakan informasi itu. Akan tetapi, suara Emily, sahabatnya, terus bergema. Bayang-bayang cinta pertamanya juga enggan pergi dari benaknya. Semakin lama matanya terpejam, wajah Louis justru semakin jelas. Kebersamaan mereka dulu pun kembali terulas, kebersamaan yang tak pernah lagi terulang sejak mereka putus kontak beberapa tahun silam.

“Ck, kenapa aku terus memikirkan laki-laki itu? Ayolah, Sky. Dia bahkan tidak pernah menghubungimu lagi. Untuk apa mengenangnya?” batin Sky, mengingatkan diri sendiri. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang terasa berair. “Lagi pula, kau sudah bahagia bersama Summer sekarang.”

Seakan tahu bahwa namanya ada di pikiran sang ibu, Summer, gadis cilik yang berbaring di sisi Sky bangkit duduk. 

“Mama, kenapa belum tidur?” tanya balita yang berusia empat tahun lebih tersebut.

Sky tersentak mendengar suara manis itu. Cepat-cepat ia keringkan air mata dan memutar badan. Melihat wajah layu sang putri, ia langsung mengelusnya.

“Sayang, kenapa kamu juga belum tidur? Apakah Mama mengganggumu?”

Summer mengangguk. “Mama seperti sedang gelisah. Mama bergerak-gerak terus sejak tadi. Apakah Mama sedih karena Paman Louis akan menikah dengan orang lain?”

Mata Sky sontak melebar. “Kenapa kamu bicara begitu?”

“Mama tampak murung sejak berbicara dengan Bibi Emily di telepon.”

“Kamu mendengarkan percakapan kami?”

Summer mengangguk. “Apakah Mama akan mengikuti saran Bibi Emily?”

“S-saran yang mana?”

“Tentang mengungkapkan perasaan Mama kepada Paman Louis.”

Sementara Sky tercengang, Summer berkedip lugu. Ia lanjutkan kata-katanya.

“Sebetulnya … aku sudah tahu sejak dulu kalau Mama menyukai Paman Louis. Mata Mama selalu berbinar-binar setiap Mama bercerita tentangnya.” Selang satu tarikan napas, Summer bertanya, “Apakah Mama akan menggagalkan lamaran Paman Louis?”

Kebingungan Sky semakin pekat. Umur sang putri belum genap lima tahun, tetapi mengapa ia bisa bicara begitu?

“Tidak, Sayang. Mama bukan siapa-siapa bagi Louis.” Sky berusaha memberikan pengertian. “Mama tidak berhak menggagalkan lamarannya. Biarkan saja dia bahagia bersama kekasihnya.”

“Tapi Mama menyukainya. Apa salahnya kalau Mama mengungkapkan perasaan Mama? Siapa tahu, Paman Louis berubah pikiran. Bukankah Bibi Emily bilang kalian berdua dulu saling mencintai? Aku akan sangat senang kalau Mama menikah dengannya. Aku jadi punya papa.”

Sky mendesah tak percaya. Sebelum kecanggungannya meradang, ia meloloskan tawa walau hambar. Ia harus segera menghentikan diskusi dadakan mereka.

“Sayang, kamu ini ada-ada saja. Kamu masih terlalu kecil untuk bicara soal cinta. Sekarang, bagaimana kalau kita tidur, hmm? Ini sudah terlalu malam. Kamu tidak mau punya mata panda, kan?”

Sky merangkul Summer, mengajaknya berbaring. Summer menurut, tetapi alisnya berkerut.

“Aku serius, Mama. Mungkin sudah saatnya aku punya papa.” Summer mengulang ucapannya.

Sambil menepuk-nepuk lengan sang putri, Sky menggeleng. “Bukankah selama ini kita berdua baik-baik saja dan bahagia?”

“Y-ya.”

“Itu artinya tidak ada yang perlu diubah. Hidup kita sudah sempurna, Sayang.” Sky berkata dengan nada final. “Sekarang tidurlah. Jangan berpikiran macam-macam.”

Sky mengecup kening sang putri lalu memejamkan mata. Sekilas, wanita itu terlihat seperti hendak tidur. Namun sebenarnya, ia hanya ingin menahan air mata.

“Tidak ada yang perlu diubah,” ucap Sky dalam hati. “Semua baik-baik saja asal aku bersama Summer.”

Sementara itu, Summer mulai merenung. Gadis cilik itu seperti tahu bahwa sang ibu hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak. 

Diraihnya tiga boneka berang-berang yang biasa ia peluk. Ia jajarkan keluarga boneka itu di atas perut.

“Kasihan Mama. Dia hanya bisa menangis dalam hati,” batin Summer sembari mengelus kepala induk berang-berang. “Dia pasti malu mengakui kalau dia sedih.”

Selang beberapa saat, fokusnya beralih ke arah boneka lain yang sedikit lebih besar.

‘Kurasa, Mama sudah terlalu lama sendiri. Dia juga butuh suami, sama seperti Mama Otter. Pasti akan lebih mudah merawatku kalau dia berdua bersama Paman Louis, seperti Mama Otter dan Papa Otter.’

Summer menautkan tangan dua boneka besar agar terlihat bergandengan. Kemudian, ia selipkan boneka terkecil di antara mereka. Melihat kebersamaan boneka itu, senyum sendu terukir di wajahnya.

‘Otter pasti sangat bahagia. Dia punya papa dan mama. Bisakah aku menjadi seperti Otter yang punya keluarga lengkap?’

Sambil melirik Sky, Summer berkedip-kedip. Meski mata sang ibu tertutup rapat, ia tetap mampu melihat kesedihannya.

‘Haruskah aku membantu Mama untuk menghubungi Paman Louis? Mama pasti bahagia kalau Paman Louis tidak jadi melamar Grace. Dia tidak akan diam-diam menangis lagi.”

Sambil menyatukan pasangan boneka berang-berang agar terlihat berpelukan, Summer berpikir lebih keras. Sesekali, tarikan napasnya menjadi lebih panjang.

‘Keluarga Otter saja selalu bersama. Kenapa kami tidak? Mama pasti akan sangat senang kalau Paman Louis bersama kami. Mama tidak akan kesepian lagi, dan aku juga akan lebih bahagia. Aku akhirnya bisa memanggil seseorang dengan sebutan ‘Papa’.’

Setelah beberapa pertimbangan, Summer menutup perenungan dengan anggukan tegas. ‘Ya, aku tidak boleh diam saja. Aku harus segera menyusun rencana, bagaimana caranya memesan tiket dan terbang ke negaranya. Paman Louis tidak boleh melamar Grace. Dia harus menjadi Papa-ku dan hanya boleh menikahi Mama. Aku akan menggagalkan lamarannya!’

***

Saat ini, di restoran tempat Louis melamar sang kekasih ....

Ruangan itu telah penuh dengan bisikan. Para pelayan, pengawal, bahkan paparazi yang mengintai—semua sibuk dengan asumsi masing-masing. Tatapannya terus tertuju pada Summer. 

“Astaga! Lihatlah gadis kecil itu! Bukankah dia sangat mirip dengan Tuan Harper?”

“Bukan Tuan Harper, tapi kembarannya. Dia persis seperti Emily muda. Hanya rambut mereka saja yang berbeda. Gadis itu berambut keriting! Dan lihat! Matanya bahkan sama. Abu-abu juga!”

“Tapi Emily dan Louis kembar. Jika gadis itu mirip dengan Emily kecil, berarti dia juga mirip dengan Louis. Mungkinkah dia anak hasil skandal lima tahun lalu? Tapi kenapa dia baru muncul sekarang? Ke mana saja dia selama ini? Dan di mana ibunya? Kenapa dia datang kemari seorang diri?”

Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, napas Grace Evans mulai menderu. Meskipun ia sudah berusaha menahannya, pundaknya tetap bergerak naik turun.

“Louis, jelaskan padaku. Apa yang sedang terjadi? Siapa gadis kecil itu?” tanyanya dengan suara tipis yang penuh penekanan. Kebahagiaan yang baru saja Louis tanamkan dalam hatinya telah sirna.

Louis akhirnya mengerjap. Ia kembali menatap sang kekasih. Kebingungannya masih tebal. “Aku juga tidak tahu, Ace. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin saja dia dikirim oleh seseorang untuk merusak momen kita. Jadi tolong jangan terpengaruh. Kita lanjutkan lamaran ini, hmm?”

“Kalau begitu, cepat usir dia dari sini! Aku tidak mau momen kita jadi rusak,” balas Grace dengan nada jengkel.

“Tidak! Kalian tidak boleh melanjutkan!” Gadis kecil itu mengentakkan kaki. Alisnya tertaut, bibirnya mengerucut. Caranya menyudutkan mata ke atas sangat mirip dengan Louis kecil dulu.

Louis sempat ternganga menyadari hal itu. Namun, setelah mengerjap, ia bangkit berdiri.

“Siapa kau, Manusia Mungil? Berani-beraninya kau mengacaukan lamaranku?”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

Chapter 2. Menggagalkan Lamaran

Suara Louis begitu dingin dan tegas. Bukannya menciut, Summer malah melangkah maju. Para pengawal yang sedang berjaga kebingungan harus melakukan apa. Ia terlihat tidak berbahaya. Namun, setelah diskusi cepat, dua dari mereka menghentikannya satu meter di hadapan Louis.

“Kau tidak tahu siapa aku?” Meskipun lantang, suaranya tetap terdengar lucu.

Louis mendengus. “Kita tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin aku mengenalmu?”

“Aku adalah anak dari perempuan yang sangat mencintaimu dan kau cintai. Karena itu, aku mau kau menikahi Mama, bukan nona ini. Kamu harus menjadi ayahku!”

Louis tersentak mendengar kelugasan balita itu. Setelah keterkejutannya luntur, tawanya mengudara.

“Kau pandai berakting, rupanya? Kau tahu? Berbohong itu bukanlah sesuatu yang baik. Kau bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan masalah besar. Jadi, sebelum aku menghukummu, kembalilah kepada ibumu. Katakan kepadanya untuk tidak menghasut orang lain. Aku tidak pernah mencintai gadis selain Grace.”

“Kaulah yang seharusnya tidak berbohong, Tuan. Aku tahu kau mencintai ibuku. Aku melihat buktinya dan itu sangat jelas.”

Louis membuang napas dan memutar bola mata. Ia mulai lelah meladeni penyusup cilik itu.

“Pengawal, bawa manusia mungil ini keluar! Jangan biarkan dia masuk lagi! Aku mau proses lamaranku berlangsung lancar.”

“Siap, Tuan!”

Mengetahui posisinya terancam, gadis cilik itu berlari ke depan. Semua orang terbelalak melihat kecepatannya. Bahkan Louis tidak sempat bereaksi ketika lengan-lengan kecil itu memeluk  kakinya.

“Tolong jangan usir aku, Tuan. Aku berjanji tidak akan menjadi anak nakal. Aku hanya mau kita menjadi keluarga bahagia,” ujarnya memelas.

Bukannya iba, Louis malah merasa tak nyaman. Apalagi, wajah Grace semakin kusut dan tatapannya meruncing ke arah sang balita.

“Kalau kau tidak mau menjadi anak nakal, cepat lepaskan aku. Berhenti membuat masalah dan pulanglah!” Louis berusaha menjauhkan tangan-tangan kecil itu darinya, tetapi gagal. Sang balita memeluknya terlalu erat.

“Tidak mau! Aku tidak akan pulang sebelum kau sepakat untuk menikahi Mama. Aku mau kamu menjadi papaku!”

“Pengawal!” Kesabaran Louis akhirnya terkuras. “Kenapa kalian diam saja? Cepat jauhkan kurcaci ini dariku!”

Mau tidak mau, para pengawal mengerumuni si gadis kecil. Mereka berusaha menarik tanpa menyakitinya. Akan tetapi, balita itu mengaitkan kakinya di betis Louis. Ia sudah seperti koala yang menempel di pohon.

“Maaf, Tuan. Dia tidak mau lepas.”

“Gunakan tenaga kalian!”

“Kami takut menyakitinya.”

“Pakai akal!”

Seorang pengawal pun menggelitik pinggang sang balita. Tawa renyah seketika mengudara. Akan tetapi, gadis kecil itu masih berpegangan dengan kuat.

“Itu geli! Hentikan!”

“Lanjutkan! Serang ketiaknya! Lehernya juga!”

Para pengawal menuruti perintah bos mereka. Suara tawa semakin menggila. Namun, usaha tersebut tidak juga membuahkan hasil.

Grace yang menyaksikan sedari tadi akhirnya menghela napas. Ia merasa sangat lelah. Kepalanya terlalu penuh dengan kejengkelan yang memuncak.

“Louis, aku mau pulang!”

Louis tertegun mendengar suara ketus itu. “Ace, kau marah?”

Setelah mengisyaratkan para pengawal untuk berhenti, ia berputar menghadap sang kekasih. Ia tidak peduli lagi jika sang balita masih bergantung di kaki.

“Kau tahu? Aku sudah merencanakan momen ini sejak kita mulai berpacaran. Lamaran ini seharusnya berjalan sempurna. Tolong bersabar sebentar, hmm? Aku akan segera menyingkirkan hambatannya,” ia mengelus lengan Grace.

“Momen ini sudah rusak, Louis. Aku tidak mau mengenang lamaran yang kacau. Lakukan lagi kalau kau sudah bisa mengendalikan situasi. Dan lain kali, pilihlah pengawal yang berkualitas. Jangan yang mengusir anak kecil saja becus.”

Grace pergi dengan wajah penuh kekesalan dan kekecewaan. Raut Louis seketika berubah muram. Ia berusaha mengejar, tetapi beban di kakinya menghambat.

“Ace, tunggu! Tolong jangan pergi. Ace?”

Seolah tidak mendengar, Grace terus berjalan. Ia keluar tanpa sekali pun menoleh.

Menyaksikan itu, si gadis kecil merasa menang. Ia tertawa. Suaranya membuat Louis menjadi geram. Tangan pria itu kini telah terkepal erat.

“Kau senang telah menggagalkan lamaranku?”

Sang balita sontak berhenti tertawa. Ia mendongak. Wajah Louis ternyata telah berubah mengerikan.

“Hmm, Tuan, bisakah kamu tersenyum sedikit? Kamu terlihat lebih tampan kalau tersenyum. Aaakh!”

Gadis kecil itu akhirnya terlepas dari Louis. Ia kini meringis kesakitan sambil memegangi tangan yang memelintir kupingnya.

“Tuan, kenapa kamu menjewerku? Aku ini anak baik,” tuturnya dengan kepala miring. Telinganya masih ditarik.

“Ini akibatnya karena kau membantah peringatanku. Sekarang juga, cepat panggil ibumu!”

“Mama tidak ada. Aku datang ke sini sendirian.”

“Aku tidak akan melepas telingamu sampai ibumu datang kemari.”

Gadis kecil itu mengerutkan alis lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. “Kalau begitu, jewer saja terus sampai telingaku putus. Mama tetap tidak akan datang. Dia bahkan tidak tahu kalau aku ada di sini.”

Alis Louis tertaut curiga. Ia melirik ke arah lain, mencoba untuk mendapatkan petunjuk. Saat itulah, matanya menangkap keberadaan paparazi di jendela.

“Kalian,” ia mengedarkan pandangan ke arah para pengawal, “cepat ringkus tikus-tikus itu! Hapus semua foto yang ada di kamera mereka. Aku tidak mau insiden ini tersebar. Dan kau ....”

Sementara para pengawal bergerak cepat keluar, Louis menatap sang balita dengan raut tak bersahabat. Wajah mungil itu mengingatkannya pada seseorang, dan hatinya semakin tidak senang.

“Kau harus bertanggung jawab atas kekacauan yang telah kau buat!”

***

Sementara itu, di negara tempat Summer berasal, Sky sedang duduk di kantor polisi. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap tenang. Akan tetapi, hatinya tetap saja gelisah. Tangannya tak bisa berhenti meremas satu sama lain.

“Bisa Anda ceritakan kronologinya, Nona?” tanya seorang petugas kepolisian setelah memperhatikan foto Summer dengan saksama.

Sky menarik napas dalam. “Siang tadi, Summer tiba-tiba meminta untuk dibuatkan biskuit. Dia sempat membantu sampai dia bilang kalau dia mau tidur. Aku sempat heran karena itu bahkan belum lewat tengah hari. Tapi kemudian, aku membiarkannya tidur sendirian, sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan. Ternyata, begitu aku memeriksanya di kamar, dia tidak ada. Aku mencari ke mana-mana, bahkan sampai ke rumah tetangga. Aku tetap tidak menemukannya.”

“Apakah rumah Anda dalam keadaan terkunci saat itu terjadi?”

Sky mengangguk yakin. “Aku selalu mengunci semua pintu saat kami hanya berdua di rumah.”

“Bagaimana dengan jendela?”

“Jendela kamar Summer terbuka. Itulah yang membuatku sangat cemas.”

“Menurut Anda, ini penculikan?”

Sky menggeleng samar. “Aku tidak yakin. Aku sempat memeriksa lemari. Beberapa setel pakaiannya menghilang. Ranselnya juga tidak ada. Aku khawatir Summer diam-diam merencanakan petualangan sendiri. Apalagi, ponselnya tidak aktif. Sepertinya, dia sengaja pergi tanpa sepengetahuanku.”

“Putri Anda memiliki ponsel? Bisa Anda sebutkan nomor kontaknya?”

Setelah mendapatkan apa yang ia pinta, polisi itu kembali bertanya, “Menurut Anda, ke mana kira-kira perginya putri Anda? Apakah belakangan ini dia sempat menyebutkan suatu tempat? Target liburan yang diimpikannya, misalnya?”

Sky terdiam sesaat. Bola matanya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. “Putriku sangat suka bertualang. Dalam sehari saja, dia bisa menyebutkan puluhan tempat. Kurasa, agak sulit untuk menebak ke mana perginya.”

“Adakah tempat yang disebutnya di sekitar sini?”

Sky menggeleng. “Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyebutkan tempat-tempat di luar negeri. Oh, kemarin dia sempat menyebut tentang Danau Louise.”

“Baiklah, kami akan melacak ponsel putri Anda dan memeriksa riwayat panggilannya. Kalau tidak ada hasil, kami akan mengirim beberapa personel untuk memeriksa wilayah di sekitar rumah Anda dan juga Danau Louise. Putri Anda masih sangat kecil. Dia tidak mungkin bisa pergi jauh. Dia pasti masih di sekitar sini. Selain itu, kami juga akan memeriksa CCTV di beberapa titik.”

Sky mencoba untuk mengangguk, tetapi lehernya kaku. Hatinya meragukan pernyataan polisi tersebut. Ia tahu betul, Summer sanggup pergi ke mana pun. Sekarang, ia hanya bisa berharap bahwa sang putri berada di tempat aman bersama orang yang tepat. 

“Ya, Tuhan .... Hamba mohon, lindungilah Summer. Jangan biarkan siapa pun menyakitinya,” doa Sky dengan mata terpejam dan raut gelisah. 

 

 


 

 

Chapter 3. Interogasi

Setibanya di sebuah penthouse, Summer tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.

“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”

Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.

“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.

Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.

Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”

“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.

“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum masuk ke kamar, Mama selalu mengingatkan aku untuk mencuci kaki, muka, dan tangan. Biar kuman-kuman dari luar tidak ikut terbawa. Kita bisa juga berganti pakaian kalau mau lebih aman. Dan kalau kita mau tidur, kita tidak boleh lupa menggosok gigi. Kalau tidak, gigi kita bisa rusak.”

Usai melucuti sepatu dan kaos kaki, gadis kecil itu meletakkannya di atas rak dengan rapi. Sepatunya tampak sangat mungil di samping sepatu-sepatu yang lain.

“Oh, Tuan? Kenapa kamu tidak mencopot sepatu? Nanti lantai rumahmu jadi kotor.”

Louis mendesah tak peduli. “Ada yang membersihkannya nanti. Sekarang kemarilah! Jangan banyak tingkah. Duduk di sana.” Ia menunjuk sofa di hadapannya.

Gadis kecil itu menurut. Ia membuka ransel dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, ia merangkak naik ke sofa yang cukup tinggi baginya. Sembari duduk di sana, ia bersenandung kecil dan mengamati sekeliling.

“Tidak ada orang lain lagi di sini. Kau bisa jujur sekarang,” tutur Louis, membuat sang balita menoleh padanya.

“Jujur? Tentang apa?” Mata abu-abunya membulat sempurna.

“Siapa yang menugaskanmu untuk mengacaukan lamaranku?”

Tiba-tiba saja, gadis kecil itu terkekeh. “Tidak ada, Tuan. Itu ideku sendiri.”

Mata Louis kembali memicing. Ia heran karena sang balita tampak jujur. “Kenapa ide itu bisa muncul?”

“Karena aku sudah tidak tahan melihat Mama kesepian dan diam-diam bersedih. Sejak kabar tentang kamu dan nona itu tersebar, Mama jadi agak murung. Aku mau Mama bahagia seperti perempuan-perempuan lain. Aku mau Mama punya suami juga.”

Louis terdiam sejenak. Otaknya sibuk mencerna. “Siapa ibumu?” tanyanya ragu.

Summer berkedip-kedip. Bibirnya menguncup. “Apakah kamu masih tidak tahu siapa Mama? Orang-orang bilang aku sangat mirip dengannya. Kau seharusnya langsung ingat. Apalagi, kalian dulu sangat dekat.”

Louis tertegun. Bayang-bayang Sky Hills, sahabat lamanya, melintas dalam pikiran. Sky dulu sering mengenakan hoodie dan jumpsuit. Rambutnya keriting, wajahnya menggemaskan. Ia juga suka membawa ransel yang dihiasi banyak pin, persis seperti gadis kecil di hadapannya sekarang.

Akan tetapi, Louis tidak mau menggubris firasatnya. Ia tidak mau mengulang rasa sakit dulu. Kemiripan sang balita dengan Sky mungkin saja hanya kebetulan.

“Siapa namamu?”

Gadis kecil itu memanjangkan leher dan menjawab dengan penuh semangat. “Summer!”

“Kau lahir di musim panas?” Louis menurunkan sebelah alis.

“Tidak. Aku lahir di musim dingin, tapi Mama memberiku nama Summer. Karena kata Mama, aku datang membawakan kehangatan,” tuturnya manis. Senyumnya sempat menawan hati Louis selama sepersekian detik.

“Berapa umurmu?”

Summer menegakkan sebelah tangan lalu melipat jempolnya yang mungil. “Empat tahun lebih.”

“Di mana kau tinggal?”

“Kami sering berpindah-pindah, Tuan. Aku dan Mama suka bertualang ke seluruh dunia. Tapi terakhir, kami sedang tinggal di Kanada.”

“Maksudku, di kota ini? Di mana kau tinggal? Aku mau menelepon polisi untuk menjemput ibumu. Dia perlu dimintai keterangan.”

Bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lucu. “Kami tidak punya rumah di sini. Sebetulnya, ini pertama kalinya aku datang ke T City.”

Wajah Louis mengernyit bingung. “Di mana kalian menginap selama berada di kota ini?”

Summer menggeleng. “Aku belum mencari tempat untuk menginap. Aku baru saja tiba. Dari bandara, aku buru-buru pergi ke restoran tempat kamu melamar Nona Evans. Untung saja, aku tidak terlambat.”

Louis mendengus. “Kau pikir semudah itu membohongiku? Kau bahkan belum genap lima tahun. Siapa yang akan percaya kalau kau datang dari Kanada seorang diri?”

Summer merogoh saku jumpsuit-nya. Dengan wajah polos, ia keluarkan sebuah paspor dan membuka halaman terakhir.

“Memangnya kenapa kalau aku belum berumur lima tahun? Aku ini anak pintar, Tuan. Aku bisa melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi, aku sudah punya rekening dan ponsel sendiri sekarang. Memesan tiket pesawat dan terbang sendirian adalah hal yang sangat mudah. Dan juga mengatur transportasinya. Aku ini petualang cilik yang mandiri.”

Louis tercengang sesaat. Namun kemudian, tawanya terdengar tipis dan terkesan meremehkan.

“Tidak mungkin. Itu pasti akal-akalan kalian. Mana mungkin ada anak sehebat itu?”

“Kalau kamu masih tidak percaya,” Summer melompat turun dari sofa. Ia raih ranselnya, mengambil sebuah buku dari dalam sana. “Lihat ini!”

Louis menaikkan sebelah alis. Ia melirik buku yang penuh dengan gambar, tulisan, dan coretan itu. Lagi-lagi, ia teringat akan Sky.

“Ini adalah peta rencanaku. Semua berawal dari minggu lalu, saat aku mendengar tentang lamaranmu. Mama tampak agak murung, jadi aku bertekad untuk membatalkannya. Aku mencari tahu tentang lokasimu, mengatur rute perjalananku, mencocokkan waktu dengan—”

“Tunggu.” Louis mengangkat sebelah tangan. Summer yang hendak menjelaskan strateginya sontak menahan bicara. “Dari mana kau tahu tentang rencana lamaranku?”

“Bibi Emily yang menceritakannya.”

Louis seketika mematung. Bola matanya bergetar samar. “Kau mengenal Emily?"

“Tentu saja. Dia sahabat terbaik Mama. Dia selalu menceritakan apa pun kepada kami. Bahkan saat dia berbulan madu bersama Paman Cayden kemarin, aku dan Mama yang memandu mereka.”

Louis tak bisa lagi menyangkal. Petir yang menyambar jantungnya terlampau dahsyat. “Kau ... sungguh anak Sky? Sky sudah punya anak?”

Summer tersenyum semringah. “Benar! Aku adalah anak Sky. Akhirnya, kau mengingat Mama. Mama sangat merindukanmu, Tuan.”

Louis menghela napas tak percaya. Matanya bergerak-gerak mencari petunjuk, tetapi tidak ada satu pun yang ia dapat. Tak sanggup lagi membendung kebingungan, ia akhirnya menelepon adik kembarnya.

“Halo, Louis? Tumben kau menelepon? Apakah kau mau mengabarkan kalau Grace sudah menerima lamaranmu?”

“Kenapa kau tidak pernah cerita kalau Sky sudah punya anak?” sambar Louis, tanpa basa-basi.

Suasana mendadak hening. Bahkan Summer tidak lagi bergumam kecil.

“Emily? Jawab!”

“Kau tidak pernah bertanya, Louis. Terakhir saat aku ingin menceritakan tentang Sky, kau menolak untuk mendengarkan. Kau bilang dia sudah bukan sahabatmu lagi. Dari mana kau tahu kalau dia sudah punya anak? Dan kenapa kau terdengar marah?”

Louis tertunduk dan terpejam. Sebisa mungkin, ia berusaha meredam deru napasnya.

“Putrinya sedang bersamaku. Dia mengaku terbang sendiri ke sini. Dan kau tahu apa yang sudah dia lakukan?”

Louis tanpa sadar menggertakkan geraham. Emosinya terlalu sulit diredam.

“Dia muncul tiba-tiba, melarangku untuk menikahi Ace. Dia ingin aku menjadi ayahnya dan menikahi ibunya. Dia mengacaukan semua yang telah kurencanakan, Em. Karena itu, cepat kirimkan kontak Sky! Aku perlu bicara langsung dengannya dan meminta pertanggungjawaban.”

 

 

 


 

 

Chapter 4. Tolong Jaga Summer

Saat polisi sedang sibuk melacak Summer, tiba-tiba, ponsel Sky berdering. Melihat nomor asing menghubunginya lewat panggilan video, napas Sky tertahan. 

Mungkinkah itu penculik yang meminta tebusan? Atau justru orang baik yang tidak sengaja menemukan putrinya?

Sky pun menjawab panggilan dengan hati yang berdebar. Namun, begitu melihat wajah yang muncul, keresahannya musnah. Matanya terbelalak memancarkan keheranan dan keterkejutan.

“L-Louis?”

Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya.

Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya.

“Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu.

Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar.

“Hai, Louis. Lama tidak berjumpa. Ada apa kau menghubungiku? Bukankah kau seharusnya sedang berbahagia bersama calon istrimu? Emily bilang, kau melamar Grace Evans hari ini.” Ia memaksakan senyum.

“Kau menangis?”

Louis terdengar sangat lembut. Sky sudah sangat lama tidak menangkap suara itu.

“Apa? Menangis? Tidak, aku tidak menangis. Mataku kelilipan saja. Air matanya keluar sendiri.”

“Kau menangis karena Summer?”

Sky seketika mematung. Waktu seolah membeku dan otaknya berjuang keras untuk tidak lumpuh. “S-Summer? Dari mana kau tahu nama itu?”

Louis menghela napas samar. Ia sadar bahwa selama ini Sky berusaha untuk merahasiakan Summer. Tak tahu harus berkata apa, Louis pun memutar ponsel.

Melihat putri kecilnya duduk manis di sebuah sofa, bola mata Sky nyaris melompat keluar. Ia beranjak dari kursi. Sebelah tangannya terangkat menutupi mulut. Petugas kepolisian di sana ikut terkejut karena reaksinya.

“Summer? Apa yang kau lakukan di situ?” pekik Sky, membuat petugas yang menangani laporannya menaikkan alis.

Melihat wajah sang ibu, Summer terkekeh. Pundaknya naik menjepit leher. Kakinya bergoyang-goyang seperti perenang.

“Halo, Mama. Maaf kalau aku membuatmu panik. Aku terpaksa pergi tanpa pamit. Mama pasti tidak mengizinkan kalau tahu aku mau menemui Paman Louis.”

“Untuk apa kamu menemui Louis?”

“Aku mau membatalkan lamarannya. Aku tidak setuju jika dia menikah dengan Nona Evans.”

Sky mendesah tak percaya. Sembari terpejam, ia berusaha mengendalikan emosi.

“Apakah putri Anda sudah ditemukan?” tanya sang polisi.

Sky mengangguk. Rautnya sulit dijelaskan. “Ya. Maaf telah menyia-nyiakan waktu Anda.”

“Tidak masalah, Nyonya. Anak-anak terkadang memang sulit dikendalikan. Di mana dia sekarang?”

“T City.”

“T City?” Sang polisi memiringkan kepala. Matanya berkedip-kedip memeriksa ingatan. Saat mendapat kesimpulan, ia terbelalak. “Putri Anda berada di negara lain?”

Sky mengangguk. Setelah mengisi paru-parunya dengan kesabaran, ia meruncingkan telunjuk di depan kamera.

“Summer, apakah kamu sadar bahwa kamu sudah membuat kesalahan besar?”

Sang balita mengerucutkan bibir. “Aku tahu aku tidak seharusnya bepergian jauh seorang diri. Tapi kalau tidak begini, nanti Paman Louis menikahi orang lain. Padahal, aku mau dia menikah dengan Mama. Aku mau dia menjadi bagian dari keluarga kita. Aku mau memanggilnya Papa. Dan lihat hasilnya! Aku berhasil, Mama. Nona itu tidak jadi menerima lamaran. Mama berkesempatan untuk menikahi Paman Louis, menggantikan posisinya!”

Sky menelan ludah pahit. Pikiran dan perasaannya terlalu rumit. Namun, ia tidak mau menampakkannya, apalagi membahasnya.

“Tunggu di situ dan jadilah anak baik. Jangan menyusahkan Paman Louis. Mama akan segera menjemputmu.”

“Tidak bisa, Mama. Mama tidak mungkin diizinkan terbang.”

Kepala Sky terdorong mundur. “Kenapa?”

“Karena aku sudah menyembunyikan paspor Mama di tempat yang aman,” jawab Summer lugu.

Sky ternganga lebar. Ia tidak habis pikir dengan putrinya. “Kenapa kamu melakukan itu, Summer?”

“Karena aku tidak akan pulang sebelum misiku terpenuhi. Paman Louis harus setuju untuk menjadi papaku.”

Sky meringis menahan malu. Belum sempat ia mengomeli sang putri, kamera sudah berbalik menghadap Louis. Sky semakin salah tingkah di hadapan pria itu.

“Maaf. Aku tidak pernah menduga kalau Summer bisa berpikir dan bertindak sejauh itu. Aku tahu ini egois, tapi selama dia di sana, bisakah kau menjaganya? Aku akan langsung menyusul begitu pasporku ditemukan,” tuturnya lemah.

Louis termenung. Sesungguhnya, ia punya segudang pertanyaan untuk Sky. Mengapa dulu Sky menghilang, mengapa ia mengingkari janjinya, bagaimana ia bisa menjadi seorang ibu tunggal, dan siapa ayah Summer. Ia juga penasaran mengapa Sky merahasiakan semua itu.

Namun, ia tidak mungkin bertanya. Itu sudah bukan haknya dan sekarang, ia punya hati untuk dijaga.

“Baiklah,” Louis mendesah pasrah. “Kuharap paspormu cepat ditemukan. Aku akan mencoba semampuku untuk memberi pengertian kepada Summer. Mungkin dia bersedia mengatakan di mana dia menyimpan paspormu.”

“Tidak akan! Sampai kau setuju untuk menikahi Mama, aku tidak akan mengatakannya!”

Sky kembali terpejam mendengar seruan putrinya itu. Ia tidak bisa lagi bertambah malu. “Kuharap kau bisa bersabar menghadapinya, Louis. Terima kasih telah bersedia menjaga Summer. Sekarang aku harus pulang dan mencari paspor yang dia sembunyikan.”

Louis mengangguk kaku. Setelah mengakhiri panggilan, ia kembali menatap Summer dengan wajah cemberut. “Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”

Summer memasang tampang polos. “Bukankah sudah kubilang kalau aku tidak akan mengatakannya? Kecuali, kau berjanji untuk melamar Mama. Atau, bagaimana kalau kau saja yang mengantarku pulang? Kau dan Mama bisa menghabiskan waktu bersama lagi di Kanada.”

“Kau pikir hidupku sesantai itu? Aku tidak punya waktu untuk disia-siakan. Aku punya perusahaan besar yang harus diurus. Aku juga harus meminta maaf kepada kekasihku. Kau sudah membuatnya marah, kau tahu?”

“Menghabiskan waktu bersama Mama bukanlah sesuatu yang sia-sia, Tuan. Mama adalah perempuan hebat yang menyenangkan. Kau bisa membahas banyak hal dengannya. Dia tahu segalanya! Kalau kalian sedang berbincang, aku janji tidak akan mengganggu kalian. Aku bisa bermain sendiri di pekarangan. Lagi pula,” Summer menarik napas cepat.

“Bukankah kalian dulu bersahabat? Kudengar, kalian dulu sering bermain dan berlibur bersama. Kurasa Mama akan sangat senang kalau kalian mengulang masa-masa indah. Sampai sekarang, Mama masih sering membicarakannya. Mama sangat menikmati persahabatan kalian. Dengan Bibi Emily dan Paman Russell juga!”

Louis terdiam sejenak. Masa-masa yang disebutkan oleh Summer melintas cepat dalam pikiran. Namun, selang satu kedipan, ia kembali menguburnya.

“Maaf, aku tidak punya waktu untuk itu. Lagi pula, semua itu sudah lama berlalu. Jika diulang pun, tidak akan ada yang berubah. Aku tetap tidak bisa menikahi ibumu. Yang kucintai sekarang adalah Grace Evans. Dia yang akan kunikahi.”

Summer mencebik. Kantung matanya mendadak tebal dan berbayang. Belum sempat ia mengutarakan kekesalan, Louis sudah lebih dulu meraih ransel di meja. Summer seketika melompat turun dan melindungi tas itu di bawah tubuh mungilnya.

“Hei? Kenapa kamu membongkar tasku? Itu tidak sopan, Tuan! Lagi pula, kamu bukan petugas bandara.”

“Aku tidak bisa membiarkan kau terus di sini. Kau harus segera pulang. Apakah kau tidak kasihan kepada ibumu? Dia mengkhawatirkanmu. Sekarang juga, cepat kembalikan paspornya.”

Bibir Summer lagi-lagi mengerucut. “Mama tidak perlu mengkhawatirkan aku, Tuan. Meskipun masih kecil, aku ini mandiri. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Lagi pula, aku bersamamu di sini. Apa yang perlu Mama takutkan?”

“Ibumu takut kau merepotkan aku, dan sebetulnya, itu sudah terjadi. Karena itu, kau tidak bisa tinggal lama di sini.”

 


 

 

Chapter 5. Bocah Ajaib

Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.

“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”

Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.

“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”

Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”

“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”

Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.

“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.

“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” celetuk Summer sembari merapikan isi tasnya.

“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa kau tidak mencari laki-laki lain? Aku yakin ibumu punya banyak teman. Kau bilang dia orang yang menyenangkan. Pasti ada seseorang di luar sana yang mencintainya dan tidak keberatan menikahinya. Kenapa kau justru memaksa aku? Aku sudah punya kekasih, kau tahu? Aku dan Grace Evans sebentar lagi akan menikah.”

Summer termenung. Wajahnya mendadak redup. Usai menutup tas, ia berputar menghadap Louis. Dari sudut pandang yang jauh lebih tinggi, Louis bisa melihat mata balita itu mulai berkaca-kaca.

“Kudengar, orang menikah karena mereka saling mencintai. Mama mencintaimu, Tuan Louis Harper. Tidak bisakah kamu mencintai Mama juga? Aku akan sangat bahagia kalau kalian menikah.”

Dada Louis mendadak sesak. Suara kecil Summer telah menggoyahkan hatinya. Namun, teringat akan Grace yang menanti janjinya, ia cepat-cepat berdeham.

“Summer,” Louis menekuk lutut, memegangi pundak sang balita, “dengarkan aku baik-baik. Pernikahan itu butuh cinta dari dua belah pihak. Tidak bisa dari satu sisi saja. Karena itu, aku tidak bisa menikahi ibumu. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan menjadi cinta sepihak.”

“Kenapa kamu tidak mencintai Mama? Dia baik, cantik, seorang ibu yang hebat. Kenapa kamu tidak mencintainya saja?”

Louis menarik napas berat. Tatapan sendu Summer nyaris membius akal sehatnya. Ia hampir menyatakan kebenaran.

“Apakah kamu mencintai Grace Evans?” sela Summer ketika Louis masih sibuk merumuskan jawaban.

“Tentu saja.”

“Kenapa? Apa yang membuat kamu mencintai Grace Evans? Apa yang membedakannya dengan Mama?”

Tatapan Louis seketika menerawang. Sudut bibirnya meninggi sementara otaknya mengulas sosok sang kekasih.

“Kau tahu? Aku adalah pria nomor satu di L City. Untuk menjaga reputasiku, aku harus mencari istri yang sebanding. Grace adalah jawabannya.”

Alis Summer tertaut lucu. “Apa itu istri yang sebanding?”

“Istri yang kemampuannya sama denganku. Dia cantik, pintar, menarik. Meski terkadang bicaranya agak dingin dan ketus, hatinya baik.”

“Mama juga cantik, pintar, dan menarik. Mama juga baik hati dan tidak pernah berbicara ketus.”

Lengkung bibir Louis berubah kaku. “Ya, tapi aku mencari seseorang yang memiliki latar belakang sama denganku—seorang pebisnis hebat. Grace adalah pemimpin perusahaan besar.”

“Mama juga seorang pemimpin. Dia sering memimpin rombongan travel di berbagai tempat. Menurutku, Mama juga pemimpin yang hebat,” angguk Summer mantap.

Merasa gemas, Louis mengacak rambut sang balita. “Ya, ibumu memang pemimpin yang hebat.”

“Lalu, kenapa kamu tidak menikah dengan Mama saja?”

Louis menghela napas panjang. Ia mulai bingung harus bagaimana membuat sang balita paham.

Tidak mendapat jawaban, Summer kembali bicara, “Tuan, apakah kau pernah dengar? Katanya, kita akan lebih banyak tertawa ketika kita bersama orang yang kita cinta. Apakah Grace bisa membuatmu tertawa sebanyak Mama melakukannya?”

Mulut Louis sontak membuka tanpa kata. Pandangannya berkabut, tertutupi masa silam. Tawa Sky yang dulu selalu menggetarkan hatinya kini terngiang dalam ingatan. Biasanya, ia akan ikut tertawa setiap kali mendengarnya atau setidaknya, tersenyum dengan penuh kekaguman.

“Kurasa tidak,” Summer menggeleng lambat. “Menurut penilaianku, Grace itu orang yang cuek dan kaku. Dia berbanding terbalik dengan Mama. Orang-orang selalu bilang kalau Mama itu asyik dan periang. Dia suka menghibur semua orang. Selama bertahun-tahun kamu berteman dengan Mama, apakah kamu tidak menyadarinya?”

Louis tanpa sadar menggaruk hidung. Ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Apakah kau baru saja merendahkan kekasihku?”

“Aku bukan merendahkan Grace. Aku hanya ingin mengatakan kalau Mama juga hebat. Dia juga layak kamu nikahi, dan menurutku, kamu lebih serasi jika bersama Mama.”

Sambil mendengus cepat, Louis menegakkan badan. Ia jauh lebih besar dari Summer. Tidak mungkin ia kalah pengaruh darinya. 

“Ternyata kau ini keras kepala sekali. Tidak ada gunanya kita bicara. Aku lebih baik beristirahat.”

Summer terbelalak melihat Louis berjalan meninggalkannya. “Tuan, kau mau ke mana?”

“Istirahat!”

“Bagaimana denganku? Aku adalah tamu di sini. Tidak sopan kalau kamu mengabaikanku.”

Summer berkacak pinggang dan memiringkan kepala. Ia tidak sadar bahwa omelannya lebih terkesan lucu ketimbang menyeramkan.

“Kau adalah tamu yang tidak diundang. Untuk apa aku melayanimu? Lagi pula, kau bilang bisa mengurus dirimu sendiri. Jadi, lakukan saja. Aku sudah sangat lelah.”

Summer membuka mulut, hendak membantah. Akan tetapi, Louis sudah telanjur masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Sekarang, Summer hanya bisa berkedip-kedip mempelajari keadaan.

“Sepertinya Paman Louis marah kepadaku. Apakah itu pertanda buruk?” gumamnya pada diri sendiri. Selang keheningan sesaat, ia menggembungkan pipi.

“Setidaknya, aku sudah berhasil membatalkan lamaran tadi. Dia tidak akan menikah dengan Grace. Aku tinggal meyakinkan dia kalau Mama bisa menjadi istri yang baik untuknya, dan aku bisa menjadi putri yang manis untuknya. Sekarang, apa yang harus kulakukan?”

Summer mengamati sekeliling sambil mengetuk dagu dengan telunjuk. “Hari sudah malam dan aku habis melakukan perjalanan panjang. Aku juga harus beristirahat. Tapi, aku tidur di mana?”

Setelah berkedip-kedip sebentar, Summer mengambil kantung tidur dan membentangnya di atas sofa.

“Ini lebih empuk dari tanah di perkemahan. Aku pasti tidur nyenyak malam ini. Tapi sebelum itu,” ia menggosok-gosok perut.

“Kurasa aku harus mengisi energi. Ini sudah lewat jauh dari jam makan malam. Aku harus mencuci tangan, makan, mencuci muka dan menggosok gigi, lalu tidur yang nyenyak. Jadi, di mana wastafelnya?”

Sementara Summer mulai menjelajahi ruangan lain, Louis berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Hatinya tak tenang. Pikirannya terlalu penuh dengan pertanyaan.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Sky sudah lama menghilang, tapi kenapa sekarang dia muncul lagi? Apakah dia tidak rela aku menikah dengan Grace? Mungkinkah dia sengaja mengirim Summer kemari agar aku goyah?”

Sambil mengacak rambut, Louis mendesah cepat. Wajah Summer kini terbayang-bayang dalam ingatannya.

“Jika dihitung-hitung berdasarkan umur Summer, Sky pasti melakukannya bertepatan dengan waktu itu. Itukah alasan dia mengingkari janjinya padaku? Dia terlibat cinta satu malam dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama pria lain dibandingkan menghadiri kelulusanku? Memangnya siapa ayah dari bocah ajaib itu? Apa yang sebetulnya tidak kuketahui?”

 

 

 


 

 

Chapter 6. Mulai Peduli 

Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.

“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”

Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”

Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”

Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencuci tangan di wastafel dapur, alisnya meninggi.

“Dia menggeser kursi itu supaya bisa naik? Cerdas juga dia.”

Louis tidak sadar kalau bibirnya melengkung tipis. Selama beberapa saat, ia perhatikan gerak-gerik gadis kecil itu. Summer tampak ceria dan menggemaskan. Namun, saat ia membawa kotak bekalnya mendekati kulkas, Louis kembali menautkan alis.

“Apa yang dia cari di situ? Apakah dia berencana untuk mencuri makanan?”

Tanpa terduga, gadis kecil itu meletakkan dua kotak susu di dalam kulkas. Setelah itu, ia duduk di meja makan. Ia nikmati roti yang ia beli di bandara. Kepalanya mengangguk-angguk riang.

“Apakah dia kenyang dengan sepotong roti itu?” gumam Louis spontan. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menggelengkan kepala. “Untuk apa aku peduli padanya? Dia bukan anakku. Dia adalah pembawa sial dalam hubunganku dengan Grace. Aku tidak boleh mengasihaninya.”

Usai makan, Summer kembali membuka kulkas. Ia ambil satu kotak susu dari sana dan membawanya ke meja.

“Itu bahkan belum dingin. Kenapa dia meminumnya?” gerutu Louis, berusaha terdengar tak acuh.

Namun, saat Summer membersihkan meja dan mengembalikan kursi ke tempat semula, Louis tidak bisa menyangkal kalau ia terpukau. Saat balita itu membawa handuk, piama, dan sikat gigi ke kamar mandi, ia tidak bisa menyangkal kalau dirinya merasa was-was.

Banyak hal bisa terjadi di dalam sana. Summer bisa saja terpeleset. Kepalanya membentur sesuatu atau lututnya terluka. Saat sang balita keluar dengan piama lucu bergambar rusa, barulah Louis menghela napas lega.

“Dia betul-betul bisa mengurus diri sendiri? Syukurlah.”

Louis mengangguk-angguk bangga. Namun, menyadari apa yang baru saja ia katakan, senyumnya kembali datar.

“Tunggu dulu. Apa yang sedang kulakukan? Kenapa aku mengawasi manusia mungil itu? Meskipun dia putri dari Sky, dia tidak ada hubungannya denganku. Apakah ini karena sisi kemanusiaan?”

Tak ingin memikirkan alasan lain, Louis memaksakan diri untuk percaya. “Ya, aku mengawasinya karena rasa kemanusiaan. Aku ini pria baik. Aku tidak mungkin tega menelantarkan seorang anak kecil meskipun dia sangat menyebalkan.”

Sementara itu, Summer telah kembali ke ruang tamu. Ia merapikan tas, lalu menyisir rambut ikalnya dengan susah payah. Hati kecil Louis sempat tergerak untuk membantu. Namun, lagi-lagi, ia mengabaikan niat itu.

Tak lama setelah berbaring dalam kantung tidur, Summer terlelap. Ia sesekali menggaruk leher. Melihat itu, Louis kembali resah.

“Apakah dia kepanasan? Dia seharusnya tidak perlu menggunakan kantung tidur di dalam ruangan seperti itu.”

Sambil terus memandangi Summer, Louis berkutat dalam perenungan. Lambat laun, ia mulai sadar. Meskipun ia benci dengan apa yang telah Summer lakukan, ia tidak bisa menyalahkannya. Mungkin saja, gadis kecil itu adalah jiwa yang tersiksa karena merindukan sosok ayah, sama seperti dirinya dulu bersama Emily, kembarannya.

Selang beberapa saat, Louis akhirnya keluar dari kamar. Ia perintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar tamu. Lalu, di dekat Summer, Louis berdiri dengan tatapan sendu. Wajah damai balita itu mengingatkannya pada masa lalu.

Dulu saat ibunya masih berstatus sebagai orang tua tunggal, ia dan Emily juga selalu merindukan sosok ayah. Mereka berdoa setiap malam agar Tuhan mengirimkan seorang malaikat untuk menjadi ayah mereka. Mungkinkah Summer merasakan hal yang sama?

“Aku bukan malaikat, Summer. Kenapa kau memilihku? Kenapa kau tidak mencari ayah kandungmu saja? Apakah Sky merahasiakan identitasnya darimu seperti yang ibuku lakukan dulu? Tapi untuk apa? Bagaimanapun, dia adalah ayah kandungmu. Aku yakin dia pasti akan menyayangimu kalau dia tahu kau anaknya. Sky seharusnya belajar dari kesalahan ibuku dulu. Kenapa malah meniru jejaknya?”

Selama beberapa saat, Louis termenung. Ia merasa iba pada sang balita hingga tiba-tiba, seorang pelayan berbisik padanya, “Tuan, kamar tamu sudah siap.”

Louis mengerjap. Ia mengangguk samar. “Terima kasih. Sekarang kembalilah ke kamar kalian.”

“Apakah kami masih harus bersembunyi, Tuan? Perlukah kami membuatkan makan malam untuk nona kecil ini? Kami sempat mengintip tadi. Dia hanya memakan sepotong roti. Dilihat dari caranya makan yang sangat lahap, sepertinya dia lapar sekali.”

Louis memandangi wajah Summer lagi. Mulut kecilnya sedikit menganga sekarang.

“Biarkan saja dia beristirahat. Dia pasti lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Besok pagi, tolong siapkan sarapan yang biasanya disukai anak-anak.”

“Baiklah, Tuan.”

Setelah para pelayan kembali ke kamar masing-masing, Louis menekuk lutut dan memperhatikan wajah Summer. Pipi gembulnya tampak merona merah. Louis semakin yakin kalau ia kepanasan di dalam kantung tidur itu.

“Summer, kalau matamu terpejam begini, kau mirip sekali dengan ibumu,” gumam Louis sebelum menghela napas panjang. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengusap rambut ikalnya.

“Kenapa ibumu harus terlibat dengan pria bermata abu-abu? Orang-orang jadi salah sangka karena warna mata kita sama,” bisiknya sebelum termenung sendu.

Dalam keheningan, pandangan Louis beralih ke buku jurnal di samping ransel. Ia raih buku itu dan membukanya. Banyak hal tertulis di sana. Pada lembaran awal, huruf-huruf tampak lebih berantakan.

“Halo, namaku Summer. Umurku tiga tahun. Nama ibuku Sky. Aku dan Mama suka bertualang keling dunia. Kadang-kadang, kami pergi megunjungi Kakek dan Nenek. Mereka juga suka bertualang. Kami adalah keluarga petualang.”

Louis tersenyum mendapati kesalahan eja itu. Gambar seorang wanita dewasa dan seorang anak kecil juga terlihat lucu di sana. Keduanya mengenakan hoodie, jumpsuit, dan tas ransel. Sambil menggeleng gemas, Louis memeriksa halaman lain.

“Hari ini, aku dan Mama berangkat ke Perancis. Mama bilang kami akan bekerja sebagai pemandu di sebuah kastil di atas laut. Aku tidak sabar ingin melihat tempat itu!”

“Mama mengajakku mengunjungi Kakek dan Nenek di NZ. Mama bilang sebentar lagi bulu-bulu domba harus dicukur. Aku jadi penasaran seperti apa domba-domba itu tanpa bulu. Mereka pasti akan malu.”

“Aku senang Mama bisa bertemu dengan Bibi Emily lagi. Mereka adalah sahabat yang telah lama berpisah. Suatu saat nanti, kuharap aku juga bisa memiliki sahabat. Aku tidak perlu bermain sendiri lagi kalau sudah punya teman.”

Wajah Louis mendadak berubah kusut. Pikirannya terganggu bukan karena nama saudara kembarnya, melainkan karena fakta bahwa Summer mendambakan seorang sahabat.

“Apakah dia selama ini kesepian?” gumamnya lirih. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada kepedihan dalam hatinya.

 

 

 

 


 

 

Chapter 7. Bersimpati terhadap Summer

Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.

“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.

“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”

Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.

“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”

“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.

Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”

“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Paparazi bisa saja berpikir yang macam-macam. Mereka pasti mengaitkan anak itu dengan skandalmu dulu.”

“Kau tidak perlu khawatir, Ace. Kau tahu bahwa Sky dan putrinya tidak ada hubungannya dengan hal itu. Kau percaya padaku, kan? Aku tidak mungkin meniduri gadis sembarangan. Skandal itu adalah jebakan. Seseorang berusaha merusak nama baikku. Semua itu hanyalah tipuan.”

Grace tidak menjawab. Louis bisa membayangkan alis cantiknya tertaut kesal. Ia pun menambahkan, “Summer tidak akan lama di sini. Ibunya akan segera datang menjemput.”

“Jadi namanya Summer? Kalian sudah akrab, hmm?”

Louis mendesah berat. “Tolong jangan mengambek, Ace. Aku tahu kau pasti sangat kesal karena Summer mengacaukan lamaran tadi. Aku juga. Tapi kita tidak bisa menyalahkannya. Dia hanyalah seorang anak kecil yang merindukan sosok ayah.”

“Ya, bukan dia yang harus disalahkan, tapi ibunya. Dia tidak becus menjaga anaknya.”

Louis terdiam sejenak. Ia harus berhati-hati dalam memilih tanggapan yang tepat. Ia tidak mau kemarahan Grace malah memuncak.

“Nanti begitu Sky datang, aku akan menegurnya,” tuturnya kemudian.

“Menegur saja tidak cukup, Louis. Kau harus menegaskan kalau dia harus mengendalikan putrinya dengan baik. Jangan sampai anak itu mengacaukan lamaran orang lagi. Dia yang harus bertanggung jawab dalam menghadirkan sosok ayah untuk putrinya, bukan orang lain, apalagi kamu. Dia sudah bertahun-tahun tidak menghubungimu. Dia tidak seharusnya muncul secara tiba-tiba dan membebanimu dengan masalahnya sendiri.”

Dada Louis kini terasa sesak. Sang kekasih belum pernah mengomel begitu panjang. Ia jadi semakin bersalah karena gagal mengantisipasi kekacauan.

“Baiklah, aku akan menegaskannya. Sekarang, bisakah kau bersabar? Begitu Summer pergi, keadaan akan kembali normal. Aku akan mengatur lamaran yang lebih indah untukmu.”

“Jangan sekadar bicara, Louis. Buktikan. Kuharap tidak akan ada kekecewaan kedua.”

Louis mengangguk walau sang kekasih tidak sedang melihatnya. “Ya, aku akan memperketat keamanan. Tidak akan ada penyusup lagi nanti.”

Setelah panggilan berakhir, Louis mendongak dan mendesah panjang. Ia tidak pernah tahu bahwa berbicara dengan Grace bisa begitu melelahkan.

“Semua ini karena laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu. Kalau saja dia bersedia mendampingi Sky, Summer tidak akan mendatangiku.”

Usai menyimpan ponsel, Louis memindahkan Summer ke kamar tamu. Tubuh mungilnya terasa ringan. Saat Louis meletakkannya di atas kasur, ia langsung meringkuk seperti ulat dalam kepompong.   

“Kenapa ada orang yang tega menelantarkan anaknya? Mungkinkah laki-laki itu tidak tahu kalau dia punya Summer?” batin Louis sembari mengusap pipi gembul sang balita.

Merasa gatal, Summer menggaruk muka. Louis hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.

“Lihatlah betapa kecil tangan ini,” Louis membandingkan jemari mereka. Merasa gemas, ia pun menyelipkan telunjuk ke dalam genggaman Summer.

“Bersabarlah, Manusia Mungil. Aku yakin, suatu hari nanti, kau pasti akan bertemu lagi dengan ayahmu. Kau dan ibumu tidak akan kesepian. Kalian juga akan menjadi keluarga bahagia.”

Louis mengelus punggung tangan Summer. Setelah mengecupnya sekali, ia beranjak dari kasur. Saat itulah, Summer berkata lirih.

“Papa ....”

Louis sontak membeku. Napasnya tersendat, matanya membulat.

Suara Summer begitu menyayat hati. Alisnya berkerut, dagunya tertekuk. Tangannya menggenggam telunjuk Louis seolah tidak mengizinkannya menjauh.

Selama beberapa saat, Louis terjebak dalam perenungan. Ia telah kembali duduk di sisi kasur. Matanya terpaku pada wajah bulat Summer.

Ada perasaan asing yang tidak ia mengerti di dalam kalbu. Perasaan yang membuatnya sesak. Perasaan yang mengajaknya bertanya-tanya sejak kapan ada ruang hampa dalam hatinya.

“Mungkinkah aku merasa kasihan pada Summer? Nasibnya jauh lebih buruk dari nasibku. Aku dan Emily sudah bertemu dengan Papa saat kami seusianya dulu, sedangkan Summer belum.”

Dengan alis yang berkerut, Louis mengamati tangan kecil yang enggan melepasnya. Ada getaran aneh yang timbul dari sentuhan itu, getaran yang belum pernah ada dan tidak jelas apa maknanya.

“Apakah aku berempati padanya? Karena itu aku merasakan ini?”

Louis memegangi jantungnya sendiri. Tak menemukan jawaban, ia pun berbaring miring di sisi Summer. Ia biarkan gadis kecil itu terus menggenggam telunjuknya. Sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan, ia perhatikan bagaimana kerut alis sang balita memudar.

“Benar, kau harus melupakan kegelisahanmu. Jangan biarkan kerinduan terus menghantuimu. Ketika waktunya sudah tepat, ayahmu pasti akan datang.”

Louis mengelus punggung tangan balita itu dengan ibu jari. Selang beberapa saat, matanya ikut terpejam. Bibirnya tanpa sadar berbisik, “Mimpi yang indah, Summer. Kau juga layak bahagia.”

*** 

Begitu membuka mata, Louis langsung tersentak. Mulutnya ternganga, tangannya terangkat memegangi dada.

Melihat respon heboh itu, gadis kecil yang duduk bersimpuh di sampingnya tertawa terbahak-bahak. 

"Kenapa kamu terkejut begitu? Apakah kamu mengira kalau aku hantu? Mana ada hantu selucu aku?" Summer menangkup kedua pipi dan memiringkan kepalanya sedikit. Kedipan matanya yang cepat membuat Louis merasa terintimidasi. 

"Siapa yang tidak terkejut kalau seseorang menatapmu sedekat itu begitu bangun tidur? Kau beruntung aku tidak refleks meninjumu. Kalau tidak, kau pasti sudah terpental dari kasur." 

Sambil menjepit leher dengan pundak, Summer terkekeh. 

"Maaf, Paman. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku hanya mau mengamati wajahmu. Aku tidak menyangka kau bisa tiba-tiba bangun. Padahal tadi, kau masih mendengkur. Omong-omong, tidak apa-apa kan kalau aku memanggilmu Paman? Kurasa kita sudah akrab sekarang."

Mata Louis seketika menyipit. "Kenapa kau menyimpulkan begitu?" 

"Karena kamu sudah mulai peduli padaku. Buktinya, kamu memindahkan aku ke kamar ini. Tidurku jadi lebih nyenyak. Bagaimana tidurmu semalam, Paman? Apakah kamu tidur nyenyak juga? Kurasa iya. Kalau tidak, tidak mungkin kamu mendengkur begitu kencang."

Louis menghela napas panjang. Ia tidak pernah tahu kalau seorang balita bisa bicara begitu panjang dan tanpa jeda. 

"Tolong jangan salah paham. Aku memindahkanmu bukan karena kita sudah akrab, tapi karena aku orang baik. Aku tidak bisa menelantarkan anak kecil. Kalau ada paparazi yang merekam, nama baikku bisa hancur."

"Apa itu parapazi?" tanya Summer dengan bibir mengerucut.

"Paparazi," koreksi Louis. "Orang yang mengambil foto secara diam-diam untuk disebarkan melalui media. Biasanya, mereka mengincar orang-orang terkenal. Itu sangat merugikan orang yang mereka potret."

"Oh, itu pekerjaan yang tidak sopan. Mereka seharusnya meminta izin dulu sebelum memotret seseorang," omel Summer sembari berkacak pinggang. 

Louis mendengus mendengarnya. "Apa bedanya denganmu? Kau mengacaukan lamaranku tanpa meminta izin. Kau juga tidak sopan."

"Tentu saja aku berbeda dengan parapazi. Mereka merugikanmu, sedangkan aku tidak. Aku melakukan itu demi kebaikanmu."

"Kebaikanku?" Alis Louis naik mendesak dahi. 

Summer mengangguk. "Apakah kau masih belum sadar juga? Kalau kau menikah dengan Nona Evans, kau tidak akan bahagia, Paman. Dia bukan orang yang kamu cinta."

Louis kembali mendesah dan terpejam. Itu masih terlalu pagi untuk mengulang perdebatan semalam. Fokusnya hari ini adalah mencari cara untuk memulangkan Summer kepada Sky.

 

 

 

 

Chapter 8. Kecemburuan Grace

"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.

Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."

Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."

Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. 

"Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu berdua saja hari ini? Kita bisa berjalan-jalan ke objek wisata terdekat atau bermain bersama di rumah. Itu akan sangat menyenangkan."

Louis mematung sesaat. Ia lupa bahwa balita itu terlalu cerdas untuk diakali. 

"Aku menggunakan banyak waktu untuk mempersiapkan lamaran kemarin. Beberapa pekerjaanku terbengkalai. Aku harus mengurusnya hari ini," tutur Louis datar. 

"Aku bisa membantu." Summer mengangkat sebelah tangan dengan penuh percaya diri. "Meskipun masih kecil, aku sudah bisa membaca dan menulis."

"Bisa membaca dan menulis saja tidak cukup, Summer. Kau perlu pengetahuan bisnis dan kemampuan analisis yang hebat."

Summer berkedip-kedip lugu. "Kalau begitu, aku akan menemanimu bekerja sampai kau selesai. Aku janji tidak akan nakal. Aku hanya akan duduk diam sambil belajar lewat ponsel. Kuharap kau tidak keberatan membagikanku password wifi kantormu."

"Kau punya ponsel?" Mata Louis membulat. "Bukankah kau masih terlalu kecil? Kenapa Sky mengizinkan?"

"Itu kado ulang tahunku yang ke-4. Kakek yang membelinya. Kakek bilang aku butuh ponsel agar Mama lebih mudah mengawasiku. Ada GPS di dalamnya. Mama bisa melacak posisiku atau menelepon kalau dia tidak berhasil menemukanku. Kamu tahu, Paman? Bermain di luar itu lebih menyenangkan dibandingkan di dalam rumah. Banyak hal baru yang bisa kita pelajari di sana. Oh, Paman, bagaimana kalau kita bertukar nomor?" 

Tiba-tiba saja, Louis tersenyum miring. "Itu ide bagus. Aku bisa saja memberimu nomorku, tapi kau harus mengembalikan paspor ibumu dulu." 

Senyum Summer seketika mengerut. Kelopak matanya turun. Tepat ketika ia hendak protes, ponsel Louis berdering. Louis pun meraihnya dari atas nakas. 

"Itu pasti Mama."

Alis Louis kembali terangkat. "Dari mana kau tahu?"

"Mama sudah menelepon beberapa kali, tapi kamu tidak bangun-bangun. Sebetulnya, itu juga yang membuatku yakin kalau kamu tidur nyenyak." 

"Kenapa tidak kau angkat?" 

Summer mengedikkan bahu. "Bukankah tidak sopan kalau kita menerima telepon di ponsel orang lain?" Sedetik kemudian, ia merapatkan diri kepada Louis. 

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Louis, meliriknya dengan alis berkerut. 

Summer mendongak dengan pipi yang menempel di lengan Louis. "Aku juga mau menyapa Mama." 

Setelah menghela napas pasrah, Louis menerima panggilan. Wajah Sky langsung muncul di layar. Belum sempat wanita itu bicara, Summer telah melambaikan tangannya. 

"Selamat pagi, Mama. Apakah tidurmu nyenyak? Aku dan Paman Louis tidur nyenyak. Mama tahu? Aku sempat tidur di ruang tamu. Tapi kemudian, Paman Louis memindahkan aku ke kamar ini. Dia juga menemaniku tidur. Ternyata dia sangat baik. Sangat cocok untuk menjadi Papa-ku. Oh, Mama? Ada apa dengan matamu? Kenapa kamu jadi mirip burung hantu?" 

Sky memasang raut jengkel. "Jangan berpura-pura tidak tahu, Summer. Mama tidak bisa tidur karena ulahmu. Di mana kamu menyembunyikan pasporku?"

"Kau mencarinya semalaman?" selidik Louis. 

Sky mengangguk. "Ya, dan tetap tidak ketemu. Summer, ini sama sekali tidak lucu. Berhenti main-main dan katakan di mana kau menyembunyikannya?" 

Sambil menggaruk kepala, Summer terkekeh. "Maaf, Mama. Aku belum bisa memberi tahu. Paman Louis masih belum setuju untuk menjadi Papa-ku." 

Tak mau suasana berubah canggung, Louis melempar pertanyaan baru. "Apakah kau sudah mencari di semua tempat? Yang tak terduga seperti di dalam kulkas, misalnya?" 

Tawa Summer seketika mengudara. "Paman, paspor itu bukan makanan. Kenapa menyimpannya di dalam kulkas? Itu terlalu konyol." 

"Lalu di mana kau menyimpannya?" 

"Katakan dulu kalau kamu mau menikahi Mama," Summer memasang raut manja. 

"Summer?" tegur Sky. "Kenapa kamu terus memaksa Louis begitu? Itu tidak baik." 

"Aku tidak peduli. Pokoknya, aku baru mau mengatakan di mana paspor Mama kalau Paman Louis sudah setuju untuk menjadi Papa-ku. Tapi kurasa, itu tidak akan lama, Mama. Dia sudah mulai berubah pikiran. Tadi pagi saja, dia sempat menyebut nama Mama dalam tidurnya. Kurasa selama ini dia juga merindukan Mama. Hanya saja, dia merahasiakannya." 

Sementara Sky meringis malu, Louis mematung. Matanya terbelalak menatap ke arah pintu. Entah sejak kapan, Grace telah berdiri di sana. Tatapannya tajam seolah ingin membunuh. 

"Ace," desah Louis sembari menurunkan ponsel dari hadapannya. Ia tidak peduli jika obrolannya dengan Sky belum selesai. Perasaan sang kekasih adalah prioritasnya.

Alih-alih menyahut, Grace malah berbalik pergi. Melihat itu, Louis spontan melompat turun dari kasur.

"Ace, tunggu." Ia menahan lengan Grace. "Tolong jangan salah paham. Dengarkan aku dulu."

"Apa lagi yang perlu kudengar? Bukankah semua sudah jelas?" Grace menyibak tangan Louis dari lengannya. Deru napasnya yang kasar membuat suasana bertambah tegang.

"Kau bilang akan menangani bocah itu. Tapi lihat kenyataannya. Kalian malah semakin akrab. Kau bahkan menemaninya tidur semalam!"

Louis menggeleng tipis. Matanya memicing tak mengerti. "Kau cemburu kepada anak kecil? Ayolah, Ace. Dia bahkan belum genap lima tahun."

"Jangan berpura-pura bodoh, Louis. Kau pikir aku tidak tahu? Kau mulai menganggapnya sebagai anakmu. Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini? Meninggalkan aku untuk menikahi ibu dari anak itu?"

"Ace," Louis memegangi pundak sang kekasih dan menatapnya lembut, "tolong kendalikan emosimu. Kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin. Jangan ceroboh."

"Kaulah yang seharusnya jangan ceroboh. Kau bahkan belum menghubungiku pagi ini, tapi kau sudah menelepon Sky."

"Bukan aku yang meneleponnya, tapi dia yang meneleponku. Itu pun dia lakukan bukan untuk menyapa, tapi untuk menanyai putrinya. Dia masih belum berhasil menemukan paspor yang disembunyikan oleh Summer."

"Kau percaya?" Grace mendengus. "Itu hanya akal-akalan mereka untuk meraih simpatimu, Louis. Kau seharusnya berhenti mengikuti permainan mereka. Lempar saja anak itu keluar. Aku yakin sang ibu akan langsung menjemputnya."

Louis terpejam sejenak. Selagi tertunduk, ia berusaha menjaga kesabaran.

"Ace, bukankah kau sudah mengenalku? Apakah menurutmu aku laki-laki yang lemah dan gampang terpengaruh?" tanya Louis sambil menaikkan alis.

Tak mendapat jawaban, ia pun berbisik, "Aku bersikap baik kepada Summer bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, tapi karena dia masih sangat kecil. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Apakah kau tidak kasihan kalau aku mengusirnya? Ibunya masih berada di Kanada. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi padanya sebelum Sky tiba di sini."

"Lihat? Kau memang peduli padanya."

"Aku peduli karena aku manusia. Apakah kau tidak takut padaku kalau aku tega menelantarkan anak kecil? Kau tidak mungkin berharap memiliki seorang suami yang jahat, kan?"

Grace menggeleng tipis. Sembari bicara, telunjuknya menusuk-nusuk dada Louis. "Aku berharap memiliki suami yang tegas dan bertanggung jawab atas janjinya. Kau bilang akan selalu memprioritaskan dan mengerti aku, kau ingat? Sekarang buktikan! Usir anak itu dari rumahmu atau hubungan kita usai!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Menikahlah
Selanjutnya Menikahlah (Bab 9-20)
0
0
Sky panik saat mendapati Summer, putri kecilnya, menghilang. Siapa sangka, balita berusia empat tahun itu ternyata pergi untuk menghentikan lamaran Louis Harper, cinta pertama sekaligus sahabat lama ibunya. Summer tidak setuju jika Louis menikah dengan orang lain. Ia ingin Louis menikahi Sky dan menjadi ayahnya!Melihat kegigihan sang putri, Sky menjadi bimbang. Haruskah ia memaksa putrinya untuk pulang dengan kekecewaan? Atau ia harus turut memperjuangkan Louis dengan mengungkap rahasia besar yang selama ini ia simpan rapat-rapat ... tentang siapa ayah Summer yang sebenarnya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan