Delima Tersenyum

4
1
Deskripsi

Delima jatuh hati kepada Tuan, hatinya hanya milik Tuan meski dirinya tahu tak pantas baginya menjadi Puan untuk Tuannya. Tetapi, bagi Delima tidak apa-apa asalkan dapat melihat Tuan, apapun Delima lakukan. 

1945, Sebelum Indonesia Merdeka, Java - Hindia Belanda

Malam makin naik menuju titik tertingginya, purnama tidak muncul hanya lengkung separuh bulan yang nampak di angkasa, separuhnya terbenam dalam awan-awan yang gelap. Anak-anak sudah dalam buai ibunya, dalam peluk nyaman dan kidung pengantar tidur. Malam segera sempurna, semakin pekat, sinar bias bulan yang perlahan sembunyi. Lalu gelap.

Delima tidak bisa tidur, hanya rebah menghidu bau minyak dari lampu templok yang kian habis membakar sumbu-sumbunya. Hidung mancungnya diusapi asap, lelah letih tubuhnya karena seharian tadi ia bekerja memanen tebu, mencuci baju, membersihkan rumah-rumah gedongan nyonya-nyonya. Delima tidak bisa tidur, ada bayang Tuan berkelindan di otaknya, ada suara Tuan yang terngiang di telinganya, meski di depannya hanya lampu templok yang sumbunya kecil, namun ia melihat Tuan sedang tersenyum sehingga mata sipitnya kian tenggelam.

Delima jatuh cinta. Bukan kepada jagoan desa yang biasanya membawakan kayu-kayu bakar untuknya, bukan juga kepada tukang pos yang rajin memetik bel sepeda ketika lewat rumah gubuknya, apalagi blantik sapi tukang jagal kaya raya yang bernafsu menjadikan dirinya istri kelima. Delima jatuh cinta pada tawanan perang yang kabur ke Hindia Belanda, baru tadi ia jumpai tuan itu di rumah Nyonya Barren. Tuan itu mengobati gatal menahun di kakinya. Delima masih ingat bagaimana Tuan menyapanya "Selamat pagi, ada gadis manis disini rupanya? Aku tidak melihat siapa-siapa selain induk rumah dan tamu-tamunya, kau siapa?" Tuan dengan mata runcing ke atas dan bulu mata rapi yang meliuk ke atas, belum pernah Delima melihat tuan yang seperti itu parasnya.

"Eh, saya Delima." Delima dengan gugup menjawab sapaan Tuan, Tuan itu menjulurkan tangannya, Delima bingung, ia memandang tangan Tuan dengan takut-takut, babu sepertinya harus menunduk jika dekat dengan orang-orang kulit putih yang sudah betah di tanah kelahirannya. Tapi Tuan berbeda, Tuan itu menelengkan kepalanya dan dengan malu-malu Delima menegakkan kepalanya, Tuan tersenyum sehingga matanya tenggelam membentuk sabit bulan, bibirnya melebar ke sisi-sisi tulang pipinya yang terangkat, seperti ditarik oleh ujung matanya.

"Kalau berkenalan harus berjabat tangan, nama saya Tjoa Feng Gao, panggil Feng atau Gao" Tuan tidak menurunkan tangannya, Tuan masih terpaku di depannya, sedangkan Delima seperti akan pingsan melihat seorang laki-laki asing yang pertama kali ia temui. Laki-laki ini berbeda, biasanya para meener dan nona memiliki bola mata biru, hijau atau cokelat dengan kulit putih yang pucat. Namun Tuan di depannya berbeda, tubuhnya tinggi dengan dua bahu yang tegak, kulitnya kuning nyaris sama dengan kulit perutnya yang jarang disentuh langsung sinar matahari, matanya kecil dan melengkung seolah ditarik dari sisi kanan dan kiri, rambutnya hitam legam seperti rambutnya, siapakah orang ini? Apakah Tuan juga babu seperti dirinya?

Delima dengan ragu menjabat tangan Tuan, jemari Tuan yang panjang dan pipih dengan tulang jari yang menonjol, kuku-kuku yang tidak panjang dan putih seperti dikikir rapi. Tuan menggenggam tangannya, dan menggoyangkan tangan Delima dengan mantap "Selamat pagi Delima, senang berkenalan dengan dirimu"

Benarkah? Ada orang yang senang karena sudah berkenalan dengan dirinya? Delima ingin menangis karena gembira, tidak pernah ia membayangkan ada orang yang senang karena mengenal dirinya. Dirinya yang tidak berharga, sebatang kara, kaum papa, tidak ada daya dan kekuatan, kadang makan kadang tidak, ada kurap yang menjalari pergelangan kakinya dengan gatal yang mengganggu, tubuh yang jarang disapa sabun, jauh dari kesan cantik, Delima hanya budak. Budak di tanah sendiri.

"Feng! Oh disitu rupanya," Catherine, anak perempuan nyonya Barren mengintip dari balik pintu dapur, sesegera mungkin gadis Belanda itu menatap jijik "No! Feng, jangan dekat-dekat dengan Ima, lihat kurap di kakinya, itu menular"

Delima si kurapan, itu sapaan yang sering ia dengar dari putri pertama keluarga Tuan Barren. Catherine Barren, seorang wanita yang tidak punya belas kasih, ia jelas membedakan statusnya dengan Delima, ia jelas memberi batas soal apa saja yang harus Delima kerjakan untuknya dan dimana Delima bisa ada di dalam rumahnya. Catherine tidak suka dengan babu kotor yang menjijikkan. Lebih daripada itu, hanya Tuhan yang tahu jika Catherine benci dengan Delima karena ia mengakui babu itu terlihat lebih eksotis berbanding terbalik dengan dirinya yang kurus, pucat dan mempunyai rambut merah terang.

"Saya dokter, kau kan tahu" jawab Tuan.

Tuan Feng melepas pelan genggaman tangan Delima, ia menurunkan pandangan pada kedua kaki Delima yang tidak beralas "Gatal ya?" Tuan itu berjongkok lalu mengamati kakinya, mata Delima melotot kaget, ia lekas-lekas berjongkok dan mendorong bahu Tuan.

"Jangan, kotor.. saya, saya kotor, nanti tertular"

Tuan itu sedikit kaget dengan penolakan Delima, "Saya dokter, saya dari Indochina. Saya dulu tawanan perang England, lalu kabur ke Hindia Belanda dari Malay, kamu pasien pertama saya hari ini" Tuan Feng kemudian memegang pergelangan kaki kanannya "Ini namanya jamur kulit, kamu jarang mandi?"

"S- saya," delima malu, Tuan ini kini bisa tahu kekurangan yang ia miliki. "Tidak ada sabun batang, jadi saya enggan mandi Tuan."

Tuan itu kemudian berdiri, "tunggu sebentar ya, saya akan kembali" lalu ia setengah berlari ke dalam, Delima berdiri, ia masih tidak tahu maksud dari si Tuan, dengan takut-takut ia menatap ke arah bilik pintu, nona Cath masih menatapnya jijik.

"Sshush!" Jemari lentik dengan cat merah milik Nona mengusir Delima dari hadapannya, babu itu kembali menunduk, kembali menyapu tungku untuk menghilangkan kerak abu. Belum sejenak ia berjongkok, sapaan Tuan Feng kembali terdengar.

"Delima, bisa duduk disini, biar saya periksa kakinya" Tuan menunjuk bangku kayu tempat dimana Nyonya selalu duduk memandori kerjanya, dengan malu-malu Delima duduk, Tuan lalu memegang pergelangan kakinya, kini jemarinya dibungkus sarung tangan karet berwarna putih, jemarinya menekan kurap berwarna putih kecokelatan yang kontras dengan kulit Delima yang kuning langsat. "Perhatikan Delima, ini jamur kulit, ini ada karena kamu kurang memperhatikan kebersihan tubuh kamu. Ingat, kulit adalah organ yang paling besar pada diri manusia, jadi harus rajin dibersihkan ya" Tuan itu kemudian membuka sebuah plastik bulat berwarna putih, "ini salep untuk gatalnya, oleskan setiap malam" katanya lagi, sambil mengulurkan benda bulat kecil.

"Tuan, dokter?" Delima menyambut benda itu, sambil menatap takut-takut. Feng, begitulah ia ingin disapa, mengiyakan pertanyaan Delima.

"Saya adalah anak dari keluarga Tjoa, saya melarikan diri dari England dan ke Hindia Belanda untuk bertemu Tuan Barren, beliau sahabat ayah saya" Feng lalu berdiri, mata Delima masih terkesima, Tuan tidak jijik dengannya bahkan kakinya diobati oleh Tuan, Tuan juga memberikan obat kepadanya, Tuan menganggap Delima berharga. "Ini sabun batang, dibuat dari susu kambing, buat Ima" Tuan kembali memberikan bungkusan plastik berwarna bening, ada sabun batang yang cukup besar berwarna putih keruh, ada kelopak daun berwarna merah, sabun itu sangat harum seperti wangi bunga mawar.

"Mawar?" Delima kini tidak takut lagi kepada Tuan, malah ia berani menatap lekat mata Tuan sambil berbinar-binar "Saya tahu ini mawar karena saya menanamnya di rumah. Buat saya?"

"Buat Ima. Agar Ima sembuh dan tidak gatal lagi"

"Terima kasih Tuan, lalu saya harus bekerja apa untuk tuan? Untuk membayar dua benda ini?"

Tuan menggeleng "Untuk Ima, jangan panggil Tuan, panggil saja Feng."

Delima tersenyum, senyum paling cantik dan malu-malu, ia selipkan anak rambut yang lepas dari ikat kepangnya, Delima membalas tatapan Feng. "Terima kasih banyak Tu- mm, Feng, ah Dokter Feng" koreksinya

Tuan tertawa, matanya kembali tenggelam, Delima suka melihatnya, dengan hati paling bahagia di dunia, ia kembali bekerja.


Mulai saat itu Delima selalu mandi dua kali, berlama-lama di bilik bambu yang berdiri di tepi sungai, ia membasuh badan dan rambutnya. Ia menggosok sabun susu kambing dari Tuan, tidak banyak-banyak ia gosokkan, hanya sedikit saja takut sabun itu habis, kemudian menggosok daki di leher, tangan dan kakinya. Kurapnya berangsur pulih, kini Delima jarang gatal-gatal lagi, ia membubuhkan serbuk shampoo di rambutnya yang cokelat dan ikal. Sebelum berangkat bekerja ke rumah Nyonya Barren, Delima menggambar alis dengan lidi yang sudah dibakar ujungnya sehingga menjadi arang yang hitam, dengan upahnya ia berani membeli bedak dingin dan pupur merah untuk dibasahi dengan air dan menjadi gincu. Delima makin bersinar, memang Tuhan itu indah dan menyukai keindahan, buktinya adalah Delima. Setelah kenal dengan cintanya, Delima mulai sering bersenandung, memakai kain kebaya yang cerah, berdandan rapi, mengepang rambutnya sampai-sampai Delima bekerja paruh waktu di tukang jahit, Delima tidak minta upah, hanya minta sobekan atau kain-kain sisa dari si tukang jahit untuk dikelim kembali dengan benang dan ia sulap menjadi kamisol warna-warni.

Delima sudah hidup dengan kepayahan sejak ia kecil, Emaknya meninggal saat ia lahir dan Bapaknya yang tidak tahu dimana sekarang ia berada, kata mendiang Simbok, bapaknya dulu dipaksa bekerja di Tanjung Perak dan tak pernah kembali, mungkin mati terjangkit malaria, atau mati karena disiksa londo. Tahun kemarin simbok sang nenek harus berpulang karena kejamnya TBC yang menggerogoti paru-parunya, tahun lalu tepat tujuh belas usianya, ia pulang dari pemakaman simbok dengan wajah murung. Tidak ada emak, tidak ada bapak, tidak ada simbok, petak rumah dari anyaman bambu dan atap batang jati kini sepenuhnya miliknya. Milik Ima.

"Ima, sejak saat ini kamu akan mendapat pekerjaan tambahan," nyonya Barren yang memberinya tiga ketip uang bayarannya hari itu berkata sambil sibuk mencatat di buku hariannya, Delima duduk di lantai menekuni marmer putih, begitulah ia memposisikan dirinya sebagai babu di keluarga nyonya, bahkan anjing sekalipun lebih dihargai oleh nyonya dan nona daripada dirinya. Namun sejak ada Tuan semuanya berbeda..

"Apa yang harus Ima kerjakan kembali Nyah?" Jawabnya, penuh dengan keriangan, jika jam kerjanya bertambah ia bisa lama-lama melihat Tuan.

"Kamu bisa datang pagi untuk mencuci baju, membersihkan rumah tapi ingat hanya teras dan halaman belakang saja, lalu membersihkan dapur dan membeli kebutuhan bulanan kami" Nyonya membetulkan letak kacamatanya, ia melihat ke arah kaki Delima "Kamu sudah tidak kurapan lagi?"

"Tidak Ai, saya memberikan salep anti jamur kepada Ima, kasihan Ima, pasti gatal sekali kakinya" Feng menjawab sambil membawa buku di tangan kananya, ia duduk di sebelah nyonya "Ai, saya senang karena Ima sudah sembuh, rasa rindu saya mengobati pasien akhirnya berbalas penuh"

"Feng, sebaiknya kamu tidak usah mengobati babu semacam Ima, dia tidak butuh obat, koreng di kakinya sudah jadi ciri khas babu. Lebih baik kamu bermain dengan Cath, banyak pesta yang harus kamu hadiri, daripada menyembuhkan pribumi yang sakit-sakitan"

"Ai tahu, saya adalah tawanan yang lepas dari England, Mami dan Baba mewanti saya untuk menyamarkan identitas saya di Hindia Belanda, jadi tidak mungkin saya berpesta-pesta, tidak mungkin saya bebas melenggang karena mereka pasti tahu saya bukan bagian dari Netherland"

Nyonya mengusap bahu Tuan, Delima hanya menyaksikan "Feng, kamu sudah seperti anak kami, jadi jangan takut, kami akan menjagamu"

Tuan hanya tersenyum, Delima juga diam-diam tersenyum sambil menunduk, Delima suka jika Tuan tersenyum.

"Besok pagi saya akan datang ke kantoor balai desa, dan mengunjungi stasiun spoor, katanya anak dari tuan tanah disana sering demam"

Nyonya masih memandang Tuan, dan Delima masih bersimpuh di dekat kaki Nyonya, sesekali memperhatikan Tuan yang sedang duduk.

"Lalu, kamu akan memeriksanya?"

Tuan mengangguk sambil membawa tas berwarna cokelat, Tuan memakai kacamata bulat, dan kemeja putih yang rapi serta celana cokelat yang membuatnya semakin terlihat pintar.

"Saya dokter, ai tahu. Saya akan membantu mereka ai, membantu melepaskan mereka dari penyakitnya"

"Bagaimana jika tentara England menangkapmu?"

"Tentara England tidak akan sampai ke Hindia Belanda, ai. Mereka juga tidak akan bisa agresif menangkap tawanan di tanah Hindia Belanda, lagipula Hinda Belanda adalah tempat yang nyaman untuk keturunan Tionghoa seperti saya"

Tuan kembali tersenyum, lalu menyeruput tehnya yang sudah Delima siapkan sejak tadi. Saat Delima mendongak ke atas, mata Tuan dan Delima bertemu, mereka bertukar pandang agak lama, lalu Tuan tersenyum kepadanya dan Delima segera menunduk, tak lama ia mengangkat lagi wajahnya menatap Tuan, namun Tuan masih menatapnya, ia kembali menundukkan kepalanya pelan-pelan dan tersenyum. Beginikah rasanya jatuh hati? Pantas beberapa orang rela mati demi kekasih, rasanya bagai candu yang sudah ditusuk mati pada nadi, indah luar biasa, satu senyum dari Tuan sudah membuat Delima tersipu-sipu, parahnya Tuan adalah pria yang ramah, ia mengobral senyum seolah senyumnya pantas untuk siapa saja. Harusnya Tuan hanya boleh senyum kepada Delima, nanti orang lain bisa jatuh hati kepada Tuan, namun Delima tidak punya nyali untuk melarang Tuan tersenyum, biarlah babu seperti dirinya bermimpi menjadi puan untuk Tuan, toh itu tidak dosa, toh itu tidak dilarang.

Delima semakin ayu, sosok gadis jawa yang terukir sempurna pemberian tangan Tuhan semuanya ditumpahkan kepadanya. Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Delima, Tuhan menyayangi Delima lebih dari apa yang Delima rasa, Tuhan seolah-olah menaruh perhiasannya sembarangan di bumi yang kotor sehingga ujung permatanya ikutan kotor.

"Delima, terima kasih sudah membuat sarapan untuk saya" Suatu pagi sambil meletakkan piring keramik, Tuan tersenyum pada Delima, Delima sedang mencuci piring dengan spons dan cairan lemon dicampur deterjen. "Enak sekali nasi goreng buatan Ima, kami dulu sering memakannya saat di Indochina, kadang-kadang bosan juga selalu makan roti ya Ima"

Delima mengangguk, Delima tidak bosan memakan roti Tuan, karena roti mahal harganya, Delima juga jarang memakan nasi Tuan, karena beras mahal untuknya, Delima makan parutan singkong kukus, ubi dan kentang, kadang sisa roti milik Nyonya dan mentega blueband, itupun jika Nyonya sedang baik hati. Sekarang Nyonya mengijinkan Delima memasak khusus untuk Tuan, babu baru bernama Suratmi yang ditugaskan memasak untuk keluarga nyonya karena Ratmi dulu pernah kursus memasak di Batavia.

"Di tempat dokter berada dulu, apakah nasi selalu menjadi yang utama?" Delima kini sudah tidak malu-malu untuk membuka percakapan, Tuan setiap pagi membaca buku di ruang makan saat Nyonya Barren bekerja dan para Nona bersekolah.

"Iya, kami ini bukan ras kaukasian seperti Ai, kami keturunan Cina, keturunan Tionghoa" Tuan menjawab sambil masih membaca, Delima mencuri pandang sesekali, begitu tampannya Tuan, Delima makin tak karuan hatinya.

"Mau saya siapkan teh? Rasanya enak kalau minum teh saat membaca buku" Delima pura-pura berpikir, Tuan menoleh lagi ke arahnya, Delima tahu Tuan sedang melihatnya.

"Oh, baiklah. Teh hangat bisa membuat saya semangat membaca buku, buatkan teh untuk saya dan teh untuk kamu satu gelas, kita bisa minum bersama kan?"

Delima melongo, tangannya bergetar menggenggam cangkir, Tuan mau meminum teh bersama dengannya? Apakah ini mimpi di siang bolong atau keberuntungan sedang mampir main pada nasibnya hari itu?

"Tidak dok, saya kan babu, tidak elok duduk minum teh dengan dokter" Delima tertawa dipaksa.

"Babu?" Tuan hanya memandanginya yang sibuk mencelup kantung teh "Tidak Ima, kamu bisa minum teh bersama saya, dan belajar membaca"

"Tuan tahu saya tidak bisa membaca?"

"Kalau begitu apa bacaan di sampul buku ini?" Tuan menegakkan buku yang dibacanya dan menyuruh Delima membaca sampulnya, Delima hanya bengong, bibirnya gagu, dan tidak bisa digerakkan.

"Tidak tahu dok," ia mengaduk teh dengan sendok segera menyuguhkan teh untuk Tuan di meja makan, "memangnya bacaanya apa?" Delima masih canggung, kadang kelepasan memanggil Tuan kadang juga memanggil Dokter.

"Delima Cantik" Tuan menjawab.

"Aih," Delima tertawa, "masak kan ada buku berjudul seperti itu?"

"Saya tidak sedang memberitahu judul bukunya, saya sedang memberi tahu Ima, kalau Delima cantik" Tuan menatapnya, tatapan yang teduh dan lembut. Delima sangat malu sampai-sampai wajahnya panas dan pipinya kemerahan, ia buru-buru menaruh cangkir gelas diatas meja makan dan kembali ke dapur. Tuan tertawa, tapi Delima tahu wajah Tuan yang tertawa pasti matanya tenggelam, dan giginya yang putih bersih ia pamerkan meskipun Delima kini sedang tidak melihat Tuan.

"Tidak baik menggoda gadis, Tuan. Kalau pipinya merah nanti susah hilangnya." Delima berani membalas godaan Tuannya.

"Kemarilah, jika Delima bisa membaca nanti bisa berusaha sendiri tidak mungkin selamanya akan menjadi babu" suara Tuan terdengar meskipun Delima sedang menarik tali karet sumur, menimba untuk mencuci. "Tapi kalau kamu sibuk, saya pamit dahulu untuk mengeposkan surat, tidak lama kok. Jangan terburu pulang ya"

Delima mengangguk, pasti Tuan tidak tahu jika ia mengangguk, Tuan di meja makan sementara Delima di balik tembok gedong sedang menimba air, untuk memenuhi bak mandi, biasanya siang-siang para nona suka membasuh wajah mereka agar bersih dari debu jalanan. Jika air bak kosong, Delima pasti akan dicaci maki oleh nona Cath. Lalu sebenarnya, setelah pekerjaan di rumah Nyonya Barren selesai, Delima harus kembali mencuci baju di rumah Nyonya Margareth, namun mungkin terlambat sedikit tak mengapa, pikirnya.

Deru suara mobil Tuan memasuki halaman belakang, Delima sudah selesai menimba, ia duduk manis di lantai ruang makan sambil menunggu Tuan masuk. Ketika ia menengadah, Tuan sudah ada di depannya.

"Ayo belajar membaca" katanya sambil menggeser kursi "Duduk," Tuan menarik tangan Delima dan mengajaknya duduk di kursi yang tadi Tuan tarik, ah rupanya Tuan menyiapkan kursi untuk Delima. Setelah Delima duduk, Tuan kembali duduk di seberangnya, dibukanya buku bersampul cokelat dan Tuan mulai mengajarinya huruf-huruf. Bibirnya mengerucut saat ia mengeja "U" kadang membentuk bulatan saat ia mengeja "O"

"Ko..pi.." kata Delima terbata-bata, "ko..pi.. ba..pak.." Delima menengadah, memindahkan pandangan dari buku ke wajah Tuan, Tuan mengangguk dan tersenyum "ko..pi..ba..pak..di..m..me..ja..k..kayu.."

"Bingo!" Tuan tersenyum kembali, "sekarang yang ini, telunjuknya menunjuk kembali kalimat di halaman buku, Delima kembali fokus.

"Bu..ah," Delima menggigit bibirnya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena kalimatnya cukup susah.

"Bu, disini ada huruf de. De berbentuk seperti roti sisir mentega, ingat-ingat Delima"

"Bu..Di..Bu..Di.." Delima menghela nafas "Bu..di..ba..ca..bu..ku?"

Tuan mengangguk kembali, Delima tersipu. Kini ia bisa membaca berkat Tuan, meskipun hanya bisa sedikit saja tapi ini hal yang luar biasa. Semangat belajar Delima semakin menyala, hari itu tak terasa enam puluh menit ia belajar membaca.

Saat sampai di rumah Nyonya Margareth, majikannya yang bengis itu melecutkan ikat pinggang di punggungnya. Delima meringis, ia bahkan tidak meminta ampunan, ia rela menahan sakit jika imbalannya adalah berlama-lama dengan Tuan, mungkin mati juga tidak masalah asal untuk Tuan.

17 Agustus 1945, Magelang.

"Delima, saya pergi sebentar ke Batavia. Jaga dirimu baik-baik, jika saya selamat saya akan kembali ke Java. Ada sesuatu yang mau saya sampaikan langsung." Tjoa Feng Gao

Sepucuk kertas cokelat  yang tidak asing bagi Delima, pagi itu ia temukan saat hendak mandi. Delima kaget, ia tahu itu kertas milik Tuan karena Tuan sering mengajarinya membaca dengan kertas berwarna cokelat itu, Tuan menulis dengan kertas itu, tapi ada gerangan apakah kertas itu diselipkan di bawah pintu masuk rumahnya? Delima membuka pintu rumahnya, seluruh kampungnya bersorak-sorak, mereka menari-nari di jalan kampung, pria, wanita, tua, muda semuanya berteriak "MERDEKA! MERDEKA!"

Delima lari melewati kerumunan, ia cepat-cepat menuju rumah kawannya di seberang jalan.

"Narsih, ada apa? Kenapa orang-orang ada di jalan-jalan?"

Narsih sedang merobek bendera yang selama ini bertengger di tiang rumahnya yang merangkap sebagai balai desa, "kita sudah merdeka Imah! Nippon menyerah kepada sekutu, tidak ada lagi Hindia Belanda! Sekarang kita punya nama baru,"

"Apa?" Dengan gemetar Delima bertanya, air mata mengalir dari matanya, bagaimana nasib keluarga Barren? Bagaimana nasib Tuan Feng? Bagaimana?

"Apa? Nama? Nama negara kita? Indonesia Raya" Narsih tersenyum sambil menangis "Sekarang kamu juga bebas tidak jadi budak kan? Keluarga Barren diusir, tidak hanya mereka Imah, keluarga londo yang lain juga diusir dari tanah kampung ini" Narsih menarik tangannya dan memutar keras tombol volume di radionya, "dengar! Dengarkanlah Delima! Presiden baru kita sedang berpidato, di Batavia sekarang sudah mendeklarasikan kemerdekaan, aku tidak tahu apa itu upacara atau deklarasi, apa itu agresi dan lain-lain tapi aku tahu.. kita, kita sudah Merdeka!" Narsih histeris, ia menangis keras sambil memeluk foto ayahnya "Bapak!! Sudah diusir penjajah kejam yang membunuh bapak itu!! Sudah diusir, bapak! Kita sudah merdeka"

Delima dengan perasaan tidak karuan langsung berlari tanpa alas kaki, ia menerobos kerumunan, batu-batu kerikil menyobek kakinya, tangisnya pecah ketika melihat asap hitam membumbung tinggi, itu dari rumah keluarga Barren.

"TIDAK! TIDAK! KALIAN TIDAK BISA MENYAKITI KEKASIHKU!" Delima berteriak sampai pita suaranya bergetar, Delima hancur menyaksikan rumah gedong tempatnya bekerja itu terbakar, semakin ia berlari mendekat, api semakin terasa panas di kulitnya, bukannya malah dipadamkan tapi penduduk kampung malah membakar rumah-rumah londo di kompleks perumahan elit yang kontras dengan kampung mereka yang kumuh, Delima menerobos kerumunan orang yang sedang melempari kayu ke arah api yang membumbung tinggi.

"Heh! Kamu ini mau apa!" Bentak seorang pemuda, ia bukan pemuda kampung ini, ia jelas prajurit pribumi yang Delima yakini sebagai otak dibakarnya rumah-rumah londo.

"Aku tahu kita merdeka! Tapi apa pantas kalian membakar rumah mereka!" Teriak Delima disertai tangisan dan acungan kayu yang ia pegang. "Bilang kepada saya, bilang! Kemana semua penghuni keluarga Barren! Bilang!"

"Kami tidak tahu, mungkin mereka mati dilalap api, mungkin sudah pergi mengungsi. Kau ini antek-antek londo bajingan itu ya?" Pemuda tadi dengan melotot hendak menghampiri Delima, namun dengan nekad Delima memukulkan kayu ke arah pundak pemuda itu dengan marah, tanpa ampun, bengis dan kejam.

"TIDAK ADA YANG BISA MEMBUNUH KEKASIHKU! TIDAK JUGA KAMU, TIDAK JUGA KALIAN!" Delima memukul pemuda yang sudah terkapar berlumur darah itu, tidak ada yang berani melerai, Delima bagai setan yang mengamuk. Meskipun pemuda tadi sudah tak sadarkan diri karena pukulan kayu di pundaknya, Delima tetap bernafsu memukuli pemuda itu sampai ia mendengar suara yang tidak asing.

"Delima.. Delima.." Delima menengadah, di dalam kobaran api ia melihat Tuan sedang duduk di meja makan, dalam sekejap semuanya hilang. Api yang melalap habis rumah keluarga Barren tiba-tiba lenyap, Delima terkesiap, kayu jatuh dari genggamannya.

"Ima, kemari. Pasti kamu sedang mencari saya?"

"Tu-tuan.." tungkai kakinya lemas tak berdaya, namun ia melihat Tuan sedang duduk di meja makan yang tadi terbakar "Apinya hilang?" Soraknya, "Api..apinya hilang Tuan!" Delima menangis sejadi-jadinya, ia lega, kini ia melihat Tuan baik-baik saja, persis seperti yang kemarin malam ia bayangkan bahwa hari ini ia akan bertemu Tuan yang sedang menunggu sarapan nasi gorengnya matang, Tuan tertawa, matanya tenggelam dan tawanya terdengar bahagia di telinganya.

"Kemarilah Ima! Kemarilah kekasihku, sudah lama saya tunggu, sudah lama saya dambakan kedatanganmu, buatkan saya segelas teh kesukaan saya, dan jangan lupa nasi goreng" Tuan berdiri, tangannya terjulur seperti saat awal mereka bertemu, Delima berlari kepada Tuan.

"Tuan.. Tuan aku mencintaimu, sampai aku mati!" Delima berlari, melupakan kayu pemukulnya, melupakan pemuda yang ia hajar dengan kejam, melupakan api yang panas membakar rumah Nyonya, melupakan semuanya. Ia segera mendekap tubuh Tuan, air matanya keluar, "syukurlah Tuan baik-baik saja, saya kira Tuan sudah.."

"Aku disini, seperti kataku di surat, aku akan datang" Tuan mengecup bibir Delima. Mereka menjadi satu dalam pelukan Tuan, semuanya indah, semuanya benar, hanya Tuan yang ia punya, kemana Tuan pergi ia ikut.

Magelang 18 Agustus 1945
Berita hari ini 
Kebakaran besar terjadi di komplek perumahan elit dekat kampung pagar alam, Magelang. Kerusuhan itu disebabkan oleh beberapa pemuda yang membakar rumah-rumah londo sebagai bentuk rasa balas dendam dan unjuk rasa, banyak korban ditemukan terbakar, mereka adalah warga Belanda yang tidak sempat kabur ke Batavia dini hari tadi.

Narsih termenung, ia mendengar berita dari radio bahwa di kampungnya beberapa pemuda terpaksa digelandang ke kantoor polisi karena aksi unjuk rasa dan pembantaian masal penduduk Belanda yang tinggal berbatasan dengan kampungnya.

"Sudah gila Delima itu!" Ia mendadak berteriak, air matanya meleleh "Dia lompat ke kobaran api setelah membunuh Suprapto yang membakar rumah keluarga Barren! Kenapa dia berada di pihak londo? Tak kusangka teman mainku adalah antek-antek londo!"

"Mayat Delima ditemukan, Sih!" Ibunya berteriak, Narsih berlari keluar menemui ibunya, segera ia meringis, menahan mual, tubuh Delima terpanggang dalam posisi memeluk tubuh laki-laki. Mayat mereka berdua dipamerkan di balai desa, Narsih segera menutup wajahnya.

"Kami yang melihatnya langsung, Delima ini memukuli Prapto dengan kayu jati, Prapto tidak bisa melawan, bahkan hingga perutnya terkoyak Delima masih memukuli Prapto. Lalu Delima lari ke arah kobaran api, kami memanggilnya berkali-kali tapi Delima kesetanan, menangis dan berteriak "Tuan! Tuan! Tuan!" Badri yang menjadi saksi utama langsung menceritakan kepada Ibu Narsih yang kini memegang peranan penting di balai desa.

"Sholatkan, sebisa kalian"

"Mayatnya menempel Bu!"

Ibu Narsih dengan berani menatap mayat Delima, mayatnya memang sudah hangus, namun wajahnya menempel di baju jasad yang ia peluk. "Pisahkan,"

Semua orang menatap ibunya Narsih dengan tatapan heran. "Pisahkan! Cepat! Atau,"

Ia tak tahan lagi dengan reaksi orang-orang lalu memutuskan untuk menyentuh mayat Delima yang tumpang tindih dengan satu mayat lainnya, dengan susah payah ia melepas jasad delima agar terlepas dari jasad yang menempel padanya, saat mayatnya terlepas semua langsung bergidik ngeri, anak-anak yang melihat langsung menjerit, ibu-ibu semuanya pingsan, para pemuda dan bapak-bapak lari terkencing-kencing melihat mayat Delima yang hangus dengan wajah yang masih utuh, matanya terbuka dan tersenyum, seolah saat ia menembus api, ia sedang meluapkan kebahagiaanya yang paling besar. Jasad satunya sudah hangus terbakar, mayat itu menyisakan kalung dari perak yang melingkari lehernya.

"Tjoa Feng Gao" begitulah tulisan dalam kalung perak itu.

"Itu lelaki Indochina yang menjadi tamu keluarga Barren, namanya Feng Gao" Narsih yang masih mual melihat daging manusia terpanggang terpaksa berkata pada ibunya.

"Apa hubungan Delima dengan pria Tionghoa ini, Sih?"

Narsih terdiam, ia sudah jarang main dengan Delima. Delima tergila-gila dengan dokter yang mengobati banyak penduduk kampungnya, Delima mengira dokter itu juga membalas cintanya, padahal Narsih tahu sesuatu. Sesuatu yang penting. Kekasihnya, Sugeng adalah seorang petugas pos, beberapa kali Sugeng menerima surat dari dokter muda itu yang jelas-jelas ia tujukan kepada seorang perempuan bernama Monika Kwan. Mereka akan menikah di Batavia, dan dokter itu berniat membawa Delima untuk menjadi babu untuk kekasihnya di Batavia. Namun Narsih tak sampai hati memberitahukan semuanya, Delima sudah tertutup matanya oleh cinta dan kini malah mati memeluk jasad dokter itu.

Narsih melangkah ke dalam rumah, ia bersandar pada pintu, kumandang adzan dzuhur terdengar dari speaker masjid kecil di belakang rumahnya. Orang-orang segera menguburkan jasad Delima dengan sembrono, begitu pula jasad dokter itu.

"Bodoh." Bisiknya, lalu masuk ke dalam rumahnya kembali.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Kembang Api
3
0
Rachel tertawa saat kembang api yang ia nyalakan terbang ke langit gelap, orang-orang terperangah dengan ledakan kembang api yang tiba-tiba, keindahan ledakan kembang api itu menyeramkan sekaligus indah. Bagai air mancur api-api yang diletuskan dari pipa kembang api itu memuntahkan isinya dan membentuk berbagai macam lukisan yang indah, namun kesukaan Rachel adalah bintang api yang membentuk tubuh Anthony. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan