
Kara Martin dijuluki sebagai Miss Perfect. Ia cantik, berkepribadian baik, dan kariernya gemilang. Namun, karena malam itu, kehidupannya berubah total. Ia dituduh berzina, dipecat dari perusahaan, dan ditinggalkan oleh calon suaminya.
Laki-laki sombong yang meniduri Kara tidak mau bertanggung jawab. Pria itu bahkan mengancam akan menghabisinya kalau sampai mereka bertemu lagi. Malangnya, Kara malah mengandung bayi kembar dan ia memilih untuk melahirkannya.
Empat tahun kemudian, Kara kembali bekerja...
1. Gadis Tak Dikenal
“Astaga!”
Frank Harper terkesiap saat mendapati pundak ramping yang dipenuhi jejak bibir. Cap kemerahan itu ada di mana-mana, bahkan di dekat tahi lalat yang memang berada pada posisi menggairahkan.
Masih dengan mulut ternganga lebar, Frank menatap wajah korbannya. Lipstik dan maskara gadis itu keluar jauh dari batas. Menyadari kebrutalannya, Frank bergegas mengambil ponsel.
“Sia-sia aku membayar kalian mahal! Kau dan sembilan pengawal itu sungguh tidak berguna!” umpat Frank begitu panggilannya diterima.
“Ada apa, Tuan? Bukankah Anda sendiri yang meminta kami pulang? Anda bilang ingin merayakan anniversary bersama tunangan Anda.”
“Tunangan dari mana? Aku tidak mengenal gadis ini!”
Frank menyoroti Kara Martin dengan mata merah membara. Kebencian telah membakar jiwanya.
Beberapa kali Isabela berusaha merayunya, ia tidak pernah goyah. Namun, semalam, ia sudah lengah. Bagaimana mungkin ia merusak citra sempurnanya bersama seorang gadis yang tidak dikenal?
“Cepat selidiki bar semalam! Seseorang telah memasukkan obat ke dalam minumanku. Dan cari tahu di mana Isabela sekarang! Tidak biasanya dia membatalkan janji tanpa memberi kabar.”
“Bagaimana dengan gadis yang sedang bersama Anda? Apakah saya perlu menelusuri informasi tentangnya?”
Frank menggertakkan rahang. Bagaimana mungkin gadis itu masih terlelap di saat kemarahannya telah meledak-ledak?
“Aku akan menanganinya.”
Setelah meletakkan ponsel di atas meja, Frank bergegas mengenakan pakaian. Kemudian, tanpa sedikit pun keraguan, ia menampar sang gadis dengan segelas air.
“Hmmph!”
Kara spontan meraup wajah dan menegakkan badan. Begitu melihat seorang pria tampan berambut acak-acakan, ia terperangah. “Siapa kau?”
“Akulah yang seharusnya bertanya. Kau siapa?”
Frank meninggikan sebelah alis. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Mata abu-abunya memancarkan aura dingin yang mematikan.
“Tunggu dulu! Ini kamarku. Kenapa kau bersikap seolah-olah ini kamarmu?” balas Kara dengan nada bicara yang lebih tinggi. Ia belum sadar bahwa pakaiannya tidak melekat di tubuh lagi.
“Kau tidak tahu siapa aku?” gumam Frank dengan sebelah alis mendesak dahi. Sedetik kemudian, ia mendengus. “Ini hotelku, dan kamar ini sudah kusiapkan khusus untuk tunanganku. Jadi, berhentilah mengada-ada!”
“Kaulah yang mengada-ada! Tim kami menyewa tiga kamar di Hotel Harper ini sejak kemarin siang. Lihatlah, koperku ....”
Kara tersentak melihat pakaiannya berserakan di dekat kaki sang pria. Begitu ingatan tentang mimpi semalam terputar, matanya terbelalak.
“Kau ...!” Kara menarik selimut dengan tampang horor. “Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?”
Dengan tangan disempal dalam saku, Frank melangkah maju. “Akulah yang seharusnya histeris. Bagaimana mungkin aku bisa menyentuh perempuan rendahan yang sejelek dan sebodoh dirimu?”
Sambil mencondongkan tubuh ke depan, ia mengamati raut korbannya yang dirasa berlebihan. Mata yang berwarna tembaga keemasan itu bergetar terlalu hebat.
“Ck, bahkan anjing Samoyed jauh lebih berkelas dibandingkan dirimu.”
Pria itu menatapnya seperti makhluk paling menjijikkan dari seluruh dunia. Kara kehabisan kata-kata.
“Hentikan sandiwaramu! Kau pasti senang sudah tidur denganku. Jutaan wanita mendambakan kesempatan itu. Kau seharusnya bersyukur, sedangkan aku ....” Frank mendengus dan mengedikkan bahu. “Semalam adalah mimpi terburuk dalam hidupku.”
“Munafik! Jelas-jelas kau sudah mengambil keuntungan dariku. Sekarang, kau menganggapku sampah?”
Air mata Kara mulai mengalir. Kekesalannya sudah mencapai puncak.
“Kau memang sampah. Kau itu ibarat setitik noda dalam lukisan mahal yang tanpa cela. Kau tidak layak memasuki kanvasku. Karena itu, lupakan apa yang telah terjadi dan jangan pernah menemuiku! Jika di luar kamar ini kau masih menampakkan batang hidungmu, jangan salahkan aku jika kau lenyap dari muka bumi.”
“Kau pikir aku sudi disentuh olehmu? Kaulah sampah yang sesungguhnya! Kau telah merampas hak tunanganku! Sekarang, kau harus bertanggung jawab!” hardik Kara dengan suara bergetar. Tenaganya memang telah terkuras, tetapi kemarahan memaksanya menolak untuk diam.
Sementara itu, Frank menyipitkan mata. “Gadis ini masih ingin bertingkah seperti korban? Dia bahkan berani menekanku dengan tuntutan?” Ia mendengus sinis.
“Aku bukan memintamu untuk menikahiku,” jelas Kara sigap. “Kau hanya perlu menjelaskan kejahatanmu kepada tunanganku.”
“Apakah peringatanku kurang jelas?” tanya Frank dengan nada tak senang. Masih dengan tangan yang disempal dalam saku celana, ia menempatkan wajah beberapa senti di depan Kara. “Aku ... tidak mau ... berurusan lagi ... denganmu.”
Nada bicara pria itu tidak main-main. Kara nyaris bergidik ngeri, tetapi ia tetap mengangkat dagu.
Sayangnya, belum sempat keberaniannya terucap, pria itu sudah mendorong keningnya dengan telunjuk. Sedetik kemudian, ia melengos pergi sambil membersihkan tangan dengan kain sutra yang berukiran emas.
“Hei!”
Kara bergegas mengejar. Namun, begitu ia berhasil meraih lengan sang pria, ia langsung merapat dengan dinding.
“Kau pikir aku bercanda?” Frank mengeratkan cengkeraman tangannya pada leher Kara, tak peduli jika gadis itu megap-megap mencari udara.
“Aku tidak sudi melihat wajahmu yang menjijikkan ini, apalagi disentuh oleh tangan kotormu. Sekali lagi kau mengusikku, hidupmu akan berakhir detik itu juga.”
Begitu Frank melepas cengkeraman, Kara langsung ambruk dan terbatuk-batuk. Ia tidak punya tenaga lagi untuk mengejar. Sambil mencengkeram selimut, ia hanya bisa memandangi pintu dan menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba, sepasang sepatu pantofel kembali terlihat. Kara mendongak. Saat mendapati seorang pria dengan mata yang memerah, ia terkesiap.
“Finnic?”
Pria itu mendesah tak percaya. “Jadi ini kelakuanmu di belakangku?”
Kara berkedip-kedip dengan lidah kaku. “Tidak .... Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Fin.”
Sambil menggertakkan geraham, Finnic melemparkan ponsel yang berisi sebuah rekaman. Saat menyaksikannya, tubuh Kara langsung gemetar.
“Kenapa kau melakukan ini, Kara? Aku sangat mencintaimu. Kau memintaku menunggu sampai kita menikah. Aku terima. Tapi kau malah melakukannya dengan Rolland, sebulan sebelum pernikahan kita? Apakah kau sengaja menyakitiku? Atau kau besar kepala karena semua orang menjulukimu Nona Yang Paling Sempurna, hmm?”
Kerongkongan Kara tersekat. Hatinya hancur melihat air mata Finnic.
“Tolong ... percayalah padaku, Fin. Aku tidak tidur dengan Tuan Rolland. Aku—”
“Cukup Kara! Setiap kata dari mulutmu terasa seperti jarum yang menusuk hati. Aku tidak mau mendengar apa pun lagi darimu. Kau sudah merusak kepercayaanku, harapanku, impianku. Mulai detik ini, aku tidak ingin melihatmu di kota ini.”
“Tapi—”
“Kau akan menyesal telah menyia-nyiakan aku! Lihat saja! Ke mana pun kau pergi, akan kupastikan kau menderita. Tidak akan ada satu pun tempat yang mau menerima gadis menjijikkan sepertimu.”
Finnic menggebrak pintu lalu melangkah pergi.
“Tunggu ..., Finnic!”
Kara berusaha mengejar, tetapi lututnya masih lemah. Ia kembali membentur lantai. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah meratapi nasib.
Dalam sekejap, email pemecatan datang. Media sosialnya dibanjiri oleh hujatan. Semua orang di kantor menghina dirinya. Secepat itu, dunia Kara berubah kelam.
2. Kelam
Empat setengah tahun kemudian, Kara masih belum bisa bangkit. Satu-satunya alasan yang membuatnya bertahan adalah keluarga—sang ibu yang selalu setia menemaninya, dan dua malaikat cilik yang dulu tidak sanggup ia gugurkan.
“Louis! Emily! Mama kalian pulang!”
Mendengar panggilan sang nenek, mata gadis mungil yang sedang membaca pun berbinar. Kilauan abu-abunya mengalahkan bintang paling terang.
Dengan sigap, ia melepas buku dan merosot dari kasur. Sambil tertawa-tawa, ia beradu cepat dengan saudara laki-lakinya.
“Mama pulang! Mama pulang!”
Tepat setelah Kara meletakkan plastik belanjaan di atas meja, si Kembar menyergap masing-masing kakinya. Melihat wajah imut yang ceria itu, rasa lelah pun sirna. Ia tersenyum lebar dan membelai lembut kedua anaknya.
“Kenapa kalian berlari sekencang itu? Kalau jatuh, bagaimana?”
Sambil menunjukkan deretan gigi mungilnya, Louis menggeleng tegas. “Aku tidak mungkin jatuh, Ma. Kakiku ini kuat.”
“Aku juga,” celetuk Emily seraya menyibak rambut panjangnya yang lebat dan bergelombang.
Ia persis seperti replika mungil Kara. Hanya mata mereka saja yang berbeda warna dan rambut Kara baru dipotong sebahu.
Sementara Louis ... ia seratus persen replika setan bermata abu-abu itu. Meski demikian, Kara menyayangi mereka sama besarnya.
“Apa yang Mama beli?” Telunjuk mungil Louis tertuju ke arah plastik belanjaan. “Karena itukah Mama pulang terlambat?”
Keceriaan Kara sontak meredup. Ia tidak mungkin mengaku bahwa dirinya baru saja dipecat. Dendam Finnic jelas masih membara. Pekerjaan sebagai SPG saja tidak segan-segan dirampas.
Padahal, manajer yang memecat Kara saja tidak tega. Ia sampai memberikan pesangon dari tabungannya sendiri demi menebus rasa bersalah.
“Buku cerita? Bukankah Mama bilang kita harus hemat? Kenapa Mama membeli sebanyak ini?”
“Lihatlah rubik ini, Emily! Ini keluaran terbaru. Harganya pasti mahal!”
Kara terpaksa memalsukan senyum. Itu juga pemberian manajernya.
Pria baik hati itu merasa iba pada si Kembar. Sebentar lagi, mereka berusia genap empat tahun dan harus masuk TK, tetapi ibu mereka malah kehilangan pekerjaan.
Setibanya di kamar, Kara menghela napas melihat angka pada buku tabungannya. Tidak banyak yang tersisa di sana. Pesangon dari sang manajer memang cukup untuk menyambung hidup selama sebulan. Akan tetapi, bagaimana setelahnya?
“Haruskah aku mencari setan bermata abu-abu itu dan menuntut tanggung jawab? Hatinya pasti luluh saat melihat si Kembar.”
Namun, detik berikutnya, Kara mengerjap dan mengenyahkan keputusasaan dari pikirannya.
“Tidak. Laki-laki kejam itu tidak akan ragu membunuhku. Louis dan Emily bisa menjadi yatim piatu dalam sekejap, atau bahkan ... menyusulku ke surga.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
Mendengar suara Susan Martin, Kara spontan memasukkan buku tabungannya ke dalam laci.
“Ibu .... Aku baru saja menghitung pengeluaran dan pemasukan bulan ini. Aman,” angguknya seraya memalsukan senyuman. Namun, ketika mendapati sebuah kertas di tangan sang ibu, ia gagal menyembunyikan keresahan.
“Tenang. Ini bukan tagihan,” tutur Susan sembari duduk di sebelah Kara. Ekspresinya agak gugup dan diwarnai iba. “Ini ... undangan pernikahan Finnic.”
Raut wajah Kara seketika berubah muram. Nama itu tidak pernah gagal menguasai hatinya. Bahkan setelah berulang kali dijatuhkan, Kara tidak dendam. Ia hanya kecewa dan berusaha memakluminya. Ia pernah mencoba untuk membenci Finnic, tetapi gagal dalam hitungan detik.
“Dia akan menikah?” desah Kara tanpa sadar.
Sebelum ibunya menjawab, ia tertawa gersang. “Baguslah. Itu artinya, dia sudah berhasil melupakanku. Dia tidak akan mengusik hidup kita lagi, Bu.”
Susan tersenyum miris. Sambil mengelus pundak kurus putrinya, ia berbisik, “Kara, kamu tidak harus selalu tegar. Kalau kau ingin menangis, menangislah.”
“Aku tidak sedih, Bu. Untuk apa menangis? Aku justru lega. Sekarang, yang terpenting bagiku adalah si Kembar.”
Kara menyembunyikan kesedihan dengan baik di balik suara yang mantap. Akan tetapi, matanya tak bisa berpura-pura. Sang ibu ikut berkaca-kaca melihatnya.
“Mama.” Suara kecil tiba-tiba datang dari arah pintu.
Emily ternyata sedang berdiri di sana. Buku besar yang diseretnya hampir menyentuh lantai. Di sampingnya, Louis sedang asyik mengotak-atik rubik baru. “Ada tamu.”
“Tamu? Semalam ini?”
“Ya, kami mendengar suara ketukan pintu.” Louis mengangguk singkat sebelum kembali mengacak rubik agar warnanya berantakan.
Dalam sekejap, Kara dilanda kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia pergi ke pintu depan.
Saat mengintip dari jendela, Kara mendapati seorang perempuan seumuran ibunya. Penampilannya rapi dan berkharisma. Samar-samar, Kara dapat melihat kerlip mutiara pada bros di dada kirinya.
Di belakang wanita itu, dua orang pengawal berdiri tegap. Raut mereka tegas dan penuh waspada, tidak tampak membahayakan tetapi tetap mencurigakan. Meski demikian, Kara memberanikan diri untuk menemui tamunya.
“Selamat malam, Nona Martin. Saya Vivian Bell dari Savior Group. Apakah Anda keberatan meluangkan waktu untuk berbincang?”
Kara berkedip bimbang. Tangannya enggan melepas gagang pintu.
Mengamati keraguan gadis itu, Vivian pun menyodorkan kartu nama. Begitu memeriksanya, Kara tersentak.
“Dia seorang komisaris? Untuk apa orang berpangkat sebesar ini menemuiku? Dan bukankah Savior Group adalah perusahaan terkenal di kota tetangga? Apakah mereka ini penipu?”
“Saya sebetulnya berencana untuk menemui Anda besok siang. Sayangnya, saya harus kembali ke L City malam ini.”
Menimbang tutur bicara yang sangat tertata dan pembawaannya yang tenang, Kara akhirnya mempersilakan. Kalaupun wanita itu memang penipu, tidak ada banyak yang bisa diambilnya. Rekening Kara sekarat.
Saat memasuki ruang tamu, Vivian melihat sekilas kondisi sekitar. Ia tidak tampak terganggu dengan ukuran ruang yang sempit ataupun perabotan yang serba sederhana. Tidak ada kesan menyindir ataupun menyudutkan. Hanya sekadar melihat, tersenyum kepada anak-anak, lalu memulai percakapan.
"Savior Group sedang mencari sekretaris terbaik. Anda mungkin heran mengapa saya sampai turun tangan. Tapi, CEO kami sangat pemilih. Selama tiga tahun terakhir saja, dia sudah mengganti sekretarisnya sebanyak 50 kali."
"Lima puluh kali?" Kara terbelalak.
"CEO itu pasti sangat menyebalkan. Sekretarisnya tidak bisa bertahan lebih dari satu bulan," celetuk Louis tanpa mengalihkan pandangan dari rubik.
Mendengar komentar cerdas dari anak jenius itu, Vivian tersenyum. Ia tampak tertarik pada Louis. Sayangnya, ia tidak punya banyak waktu untuk basa-basi.
"CEO kami itu perfeksionis. Dia membenci kesalahan dan tidak segan-segan memecat karyawan. Karena itu, kami membutuhkan sekretaris profesional yang sempurna untuknya."
Mata Kara bergerak ke sana kemari. Kesimpulan dalam benaknya terlalu sulit dipercaya. "Apakah Anda menawari saya pekerjaan tersebut?"
"Benar, Nona. Beberapa minggu ini, kami sudah melakukan banyak investigasi. Kami berhenti setelah menemukan resume Anda."
"Tapi, saya belum pernah menjadi sekretaris. Sebelumnya, saya bekerja di bidang pemasaran. Titel sarjana saya pun rendah, bukan magister ataupun doktoral. Apakah mungkin saya orang yang kalian cari?"
Vivian tidak mengubah ekspresi. Bibir kecilnya tetap melengkung pada sudut yang sempurna. "Anda berhasil menduduki jabatan manajer hanya dalam waktu satu tahun sepuluh bulan setelah magang. Miller Corporation tidak sembarangan menilai karyawan, bukan?"
Sedetik kemudian, Vivian meletakkan secarik kertas di atas meja. "Ini kompensasi yang kami tawarkan pada minggu pertama kalau Anda bersedia."
Kara dan si Kembar kompak mengulurkan kepala. Begitu melihat angkanya, Kara tertegun. "Itu cukup untuk biaya hidup sebulan!"
3. Setan Bermata Abu-Abu
Tiba-tiba, Vivian meletakkan kertas lain. "Ini kompensasi kalau Anda bisa bertahan lebih dari satu bulan."
Mata Kara semakin lebar. "Itu cukup untuk biaya sekolah anak-anak!"
"Dan kalau Anda bisa bertahan selama tiga bulan, ini akan menjadi kompensasi untuk bulan-bulan selanjutnya."
Begitu kertas terakhir diletakkan, mulut Kara ternganga lebar. Ia seperti melihat jalan keluar yang begitu terang.
"Aku tidak perlu khawatir lagi jika jumlah itu masuk ke rekening setiap bulan. Bukan hanya anak-anak yang sejahtera, Ibu juga bisa pensiun dari perpustakaan!"
"Hei, Emily. Itu berapa? Kamu yang lebih pintar matematika," bisik Louis seraya menyenggol lengan saudaranya.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau nolnya ada enam itu satu juta. Itu nolnya ada delapan. Apakah seratus juta?"
"Mama terima saja. Nolnya banyak," bisik Louis sambil menutupi mulut dengan sebelah tangan. Ia tidak peduli jika Vivian tertawa simpul, sedangkan sang nenek memicingkan mata ke arahnya.
"Kalau Mama menerima pekerjaan ini, itu berarti kita harus pindah ke kota lain. Apakah kalian tidak keberatan?" tanya Kara dengan nada bijak. Ia tidak punya banyak waktu untuk berunding di ruangan lain.
Mendapat pertanyaan seserius itu, Emily berkedip-kedip, sedangkan Louis menatap Vivian dengan raut penasaran. "Bagaimana keadaan di kota Anda, Nyonya? Apakah aman dan menyenangkan?"
Vivian spontan menaikkan alis. Ia tidak menduga akan mendapat pertanyaan semacam itu dari seorang bocah yang masih sangat kecil.
"Tingkat kejahatannya cenderung rendah dan itu kota yang menyenangkan. Ada lebih banyak taman bermain dan pusat perbelanjaan di sana. Kalian bisa bersenang-senang bersama ibu kalian di akhir pekan."
"Bagaimana dengan perpustakaan? Nenek kami seorang pustakawan. Kami suka membantu Nenek setiap kali dia bekerja," tanya Emily dengan suara kecilnya yang memikat hati. Ia semanis gulali. Vivian akhirnya meloloskan tawa karenanya.
"Kebetulan sekali, kami baru membangun sebuah perpustakaan. Itu proyek amal. Kalau nenek kalian bersedia bekerja di sana, kami akan dengan senang hati menyambutnya."
Sementara Susan berterima kasih, si Kembar kompak melipat tangan dan berpandangan. Mereka persis seperti Kara yang sedang berpikir. Setelah menyipitkan mata dan memainkan alis, mereka mengangguk bersama.
"Baiklah, Mama. Kami tidak keberatan."
Melihat harapan yang terpancar dari mata si Kembar, sudut bibir Kara naik dengan sendirinya. Ia tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan. Siapa CEO itu dan seberapa menyebalkan dirinya sama sekali bukan masalah. Demi menafkahi dua malaikat ciliknya, ia siap menghadapi bos besar yang perfeksionis itu.
“Kesempatan emas ini tidak boleh terlewatkan.”
***
"Selamat datang di Savior Group, Nona Martin. Senang bisa melihat Anda di sini."
Kara tersenyum menyambut salam Vivian. Ia kagum dengan kerendahhatian wanita itu. Sepanjang pengetahuannya, belum pernah ada komisaris yang bersedia menyambut karyawan, selain Vivian.
Tidak hanya itu, Vivian juga mengajak Kara mengunjungi setiap lantai. Dari tingkat terbawah hingga tingkat teratas, semangat wanita itu tidak pernah padam.
Hanya dalam waktu singkat, Kara sudah merasa akrab dengan Savior Group. Diam-diam, ia merasa bangga dapat bekerja di sana. Perusahaan barunya jauh lebih besar dari perusahaan Miller.
"Dan ini adalah meja kerja Anda. Berhati-hatilah dengan kaca itu karena Tuan CEO dapat melihat Anda dari kursinya." Vivian menunjuk sekat cermin yang memisahkan ruang sekretaris dengan sang pimpinan.
"Itu kaca satu arah?" bisik Kara seolah takut terdengar oleh bosnya.
"Benar. Kaca itu sudah memicu banyak pemecatan. Para pendahulu Anda kurang berhati-hati sehingga kesalahan mereka teramati oleh Tuan CEO."
Kara menelan ludah. Tanpa sadar, ia menarik pundak agar berdirinya lebih tegak. Bukankah bos barunya seorang perfeksionis?
Pria itu pasti menuntut karyawan untuk berdiri dengan cara yang sempurna serta berpenampilan maksimal. Karena itulah, Kara mengenakan blouse terbaiknya dan menguncir rambut dengan gaya ekor kuda.
Ia bahkan mengenakan kacamata untuk menambah kesan profesional, dan tak lupa ... contact lens cokelat untuk menutupi warna matanya yang terlalu memikat.
Kara Martin sudah siap menaklukkan si bos dan mendulang pujian darinya.
"Jadi, apa saja yang boleh dan tidak boleh saya lakukan, Nyonya?"
Vivian tersenyum simpul. Selang satu kedipan lembut, tatapannya tertuju pada tumpukan map di dekat komputer.
"Saya harap Anda penghafal yang cerdas, Nona. Anda punya waktu satu hari untuk mengingat semua informasi."
Raut Kara berubah beku. Dengan gerak kaku, ia meruncingkan telunjuk ke arah map. "Itu semua panduan tentang menjadi sekretaris di sini?"
"Panduan untuk bertahan menghadapi Tuan CEO, lebih tepatnya."
Sebelum pikiran negatif menguasai otaknya, Kara menarik napas panjang lalu mengembuskannya samar. Dengan langkah yang mantap, ia mengambil dokumen teratas.
"Frank Harper?" Ia membaca biodata yang tertera di sana.
"Ya, itulah CEO Savior Group. Dia memang masih muda, tapi kemampuannya tidak perlu diragukan. Ini tahun keenam dia memimpin perusahaan."
Kara terdiam. Bukan usia sang CEO yang membuatnya heran, melainkan nama belakangnya.
"Harper? Kenapa rasanya tidak asing? Apakah dulu Finnic pernah bekerja sama dengannya?"
Tiba-tiba, pintu lift terbuka. Sembilan pria berjas hitam langsung keluar dan mengambil posisi. Koridor timur, barat, dan utara masing-masing dijaga oleh dua orang, dua lagi bersiaga di samping pintu ruang CEO, sedangkan satu masih menunggu di pintu lift.
Sesaat kemudian, seorang pria berjas abu-abu keluar disusul pria lain yang berpenampilan seperti pengawal. Aura mencekam seketika mengisi ruangan. Langkah kakinya yang tegas mampu mengintimidasi siapa saja yang melihat, termasuk Kara. Gadis itu tanpa sadar menurunkan dagu dan menahan napas.
"Kenapa aku gugup begini? Apakah karena sudah terlalu lama tidak berurusan dengan orang penting?"
Kara terpejam sesaat, mengumpulkan keberanian. Sambil mengatur napas, ia membayangkan wajah lucu Louis dan Emily setiap menyambutnya pulang. Setelah debar jantungnya mereda, ia kembali menegakkan kepala.
Saat itu pula, sang CEO berhenti tepat di hadapannya. Ketika pandangan mereka bertemu, letupan besar langsung menghentikan detak jantung Kara. Ia tidak bisa mendengar apa-apa. Telinganya berdenging. Otaknya pun gagal mengawasi suasana. Perhatiannya terpaku pada mata abu-abu yang dingin itu.
"Laki-laki ini .... Bukankah dia ayah si Kembar? Setan yang meniduriku di Hotel Harper? Harper? Astaga! Kenapa aku baru menyadarinya?"
Melihat ekspresi Kara seperti sedang berhadapan dengan hantu, Frank Harper mengerutkan alis. Ia tidak suka tatapan itu, seperti ada yang salah dengan wajahnya. Padahal, ia merasa sudah sempurna.
“Inikah sekretaris baru yang Anda ceritakan itu, Nyonya Bell?” tanya Frank tanpa mengalihkan pandangan. Nada bicaranya rendah, tetapi menusuk jiwa. “Bukankah Anda mengatakan kalau dia profesional dan cerdas? Kenapa sekarang dia malah melotot seperti burung hantu yang dungu? Apakah dia baru saja kehilangan moral dan IQ-nya?”
Kara mengerjap. Ia baru sadar bahwa mulutnya sedikit terbuka dan cepat-cepat menutupnya.
“Ternyata dia belum berubah? Dia masih setan angkuh yang dingin dan tidak berperasaan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menjambak rambutnya atau mencolok matanya? Dia penyebab hidupku menderita!”
“Tapi bagaimana kalau dia marah dan langsung membunuhku? Si Kembar pasti akan sangat sedih. Mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Haruskah aku melarikan diri? Mumpung setan abu-abu ini belum menyadari identitasku.”
“Benar! Aku tidak boleh membiarkan setan cabul ini menindasku lagi. Dia sudah membuangku dari hidupnya. Akan kubuktikan bahwa aku mampu bertahan tanpa sepeser pun uang darinya.”
“Kau!”
Kara meruncingkan telunjuk tepat di depan hidung sang CEO. Semua yang melihat pun terbelalak. Untuk pertama kalinya, seseorang berani menentang Frank Harper selantang dan sedekat itu.
4. Kau Pikir Bisa Pergi Begitu Saja?
Frank tanpa sadar menaikkan alis dan menahan napas. Ia baru menghina sedikit, tetapi sekretaris baru itu sudah berani menyalak?
“Kalau saja aku tahu CEO Savior Group sekasar dan sesombong ini, aku tidak akan mau menandatangani kontrak!” hardik Kara, tanpa sedikit pun keraguan.
Frank memeriksa ekspresi para pengawal dan Vivian. Mereka semua tegang. Tidak ada satu pun yang berani bergerak. Memang hanya gadis di hadapannya itu yang tidak tahu diri dan berani cari mati.
Frank menatap Kara lekat-lekat. Sudut bibirnya berkedut kecil. “Jadi menurutmu, aku ini kasar dan sombong?”
Sebelum gadis itu sempat menjawab, ia mendengus dan menepis telunjuk lentik yang tergantung di ujung hidungnya.
“Memangnya kau ini siapa? Berani-beraninya memberiku penilaian. Kau tidak punya rasa malu dan tata krama, heh?!”
“Maaf, Tuan Harper.” Vivian menarik Kara mundur. “Nona Martin baru saja menandatangani kontrak dan ini hari pertama dia mengunjungi perusahaan. Dia sama sekali belum mendapat pelatihan ataupun membaca buku panduan.”
“Itu bukan alasan untuk dia boleh bersikap tidak sopan kepadaku,” bantah Frank dengan suara dingin. Sedetik kemudian, kakinya melangkah maju.
Sambil menyempal tangan ke dalam saku, Frank membungkuk hingga matanya sejajar dengan Kara. Ia sudah siap untuk membentak. Namun, begitu hidungnya menangkap aroma citrus yang familiar, ia mematung.
“Aroma ini? Apakah dia gadis itu? Karena itukah dia berani denganku? Kalau diingat-ingat, dia memang agak mirip. Tapi, warna matanya berbeda. Apakah mungkin dia sengaja menutupinya agar tidak ketahuan?”
Tatapan Frank pun menyipit. Semakin fokus ia mengamati mata Kara, semakin dekat jarak mereka. Ia bahkan bisa mendengar desah napas gadis itu—kecil dan menggelitik telinga—persis seperti pada malam itu.
Menyadari tujuan sang CEO, Kara pun mengerjap. Sebelum contact lens-nya terlihat, ia mendorong pundak Frank dengan sekuat tenaga.
“Kau menuduhku tidak sopan dan tidak bermoral, tapi lihatlah! Kau yang lebih dulu melewati batas. Nyonya Bell, maaf. Saya ingin membatalkan kontrak. Saya tidak mau bekerja dengan orang yang semena-mena dan tidak bisa menghargai orang lain.”
Vivian spontan menghela napas. Kara dan Frank baru bertemu beberapa menit, tetapi mengapa mereka sudah seperti anjing dan kucing yang bermusuhan selama berabad-abad?
Sementara itu, Frank mulai menggeleng samar. Matanya menyipit mengamati Kara. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Kara terdiam. Ia sungguh tidak menduga bahwa kecurigaan si Setan Cabul bisa bangkit secepat itu.
"Tidak," jawabnya setegas mungkin. Akan tetapi, sorot mata Frank malah semakin runcing.
"Lalu mengapa kau seperti menyimpan dendam puluhan tahun terhadapku? Apakah aku pernah melindas kakimu dengan supercar-ku? Atau, sekretaris lain sengaja mengirimmu untuk memancing emosiku?"
Tangan Kara mengepal lebih erat. Ia baru sadar bahwa dirinya sudah gegabah. Ia harus lebih berhati-hati kalau mau meloloskan diri dengan selamat.
"Tidak. Saya hanya kecewa karena CEO Savior Group ternyata berkepribadian seperti Anda. Kita tidak akan bisa cocok, apalagi bekerja sama. Karena itu, saya mengundurkan diri."
"Kau pikir ada yang salah dengan kepribadianku ini?"
Sudut bibir Frank kembali berkedut. Sambil mendesah jengkel, ia melonggarkan kerah baju. Gadis di hadapannya itu ternyata mahir membuatnya gerah.
"Asal kau tahu, dengan kepribadianku ini, Savior Group berhasil mengembangkan usaha hingga ke delapan bidang, memenangkan berbagai penghargaan bergengsi, dan menjadi perusahaan paling berpengaruh di dunia. Hampir semua penghargaan CEO terbaik jatuh ke tanganku. Apakah menurutmu aku bisa meraih semua itu dengan kepribadian lembek sepertimu?"
Kara menahan napas. Matanya bergetar menahan jijik dan kesal.
Frank Harper memang hebat dalam dunia bisnis, tetapi dalam urusan moral ... nol besar! Ia telah menelantarkan dua orang anak dan seorang wanita.
"Kalau Anda merasa sudah sempurna, itu hak Anda. Tapi maaf. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatur opini saya. Dan maaf jika saya terlalu cepat menandatangani kontrak. Lain kali, akan saya pastikan untuk tidak menampakkan muka di hadapan Anda lagi."
Masih dengan mata berlapiskan kaca, Kara menoleh ke arah Vivian. "Nyonya Bell, maaf telah mengecewakan Anda, tapi saya mengundurkan diri demi kebaikan perusahaan. Permisi."
Tepat ketika Kara hendak melangkah, Frank menghadang jalannya. Ekspresi pria itu kini sulit diartikan. Ia meringis, tetapi tawa sinis lolos dari celah bibirnya.
"Kau pikir bisa pergi begitu saja?"
Sedetik kemudian, Frank berbicara kepada pria yang berdiri dua langkah di belakangnya. "Jeremy, apakah ketentuan baru sudah disahkan?"
"Sudah, Tuan."
Mata Vivian mendadak melebar. "Ketentuan apa?"
"Bukan Anda saja yang bosan menghafal nama sekretaris baru setiap bulan, Nyonya, tapi saya juga. Karena itu, saya menetapkan aturan baru."
Sambil memasukkan tangan ke dalam saku, Frank mulai berjalan mengelilingi Kara.
"Pertama, tidak ada karyawan yang boleh mengundurkan diri sebelum mengabdi selama tiga bulan di perusahaan ini."
Alis Kara melengkung tinggi. Namun, sebisa mungkin, ia mengendalikan ekspresi. Ia tidak boleh terlihat goyah.
"Kedua, jika karyawan tersebut betul-betul ingin pergi, bisa saja ... tapi dia harus membayar denda."
"Berapa dendanya?" tanya Kara lantang. Ia kini menoleh ke samping karena Frank berhenti tepat di sisi kirinya.
Tiba-tiba, Frank memasang senyum miring yang menawan. Selang satu kedipan lambat, ia kembali membungkuk, menempatkan bibir di dekat telinga Kara.
"Sebesar tiga kali kompensasi tahunan yang ditawarkan kepadanya."
Kara terkesiap. Padahal, ia sudah berusaha untuk mengendalikan keterkejutan, tetapi angka tersebut terlalu besar. Dari mana ia bisa mendapat uang sebanyak itu?
"Frank Harper!" hardik Vivian tanpa terduga. "Berhentilah menyulitkan sekretarismu!"
"Dia bukan sekretarisku lagi, Bibi. Dia baru saja mengundurkan diri. Sekarang, dia harus membayar 3,6 Milyar kepada Savior Group. Bukankah itu menguntungkan?"
Melihat wajah Kara memucat, Frank tersenyum puas. "Jadi, kapan Anda mentransfernya ..., Nona?"
"Kalau kau tidak cocok dengan Nona Martin, biarkan saja dia pergi. Kenapa malah menjeratnya begini? Kita bisa mencari sekretaris lain."
Sambil terpejam, Frank mengangkat sebelah tangan di udara. Begitu Vivian bungkam, ia melipat jari hingga hanya tersisa telunjuk yang teracung.
"Ini juga harus kita bahas. Aku sudah lelah memberi kesempatan kepada orang-orang yang Bibi rekrut. Mereka tidak becus."
"Jeremy becus," sanggah Vivian sigap. Keanggunannya sedikit memudar.
"Nyaris becus. Masih ada satu tugas yang sampai saat ini belum dia selesaikan. Padahal, aku sudah memberinya waktu empat tahun lebih. Untung saja, dia masih orang terbaik yang kukenal. Jadi, dia masih kupertahankan."
Selagi Jeremy mendesah pasrah, Kara tertunduk dalam kebingungan.
"Anda jelas mengerti bahwa saya tidak akan sanggup membayar denda. Bukankah ini berarti Anda melarang saya mengundurkan diri?" gumamnya.
"Ya, memang. Rakyat kecil sepertimu tidak mungkin punya uang sebanyak itu."
Masih dengan alis kusut, Kara berbisik, "Bukankah Anda tidak suka dengan saya? Kenapa malah menahan saya?"
Frank mendengus sinis. Matanya enggan beralih dari Kara. Ia masih penasaran dengan warna asli dari mata gadis itu.
"Jangan salah paham! Aku hanya ingin memberimu pelajaran bahwa ... mengambil keputusan itu tidak boleh gegabah."
Kara ingin membantah, tetapi tidak bisa. Ia memang bersalah. Ia sendiri yang menandatangani kontrak tanpa memastikan siapa CEO-nya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
