Rumah Bercerita #RumahdalamDiri

2
0
Deskripsi

“Sepanjang hidup kamu harus menemukan tiga jenis rumah.”

—Kisah tiga generasi yang hidup di dalam Rumah Palagan.

***

Cerita pendek spin off #homeseries melalui sudut pandang Rumah Palagan.

X: @pingumerah

Mobil sedan menepi, memuntahkan seorang gadis dan sebuah koper. Koper dan tubuh si gadis nyaris sama besarnya, tetapi gadis itu seakan memiliki tenaga yang berlimpah untuk menyeret kopernya menyusuri halaman berbatu. Tidak ada bel berbunyi, melainkan dari bibirnya yang tipis keluar omelan soal sandal yang berserakan dan tanaman hias di teras yang dibiarkan layu. Tidak lama berselang dari membuka pintu, dia terpekik-pekik.

Sungguh, ini keributan kecil yang kutunggu-tunggu. Setahun belakangan cukup sudah aku mengakrabkan diri dengan umpatan dan obrolan ajaib para lelaki. Asap rokok mereka meninggalkan noda kekuningan di dindingku. Kehadiran seorang perempuan, aku yakin, akan memberikan warna baru di sini.

Setelah berteriak histeris, gadis itu kembali ke halaman, kali ini sambil menyeret lengan seorang laki-laki. Laki-laki itu bernama Marka. Dari hasil mencuri dengar, aku terkejut bahwa gadis yang baru datang ternyata Naya.

Naya yang mungil, yang sering kali merengek tak ingin kembali ke Jakarta, yang selalu mengekori Marka dan kakek mereka, ternyata sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Mengetahui bahwa dia menjadi mahasiswi dan akan menetap lama di sini membuatku bahagia. Akhirnya tubuhku akan merasakan sentuhan tangan perempuan yang penuh kasih.

***

“Kak Haiyan denda lima ratus ribu. Sudah kubilang, jangan merokok di dalam rumah!”

“Kak Rendra denda seratus ribu karena nggak piket bersihin kamar mandi minggu ini. Lupa karena sibuk di kampus? Semua orang di rumah ini juga sibuk. Nggak usah alasan!”

Marka mengamanatkan Naya sebagai ibu kos. Meskipun Naya anggota termuda, kedisiplinannyalah yang membawanya menjadi penguasa tertinggi di rumah ini. Naya membuat aturan dan memastikan semua penghuni rumah mengikuti. Suara Naya begitu tegas dan nyaring, tetapi sering kali tidak menggetarkan keyakinan para lelaki yang mengontrak untuk tetap mengacau. Mereka baru merasa tidak aman jika Naya memilih jurus diam seribu bahasa.

Setiap jengkal dindingku dapat menjadi mata dan telinga. Terkadang aku menguping obrolan Jevin dengan keluarganya di telepon. Di lain waktu, aku lebih tertarik mengintip pertengkaran Marka dan kekasihnya melalui aplikasi kirim pesan. Kalau sedang ingin menikmati ketenangan, aku memilih mengamati Rendra yang kuat sekali menempelkan bokongnya di kursi meja belajar. Aku juga menonton kartun bersama Haiyan di ruang keluarga setiap pagi.

Akan tetapi, tidak ada yang lebih menarik daripada mengamati percikan asmara diam-diam antara Alejandro dan Naya. Kamar Naya terletak di lantai dua bangunan utama, berada dalam kungkungan dinding-dindingku, sedangkan kamar Alejandro terpisah di bungalo satu lantai yang dibangun di halaman belakang. Aku lebih sering menonton dan mendengar kisah cinta mereka dari kamar Naya. Apabila Naya bereaksi terlalu datar pada tiap telepon atau pesan yang masuk ke ponselnya, aku selalu menyayangkan mengapa dinding-dindingku tidak terjulur jauh ke belakang, ke tempat Alejandro.

Maka, aku berusaha menanyakan kabar Alejandro pada Bungalo. Si Bungalo adalah dinding-dinding yang lebih baru dan lebih kokoh. Aku menganggapnya adik.

“Alejandro kesal karena Marka giat sekali mengenalkan Naya pada temannya,” kata Bungalo padaku, dengan bahasa yang khusus para batu bata, semen, dan pasir mengerti.

Aku memberikan gosip dari sisiku. “Naya juga kesal. Dia tidak lebih menyukai Julian daripada Alejandro. Dia bahkan sangat menyukai Alejandro, sampai berkali-kali membujuknya untuk mengumumkan kebersamaan mereka kepada yang lain.”

“Tidak bisa. Alejandro tidak bisa berkhianat pada Jevin. Hampir setiap malam Jevin datang ke kamar Alejandro untuk menyombongkan diri hari ini sudah melakukan ini bersama Naya, hari itu sudah melakukan itu bersama Naya.”

Aku tidak lagi terkejut. Sebagai penghuni kamar bungalo, Jevin memang banyak menghabiskan waktu di bangunan utama, di wilayahku. Aku sering mendapati tatapan mendamba dalam matanya yang bulat tiap memandangi Naya.

Bungalo menambahkan, “Mereka sepupu dekat. Sudah seperti saudara kandung.”

“Kau tahu?”

“Tentu saja.” Bungalo terkesan tidak suka para responsku yang menyangsikan jawabannya. “Aku selalu mengamati Alejandro dan Jevin. Hubungan mereka sangat rumit. Aku tidak mengerti mengapa ibu Alejandro selalu menanyakan kondisi putranya pada Jevin, dan mengapa Alejandro terlihat lebih senang saat menerima telepon dari ibu Jevin ketimbang ibunya sendiri.”

“Membingungkan sekali.” Aku mendesah, tidak berani terlalu kuat karena takut diriku ambruk. Mau bagaimanapun, aku tidak sekuat Bungalo. Aku sudah berdiri puluhan tahun lebih dulu darinya. Aku bahkan masih mengingat bagaimana rupa Naya dalam buntalan bedung yang ditimang neneknya.

“Biar kutebak,” kata Bungalo yang berwarna jingga ceria, “suatu saat nanti hubungan mereka akan terkuak.”

“Itu sudah pasti,” balasku. “Manusia memiliki firasat. Tugas kita sebagai dinding-dinding hanyalah menyembunyikan, menyamarkan, dan sering kali malah tidak berguna. Jika saatnya tiba, kuyakin akan banyak hubungan yang rusak.” Aku berhenti sejenak. Salah satu dari diriku berderak sebab Marka membanting pintu kamar dan terbirit-birit menuruni tangga. Aku mengamati dandanannya yang kumal sebelum Marka mengeluarkan mobilnya tanpa sempat menutup gerbang.

“Hubungan yang rusak itu seperti apa?”

Aku kembali menanggapi pertanyaan Bungalo, “Putusnya hubungan romansa Naya dan Alejandro dan retaknya hubungan persaudaraan Alejandro dengan Jevin.”

“Dari mana kau tahu hal itu?”

“Aku sudah mendengar dan menyaksikan banyak hal.”

Bungalo tidak lagi bertanya, dan ketenangan ini membuat kegundahanku pada Marka membuncit. Sebelum hubungan diam-diam adiknya dan Alejandro terkuak, Marka harus memusatkan perhatian pada hubungan romansanya sendiri.

Dari mana aku tahu? Tentu aku tahu. Aku bisa melihat dan mendengar. Dan aku tahu ada sesuatu yang salah ketika senyum Marka tidak lagi mengembang saat membalas pesan Lia. Senyum itu hadir untuk kontak bernama Kiky.

***

Pada akhirnya, Marka tidak bertahan dengan Lia maupun Kiky. Sama seperti kakaknya, Naya tidak berlabuh di antara Alejandro dan Jevin. Naya sempat menjalin kasih dengan Julian, teman yang Marka sodorkan padanya, tetapi itu pun tidak bertahan lama. Aku menjadi saksi bisu tangisan patah hati kakak-beradik itu.

Membicarakan soal adik, aku tidak lagi berbincang dengan Bungalo. Tidak ada gosip yang bisa dibagi. Sejak para penyewa kamar lulus dari bangku kuliah, Bungalo ditinggalkan sendiri tanpa cerita. Aku, si tua ini, cukup beruntung mendapatkan penghiburan dari kehidupan Marka dan Naya, dua orang yang tetap tinggal untuk menjagaku selaku rumah peninggalan kakek dan nenek dari ibu mereka.

Belakangan aku tahu, ternyata yang masih tinggal di kota ini bukan hanya mereka. Masih ada Rendra. Pria yang giat belajar itu memang keluar lebih cepat, mendahului teman-temannya. Kupikir kami tidak akan bertemu lagi. Namun, dugaanku salah. Aku menyambutnya dengan suka cita ketika dia bertandang, kali ini sambil memperkenalkan diri dengan lantang sebagai kekasih Naya.

“Kakak,” panggil Naya. “Aku minta izin mau nikah sama Kak Rendra.”

Marka menegakkan punggung dan mematikan televisi. “Sudah yakin mau nikah sekarang?”

Naya menepuk-nepuk punggung tangan kakaknya. “Aku minta izin dulu sama Kakak sebagai wali nikah aku nanti. Aku, sih, yakin Bunda bakal izinin. Kak Rendra masuk kriteria calon mantu idaman Bunda. Mereka juga suka obrolin pelajaran–”

“Kamu sudah sembuh dari sakit hati?” Marka memotong ucapan Naya yang mulai melebar. “Kamu putus dari Julian karena ketahuan kamu belum seutuhnya move on dari Ale. Kakak nggak mau kamu mengulang kesalahan yang sama.”

“Ih, Kakak!”

“Kamu sudah move on dari Ale? Dari Julian?”

“Kami pacaran sudah dua tahun, lho. Ya kali, aku belum move on. Lagian, Kak Rendra imut banget tahu. Rugi kalau nggak aku nikahin.”

“Kamu berkali-kali dicuekin karena dia sibuk belajar, bantu penelitian proyek dosen, praktik di dua tempat, sama kadang ngajar les bimbel. Setelah jadi residen, dia juga sibuk jaga. Yakin mau nikah sekarang?”

Bibir Naya mengerucut. “Kakak kenapa mempermasalahkan keputusanku, sih? Aku sudah besar. Aku seratus persen yakin memang Kak Rendra yang aku mau buat jadi suamiku.”

Tangan Marka berpindah dari genggaman ke puncak kepala Naya. “Ya sudah. Setelah nikah, minta Rendra pindah ke sini, biar Kakak bisa nemenin kamu.”

Naya menggeleng. “Kami sudah ngobrol. Kak Rendra ada apartemen di dekat Sardjito. Aku yang bakal pindah ke sana.” Naya meraih tangan Marka untuk kembali dia genggam. “Kalau Kak Rendra lagi tugas di luar kota, aku bakal sering main ke sini, ke Rumah Palagan. Rumah ini tempat aku pulang. Bunda setelah pensiun juga bakal pindah ke sini, kan?”

Rumah Palagan. Naya memberiku nama. Aku merasa menjadi bagian penting hingga harus diberi nama.

Hari-hariku berikutnya kembali diisi kisah romansa, kali ini dengan versi lebih dewasa. Tidak ada kisah pacaran sembunyi-sembunyi, perselingkuhan, apalagi kecemburuan tanpa dasar. Aku melihat Rendra yang membawakan kudapan favorit Naya tiap datang membahas rencana pernikahan. Aku juga mendengar perdebatan kecil pemilihan antara pernikahan adat Jawa atau adat Tionghoa, yang berakhir mereka memilih gaya modern sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi keinginan dua keluarga. Itu keramaian yang paling kusuka, tanpa kusadari bahwa setelah menikah Naya akan menyeret kopernya–koper yang sama dengan yang dia bawa saat baru menjadi mahasiswi–keluar dari sini sambil menggandeng tangan Rendra.

Tanpa Naya, aku merasakan kehampaan yang dalam. Tersisa Marka yang semakin tua semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku khawatir dia sungguhan akan mengencani sketsa-sketsa bangunan di kertas atau desain-desain konstruksi di layar komputer alih-alih bersenda gurau dengan seorang perempuan dewasa. Pasalnya, tinggal Marka yang kuharapkan dapat menyuguhkan tontonan romansa padaku.

Pada hari ulang tahun Marka, Naya dan Rendra datang. Mereka merayakan sambil menyantap makanan laut di ruang tengah. Aku menyukai kehangatan yang mengaliri diriku, hasil dari menonton interaksi kekeluargaan dan mendengar candaan serta gerutuan khas Naya. Kurasa perempuan diciptakan sebagai makhluk yang penuh perhatian. Selain mengomeli gaya hidup kakaknya yang gemar bekerja tanpa tahu waktu, Naya juga mengomentari sarang laba-laba yang menyangkut di sudut-sudut ruanganku dan retakan tipis di bagian mukaku.

“Kakak arsitek, tapi rumah sendiri malah nggak dirawat,” kata Naya sambil membuang cangkang kepiting. Aku lantas menajamkan telinga di area dapur, tidak ingin melewatkan gerutuan Naya.

Marka menyalakan keran air dan menuang sabun ke atas spons. “Nggak ada waktu, Nay.”

“Sebelum Bunda pensiun, mending renovasi rumah dulu nggak, sih, Kak? Biar lebih nyaman.”

“Kakak kasih uangnya, kamu yang bantu awasin tukangnya. Gimana? Ini, kan, rumah kamu juga. Hitung-hitung kamu bantuin Kakak sebelum repot sama bayi.”

Aku hanya mendengar bunyi air mengalir dan dentingan piring kaca. Kulihat raut muka Naya berubah. Hingga beberapa menit tidak ada jawaban. Mungkin Marka sama risaunya seperti diriku, jadi dia mematikan keran dan memandangi adiknya lekat-lekat.

“Kak Rendra belum mau punya anak seenggaknya setahun pertama pernikahan. Kakak tenang aja. Aku punya banyak waktu sebelum ada bayi,” ungkap Naya.

Hari-hari berikutnya aku menunggu. Menunggu kedatangan Naya atau tukang-tukang. Nyatanya, tidak ada satu pun yang datang.

Laba-laba semakin giat melebarkan sarangnya dari satu pojok ke pojok. Muncul jalur panjang hasil karya serombongan semut di dinding yang menghadap halaman belakang. Aku juga menyaksikan sekawanan lebah membuat markas menggantung di penjuru atap. Tubuhku mulai ditinggali hewan dan digerogoti serangga.

Tiga bulan kemudian Naya dan Rendra datang. Mereka menginap seminggu lamanya. Naya tinggal di sini tanpa senyum apalagi tawa. Tidak ada omelan ataupun gurauan.

Hingga pada suatu pagi aku menyaksikan Naya mengikat rambut panjang legamnya menjadi satu di atas kepala. Timbul kegaduhan di dapur sebelum subuh datang. Beberapa menit sebelum fajar menyingsing, Naya mengeluarkan alat pemotong rumput.

Sama seperti ketika dulu menyaksikan senyum Marka hadir untuk orang berbeda yang dia kirimi pesan, aku tahu ada sesuatu yang salah pada Naya sekarang. Tidak hanya karena dia menjadi pendiam. Naya juga makin rajin bersih-bersih dan mengurusku seakan sedang ingin menghilangkan pikiran akan sesuatu. Selain itu, paras cantiknya tidak lagi ceria. Naya tidak jauh berbeda dari Bungalo; berwarna jingga, tetapi kusam sebab kehilangan gairah akan kehidupan.

Keterdiaman Naya adalah bom waktu. Saat itu kupikir Naya sudah pulang ke rumahnya yang bukan aku. Namun, Rendra mendatangiku, mencari Marka, dan menanyakan keberadaan Naya.

“Naya ke Jakarta,” kata Marka. “Memang dia nggak pamitan?”

Rendra mendesah. Desahan itu kurasakan memanas di lantai-lantai dan kudengarkan menggaung di dinding-dinding. Aku tahu, ada yang salah dengan Rendra. Meski kami tidak begitu akrab, aku baru menyaksikannya seputus asa ini.

“Maaf, Kak,” katanya dengan suara bergetar. Sepertinya dia hampir menangis. “Gue salah. Gue larang Naya buat hamil. Tapi, kami kebobolan. Gue malah biarin dia sendiri, sampai dia kecelakaan dan anak kami pergi.”

“Tunggu, tunggu!” Marka mendorong bahu Rendra. “Lo bilang Naya hamil? Keguguran? Kapan? Kenapa gue nggak tahu?”

Ternyata tidak lama setelah Marka berulang tahun, Naya ketahuan mengandung. Naya berusaha keras membuat Rendra menerima calon bayi mereka, tetapi nasib berkata lain. Motor Naya terserempet. Calon bayi mereka mati dan sisa-sisanya harus dikuret. Hari di mana Naya meminta menginap seminggu di sini, sesungguhnya dia baru pulang dari rumah sakit. Namun, seakan tidak cukup menyiksa, Rendra memohon supaya Naya menyembunyikan kabar duka dari sanak saudara.

Permintaan Naya sangat masuk akal. Dia ingin pulang, pada diriku, tempat yang aman dan nyaman menurutnya. Namun, permintaan Rendra membatasinya. Naya tidak seutuhnya pulang sebab sesungguhnya di dalamku baru terasa komplet karena ada Marka yang bisa diajak bercerita.

Kulihat tangan Marka sudah mengepal. Aku mengira-ngira sejauh apa Marka sanggup menahan diri. Beruntung Rendra cuma mendapatkan satu pukulan di pipi. Lantai dan dindingku tidak perlu dihiasi bercak kemerahan.

Marka menelepon Bunda di Jakarta dan mendapat jawaban bahwa Naya sedang terbang ke Manado, ke tempat tinggal mertuanya. Marka dan Rendra mengalami guncangan kepanikan untuk kedua kali. Sejak ayahnya meninggal dalam kecelakaan pesawat, Naya berusaha menghindari naik pesawat. Meskipun ternyata saat ini Naya pergi ditemani sahabat karibnya, tetap saja Marka memaksa Rendra untuk segera menyusul.

Lama sekali aku tidak mendengar suara Naya. Aku cuma suka mencuri dengar percakapan Marka melalui telepon ataupun mengintip isi pesan Marka. Dari sanalah aku mengetahui kabar Naya.

Badai rumah tangga Naya dan Rendra pun surut. Begitu kembali ke Jogja, mereka pindah dari tempat yang disebut Apartemen Sardjito ke tempat yang diberi nama Rumah Jakal. Intensitas Naya mengunjungiku kian berkurang. Mungkin dia sungguhan sudah menemukan tempat nyamannya yang baru, Rumah Jakal.

Aku jadi tidak terlalu merindukan Naya sebab Marka membawa tukang-tukang yang mengetukkan palu di dindingku, mencabut gentingku, mencopoti terali-terali dari jendelaku. Di sini menjadi sangat sibuk. Marka pun sibuk; sebab selain berkutat dengan pekerjaannya, dia juga harus mengawasi para tukang–pekerjaan yang kutahu awalnya menjadi bagian Naya.

Maaf, Kak. Aku nggak bisa bantuin,” ucap Naya. Suaranya terdengar memelas padahal itu baru terdengar via telepon.

“Kamu fokus aja sama perkuliahan,” kata Marka. Naya memang sedang melanjutkan kuliah.

Nggak cuma sama kuliah, sih, Kak.” Naya terkekeh, kontras sekali dengan nada bicara sebelumnya. “Aku punya kabar baik. Kakak yang pertama aku kasih tahu.

“Apa, tuh?”

Aku hamil.

Marka segera bangkit dari posisi berbaring. Walaupun ada kantung mata yang membengkak menghiasi wajahnya, aku melihat sepasang matanya berbinar. “Selamat, Nay! Rendra sudah tahu?”

Aku belajar dari pengalaman. Mending aku kasih tahu Kakak dulu.” Terdengar embusan napas berat dari seberang. “Aku bingung. Kira-kira Kak Rendra bakal senang nggak, ya? Sudah lewat setahun pernikahan, sih. Tapi, dia baru lulus dan resmi jadi dokter spesialis anak enam bulan lagi. Masih ada tanggungan pendidikan.

“Kasih tahu aja, Nay. Kalau reaksinya nggak bagus, bilang Kakak, nanti Kakak jemput.” Marka terdiam karena Naya juga diam. Akhirnya Marka menyambung, “Kayaknya Rendra nggak bakal jahat lagi. Dulu dia kelihatan takut banget kehilangan kamu. Kamu lepas KB juga seizin dia. Nggak mungkin orang sepintar Rendra nggak paham efeknya. Kamu pakai KB aja bisa kebobolan, apalagi nggak pakai?”

Naya menyetujui ucapan Marka dan berjanji akan memberi kabar lanjutan. Aku tidak tahu detail perkembangan kabar itu karena selama aku menjalani proses renovasi Marka tidak selalu berada di sini. Aku tidak selalu memiliki kesempatan untuk menguping dan mengintip.

Tukang-tukang pergi dan kini aku berdiri dengan fasad yang jauh lebih cantik. Dinding-dindingku dicat ulang dengan pilihan warna krem-putih dan beberapa aksen hitam, yang jelas noda kekuningan itu telah hilang. Mahkota gentingku semakin rapi dan mengilap, tidak lagi digelantungi sarang lebah. Lantai, plafon, terali, dan beberapa furnitur diganti. Selain cantik, aku juga merasa segar. Aku seperti terlahir kembali dan siap menyambut orang-orang beserta cerita yang mereka bawa.

Lebaran tahun ini keluarga Naya berkumpul. Ada Bunda, Marka, Naya, Rendra, ibunya Rendra, dan Flora, putri kecil Naya dan Rendra. Mereka suka sekali mengobrol sambil santap malam. Telingaku terpanggil untuk turut serta mendengarkan tiap kata yang mereka lontarkan.

“Kakak, Bunda, Mama.” Panggilan Naya memutus perbincangan ringan yang terajut. “Mumpung lagi pada kumpul, Kak Rendra bawa pengumuman penting.”

“Tentang beasiswa ya, Ren?” tanya Bunda

“Ngomong aja, Dra. Waktu dan tempat are yours,” sahut Marka.

“Jadi begini.” Rendra bersuara dan berhasil membungkam mulut-mulut lainnya. “Setelah diskusi sama Naya, akhirnya kami memutuskan mengambil tawaran studi ke Edinburgh.”

Apa itu Edinburgh? Apakah tempat itu sejenis dengan Apartemen Sardjito atau Rumah Jakal? Aku tidak mengerti. Aku hanya berharap semoga Naya tidak melupakanku si Rumah Palagan.

***

Bunda tinggal di sini dan sering mengajak teman-temannya ke mari untuk arisan. Masing-masing arisan memiliki anggota yang berbeda; arisan RT, arisan alumni kedokteran, arisan senam zumba, dan banyak lagi. Aku menyukai kegiatan itu karena selalu ada orang, keramaian, dan cerita. Pembicaraan mereka bergaung di dalamku. Gaungnya membuatku berjiwa.

Bunda selalu menceritakan dan membanggakan keluarganya. Bunda membanggakan Rendra yang mendapat beasiswa ke Edinburgh. Bunda membanggakan Naya yang sekarang sedang hamil lagi. Bunda membanggakan Flora yang sudah bisa berjalan.

“Putramu gimana? Sudah mau punya dua ponakan, masa belum nikah-nikah?”

Untuk Marka, Bunda membanggakannya sebagai arsitek hebat yang memiliki banyak karya di penjuru Indonesia. Kalau sudah begitu, Bunda pasti juga akan mengagung-agungkan kecantikanku. Bunda bilang, parasku yang cantik ini berkat hasil kerja keras Marka merancang ulang saat renovasi. Bunda juga membanggakan bagaimana nyamannya diriku hingga membuat banyak orang suka berpesta di sini.

Aku bisa besar kepala sekarang. Selain Marka, Bunda suka mengurusku. Bunda sama seperti Naya, memperhatikanku dengan sangat detail hingga ke lekuk terdalam. Sedikit saja ada kerusakan, Bunda akan melaporkannya pada Marka.

Seandainya memiliki mulut, aku tentu akan membocorkan kisah cinta Marka dan putri bungsu kasunanan daerah tetangga. Bunda jadi bisa menambah daftar kebanggaan untuk dibicarakan di arisan-arisan berikutnya. Bunda juga jadi tidak perlu melulu merecoki Marka untuk hal-hal remeh soal diriku sebab Marka sudah cukup sibuk dengan hubungan jarak jauhnya.

Namun, kabar gembira memang tidak selamanya tersembunyi di balik dinding kamar. Marka mengungkapkan akan menikahi kekasihnya, Dita. Pesta pernikahan mereka rencananya dilaksanakan tidak lama setelah jadwal kepulangan Naya.

Seketika aku tidak pernah merasa kesepian. Sanak saudara Marka datang silih berganti, mendiskusikan pesta sebesar apa yang harus mereka lakukan untuk meminang putri kerajaan dan berbagai rencana jangka panjang. Aku selalu mendengarkan dengan takjub. Kata Marka, setelah menikah, dia akan membawa istrinya tinggal di sini. Berarti aku akan segera bertemu si orang penting.

“Aku pulang!”

Di suatu hari yang terik, Naya datang bersama Rendra dan dua anak kecil yang menggemaskan. Anak-anak berlarian ke arah Bunda dan Marka, salah satunya mengenakan popok yang menggembung di balik celananya. Dia mirip Rendra, tetapi penampakan sekilasnya mengingatkanku pada sosok Naya di masa kecil. Sosok yang merengek pada sang nenek, menolak menyelesaikan liburan untuk kembali ke Jakarta.

“Nyamannya,” ucap Naya sambil duduk bersila di ruang tengah. Sudah tidak ada sofa di sana, sengaja disingkirkan agar lebih mudah menggelar karpet-karpet rotan tiap ada acara besar. “Flora, Rora, don’t do that! Jangan coret-coret tembok! Pakdhe Marka sudah ngecat ulang buat acara minggu depan.”

Naya mengeluh tidak ada tenaga, sehingga Rendra-lah yang bangkit untuk mengurus anak-anak. Rendra berbicara pada dua gadis kecil itu dalam bahasa asing. Kemampuanku menguping menjadi sia-sia. Apakah Rumah Edinburgh mengajarkan bahasa yang lain? Apakah dia terbuat dari batu bata, semen, dan pasir yang berbeda sehingga kedua gadis kecil ini tidak terbiasa berbicara dalam bahasa yang kupahami?

Ayah will give each of you a paper,” kata Rendra.

This is my canvas, Ayah.” Flora mengetuk dindingku dengan jemari kecilnya.

Marka berlutut di sebelah Rendra, menyatu dalam perbincangan. “Ini dinding. Bukan kanvas, bukan tempat gambar. Kalau Flora menggambar di sini, rumahnya bisa menangis karena tidak cantik lagi.”

Flora menekap mulutnya yang terbuka dengan telapak tangan. “He will cry, Pakdhe? I will not make him cry.

Flora berbalik menghadapku, krayon di tangan kanannya terjatuh ke lantai. Dia merentangkan tangan dan menempelkan diri padaku. Aku bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya yang pendek dan getaran dari pipinya yang bergerak saat berbicara, “I love you, Rumah Palagan. Don’t cry, okay?

Aku tidak mengerti, tetapi aku suka namaku disebut dengan begitu manis. Rendra tersenyum dan Marka tertawa melihat tingkah Flora. Keduanya tidak menyadari betapa cepatnya tangan balita berpopok mengambil krayon yang Flora jatuhkan. Dalam sekejap, dinding putihku dihiasi goresan berwarna biru muda.

“Rora!” pekik Naya, diikuti tarikan napas terkesiap dari Rendra dan Marka.

Flora menekap lagi mulutnya. Tidak lama kemudian dia menangis. Tangan kiri mungilnya menepuk-nepuk dindingku. “Don’t cry, Rumah. Pakdhe will fix you. Pakdhe will fix you. Don’t cry!” Ucap Flora berulang-ulang seperti rekaman kaset rusak.

Begitulah permulaanku bertemu dengan anak-anak Rendra dan Naya yang sudah pandai berbicara. Mereka tidak tinggal di dalamku, tetapi sering sekali datang berkunjung. Flora pernah kabur dari Rumah Jakal untuk berlindung di sini. Rora suka datang untuk menumpang makan, bilangnya dia menyukai masakan Dita. Saat sudah bisa mengendarai motor, Flora dan Rora pernah datang larut malam, khusus untuk menghibur Rona, anak Marka dan Dita, yang baru saja merasakan patah hati dari cinta pertamanya.

Gadis-gadis kecil tumbuh dewasa, orang dewasa menjadi tua, dan yang tua akhirnya berpulang. Bunda pergi setelah kemampuan melihat dan mendengarnya tergerogoti penyakit tua. Keluarga Marka dan Naya menangis, tetapi tidak ada yang meratap. Dua minggu awal tidak ada kebahagiaan yang memantul di dinding-dindingku. Sebagai gantinya, banyak orang berdatangan melantunkan doa yang menembus atapku.

“Kami mau pindah ke Jakarta,” kata Marka di suatu sore. Nada bicaranya datar, tetapi Naya dan Rendra seperti baru mendengar guntur. “Ada offering yang lebih menjanjikan di Jakarta, Nay. Dita juga sudah siap, sudah interview untuk posisi dokter bedah syaraf di sana.” Marka menepuk puncak kepala adiknya. “Tenang saja. Kalau dengar kata pulang, Kakak bakal selalu ingat rumah ini.”

Maka dari itu, keluarga Marka menghilang dari pandanganku. Aku sempat dibiarkan kosong selama beberapa minggu, hingga tukang-tukang itu datang lagi. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada fasadku, tetapi hal itu tidak berlaku sama untuk Bungalo. Adikku menjadi setinggi diriku, memiliki langkan di lantai atas, empat kamar tidur, dua kamar mandi, dan dapur serta ruang makan kecil.

Setelah proses pembangunan dan renovasi selesai, Naya dan Rendra datang membawa banyak sekali barang. Rora datang bersama mereka, tetapi tidak dengan Flora. Belakangan kutahu bahwa Flora pergi ke Jakarta untuk bersekolah, tinggal dengan keluarga Marka. Sebagai gantinya, Bungalo dibuka menjadi rumah kos.

Aku mendapati cerita yang seru saat Flora berkunjung. Sambil mencabuti rumput liar di halaman belakang bersama Rendra, Flora mulai bercerita, “Ayah, kerja ternyata capek banget.”

Rendra mengusap peluh dari dahi dengan lengan bajunya. “Nggak ada pekerjaan yang nggak bikin capek. Sudah setua ini aja, Ayah kadang males ketemu pasien. Nggak usah lihat Ayah. Lihat adikmu. Tiap pulang dari jaga malam berubah jadi zombi.”

Flora mengerucutkan bibirnya. Sungguh, dengan mukanya yang mirip Rendra, tiap tindak tanduknya justru mengingatkanku pada Naya di masa dewasa mudanya. “Ayah makin tua makin cerewet. Mirip Bunda.”

“Ayah jadi cerewet begini karena kamu jarang pulang.” Rendra memilih duduk di undak-undakan Bungalo. “Kamu merantau kayak nggak kenal rumah. Pulang cuma setahun sekali kalau lebaran. Sudah dua tahun ini kamu ngejar karier sampai lewatin ulang tahun Ayah dan Bunda. Mau tahu apa yang bikin Ayah lebih kesal, Flora?”


Flora memonyong-monyongkan mulut, seakan sedang mengikuti gerak bibir Rendra yang kian cepat. Beruntung dia memunggungi Rendra, lebih memilih memilin-milin rumput. Atau kalau tidak, beruntung dia tidak ketahuan oleh Naya. Omelan Naya jauh lebih memekakkan telinga ketimbang ocehan Rendra yang hadir hanya sesekali.

“Kamu balikan sama anaknya Om Jevin.”

Sontak Flora berderap mendekati Rendra, bergabung di bawah naungan atap Bungalo. “Kok, Ayah tahu?”

“Tahu lah!” Rendra memberi lirikan tajam. “Om Jevin sendiri yang WA Ayah, kirim foto kamu sama Jay. Ayah pikir Jay bakal keasyikan main sama kanguru. Nggak nyangka Jay balik cepat malah mepet anak Ayah lagi.”

“Aku sama Jay nggak balikan. Kami, tuh, cuma ….” Flora memutar bola mata, lantas menjentikkan jari di depan muka. “Rekan kerja. Dia jadi manajer bagian penjualan. Aku juga baru tahu waktu lagi presentasi produk, dia duduk di barisan petinggi perusahaan.”

“Ayah tahu bakal begini jadinya setelah sadar kamu kerja di perusahaan Om Jevin.”

“Tapi, kan, aku nggak cari-cari siapa pemilik perusahaannya, Ayah. Aku cuma cari perusahaan makanan ringan terbaik di Indonesia. Aku mau jadi researcher makanan di tempat yang bagus.” Flora membela diri.

Rendra menghela napas panjang. “Karena sempat jadi bilingual baby, akhirnya kalian jadi lebih dekat dibanding membaur sama anak Indonesia lain.”

“Ayah menyesal bikin aku sama Jay jadi teman kecil?”

“Sebenarnya nggak begitu. Jay anak baik, datang dari keluarga baik. Ayah cuma masih punya sentimen negatif ke Om Jevin karena dulu pernah tempur sama Om Ale di ruang tengah, rebutin Bunda.”

“Itu masa lalu, Ayah.”

“Selain itu, kamu jadinya lupa jalan pulang. Lupa ke rumah.”

“Iya, aku salah.” Flora memeluk lutut-lutut yang terlipat di depan dada. “Menurut Ayah, memang rumah itu apa?”

“Ini.” Rendra merentangkan tangan. “Rumah Palagan.”

“Jay bilang, rumahnya itu aku. Makanya dia langsung balik Indonesia lagi setelah studinya selesai.”

Wedhus gembel!

“Ih, Ayah!” Flora menepuk lengan Rendra. “Tapi, Yah. Somehow, aku ngerti jalan pikiran Jay. Ayah tahu, kan, belum lama ini aku dekat sama Galang?” Flora melambaikan tangan, mengundang Rendra menyodorkan telinganya. “I’m so done with him. Ada, deh, alasannya. Masalahnya, Yah, aku nggak sedih. Soalnya pas banget Jay muncul lagi di depanku.”

“Kamu nggak sedih karena sadar ternyata nggak perlu sesedih itu akibat Jay sudah balik dari Aussie?” Rendra menggeleng pelan. “Berarti dugaan Ayah benar, dong? Kamu lupa jalan pulang, lebih milih Jay daripada Ayah.”

“Aku cerita bukan buat Ayah sama Jay main tanding-tandingan.”

Ada senyum tipis di bibir Rendra ketika menatap Flora yang menunduk seraya merengut. Rendra kini terdengar lebih bijaksana. “Kamu ingat, nggak, waktu kamu putus dari Jay karena harus LDR beda negara? Itu pertama kalinya kamu pulang nggak ngabarin keluarga, tahu-tahu minta dijemput di stasiun dan ajak main di Malioboro dulu. Di perjalanan pulang, kamu malah nangis di boncengan. Ayah sampai harus muter mampir beliin es campur kesukaan kamu di Selokan Mataram.”

Bibir Flora makin maju. “Ayah nggak ikhlas, ya?”

“Ayah lagi nostalgia.” Rendra melepas sarung tangan sebelum menepuk bibir putri sulungnya. “Tiap ada masalah kamu pasti pulang. Selalu cari Ayah atau Bunda. Ayah sekarang sadar, mungkin memang sudah saatnya kamu lepas mencari rumah sendiri.”

Pelukan Flora di kakinya semakin erat. “Apa iya, Yah? Memang aku bisa?”

“Mau Ayah ceritain hal menarik?” Rendra mengibas-ngibaskan sarung tangan dari tanah dan kotoran.

“Cerita apa?”

“Kamu percaya, nggak, kalau rumah ini lebih tua dari Ayah?” Rendra membuat bentuk lingkaran abstrak ke arahku menggunakan kibasan sarung tangannya. “Rumah ini jadi tempat tinggal nenekmu sejak remaja. Bunda lahir di Jogja, dan langsung dibawa ke sini. Terus, Ayah dan Bunda jadi dekat juga karena Ayah yang ngekos di sini. Kamu dari bayi betah di sini. Sudah lewat berapa generasi, tuh?”

Jemari Flora terangkat satu per satu. “Tiga.”

“Menurutmu, rumah ini awet, nggak?”

Flora memandangiku dengan seksama, lantas menjawab, “Kalau tiap renovasi yang ngurus Pakdhe Marka, ya jelas awet, Yah.”

“Nah, itu! Pakdhe Marka memang ngurus dan orang-orang yang tinggal di dalamnya juga ikut menjaga.” Rendra menoleh pada Flora. “Flora, Ayah percaya kamu punya banyak pilihan rumah. Itu baru masalah awal. Biar rumahnya awet, kamu harus menemukan faktor lainnya yang bisa membantumu tetap nyaman tinggal berada di rumah yang sama untuk waktu yang lama.”

Flora terpekur. “Kita lagi ngomongin Rumah Palagan as rumah berbentuk fisik atau itu semuanya cuma metafora?”

“Yang pertama dan kedua benar.” Rendra tertawa mendapati raut kebingungan di muka putrinya. “Sepanjang hidup kamu harus menemukan tiga jenis rumah.”

“Banyak banget.”

“Harus, Flora. Nggak boleh cuma salah satu atau dua,” kata Rendra tegas. Rendra mencolek lengan Flora. “Rumah yang pertama, rumah berbentuk fisik. Terserah bentuknya mau rumah tapak tanah, apartemen, kondominium … pokoknya punya dinding, lantai, dan atap. Rumah sebagai tempat berlindung dari ancaman fisik.” Rendra mengetuk pelipis dengan jari telunjuk. “Kinerja otakmu nggak akan maksimal kalau kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Jadi, mari berpikir rasional. Kamu harus cari jodoh yang bisa kasih rumah. Minimalnya, kalau ternyata kamu yang menyediakan, dia bisa ikut mengurus supaya rumah itu tahan lama dan nyaman ditinggali.”

Flora mengangguk mantap. “Noted!

“Rumah yang kedua adalah jaring pengaman tempatmu jatuh. Support system. Bisa dalam bentuk keluarga, pasangan, sahabat. Kamu bisa gila kalau memaksakan diri memikul semuanya sendiri.” Rendra tersenyum. “Kamu sudah mendapatkan itu. Kamu punya Ayah dan Bunda, Rora, Pakdhe Marka–”

And Jay?”

Senyum Rendra langsung menyurut. “Untuk saat ini, belum ada yang lebih baik dari Jay, bukan?”

Flora mengangguk. “Terus, yang ketiga?”

“Rumah Dalam Diri,” sahut Rendra perlahan sembari memberi penekanan pada tiap kata. “Ruang di mana kamu melakukan dialog dengan diri sendiri, merenung, berdoa, meditasi. Tempat yang akan selalu menerimamu apa adanya. Tempat di mana semua keinginanmu disuarakan dengan cara yang paling jujur.” Rendra meraih kedua tangan Flora, menumpuknya, lantas menangkupkannya di depan dada. “Ketika dunia membuatmu bingung, Rumah Dalam Diri akan memberi tuntunan apa yang sebenarnya kamu mau dan apa yang menurutmu paling benar.”

Is that really important? I already have Rumah Palagan, Jay, and you, Ayah.

It is the most important.” Rendra kini menangkupkan tangan-tangannya sendiri di depan dadanya. Tatapannya jatuh ke arahku. “Ayah sadar nggak ada gunanya terlibat terlalu cepat dalam peperangan antara Om Jevin dan Om Ale untuk memperebutkan Bunda di masa kuliah. Ayah sadar kapan waktunya mengaku salah dan kejar Bunda kamu. Ayah sadar bahwa kepindahan kita ke Edinburgh adalah yang terbaik. Ayah sadar bahwa menuruti kemauan Bunda untuk menjual Rumah Jakal dan mempertahankan Rumah Palagan menjadi keputusan yang paling bijaksana. Ayah sadar melepaskan kamu merantau lebih cepat dari perhitungan ….” Rendra menatap Flora yang juga tengah menatapnya, “semua itu Ayah cari tahu dulu jawabannya dari dalam diri. Dari setiap keputusan itu, mungkin memang nggak semuanya murni Ayah yang ambil, ada peran Bunda, karena bagaimanapun Ayah kepala keluarga dan nggak hidup cuma untuk diri sendiri. Tapi, masukan-masukan Bunda kamu pasti selalu Ayah obrolkan lagi dengan diri sendiri.”

Flora menurunkan tangannya. “Ternyata sepenting itu. Rumah Dalam Diri seperti kompas, tapi sesekali juga harus dikalibrasi dari pembelajaran hidup dan masukan orang lain.”

“Anak Ayah memang pintar.” Rendra terkekeh, turut menurunkan tangan. “Sama seperti Rumah Palagan, Rumah Dalam Diri juga perlu renovasi berkala.”

“Harus pakai bahan yang terbaik biar awet.”

“Harus pakai pembelajaran yang terbaik supaya lebih bijaksana,” timpal Rendra.

“Harus lebih jujur.”

“Ya, harus lebih jujur.”

Flora melukiskan kerlingan nakal dan seringaian jahil. “Berarti aku boleh jujur dong, sama Ayah, kalau sebenarnya aku sama Jay gabung jadi satu tim untuk perlombaan internal kantor. Jadi, minggu depan aku dan Jay izin mau pergi menginap di perkebunan teh punya adiknya Om Haiyan, di Bandung Utara.”

Pupil Rendra bergetar. “Berdua?”

“Untuk menekan cost, berdua. Anggota lain cukup riset dari kantor.”

“Nggak boleh!” Rendra berseru sampai berdiri. “Ayah bakal hubungi Om Jevin. Apa-apaan bikin acara berbahaya kayak gitu.”

“Ayah seriusan bakal telepon Om Jevin?” Flora segera melepas sarung tangan, topi kebun, dan sepatu bot untuk mengejar Rendra yang lebih dulu masuk ke bangunan utama. “Ayah, jangan! Aku bercanda. Ada satu anggota tim lain yang ikut.”

“Ayah harus pastiin sendiri ke Om Jevin.”

“Nanti aku malu. Ayah!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rajendra
Selanjutnya See You, Anon! (spin-off) – She Has Courage
1
0
“Aku ….” Rosa mendapati suaranya kadung serak. Sungguh, tertangkap basah melakukan hal memalukan justru membuat dirinya makin terbakar. “Aku cuma … penasaran.”Janu tidak berkata-kata, sepertinya dia belum sepenuhnya sadar. Janu justru mengamati telunjuk tangan kirinya yang mengilat oleh air liur. Keningnya agak berkerut saat berkedip-kedip.Memanfaatkan kelinglungan Janu, Rosa bersimpuh lebih dekat. Tangan itu kembali dia raih, telunjuknya kembali masuk ke dalam belitan hangat lidah. Lagi-lagi Janu memelotot, tetapi kali ini tidak sampai akal untuk menarik diri.“Aku penasaran sama rasanya,” ucap Rosa. Bibirnya beralih menyapu punggung tangan Janu, terus naik ke antara urat-urat lengan. “Kalau boleh, aku juga mau jilatin sampai ke bisep kamu. Vena kamu bikin ngiler tahu, Sayang."“Shit!”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan