Mengantar Nyawa 1-3

0
0
Deskripsi

“Mata di bayar mata, Nyawa di bayar nyawa. Kau harus membayar semua nyawa yang kau antar, Nyi Galuh. Aku bersumpah akan membalaskan dendamku padamu yang telah mengantar nyawa keluargaku." Rumana bersumpa di depan mayat suaminya. 

Setelah satu persatu orang-orang yang dia cintai menemui ajalnya dengan cara tidak wajar, Rumana baru tahu siapa dalang dari semua petaka yang menimpa keluarganya. Namun ternyata orang itu sangat sakti mandraguna. Bagaimana cara Rumana membalaskan dendamnya? Mampukah...

MENGANTAR NYAWA.
_______________________

"Bu, kaka main dulu ya sama adek-adek," ucap anak sulung yang duduk di bangku SMP kelas tujuh.

"Iya, kak. Jangan jauh-jauh mainnya, jangan main di sungai juga," timpal sang Ibu menasihati. Sambil menggendong si bungsu yang baru berusia tiga bulan.

"Inggih, Bu," jawab si sulung dengan menggandeng adik pertama yang duduk di kelas tiga SD, dan adik ke dua yang baru kelas 1 SD.

Mereka bertiga pun pergi dan menemui teman-teman se usianya, yang tinggal di kampung halaman Ayah mereka.

"Eh, kita main ke sungai yuk. Nanti sekalian mandi biar seger, pasti menyenangkan ," ujar seorang teman.

"Tapi kata Ibu nggak boleh main di sungai, apalagi sampai mandi. Nggak ah, aku takut," ucap si sulung.

"Nggak apa-apa kok, kan ada kita berdua yang udah biasa main dan mandi di sungai itu. Lagian nggak dalam juga kok," bujuk teman yang duduk di kelas empat SD.

"Aku pengin mandi di sungai, Kak. Ayo, Kak, mandi aja," rengek adik pertama.

"Tapi kalo Ibu tahu gimana, Dek. Ini juga masih pagi, masa mau mandi di sungai," ujar si sulung.

"Ayo kak, mandi aja, kan kita mandinya rame-rame. Ibu nggak akan marah," ujar adik ke dua.

"Iya, di sungai asyik banget loh. Kalian kan baru datang dari Jogja, dan katanya di sana jauh dari sungai. Makanya mumpung di sini, kita mandi di sungai aja, Yuk. Rame-rame jadi makin seru," bujuk teman yang duduk di bangku kelas delapan SMP.

Dengan bujukan kedua temannya yang sudah terbiasa mandi di sungai, akhirnya si sulung goyah. Dia mengikuti kedua temannya untuk mandi di sungai lukulo dekat rumah nenek mereka.

Mandilah mereka berlima di sungai, yang banyak terdapat kubangan bekas menambang pasir. Sedang asyik bermain dan menyelam, tiba-tiba mereka sadar kalau kedua kakak beradik itu belum muncul juga dari dalam air.

"Eh, mereka berdua kok lama banget nyelemnya," ujar seorang teman yang menyadari si sulung dan adik pertama tak kunjung ke permukaan.

Adik kedua yang polos terus memanggil kedua kakaknya. Namun tak ada jawaban dari kedua kakaknya itu. Akhirnya salah satu teman yang khawatir, mengusulkan untuk pulang.

Sesampainya mereka di depan Rumah, Ibu si sulung dan adik pertama bertanya.

"Kalian dari mana, kok basah. Jangan-jangan kalian mandi di sungai, ya."

"Iya, Bu. Terus kakak pertama dan kakak kedua belum keluar juga lagi nyelem, lama banget. Makanya kita pulang duluan," ujar anak nomor tiga dengan polosnya.

Mendengar penuturan anaknya, sang Ibu langsung histeris dan berteriak minta tolong pada warga untuk mencarikan kedua anaknya yang mungkin tenggelam di sungai.

Para warga langsung bergerak cepat mencari kedua kakak beradik, yang baru datang dua hari dari Jogja itu untuk merayakan hari raya bersama keluarga besar neneknya.

Tak butuh waktu lama, kedua jasad bocah yang berstatus kakak dan adik kandung itu, ditemukan sudah tak bernyawa di dalam kubangan bekas menambang pasir.

Ibu mereka langsung pingsan, saat mengetahui kedua anaknya tewas. Ia tak menyangka kelalaiannya mengawasi anak-anak, harus dia bayar mahal dengan kehilangan kedua putrinya sekaligus.

Sehari setelah hari raya di rumah itu berubah jadi duka.

"Malah jadi mengantar nyawa setelah hari raya," bisik pelayat ikut terisak. Kemudian tersenyum menyeringai di balik jilbabnya.

***

Di dalam rumah duka, kakek korban tengah memegang kedua telapak kaki sang cucu yang dingin tanpa aliran darah lagi. Ia menyesalkan kenapa bisa lalai menjaga kedua cucunya, padahal biasanya dia selalu ke sungai untuk mendulang emas. Tapi sayang pagi itu dia malah ingin ke pasar, dan masih sehari setelah lebaran, alhasil dia belum sempat ke sungai.

Tak disangka jika dia harus kehilangan kedua cucu yang di rindukan, yang baru beberapa hari pulang dari tempat tinggalnya di Jogja. Terpukul sudah pasti, namun sebagiai manusia dia bisa apa selain merelakannya dengan ikhlas kedua cucunya.

Meskipun dia tahu, kematian kedua cucunya mungkin ada kaitannya dengan kesalahan di masa lalunya. Tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa dan tak mungkin menceritakan pada siapapun, atau dia sendiri yang akan celaka.

Sudah cukup kehilangan dua cucunya, jangan sampai ada koran lain. Mulai sekarang dia harus lebih waspada, karena musibah yang terlihat alami seperti itu bisa menimpa siapa saja. Meskipun dugaannya masih belum terbukti kebenarannya, tetapi dia tetap harus waspada dan menjaga sanak keluarga.

Sementara itu, Ibu korban yang masih di alam bawah sadar, melihat kedua anaknya tengah ketakutan dan menangis.

"Rihana...! Rianti...! Kesini, Nak. Ibu di sini," triak Rumana memanggil kedua anaknya dengan cucuran air mata.

Namun Rihana dan Rianti sama sekali tak mendengar panggilannya, mereka malah terus berlari menjauhi Rumana. Membuat wanita yang tengah berduka itu kian tersiksa, hanya bisa menyaksikan kejadian mengerikan yang menimpa kedua anaknya tanpa bisa berbuat apa-apa.

Meskipun makhluk mengerikan itu hanya berjalan pelan, tetapi tubuhnya sangat tinggi dan besar. Sehingga bisa saja langsung mendekap kedua anaknya. Namun entah kenapa, sepertinya dia ingin mempermainkan dua bocah itu, dan memperlihatkan pada Ibunya. Rumana mencoba lari untuk mengejar kedua anaknya, tetapi semakin dia berlari, kedua anaknya semakin ketakutan karena makhluk mengerikan itu semakin mendekatinya.

Rumana mencoba diam di tempat dengan kucuran air mata yang tak dapat ia bendung. Menyaksikan dengan pasrah kedua anaknya di bawa oleh makhluk mengerikan yang membawa sabit maut di pundaknya.

"Kalian membangkang nasihat Ibu kalian kan," suara berat dan menggema dari mahluk itu kini terdengar memekakan telinga.

Membuat Rianti dan Rihana semakin histeris ketakutan, tetapi Rumana lagi-lagi hanya bisa menyaksikan.

"Iya, kami menyesal. Tolong jangan sakiti kami. Ampun, jangan bawa kami. Biarkan kami pulang dan minta maaf pada Ibu. Huhuhu..." Itu suara Rihana, yang menangis ketakutan. Membuat Rumana ingin menolongnya.

"Ibu maafkan, Nak. Ayo pulang, lihat Ibu di sini, Ri," isak Rumana tak berdaya setelah mendengar penyesalan anaknya.

"Sudah terlambat! Jasad kalian sudah di temukan, sekarang kalian harus terima akibatnya." Makhluk itu kembali berbicara.

"Maksudnya apa. Kami berdua masih di sini, belum ada yang menemukan kami. Tolong lepaskan kami, biar kami pulang dan minta maaf pada Ibu. Aku janji nggak akan melakukan apapun yang Ibu larang," pinta Rihana yang sudah hampir menginjak remaja. Sehingga dia tahu maksud perkataan makhluk mengerikan itu.

Rihana mengira dirinya masih hidup dan tersesat di sebuah tempat yang gelap gulita. Yang dia ingat, saat akan menolong Rianti yang hampir tenggelam, dia langsung berada di tempat gelap dan mengerikan itu. Seperti hutan, tetapi dengan ruang lingkup yang sempit. Dia tak pernah melihat tempat seperti itu di manapun sebelumnya, bahkan dia tak pernah membayangkan ada tempat se menyeramkan ini, dan kini dia berada di tempat itu bersama adiknya.

Rihana sangat ketakutan saat tiba-tiba berada di tempat menyeramkan itu, suara burung gagak dan lolongan anjing terus terdengar. Awalnya Rihana mengira bahwa dia mungkin sudah tiada, tetapi dia bertemu seorang wanita berpakaian serba hitam, dan menunjukan jalan pada mereka.

Karena takut, Rihana dan Rianti pasrah mengikutinya. Hingga sampailah mereka di sebuah istana megah, dengan balutan emas yang berkilauan dari luar maupun dalam istana.

Rianti menangis histeris saat hendak memasuki istana, membuat Rihana bingung dan bertanya-tanya.

"Jangan nangis, Dek. Ayo kita masuk, nanti wanita itu marah pada kita. Kamu dengar kan tadi di jalan dia bilang apa," ujar Rihana pada adiknya.

"Iya kak, tapi aku takut, wajah mereka mengerikan. Pucat semua seperti mayat, dan mereka diam seperti patung. Apa kakak nggak takut," tanya Rianti.

"Kaka lebih takut kalau kita celaka karena tak menuruti perintah wanita itu untuk mengikutinya," ujar Rihana meyakinkan adiknya.

"Aku takut, kita pulang aja, yuk," ajak Rianti ketakutan.

"Kita nggak tahu tempat ini, Dek. Kita juga nggak tahu jalan pulang, daripada kita tersesat lagi dan di kejar-kejar sama para setan yang ingin memakan kita seperti tadi, lebih baik kita di sini. Sepertinya di sini kita aman," ungkap Rihana.

"Ibu...Rianti takut, Bu. Huhuu.." Rianti terus menangis. Membuat para penghuni istana melotot pada mereka berdua, dengan tatapan membunuh yang membuat keduanya lari lintang pukang dari istana. Hingga akhirnya di kejar-kejar oleh makhluk tinggi besar yang membawa sabit maut di pundaknya.

Makhluk menyeramkan itu, kini menatap Rumana dengan tatapan membunuh. Ia pejamkan mata kuat-kuat agar tak melihat makhluk itu lagi. Dan benar, dia langsung sadar.

"Anak-anaku....!" Triak Rumana bangun, membuat semua pelayat tertegun.

"Tolong anaku... Siapapun tolong Rihana dan Rianti... Mereka sedang tersesat si sebuah tempat mengerikan," ungkap Rumana. Yang dianggap meracau oleh orang-orang di sekitarnya.

Bagaimana bisa kedua anaknya tersesat, sedangkan keduanya kini sudah kaku tak bernyawa di ruang tamunya. Tak ada yang mempercayai Rumana, termasuk Gunadi--suaminya.

"Ada yang tidak beres," ujar Rasmadi-- mertua Rumana yang menyadari perkataan menantunya.

🥀🥀🥀

Bersambung...

Part 2

"Ayo, Bu, kita pulang. Apa masih mau menunggu sampai jenazah di makamkan?" Ujar pelayat lain pada seorang wanita paruh baya yang masih terisak.

"Eh, iya. Duluan aja, nanti saya nyusul. Belum ketemu sama Ibu korban," jawab Ibu itu seraya mengusap air mata dengan pucuk jilbabnya.

"Oh, ya sudah. Saya duluan ya, Bu. Mau manen padi soalnya," ucap Bu Janem seraya menepuk bahu wanita itu, lalu pergi bersama beberapa temannya meninggalkan rumah duka.

Sudah jadi tradisi di kampung itu, jika melayat hanya sekedar mengantar beras atau menaruh uang saja, lalu pulang. Berbeda dengan kerabat atau kenalan yang berduka, mereka akan menunggu dan mengantar jenazah hingga prosesi pemakaman selesai.

Namun siapa wanita paruh baya yang melayat dengan senyum menyeringai di balik jilbab itu? Apakah dia masih kerabat yang berduka? Atau hanya pelayat biasa? Mungkinkah ia seorang yang mengalami gangguan jiwa? Atau jangan-jangan....

Wanita itu perlahan menembus kerumunan warga dan kerabat keluarga duka, yang tengah mengurus kedua jenazah kakak beradik itu. Tanpa siapapun curiga padanya.

Sementara itu, Ibu korban masih meraung menangisi kepergian kedua putrinya secara tiba-tiba. Ia baru sadar setelah beberapa jam pingsan karena tak kuasa menerima duka yang sangat mendalam dalam hidupnya.

Ibu manapun tak kuasa bila kehilangan dua putri sekaligus dalam waktu yang sama, terlebih pagi itu kedua anaknya masih sehat dan ceria. Tak ada bayangan sedikitpun di benak Rumana akan kehilangan kedua putrinya secara bersamaan.

Bagai jatuh tertimpa tangga, sedang berduka tiada tara, masih harus menerima hujatan dan makian dari keluarga, tetangga, bahkan suaminya. Jika bisa, Rumana memilih menyusul saja bersama kedua putrinya. Tetapi dia masih mempertahankan kewarasannya, demi dua anaknya yang masih bernyawa.

"Masa anak-anak di biarkan main di sungai tanpa pengawasan, Ibunya kemana sih, kenapa nggak di larang main di sungai."

"Anaknya kan dari kota, yang mungkin nggak bisa berenang, kok ya di biarin mandi sama anak-anak yang sudah biasa main di sungai. Kalau sudah begini kan, mau bagaimana lagi to. Nyawa taruhannya. Semua jadi di salahkan."

"Ini pelajaran untuk kita semua para orang tua. Jangan pernah lalai menjaga anak-anak kita, Ibu-ibu. Sekalipun anak kita sudah dewasa dan kita anggap bisa di andalkan menjada adik-adik atau anak tetangga lainnya, namanya musibah nggak pandang bulu siapa yang akan kena," ujar seorang lainnya.

Begitulah tanggapan para warga yang mengetahui musibah itu, ada yang menyalahkan, dan ada yang langsung bisa mengambil hikmah dari musibah itu. Mereka tidak tahu keadaan Rumana bagaimana, dan sudah menasihati apa saja pada anaknya.

Setiap orang punya asumsinya masing-masing. Dan kita tidak bisa melarang ataupun membungkam mereka satu persatu, karena itu hak mereka berpendapat. Namun kita semua tahu, selalu ada hikmah di balik setiap musibah.

"Ya Allah, aku baru aja mau ngajak anak-anak mandi di sungai. Mau main ke rumah neneknya besok, jadi ngeri," ucap seorang emak yang mengetahui musibah itu.

"Nggak apa-apa mandi di sungai, selagi masih dalam pengawasan orang tua," Ujar emak lainnya memberi saran.

"Iya juga sih, Mbak. Kasihan kalau kita larang anak-anak berenang di sungai, ya, lagian renang itu kan bagus untuk anak-anak. Yang penting kita selalu awasi dan tetap waspada ya, Mbak," ucap si emak menyadari.

"Betul, Bu. Biarkan anak menikmati masa kecilnya salah satunya dengan bersenang-senang mandi di sungai. Tetapi sebagai orang tua kita ga boleh abai dengan keselamatan mereka, karena siapapun bisa terkena musibah," ucap si Ibu menyetujui.

***

"Bu, lihat itu yang sedang menatap kosong jenazah kakak beradik itu, kok mencurigakan ya. Siapa sih dia, apa keluarga atau kerabat Bu Rumana?" Tanya seorang pelayat yang tak sengaja memperhatikan sese Ibu paruh baya berkerudung hitam.

"Mana, Bu, mana," ucap Ibu yang diajaknya bicara, penasaran.

"Itu loh, yang pake krudung hitam nggak menutup semua rambutnya. Jilbab pashmina yang nggak dipakai bener-bener," jelas Ibu yang kepo sambil menunjukan pada temannya tanpa mengacungkan jari, hanya kode mata supaya temannya bisa melihat orang yang dia maksud, dan tidak menyinggung orangnya jika kebetulan melihat mereka.

"Eh, iya ya. Kok kayak patung, serius banget tetapi tatapannya kosong tepat ke arah jenazah. Siapa sih dia, jadi merinding. Sepertinya bukan warga sini deh, Bu, tatapannya itu loh, serem. Hiihh," timpal Ibu satunya yang akhirnya menyadari juga gelagat aneh seseibu, yang kini menatap lekat kedua jenazah yang baru di mandikan itu bergantian.

"Oh iya, aku ingat. Dia kan yang tadi nangis terisak di depan rumah, yang di ajak pulang sama Bu Janem tapi menolak. Apa dia kerabat keluarga duka ya?" Papar Bu Dasem yang pertama menyadari gelagat wanita itu.

"Sepertinya begitu, Bu. Ya udah, ntar kita tanya Bu Janem aja. Siapa tahu dia kenal."

Hilir mudik para pelayat tak mampu meredam emosi Gunadi. Dia terus menyalahkan sang istri yang dianggapnya lalai menjaga anak-anak.

"Seharusnya kamu awasi mereka, Rum. Kamu kan bisa jagain adek bayi sambil ngawasin mereka main!" Ujar Gunadi.

"Aku nggak tahu kalau mereka main ke sungai, Mas. Kalau aku tahu mereka mandi di sungai, sudah pasti aku awasi mereka," bela Rumana.

"Sudahlah, Gunadi, Rumana, ini semua sudah takdir. Jangan kalian saling menyalahkan satu sama lain, semua sudah terjadi. Kalian harus kuat dan saling menguatkan, bukan saling menyalahkan," ujar seorang wanita yang sudah sepuh.

"Nggak semudah itu, Bu. Aku kehilangan dua anakku sekaligus, dan itu karena kelalaian Rumana," ujar Gunadi masih tidak terima.

"Bukan salah Rumana. Ini semua sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Harusnya kamu bersyukur karena Bagas masih selamat, setidaknya kamu masih punya dua anak. Berdosa jika kamu melawan takdir, Gun," ujar wanita yang Gunadi panggil Ibu.

"Kamu pikir cuma kamu yang kehilangan, Mas. Apa kamu lupa, aku Ibunya. Hati seorang Ibu jauh lebih sakit ketika kehilangan anaknya, apalagi aku melihat sendiri bagaimana mereka tersesat di sana. Jangan egois kamu, Mas!" Geram Rumana dalam isak tangisnya.

"Halah, jangan mulai meracau kamu, Rum. Kita tahu anak-anak kita sudah tiada, mau tersesat bagaimana," timpal Gunadi masih tak percaya.

Rumana bingung cara menjelaskannya, karena bisa jadi apa yang tadi dia lihat hanya sebuah mimpi, sebuah ilusi karena belum bisanya dia menerima kepergian kedua anaknya.

Sementara itu, di dekat jenazah kedua putrinya, sang Ayah mertua berdiri tepat di samping wanita berkerudung pashmina hitam.

Lelaki sepuh itu sedang mengintruksikan para warga yang tengah mengurus kedua cucunya setelah di mandikan.

"Sudah selesai kan memandikannya, sekarang tinggal di pakaikan kain kafan, dan langsung bawa ke kuburan. Tidak usah di sholatkan segala. Ini cucu saya, dan hak saya untuk mengatur proses pemakamannya mau bagaimana. Kalian nurut saja. Segera pakaikan kain kafan, dan langsung bawa ke makam," Ujar Rasmadi pada pengurus jenazah kedua cucunya.

🥀🥀🥀
Bersambung....
 

Part 3.

Para pengurus jenazah itu bingung dengan maksud ucapan si kakek. Menguburkan tanpa menyolatkan, mana boleh. Dalam Islam, bukankah sudah seharusnya sebelum di makamkan jenazah harus melalui beberapa proses.

Di mandikan untuk mensucikan hadas jenazah, di pakaikan kain kafan sebagai pakaian terakhir, dan di sholatkan untuk menyempurnakan proses pemakaman.

Lalu bagaimana bisa di kubur tanpa di sholatkan terlebih dahulu, ajaran macam apa yang kakek Rasmadi terima. Seorang warga harus ada yang mengingatkan, bukankah sudah kewajiban kita sebagai saudara se iman untuk saling mengingatkan dalam hal kebaikan.

Maka, seorang ustadz yang akan melakukan semua prosesi itu langsung mengingatkan sang kakek.

"Maaf ya, Pak Rasmadi. Sebelum mayit di semayamkan, terlebih dahulu harus di sholatkan, Pak. Ini semua demi kebaikan mayit. Apa Bapak tidak kasihan pada kedua cucu Bapak, jika tidak di sholatkan. Saya sebagai ustadz yang merasa bersalah, karena tidak bisa menjalankan tugas mengurus mayit sepeti pada umumnya. Lebih baik di sholatkan ya, Pak," ujar sang Ustadz.

"Trimakasih sudah mengurus kedua jenazah cucu saya, Ustadz. Tetapi saya selaku kakek dari almarhumah Rianti dan Rihana, keberatan jika mereka harus di sholatkan. Untuk mempersingkat waktu juga, sebaiknya cepat di kafani dan bawa langsung ke pemakaman," timpal Rasmadi tegas pada sang Ustadz.

Rumana dan Gunadi yang mendengar perdebatan Rasmadi dan sang Ustadz, menghampiri mereka. Samar tapi pasti, kedua orang tua mayit mendengar apa yang sedang mereka bahas.

"Bapak apa-apaan sih, kenapa anak-anaku tidak boleh di sholatkan," ujar Gunadi pada sang ayah.

"Iya, Pak. Saya sebagai Ibunya tidak mau kalau anak saya tidak di sholatkan sebelum di makamkan," imbuh Rumana  masih berderai air mata.

"Tolong sholatkan saja, Pak ustadz. Saya Ayah kedua jenazah anak saya, jadi saya juga berhak menentukan akan bagaimana prosesi pemakaman ini!" Ucap Gunadai sedikit meninggi.

"DIAM KAU BOCAH!" bentak Rasmadi pada putra sulungnya. "Kalian turuti saja perintahku. Jangan banyak tanya, ini suda jadi tradisi keluarga kita, Gun. Ingat itu!"

Tatapan membunuh yang terpancar dari kedua netra Rasmadi, membuat nyali Gunadi ciut, dan tak berani lagi membantah perintah ayahnya.

Demi menjaga situasi tetap kondusif, sang ustadz terpaksa menuruti perintah Rasmadi. Begitu juga dengan Gunadi, ia tak lagi melontarkan sepatah katapun. Bagai di hipnotis oleh tatapan maut sang Ayah.

"Mas! kenapa diam saja. Kita bawa Rianti dan Rihana ke Jogja saja, kita makamkan mereka dengan layak di sana. Aku nggak mau anak kita dimakamkan dengan cara tak wajar seperti ini," ujar Rumana terisak. Berharap sang suami mau menuruti permintaannya.

"Kamu g*la, ya! Mana mungkin kita makamkan mereka di Jogja. Perjalanan kebumen Jogja memakan waktu lama, mau pakai biaya dari mana kita untuk membawa mereka ke sana!" Bentak Gunadi pada Rumana.

"Aku ada tabungan kok, Mas. Kita bawa mereka saja ya, kita makamkan dengan layak di Jogja. Aku nggak rela anakku di makamkan tanpa di sholatkan," ujar Rumana kekeuh.

"Nggak. Kita akan tetap makamkan anak-anak di sini. Dan akan menuruti semua perintah Ayah, kamu kendalikan dirimu. Ini semua juga salahmu," tukas Gunadi dingin.

Mendengar pernyataan sang suami yang terus saja menyalakannya, hati Rumana bagai di iris belati tajam. Sangat sakit, tapi tak berdarah. Ia hendak meminta Ibu mertua untuk menasihati Ayah mertua, namun sepertinya sia-sia. Karena dia tahu, Ibu mertuanya itu amat sangat takut pada sang suami.

Di dekat jenazah kedua gadis belia itu, wanita berkerudung hitam pashmina menyaksikan drama pemakaman yang terjadi di rumah duka. Lagi-lagi dia tersenyum puas dengan keputusan yang Rasmadi ambil.

**

Setelah pemakaian kain kafan kedua jenazah selesai, tanpa di sholatkan seperti perintah Rasmadi, para warga yang membantu mengangkat keranda jenazah langsung membawa keduanya ke pemakaman.

Hal ganjil terjadi lagi di pemakaman. Liang lahatnya hanya ada satu, padahal jenazahnya dua. Seharusnya ada dua liang lahat di sana.

Gunadi yang menyadari hal itu hanya bisa diam, dia teringat tatapan membunuh sang Ayah. Dia tahu, pasti semua ini juga atas perintahnya. Maka dia tak berani berkata-kata lagi.

"Mas, ini kenapa hanya ada satu liang lahat. Seharusnya dua kan, Mas," ujar Rumana mengguncang tubuh suaminya. Ia bingung kenapa hanya ada satu liang lahat.

"Tanya saja pada Bapak," timpal Gunadi lemah.

"Pak! Apa ini semua Bapak juga yang minta. Apa Bapak mau menguburkan Rihana dan Rianti dalam satu liang lahat?!" Tuntut Rumana pada Rasmadi.

Tanpa menjawab kebingungan menantunya, Rasmadi hanya mengangguk pada tukang gali untuk menjalankan perintahnya.

"Silahkan Bapak Gunadi turun ke liang lahat, untuk menyemayankan kedua putrinya yang terakhir kali," ujar tukang gali.

"Nggak! Gali satu liang lahat lagi untuk anakku! Jangan seperti ini, Pak. Bapak tega sekali menguburkan kedua cucumu dalam satu liang lahat," isak Rumana sudah hampir kehilangan tenaga.

Satu tamparan mendarat di pipi Rumana yang sudah tak berdaya, dan seketika langsung kehilangan kesadaran. Gunadi menangkap tubuh Istrinya yang hampir menyentuh tanah akibat ulah sang Ayah.

"Astaghfirullah. Istighfar, Pak Rasmadi. Menantumu sedang berduka, tega sekali Bapak menamparnya sampai pingsan," ujar sang Ustadz. Semua warga yang menyaksikan terkejut dengan sikap agresif Rasmadi. Mereka tak pernah tau saat Rasmadi sedang emosi seperti itu.

Terlebih di pemakaman, yang seharusnya dalam keadaan hikmat. Kini semua terdiam tak ada yang membantah perintah Rasmadi lagi, demi menghindari keributan lebih parah di pemakaman.

Akhirnya jenazah kedua anak Rumana dan Gunadi di semayamkan di satu liang lahat. Tanpa menunggu Rumana sadar dari pingsannya, membuat para pengantar kedua jenazah itu tak bisa tidak menitikan air mata duka.

***
Sementara itu, di alam yang berbeda, Rumana kembali di hadapkan pada nuansa alam yang menyeramkan. Suasana kegelapan yang hanya pernah dia lihat di Film-film horor. Dan kini dia sendiri yang berada di dalamnya, membuat aliran darahnya seakan berhenti, tubuhnya terpaku, dan kedua netranya menyapu ke segala arah dengan waspada.

Ia takut ada makhluk mengerikan yang dia lihat beberapa waktu lalu, yang telah menangkap kedua anaknya. Dia hanya bisa berdo'a, semoga tidak ada hal yang menyeramkan lagi di sini. Tempat itu sudah cukup menyiutkan nyalinya, ia tak bisa bayangkan jika tiba-tiba ada sosok lain yang menyeramkan menghadangnya. Dia hanya sendiri, tanpa melihat kedua anaknya lagi di tempat ini.

Rumana berusaha melafadz ayat-ayat suci yang dia bisa, namun lidahnya seperti tak mau bergerak, kelu, kaku. Dia tak bisa bersuara. Dia mencoba berteriak, tetapi tidak keluar suara apapun. Membuatnya semakin panik, dan dia juga tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Sebenarnya ada apa ini, kenapa dengan tubuhnya. Seluruh tubuh Rumana seperti terkunci. Dia hanya bisa menggerakan kedua bola matanya.

Saat Rumana sedang terus berusaha menggerakkan lidah dan anggota badannya yang lain, sesosok makhluk menyerupai wanita berpakaian serba hitam dengan rambut menutupi seluruh wajahnya tiba-tiba muncul di depannya. Membuatnya semakin kalut dan tak berdaya, matanya membulat penuh ketakutan yang tertahan.

"Pulanglah! Anakmu tidak di sini lagi." Suara menggelar memekakkan telinga terlontar dari makhluk itu, Rumana ingat betul, itu makhluk yang sama dengan yang menangkap Rihanna dan Rianti.

Seketika tubuh Rumana bisa di gerakan, dia langsung histeris ketakutan. Menyadari suaranya telah kembali, dia memberanikan diri untuk menanyakan keberadaan putri-putrinya pada makhluk itu.

"Sebenarnya kemana kau bawa kedua anakku, pulangkan dia padaku, Iblis!" Bentak Rumana takut-takut berani pada makhluk itu.

"Ha ha ha. Aku sudah antarkan nyawa kedua anakmu ke tempat yang seharusnya. Tetapi jika kau ingin tahu kemana sukma kedua anakmu, ikutilah kata hatimu. Dan temukan jawabannya!" Makhluk itu langsung hilang di iringi suara kikikan yang memekakkan telinga.

"Rumana! Sadar, Rum. Ingat Rayhan dan Bagas. Lihatlah Rayhan terus menangis karena haus. Dia butuh ASI. Sadarlah, Rum. Mas minta maaf kalau sempat menyalahkanmu, bangunlah, Rum. Mas janji nggak akan menyalahkan kamu lagi. Jangan tinggalkan kami juga." Gunadi menangis, dengan memeluk tubuh istrinya yang sangat dingin dan pucat.

Sudah ber jam-jam Rumana tak sadarkan diri, Gunadi juga terus menyalahkan Ayahnya--Rasmadi, yang menyebabkan Rumana jadi begini.

🥀🥀🥀

Bersambung...

Komen dan tap love dong..

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan