AU: See You, Anon! – Narasi: Laki-Laki Hijau Sage

10
0
Deskripsi

Rosa dan Janu bertemu di rumah sakit tanpa saling mengenal identitas masing-masing. Mereka masih asing, dan Rosa mengira itu adalah satu-satunya pertemuan mereka. Baginya, tidak ada kebetulan dan tidak ada lain kali.


Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo bukanlah tempat yang asing bagi Rosa. Sebelum resmi mendapat nomor rekam medis dan menjadi pasien rutin, dulu dia sering kali menemani ibunya berobat ke sini. Rosa mengenal tiap sudut dan belokan. Dia bahkan hapal di mana saja titik-titik dispenser isi ulang air minum berada. Saat masih menjadi gadis ceria yang tidak betah disuruh menunggu barang lima menit pun, Rosa hampir selalu menggunakan alasan mencari air minum untuk menjelajah dan menghilangkan penat.

Hari ini dia menggunakan alasan serupa pada Krisan, tak peduli pada kenyataan bahwa Krisan sudah membelikannya sebotol air mineral. Jujur saja, penjelajahannya kali ini bertujuan merentang jarak dari Krisan. Dia tidak siap mendapat amukan saudara kembarnya yang sempat merasa tertipu. Lagi pula, Rosa memang tidak berkenan Krisan mengetahui semua perihal di kehidupannya. Rosa benci dikasihani.

Maka dari itu, Rosa melenggang pergi dari Gedung Kencana menuju gedung rawat jalan yang satunya. Berbeda dengan Gedung Kencana yang tampak anyar, modern, dan bersih, gedung yang ini terlihat kusam, tetapi kokoh. Taman di tengah gedung modern tidak lagi menarik di mata Rosa, gadis itu lebih menyukai taman yang tampak magis dikelilingi tembok-tembok peninggalan masa kolonial.

Gedung itu telah melewati beberapa dekade yang mungkin menyimpan lebih banyak memori tentang kematian. Di sisi lain, keberadaan taman seakan memiliki peran penyeimbang. Akan selalu ada harapan dan kehidupan dari tunas yang muncul malu-malu di ketiak daun, dari kuncup bunga yang belum mekar seutuhnya, dan dari kupu-kupu maupun lebah yang membantu serbuk sari menemukan tempatnya mendarat di kepala putik.

“Kita pembagian kerja saja, ada yang ambil foto sini, ada yang ambil foto di gedung sebelah. Kamu mau yang mana?”

Ketenangan di sekitar Rosa rusak oleh suara berat seseorang. Gadis itu menoleh, mengerutkan kening, dan mengerucutkan bibir. Karena tingkah si pendatang, Rosa gagal melihat capung kawin.

“Saya ambil yang sebelah aja, Bang Janu. Mata saya sipit, hantu-hantu Belanda nggak suka lihat saya di sini.”

“Kamu pikir saya nggak sipit?”

“Kalau senyum, sipit, sih, Bang. Asalkan Bang Janu nggak banyak senyum, kayaknya aman. Bang Janu juga nggak takut sama yang begituan, kan?”

Kerutan di dahi Rosa hilang begitu saja saat mendengar seseorang yang disebut sebagai Bang Janu tertawa. Ternyata suara beratnya tidak semenyebalkan itu.

Rosa kembali memandang lurus ke taman saat dua laki-laki, yang tampaknya rekan kerja sekantor, saling berpisah. Si Bang Janu pergi menyusuri lorong dan berhenti di sisi lain taman. Karena posisi laki-laki itu berseberangan dengan Rosa, Rosa jadi lebih leluasa mengamati perawakannya.

Laki-laki itu cukup jangkung, setidaknya perdu teh-tehan yang dipangkas rapi sebagai tanaman hias pemagar jadi terlihat mini di sebelahnya. Dia tidak sekurus pasien yang menunggu di depan ruangan dokter penyakit dalam maupun segendut pasien yang tengah mengantre di depan klinik gizi, ukuran tubuhnya sangat pas. Secara keseluruhan, dia termasuk tipe ideal orang sehat jasmani. Keberadaannya cukup mencolok di antara para pengunjung rumah sakit.

Rosa membuat argumen di dalam hati bahwa orang itu mungkin akan menjadi satu-satunya laki-laki yang pantas memakai setelan berwarna hijau sage. Alih-alih mengambil foto seperti pembicaraan yang sempat Rosa curi dengar, pria itu malah memasukkan kedua tangan ke saku celana. Daya tariknya bertambah. Rosa bahkan sempat lupa bahwa dirinya mendatangi taman ini untuk menikmati nuansa hijau khas alam, bukan warna hijau yang lain.

Kejadian tertangkap basah sedang mengamati laki-laki tampan jelas lebih memalukan daripada ketahuan sedang melihat capung kawin. Lebih-lebih yang memergoki Rosa adalah si laki-laki tampan itu sendiri. Rosa celingukan mencari rute pelarian. Sayangnya, langkahnya terhenti oleh serombongan orang lewat mengantar pasien yang terbaring di ranjang beroda. Rosa tertahan di tempat sampai laki-laki itu tiba tepat di hadapannya.

“Permisi,” kata si laki-laki.

Rosa menahan napas. Ternyata senyumnya sangat manis. Matanya sungguhan menyipit! Sepertinya bukan cuma hantu Belanda saja yang tidak menyukainya. Rosa juga tidak menyukai senyum itu, terutama karena jantungnya jadi jumpalitan tak karuan di dalam rongga dada, yang berakhir menggetarkan otot diafragma, dan membangunkan kupu-kupu di perut.

“Kakak punya waktu?”

Apakah dia sejenis scammer yang pernah Rosa temui di mal Bandung Indah Plaza? Apakah setelah ini dia akan mengeluarkan buku berisi kupon diskon yang hampir setengahnya kadaluarsa? Dasar ganteng-ganteng tukang tipu!

Senyum laki-laki itu berubah canggung sebab tak mendapat balasan. “Tadi Kakak lihat-lihat taman ini. Kalau Kakak luang, saya mau tanya pendapatnya soal manfaat taman di rumah sakit. Saya lagi survei kecil-kecilan.”

Oh, dia bukan scammer*.*

“Boleh. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Rosa.

Laki-laki itu tersenyum untuk kedua kalinya. Hantu-hantu mungkin sekarang sedang memanggil bala bantuan. Sayangnya Rosa tidak punya siapa-siapa yang bisa dia ajak berbagi merasakan keanehan biologis tiap melihat senyuman itu.

“Saya Janu dari Spear Advertising Agency. Singkatnya, saya tukang bikin iklan.” Laki-laki itu menyerahkan secarik kartu nama pada Rosa. “Saya mau survei pandangan masyarakat terhadap lahan hijau di perkotaan. Kebetulan sekali kita bertemu di sini.”

Rosa mengangguk kecil. “Ya, kebetulan sekali saya satu-satunya pengunjung rumah sakit yang lagi lihat taman ini.” Jawaban itu membuat lawan bicaranya tertawa. Daripada merasakan keanehan di tubuhnya lagi, Rosa memilih mengamati kartu nama lamat-lamat. “Jadi, mau tanya apa … ‘Pak’ Janu?”

“Kakak boleh panggil saya pak, mas, bang, atau kakak. Senyamannya aja.”

Ganteng-ganteng peka.

Rosa berdeham dua kali. “Mulai aja sesi wawancaranya, Mas.”

“Nggak benar-benar wawancara.” Senyum manisnya kembali muncul. “Kita ngobrol biasa aja, bertukar pikiran.”

“Oke.”

Laki-laki itu memutar tubuh. Siku tangannya bertumpu di pagar besi, persis sama seperti sikap Rosa sebelum laki-laki itu menghampiri. Perbedaannya adalah Rosa menggenggam botol dengan kedua tangan, sedangkan tangan laki-laki itu kosong, yang kanan dan yang kiri saling menggenggam.

“Menurut Kakak, taman ini bagaimana?” Sesi tanya jawab dimulai.

“Rapi.”

Si laki-laki menelengkan kepala, tampak tidak puas pada jawaban itu. “Selain rapi, ada lagi?”

“Mau jawaban jujur?”

“Tentu saja.”

“Taman ini kurang berwarna.” Rosa mulai menunjuk satu sisi, beralih ke sisi yang lain, menggunakan botol minumnya. “Komposisinya terlalu penuh oleh warna hijau dan cokelat. Tanaman hiasnya kebanyakan tanaman hias daun dan tanaman hias pohon. Sekitar lima tahun lalu, saya masih bisa lihat tanaman bunga di taman ini. Mungkin karena biaya operasionalnya yang tinggi dan perawatannya yang cenderung lebih tricky, jadi diganti sama palem kuning. Semoga saja di antara dua tanaman anggrek di pohon yang itu dan itu cepat berbunga dan memberi sedikit warna baru.”

Rosa meringis saat menyadari dirinya terlalu banyak bicara. Laki-laki di sampingnya sedikit menganga, dengan mata berkedip-kedip lambat. Setelah beberapa detik, laki-laki itu bertepuk tangan.

“Saya kebanyakan ngomong, ya?” tanya Rosa malu.

“Jawaban bagus, terdengar seperti ahlinya.”

“Saya kalau sudah ngomongin tanaman memang begini.” Rosa mengetukkan botol ke pagar secara perlahan dan berulang untuk menghindari kegugupan. “Tapi, saya bisa diajak ngomongin hal lain, kok.”

“Saya paham.” Laki-laki itu kembali memandangi area taman. “Menurut kesimpulan saya, Kakak merasa taman ini kurang memuaskan. Betul?”

“Nggak juga.” Rosa kembali bersikap profesional. “Jawaban tadi berdasarkan preferensi saya. Sebenarnya taman di rumah sakit ini sudah bagus, kok. Bukan taman ala kadarnya. Ada lagi, tuh, taman yang lebih baik, di dekat mushola dan di Gedung Kencana.”

“Kenapa pilih lihat taman yang ini?”

“Saya?” Rosa menunjuk diri sendiri. “Saya suka sama suasananya. Di sini tenang, lebih membumi.”

“Lebih membumi bagaimana, tuh?”

Rosa mengangkat bahu. “Nggak tahu juga. Mungkin karena lebih akrab sama taman yang ini, saya jadi lebih suka ke sini.”

“Oh, bisa jadi.” Si laki-laki mengangguk. “Kakak bisa tahu perubahan tanaman bunga diganti palem kuning aja sudah keren. Tandanya Kakak memang perhatian sama taman ini.”

“Mungkin juga karena hidup saya dari dulu isinya bolak-balik rumah sakit.”

Lama tak aja jawaban, padahal Rosa sudah menyiapkan balasan seandainya si teman bicara menanyakan hal-hal yang terlalu personal, seperti “siapa yang sakit?”, “bagaimana bisa sakit?”, dan lain-lain. Ketika menoleh, Rosa langsung tersentak. Rupanya laki-laki itu tengah memperhatikannya. Mata itu kembali menyipit, tetapi bukan karena tawa. Rosa serasa sedang dikuliti hidup-hidup.

“Jawaban yang insightful.” Dia mengeluarkan ponsel. Kedua ibu jarinya menari di atas kibor. “Everlasting green, at least di hati dan pikiran. Sesuatu yang familiar cenderung menawarkan rasa aman dan nyaman ketimbang sesuatu yang asing.”

“Nggak ada green yang everlasting.” Rosa menyangkal, membuat gerakan mengetik si laki-laki terhenti. “Tanaman sama seperti manusia, mereka hidup. Sesuatu yang hidup suatu saat akan mati. Daun hijau di musim semi akan menguning di musim gugur. Itu ketentuan alam. Takdir.”

Laki-laki itu tersenyum. “Makanya, saya bilang, dia hidup di pikiran dan hati. Meskipun palem kuning di pojok sana telah menggantikan bunga, Kakak tetap mengingat di sana pernah ada bunga.” Dia memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. “Untuk menjadi begitu membekas, bunga itu harus dicintai. Kakak sangat mencintai bunga dan tanaman, makanya bisa ingat.”

Rosa bergumam. Penjabaran itu sama sekali tak salah. Logika Rosa tidak menemukan kecacatan sebagai bahan bakar perdebatan lanjutan.

“Sekarang saya tinggal cari akarnya. Bagaimana Kakak bisa segitunya mencintai bunga dan tanaman?”

Itu sebuah pertanyaan yang tidak pernah Rosa pikirkan. Berbeda dengan ketika masa kuliah dulu, dia punya alasan kuat memilih jurusan biologi, yaitu karena keluarganya memiliki warisan perkebunan bunga berhektar-hektar. Garis hidupnya sudah seperti ini, tidak pantas dipertanyakan lagi.

“Mungkin …,” Rosa terpaksa bersuara karena tak mau memperpanjang keheningan, “… karena nama saya Rosa.”

Itu jawaban paling absurd yang terlintas di pikiran Rosa. Namun, tidak ada jawaban lain yang lebih masuk akal bagi Rosa. Setidaknya pertanyaan orang asing ini membuat Rosa menyadari bahwa dia memang tidak paham mengapa dirinya harus menyukai bunga dan tanaman.

“Rosa! Gue cariin dari tadi. Ngapain ngacir jauh sampai sini?”

Laki-laki berpakaian serba gelap datang sambil mengoceh. Dia berkacak pinggang pada Rosa. Krisan terlalu gelap mata hingga tidak melihat bahwa Rosa sedang tidak sendirian.

Akan tetapi, basa-basi bukan nama tengah Rosa. Kedatangan Krisan seumpama angin segar. Tanpa merasa perlu memperkenalkan Krisan pada si orang asing, Rosa lebih dulu berpamitan dan menarik lengan Krisan untuk pergi. Kata pamitnya bahkan belum dibalas, Rosa keburu jalan.

Rosa memang tidak membutuhkannya. Dia yakin mereka tidak akan bertemu lagi di masa depan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Single Step Closer to You - Bab 44
16
5
Bab 44. OSCE Dadakan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan