
hmmm.. besok dia pindah dan kita akan jarang bertemu lagi, kalau aku menyatakan perasaanku ada tiga pilihan, ditolak dengan tegas, diterima dengan manis, atau tidak diberi kejelasan dengan disenyumin aja.
Brwossshh!!
oke! semburan teh botol itu memberi kesempatan untukku menyatakan perasaanku kepada Hani, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya!
terima kasih teh botol!! doakan aku berhasil!
/////
Aku tau dia, perempuan manis berlesung itu tersenyum menawan dengan mata bak buah leci di atas kue. Ia selalu membuatku tak sadarkan diri memandangnya tanpa berkedip atau mulut melongo karena mendengar tawanya yang lebih renyah dari pada kripik singkong yang kumakan kemarin di warung.
“Hoy! Lo mau sampai kapan ndelomong! Buruan kerjakan tuh bagianmu!” sentaknya membuyarkan lamunanku. Sayang dia termasuk kategori tante galak. Aku menggaruk rambutku, tersenyum getir tak berani memandangnya lagi.
Hari masih pagi dan aku masih pada tahap sketsa penyelesaian tugas dari guru Seni untuk membuat makalah berbentuk gambar. Untung saja tugas yang dikumpulkan minggu depan ini adalah tugas kelompok, jadi meskipun hanya aku yang “menggarapnya” setidaknya ada makhluk lain yang menyediakan konsumsi secara cuma-cuma sebagai bayarannya.
“Untung daaahh.. kita sekelompok dengan Ade, dia kan pinter gambar.” Setyo menyikutku, alisnya naik turun.
“Semangat ya De, kamu kan ganteng.” Njir! Hoax itu hoak!. Aya tersenyum genit mengelus rambut urakanku. Dih! Emang gua kucing?.
“Udah deh, biarin Ade selesaikan sketsanya, nanti kalau kita bisa bantu ya kita bantu.” Ingin rasanya aku mengelap mata berairku merasakan kebaikan tante galak yang membelaku dengan lesung manisnya. Aku tersenyum menoleh ke arahnya.
“Napa lo liat-liat!?, senyum senyum!” ngga jadi manis deh.
Hani, nama yang sama manisnya dengan perempuan semanis dia. Cantik, tinggi badan semampai, dan senyumnya aduhai. Kau tak akan mengira perempuan secantik Hani adalah siluman harimau yang apabila berbicara bak tornado menghantam daratan Sahara. Ah! Peduli amat! Siapa lagi yang bakal peduli padaku dari empat orang kelompok ini selain dia?
Meskipun tergolong murid pindahan sejak 11 bulan lalu, prestasinya sudah dapat dilihat dan namanya lumayan bisa dipajang untuk banner daftar prestasi siswa sekolah, demi tambahan iklan sekolah tentunya.
Aku meneruskan sketsa lagi, memikirkan masa depan jika tulang rusukku yang hilang adalah milik Hani. Kau bertanya apakah aku menyukainya? Ya! Tentu saja! Anggap saja aku tak pernah paham bagaimana rasa cinta namun aku tau bagaimana rasa jantung yang semerawut saat melihatnya tersenyum.
“Hei gan! Lo ngga apa-apa kan?.” Aku tersentak memandang Aya dengan matanya yang kelop-kelop.
“Ngga papa kok, emangnya lu kira gua kenapa?.”
“Yah kan gue takut aja kalo lo tiba-tiba sakit apa-apa padahal tugasnya belum selesai, nah dari tadi lo senyum-senyum sendiri.” Aya menyodorkan sebotol teh gula batu kepadaku. Aku tersenyum getir, menepuk jidat.
pundakku terasa dibebani sekarung semen, lenganku seperti diikat kuat dengan tali pramuka meski aku sediri tak pernah mengikuti extra itu apalagi benar-benar ditali. Jari jempol, telunjuk, dan tengah sudah tak bisa digerakkan lagi mengisyaratkan apa yang ditawarkan Aya ada benarnya, mungkin aku perlu istirahat sejenak dengan meminum sebotol teh darinya.
Aku mengangguk lantas meminum tawaran baiknya yang baru kali ini saja kurasakan.
“Oh iya, katanya Hani mau pindah lagi, jadi ngga sih Han?.” Ha? Apa kata lo tadi Setyo?
“Jangan deh Han, lo kan udah jadi bagian dari kami, masa lo mau pergi begitu saja?.” Oi! Aya! Maksud lo apa sih?. Kecepatan tegukan tehku meningkat, tak terima hoax yang dipaparkan Setyo dan Aya tadi.
“Iya beneran, papa kerjanya dipindah ke kota sebelah. Jadi mau ngga mau gue ikutan pindah demi kebaikan.”
Brwossshh!!
“Ih! Adeeeeeee!!! Lo kenapa tiba-tiba nyembur teh ke arah guee!!” Omel Hani.
“Gue juga kena nih Han! Iihh!.” Lanjut omelan Aya.
“Untung gua ngga kena, anggap saja pengganti ucapan selamat tinggal untuk lo dari Ade, Hani Hahahaha.” Setyo tertawa.
Brwossshh!!
“Anjir! Napa juga teh yang masih ada di mulut lo disembur ke gua juga ha?!.” Setyo mengomel. Aku berdiri mengambil tisu di meja guru, mengusap mulutku yang rata dengan air teh dan mengelap meja diskusi yang tak kalah rata dengan air teh di mulutku. Aku mengulurkan tisu ke Hani, menatapnya kosong. Kamu ngga bener-bener pindah kan Hani?
“Makasi loh ya!.” Mata Hani melotot, menyambar sekotak tisu yang kuberikan padanya.
“Itu tugasnya ngga apa-apa kan?.” Kata Aya khawatir, ia masih sibuk mengelap teh yang warna coklatnya sangat jelas terciprat di seragam putih sekolah yang ia pakai. itu sih mendingan dari pada Hani dan Setyo yang seragam putihnya sekarang menjadi seragam pramuka karena semburan teh.
“Ngga kok ngga papa, tadi udah gua tutup jadi mungkin yang basah cuma sampulnya.” Kataku menengok buku gambar A3 yang tenang seolah tidak ada kejadian apapun barusan.
“Lo kenapa sih De! Gua cuma bilang selamat tinggal untuk Hani dari lo karena ia akan pindah kenapa tiba-tiba nyembur lagi?!.” Aku menatap Setyo tajam. Lu ngga tau bagaimana ucapan selamat tinggal untuk Hani adalah kiamat bagi Gua!
“Ini dilanjutin atau engga?.” Hani angkat bicara, wajahnya masih terlihat kusut sambil memeras ujung rambut panjangnya yang basah.
“Kamu beneran pindah Han?.” Tanyaku tak peduli pertanyaannya yang belum dijawab.
“Iya Ade! Besok aku sudah berkemas untuk pindah jadi ini hari terakhir gue disini, makanya kalo bisa tugasnya selesai hari ini juga!.” Bibirnya semakin manyun.
“Emangnya lo ngga tau Hani mau pindah? Selasa kemarin ia pamitan di depan kelas kan?.” Aya ikutan manyun. Mana gua tau nah wong selasa kemarin gua sakit dan ngga masuk sekolah.
“Iya iya, sorry gua lupa.”
“Trus sketsanya udah selesai semua atau belom?.” Tanya Hani lagi. Aku terdiam, jika aku menjawab iya maka ia akan segera pulang dan waktuku untuk memandangnya menjadi berkurang, dan jika aku menjawab tidak maka aku berbohong kepadanya, membuat waktuku semakin banyak, namun akan membuatnya kedinginan karena menungguku menyelesaikan gambaran yang sebenarnya sudah selesai.
“Udah.” Jawabku singkat, takut jika kepanjangan nanti akan membuatku menyemburkan sesuatu entah itu teh atau air liur.
“Yaudah! Nanti bagian Setyo yang menebali gambarnya dengan spidol, berhubung tulisan Aya bagus, nanti Aya bagian menulis percakapan di balon suaranya, yang lo gambar itu komik kan?.” Raut wajah Hani perlahan menjadi stabil, mengatur bagian kerja kelompok sebagai ketua yang baik.
Andai pengaturan bijaknya nanti ada di rumah tanggaku pasti akan teratur seperti rumah adalah sebuah negara kecil dengan aku sebagai presiden, Hani sebagai wakilku, dan anak-anak kami adalah warga serikatnya.
“Whoi! Dublek! Lu dengar ngga sih apa yang dikatakan Hani tadi?!.” Setyo yang dari tadi terlihat dendam padaku sekarang bicara.
“Eh? Apa?.” Tanyaku linglung.
“Udah deh! Sini buku gambarnya! Sana antar Hani pulang!.” Setyo Bersungut-sungut, alis tebalnya menyatu ke tengah.
“Kenapa gua? Lo kan lebih pandai nyetir sepeda motor dari pada gua napa ngga lo saja.” Bantahku, takut jika Hani kenapa-kenapa jika memang aku yang akan mengantarnya pulang. Sedikit berharap sih, semoga aku saja.
“Gua ngga ada sepeda, sepedanya dibawa bapak setor pekerjaan ke kota! Lagi pula jika ada pun gua ngga bakal bawa nah sekolah ini jaraknya-lima langkah dari rumah.” Njir, udah tau ini bingung malah nyanyi dangdutan. Aku berganti bertanya pada Aya lewat tatapan mataku.
“Apa? Gue? Gue nanti dijemput bokap gue! Gue sendiri juga ngga bisa pakai sepeda motor.” Aku menggaruk rambut, bingung apakah aku tega membiarkan Hani pulang naik angkot dengan baju yang berganti warna tadi dan sampai sekarang masih basah?
“Oke Han! Ayo kuantar pulang.” Aku menyeret tangan Hani mantap ke tempat parkir sepeda. berpikir jika aku yang mengantarnya, maka waktuku dengannya aka semakin panjang sebelum akhirnya ia pindah dan entah apakah aku bisa memandang lesungya lagi nanti. Kesempatan!
Aku mengambil sepedaku yang ternyata ada di samping mobil avansa putih pak kepsek, untung saja sepeda ini tak menggores kulit mulusnya. Hani berdiri di gerbang, ia terdiam, dan aku bisa mendengar sedikit gemeletuk gigi bak biji buah mentimun miliknya.
“Kamu kedinginan?.” Tanyaku.
“Enggak!.” Jawabnya judes dengan tak meninggalkan kesan tante galak. Aku turun dari sepeda, membuka jok, dan mengambil jaket abu-abuku yang ada disana.
“Nih, pakai aja nanti kamu masuk angin kalau kedinginan.” Kataku memberikan jaket. Tatapan matanya tajam kearahku, rasa-rasanya mengikuti adegan filem horor yang diperankan Susana.
“Enggak mau! Udah deh kita pulang aja!.” Hani semakin melotot. aku menyelimutkan jaketku ke pundaknya, tak peduli omelannya tadi dan naik ke sepeda membuat ancang-ancang gas.
“Ayo pulang, pakai saja jaketku.” Kali ini ia menurut, memakai jaketku lantas naik sepeda sambil memasang bibir manyun.
Jalanan tak sebegitu ramai. Trek yang biasa mengangkut barang mentah pabrik hanya terlihat satu dua mendahuluiku. Udara terasa dingin karena langit tidak membiarkan cahaya matahari menerpaku, sepertinya mendung di atas sana memberi tahuku bahwa sebentar lagi hujan.
Dari tadi aku menenangkan diri, mungkin tepatnya menenangkan jantungku yang asik berkaraoke karena jasadnya sedang bersepeda dengan seorang perempuan yang duduk dibelakang. Berkali-kali aku mencoba memandang wajahnya lewat kaca spion tapi apalah daya yang terlihat malah nenek-nenek yang mengendarai sepeda ninja dibelakangku, berniat mendahuluiku. Busyet! Tuh nenek kesurupan nyi roro kidul atau gimana?
“Makasih jaketnya Ade.” Kata Hani di belakang. Aku menelan ludah.
“Iya masama.”
“Makasih juga sudah mengantarku.” Katanya lagi
“Iya masama.”
“Ngga papa kan, kamu ngantar aku pulang gini?.” Tanyanya kemudian. Ternyata dia manis juga sebenarnya jika tidak jadi tante galak.
“Iya gapapa.” Aku mendengar tawa renyahnya. Ingin rasanya aku menoleh memandangnya tapi aku juga berpikir jika nekat aku lakukan kemungkinan besar sepeda ini akan menabrak pohon di pinggir jalan. Aku menghela nafas, mencoba tenangkan diri bahwa nanti jika sampai lalu turun dari sepeda aku juga bisa memandangnya tertawa pada saat itu juga, itu jika ia tetap tertawa seperti itu sampai rumah.
“Maafkan aku Ade, aku harus pindah..” kata Hani dengan suara yang dapat dipastikan wajahnya sekarang menunduk menatap trotoar. Aku sendiri tak tau harus menyemburkan apa dan kuputuskan untuk diam saja sambil menahan air mataku. Hei! Lo bukan laki cemen bro!
“Sebenarnya aku menyukai kota ini, sekolah kita, teman-temanku dan semuanya. Aku tak ingin meninggalkan mereka begitu saja. Aku juga sudah tau sejak awal bahwa aku tak akan lama di kota ini dan tinggal hanya beberapa bulan saja. Namun, meski hanya beberapa bulan, waktu itulah aku mengenal banyak hal yang lebih berharga dari pada berada di kota lain.” Kalimatnya terpotong, suara klakson mobil menderu di belakangku.
“Maaf aku biasanya berkata kasar. Itu semua kulakukan agar kalian tak terlalu sedih saat aku pergi seperti ini, Kalian juga tak akan begitu merasa kehiangan karena aku sendiri tau bagaimana rasa kehilangan itu sakit sekali.” Sekarang aku mendengar Hani terisak. Aku tau kau merasa sangat kehilangan mengingat ibumu bukan?
“Tidak Han, kau jangan seperti itu! Kau tau tak akan bisa selamanya bersama bersama kami, kau pun juga tau kau tak akan berjumpa dan bertemu kami lagi di lain tempat, tapi percaya saja Han! Kami akan selalu menemukanmu disini, dihati kami, dan kau pun juga!.” Aku melepas pegangan setir kiriku, menyetuh dada bagian kanan bawah tempat hati, eh! Betul ngga ya?
“Jadilah dirimu sendiri Han, buatlah masing-masing dari mereka yang kau temui merasakan bahagianya kenangan bersamamu, bukan merasakan sedih saat kehilanganmu.” Ngomong apa sih gua?
“Hahaha, makasih De. Satu-satunya teman yang memanggilku “kamu” bukan “lo” atau “lu” adalah kau saja.” Kali ini Hani tertawa ringan. Aku merasakan wajahku bersemu merah mendengar kata “satu-satunya” yang ia ucapkan. Yaiyalah, Bagaimana tega aku memanggilmu dengan sebutan kasar seperti itu? Aku menyukaimu Hani! Dan aku akan mengatakannya sekarang atau tidak selamanya!
“Eh Han..”
“Hm? Apa?.”
“Boleh izin aku bilang sesuatu ngga?.”
“Boleh, silahkan.” Aku menelan ludahku berat, berusaha tetap konsentrasi menyetir jikalau tidak maka akhir hayatku adalah sekarang sebelum aku bisa menikahinya.
“Sebenarnya aku su..” terdiam, tenggorokanku tercekat.
“Apa sih Ade?.”
“Aku suka sama kamu Hani.”
Tiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn!!!!
“Apa kamu bilang tadi su apa?.” Njir! Keparat mobil yang menyelip gua barusan, mana klaksonnya kenceng amat lagi!
“Aku suka sama soto Lamongan Han, kau akan pindah kesana bukan? Nanti jika main kesini bawakan aku seember soto ya.” Kataku memasang wajah datar. Hani dibelakang tertawa renyah, jauh lebih renyah dari pada kerupuk yang baru diangkat dari penggorengan.
“Bagaimana kau tau jika aku pindah ke sana?.” Kebetulan bener aja Han, batinku.
“Baiklah! Doakan saja aku tidak lupa.” Lanjutnya masih tertawa. Setidaknya aku sudah mengucapkannya meskipun ia tak dapat mendengarnya tadi.
“Eh, ngomong-ngomong biasannya kalo kamu bersepeda itu kayak gini ya?” tanyanya kemudian.
“Apanya?.”
“Pelan banget jalannya, trus ini kapan nyampe nya De?.” Ini juga usahaku agar waktuku denganmu semakin lama Hani! Peka dikit napa!
“Yah kan aku bawa nyawa anaknya orang, mana mungkin aku berani pakai kecepatan super lah.”
“Ini mah pelan sekali Ade! Mungkin siput bisa nyelip kalo gini!.” Ia tertawa lagi dan kali ini aku tersenyum.
“Kurasa aku akan sangat merindukanmu Han.”
“Aku juga Ade.”
---
Aku merebahkan tubuhku ke kasur, menghela nafas panjang menatap langit-langit kamarku. Perjalanan panjang dan pelan mengantarkan Hani pulang tadi ternyata membuat punggungku merasakan nyerinya encok yang datang di usia dini.
Kriiiiinggg!!
“Halo? Ada apa setyo?.” Aku mengangkat handphone-ku yang berdering
“Kau yakin ini gambar untuk tugasnya?.” Tanyanya di ujung sana.
“Iya yakin.” Terdiam sejenak.
“Tapi kenapa gambar sketsanya potret Hani semua?.”
Brwossshh!!
Kali ini aku benar-benar menyemburkan air liur.
---
-flashback, Hani
“Eh Han..”
“Hm? Apa?.” Aku singkat menyahutinya.
“Boleh izin aku bilang sesuatu ngga?.” Tanyanya. Bilang aja lah, kenapa pakai izin?. Aku tersenyum ringan.
“Boleh, silahkan.” Kataku lagi.
“Sebenarnya aku su..” terdiam, kurasa aku tau apa yang akan ia katakan.
“Apa sih Ade?.” Tanyaku pura-pura tak tau.
“Aku suka sama kamu Hani.”
Tiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn!!!!
“Apa kamu bilang tadi su apa?.” Aku bertanya lagi sambil berusaha menahan tawa melihatnya dari kaca spion menyumpahi mobil yang mendahului kami dengan klaksonnya.
“Aku suka sama soto Lamongan Han, kau akan pindah kesana bukan? Nanti jika main kesini bawakan aku seember soto ya.” Katanya dan kali ini aku tak bisa menahan tawaku.
Aku tadi mendengarnya Ade.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
