Short Escape

3
0
Deskripsi

– Special edition: throwback moment(s)

Snippet:

“Gue mau kita punya momen bersama meski harus sembunyi-sembunyi gini,” sahut Jeno. “Lo itu rute short escape gue, tempat healing gue, dari semua keruwetan pikiran. Gue selalu suka tiap ada kesempatan jalan sama lo. Kalau nggak dipaksakan, gue yakin kita nggak akan bisa jalan-jalan.” Jeno meraih sebelah tangan Naya dan merematnya pelan. “Maaf kalau gue terkesan egois. Semoga lo sependapat dan tetap menganggap ini hari spesial kita berdua.”

– Genre: Romance, Drama, Slice of life

Jeno: Gue jemput. Kita jalan.

Naya melenguh membaca pesan singkat tersebut. Bukan berarti Naya tidak menyukai rencana jalan-jalan bersama. Hanya saja, Naya tak habis pikir. Jeno selalu bertindak seolah-olah Naya akan langsung menyetujui keputusannya.

Tadi siang tidak jauh berbeda. Naya kira dia menjadi penghuni kos yang berangkat ke kampus paling akhir. Baru saja membuka pintu belakang, berniat mengambil motor, Naya justru bertemu dengan Jeno yang asyik duduk di teras kamar sambil memainkan kepulan asap dari mulut. Rupanya, cowok itu sengaja menunggu Naya supaya bisa berangkat bersama. Terkuaklah alasan semalam Jeno menanyakan jadwal kuliah Naya hari ini.

“Kak Jeno bolos kelas pagi, ya?” Naya bisa mencium wangi permen karet dari vape bercampur dengan aroma parfum kayu-kayuan yang segar, saat Jeno memakaikan helm di kepalanya.

“Nggak, tuh,” balas Jeno. “Gue berangkat ke kampus pagi, bolos kelas jam sebelas, terus balik ke sini buat jemput lo.”

Jawaban datar Jeno mengundang tabokan pelan Naya. Lengan cowok itu menjadi sasarannya.

“Jangan keseringan bolos! Aku bisa berangkat sendiri.”

“Ini kemauan gue.” Jeno sedikit merunduk, membuat wajahnya sejajar dengan Naya yang bertubuh mungil. “Mentang-mentang satu fakultas, lo sering banget nebeng motor Rendra. Padahal fakultas kita juga dekat. Kenapa lo nggak pernah minta nebeng ke gue?”

“Kakak bakal curiga,” balas Naya merujuk pada Marka. “Kak Jevin juga pasti curiga. Ah, enggak! Semua penghuni rumah ini pasti curiga. Kita biasanya saling diam di depan penghuni kos lain. Masa tiba-tiba aku minta nebeng Kak Jeno?"

Sempat-sempatnya Jeno melempar senyuman manis sebelum menurunkan sun visor pelindung kepala yang Naya kenakan. Cowok itu tidak ingin berlama-lama berdebat. Jeno tak mau merusak suasana karena hari ini satu cita-citanya terwujud, yaitu berangkat ke kampus bersama gadis yang mengisi ruang hatinya.

Hingga sore, lengkungan garis mata Jeno yang indah masih terpatri kuat dalam benak Naya. Wajah yang biasanya terlihat garang, rupanya bisa membuat Naya hilang fokus jika ada senyum yang bertengger di sana. Untung saja Naya tidak melukai diri sendiri saat praktikum siang ini. Kalau boleh berpendapat jujur, Naya lebih menyukai kegiatan melamunkan senyuman Jeno ketimbang berkutat dengan aneka larutan di laboratorium biokimia.

Namun, anggapan itu runtuh seketika setelah Naya membaca pesan masuk dari Jeno. Bagaimana Naya bisa melupakan hal penting bahwa Jeno lebih sering bertingkah menyebalkan ketimbang berbuat manis? Parahnya lagi, Naya seakan terjerat untuk tak bisa menolak keputusan sepihak yang Jeno buat.

Jeno tiba tak lama kemudian. Jarak antara Fakultas Teknik dan Fakultas Kedokteran memang sangat dekat. Tidak ada macet yang menghadang, apalagi bila menempuh perjalanan menggunakan kendaraan roda dua.

Naya menghampiri Jeno yang tetap setia duduk di atas motor. Mesinnya bahkan masih menyala, seakan siap langsung tancap gas begitu Naya berhasil naik. Mau tak mau, gadis itu menerima helm yang Jeno ulurkan. 

“Perginya jangan jauh-jauh, Kak. Sudah sore. Takut Kakak nyariin.”

“Kita ke tempat teman gue dulu, habis itu bersenang-senang. Sekarang lo izin ke Mark. Bilang, mau main sama teman sampai malam."

“Kebiasaan, deh. Tukang maksa.” Naya bersungut-sungut.

“Ya sudah, kalau lo nggak mau." Jeno memutar kunci kontak hingga mesin motor berhenti menggerung. Cowok itu melempar tatapan ke depan, tidak lagi menghadap Naya. “Gue bisa antar lo pulang. Tapi, habis itu gue lanjut main ke bar.”

“Hah?”

“Gue mau mabuk-mabukkan karena patah hati.” Bagai ingin menciptakan efek dramatis, Jeno menoleh lambat-lambat. Tatapannya berubah sendu. Jeno seakan berubah menjadi anak anjing yang meminta belas kasihan. “Cewek gue nggak ingat tanggal penting. Gue sedih.”

‘Cewek gue’. Pipi Naya merona mendengarnya. Pengakuan kecil dalam hubungan tanpa kepastian ini membuat hati Naya berbunga-bunga.

“Ap– apaan?” seru Naya salah tingkah. “Tanggal penting apaan? Ulang tahun? Kak Jeno nggak ulang tahun hari ini.”

“Tepat hari ini, kita sudah satu tahun tinggal bersama di Rumah Palagan.” Sisi melankolis Jeno menyeruak. Nada bicaranya mendayu-dayu. “Lo nggak ingat sama pertemuan pertama kita di rumah itu? Padahal lo sampai bengong lihatin gue yang lagi minta kunci kamar ke Mark.”

Sontak, Naya menutupi wajah dengan kedua belah telapak tangan. Dia tentu tidak akan melupakan impresi pertamanya melihat Jeno setelah lepas dari masa-masa sekolah. Namun, dia tidak segila itu sampai mengingat tanggal kejadian. Apakah tanggal hari ini sangat berarti bagi Jeno?

Jeno berdeham. Caranya bicara kembali menghantarkan kesan dingin dan cuek. “Ya sudah. Ayo pulang!”

“Hm, aku mau jalan-jalan sama Kak Jeno," kata Naya tersipu. Ujung sepatunya memainkan kerikil. “Tapi, janji dulu. Jangan main sampai tengah malam.”

“Oke!” sahut Jeno cepat. Matanya berbinar-binar.

Saat Naya memanjat naik ke jok motor, tangannya menumpu di bahu Jeno. Karena tak kunjung merasakan pelukan Naya, Jeno sampai menoleh ke belakang. Naya yang tak mengerti, memiringkan kepala dengan tanda tanya besar tergambar di wajah.

“Pegangan gue. Peluk gue. Ini hari penting, lho,” pinta Jeno. Andai tidak sedang memakai helm, sudah pasti telinga Jeno terlihat kemerahan.

“Mau banget dipeluk?” Naya mendengkus setelah mendapat anggukkan dari cowok itu. “Iya, iya. Ini aku peluk. Kak Jeno nggak perlu kasih aku puppy eyes lagi.”

Jeno memacu kendaraan dengan cepat. Angin berembus kuat, menghantarkan wangi maskulin yang belum luntur meski Jeno telah beraktivitas seharian. Rasanya Naya ingin menyandarkan kepala di bahu Jeno, sama seperti yang pernah dia lakukan di pinggir pantai usai menyatakan perasaan pada cowok itu.

Sesuai rencana, mereka mengunjungi suatu tempat sebelum ‘berkencan’. Tempat teman yang Jeno maksud sesungguhnya adalah salah satu distro. Dari luar, Naya bisa menebak gaya pakaian yang mereka jual sangat mirip dengan yang biasa Jeno kenakan sehari-hari. Tipe pakaian serba gelap.

Tanpa banyak bicara, Jeno meraih tangan Naya untuk masuk ke toko pakaian tersebut. Naya berjengit, tetapi kekagetannya tidak berlangsung lama. Kehangatan jemari Jeno yang menyusup masuk ke sela-sela jari Naya menghantarkan debaran yang menenangkan.

Naya selalu menyukai genggaman tangan Jeno yang seperti ini. Erat, tetapi tidak menyesakkan. Dalam bahasa tubuh sederhana, Jeno menyiratkan bahwa Naya berhak mendapat keamanan sekaligus kenyamanan darinya.

“Yo! Jen!” Seorang wanita berpakaian potongan rendah bernuansa gelap menyapa Jeno ramah. Tatapannya meneliti gadis yang Jeno bawa dengan penasaran.

“Pesanan gue sudah jadi?” tanya Jeno. Basa-basi bukanlah gayanya. Dia tidak merasa perlu mengenalkan Naya pada temannya ini.

“Oh, tunggu sebentar!”

Naya mengedarkan pandangan. Ada sektor pakaian pria maupun wanita. Hanya melihat dari kejauhan, Naya tahu tak ada satu potong baju pun yang cocok untuknya. Alih-alih menjadi cewek mamba, Naya lebih suka jadi cewek kue.

Jeno melirik Naya. “Mau lihat?” tanyanya menawarkan.

“Kak Jeno aja.”

“Gue tahu baju yang cocok buat lo." Jeno justru melangkah ke deretan baju wanita. Untaian tangan keduanya yang belum terlepas, membuat Jeno seakan menarik Naya untuk mengikutinya.

Naya memperhatikan bagaimana Jeno memilah-milah pakaian. Lagi-lagi Naya seakan terlempar memasuki ruang nostalgia. Jeno pernah mendandani Naya supaya gaya berpakaian mereka senada saat menghadiri resepsi pernikahan ayah Jeno.

“Mau coba ini?" Jeno mengangsurkan satu potong crop tee berwarna gelap dengan aksen manik-manik di kerah.

“Nggak mau,” tolak Naya dengan pipi memerah. Naya tidak berani melakukan aksi unjuk pusar di hadapan Jeno.

Naya selamat dari rongrongan permintaan Jeno. Wanita yang tadi menyapa di depan pintu telah bergabung bersama mereka.

“Jen, ini pesanan lo. Dua leather jacket …,” teman Jeno sedikit memberi jeda sambil memperhatikan Naya, “couple untuk cewek dan cowok.”

Akhirnya, genggaman tangan sejoli itu lepas. Jeno sangat antusias menerima dua bungkusan dari temannya itu. Benak Naya bertanya-tanya, apakah sebenarnya Jeno punya hobi mengoleksi jaket kulit?

“Lepas,” kata Jeno sambil menarik-narik tali tas ransel Naya. “Coba ini!"

“Eh, ini untuk aku, Kak?”

Jeno mengangguk. Meskipun raut wajah Jeno datar, ada setitik kebahagiaan di sorot matanya. “Couple gue siapa lagi kalau bukan lo? Ayo, coba! Gue juga coba.”

Entah Naya yang buta fashion atau bagaimana, tidak ada keistimewaan khusus dari jaket kulit yang melekat di tubuhnya. Modelnya simpel dan benar-benar mirip dengan milik Jeno. Perbedaannya cuma terlihat pada potongan di bagian dada dan pinggang yang menyesuaikan dengan pola pakaian wanita.

“Gue boleh usul, nggak, Jen?”

Jeno membalas tatapan temannya. “Ada apa, Kei?"

Outfit cewek lo nggak cocok dipadankan dengan jaket pilihan lo."

Jeno mengangguk setuju. Naya agak risih mendapat tatapan bak mesin pemindai dari Jeno dan Kei.

“Tadi gue lagi pilih-pilih baju, tapi cewek gue nolak. Lo ada rekomendasi yang cocok?”

Lima menit berikutnya, Naya telah berganti pakaian serba hitam. Untungnya, Kei memilihkan pakaian paling aman buat Naya. Meski potongannya tampak berani –kaus hitam tipis lengan pendek sebagai inner, celana jin dengan aksen bolong-bolong di bagian lutut, serta jaket kulit– setidaknya masih cocok Naya kenakan sehari-hari.

Jeno sempat terpaku melihat perubahan penampilan Naya. Namun, keterpanaannya tak berlangsung lama. Jeno menyambar tote bag warna putih dari gantungan, lantas menyuruh Naya memindahkan dompet dan ponselnya ke sana.

“Baju sama ransel lo titipin ke Kei dulu. Besok pagi gue ambil,” kata Jeno ketika Naya menuntut alasan. “Tempat yang bakal kita datangi berikutnya punya peraturan khusus; dilarang bawa ransel. Ayo, buruan! Sudah jam segini.”

Cara Jeno membelah jalanan terasa lebih gila daripada sebelumnya. Kali ini, Naya otomatis melingkarkan lengannya kuat-kuat di pinggang Jeno. Tujuannya hanya satu: Naya tidak ingin terbawa angin apalagi terpelanting.

“Kok, ke sini?” tanya Naya usai melepas helm. Dia agak tak percaya bahwa Jeno mengajaknya ke festival musik bergengsi di Yogyakarta.

“Gue kenal promotornya, teman bokap.” Jeno segera menyambar tangan Naya dan menggenggamnya. “Lewat sini. Kita nggak perlu antre. Ada jalur VIP.”

Naya beruntung tidak perlu bersusah payah berdesak-desakkan di pintu masuk. Naya pernah mendengar bahwa ayah Jeno memiliki bisnis di dunia hiburan. Namun, dia sama sekali tidak menyangka bisa mencicipi sedikit keuntungan hasil dari menjalin hubungan dengan Jeno.

“Lo suka lagu-lagunya Tulus, kan?” tanya Jeno setengah berteriak. Suasana ramai di sekitar yang memaksanya berbuat demikian. “Dia tampil di tengah dan penghujung acara.”

Naya mendongak. Senyumnya merekah. Bagaimana Jeno bisa tahu bahwa lagu-lagu Tulus selalu menemani Naya bersiap-siap tiap pagi? Pertanyaan itu hanya berani Naya lontarkan di hati. Perasaan Naya terlalu berbunga-bunga karena sadar Jeno memperhatikannya sebesar itu.

Selama festival musik, Jeno lebih sering memperhatikan sekitar. Dia biarkan Naya menikmati hiburan di atas panggung. Jeno tak ingin ada oknum jahat yang sok dempet-dempet, padahal itu hanya kedok untuk grepe-grepe. Sebagai gantinya, Jeno dapat menikmati senyum lebar Naya hingga acara selesai.

“Lapar, nggak?” tanya Jeno. Dia menunggu Naya memasang helm-nya sendiri di kepala.

Naya mengangguk-angguk lucu. Percuma Jeno memilihkan setelan garang untuk ceweknya itu. Naya terlalu manis dan menggemaskan layaknya strawberry shortcake.

“Aku boleh pilih menu?” tanya Naya. “Aku mau makan nasi goreng amang-amang. Bebas yang mana aja.”

Acara kencan ala Naya dan Jeno memang tidak bisa dipisahkan dari wisata kuliner. Sampai malam keduanya betah berlama-lama di warung nasi goreng. Naya berceloteh banyak hal tentang kesehariannya berkuliah. Seperti biasa, Jeno akan mendengarkan seraya memasang wajah teduh.

“Gue mau bikin pernyataan jujur,” ujar Jeno saat Naya hampir beranjak pergi, mau membayar makanan.

Naya kembali duduk di hadapan Jeno dengan raut wajah bertanya-tanya. “Ada apa?”

“Sebenarnya hari ini bukan tanggal penting. Gue juga nggak ingat kapan pertama kali kita tinggal di bawah atap yang sama.” Jeno membuat pengakuan yang membuat Naya sedikit melongo. “Tapi, setelah dilewati sama-sama, hari ini tetap terasa spesial, kan?”

“Jadi, Kak Jeno bohong?”

“Gue mau kita punya momen bersama meski harus sembunyi-sembunyi gini,” sahut Jeno. “Lo itu rute short escape gue, tempat healing gue, dari semua keruwetan pikiran. Gue selalu suka tiap ada kesempatan jalan sama lo. Kalau nggak dipaksakan, gue yakin kita nggak akan bisa jalan-jalan.” Jeno meraih sebelah tangan Naya dan merematnya pelan. “Maaf kalau gue terkesan egois. Semoga lo sependapat dan tetap menganggap ini hari spesial kita berdua.”

Naya sangat memahami perasaan Jeno yang mudah kesepian. Cowok itu terlalu sering memikul rasa sakit sendirian. Hal yang dapat Naya tawarkan adalah tempat bernaung yang tak seberapa luas. Bila tidak bisa mengumumkan jenis hubungan ini pada dunia, biarlah mereka membuat dunia yang terpisah.

“Kak Jeno lagi ada masalah?” Naya melingkupi genggaman tangan Jeno dengan tangannya yang bebas.

“Masalah datang dan pergi, Naya. Gue lagi nggak mau ngomongin itu." Jeno menarik sebentuk senyum, meski senyum itu tidak mengalir ke mata. “Hari ini jadi indah dan spesial karena gue bisa menikmati waktu sedikit lebih lama berdua sama lo daripada hari biasanya.” Jeno menunduk, lantas memperhatikan tautan jemari mereka. “Gue harap, lo juga melakukan hal yang sama gue. Jadikan gue tempat healing lo yang paling nyaman.”

Naya tersenyum. Dia menggoyang-goyangkan tangan mereka supaya suasana kembali ceria. “I'll use your service to the fullest, Kak Jeno."

***

Beberapa tahun kemudian

“Kak Jeno.”

“Hm?” Jeno bergumam tanpa melepaskan tatapan dari televisi berlayar tipis. Pria itu baru bereaksi ketika Naya duduk menyamping di atas pangkuannya. “Ada apa?”

“Anak-anak sudah tidur.”

Sudut bibir Jeno terangkat. Senyum miringnya mengiringi gerakan tangan yang semangat menggerayangi punggung Naya. Sebelum suaminya berbuat makin jauh, Naya segera mencegah.

“Nggak setiap tingkah manja aku bisa diartikan sebagai ajakan tidur bareng,” elak Naya. Kedua tangan Naya menangkup pipi Jeno supaya tatapan Jeno tidak terus-menerus terpaku pada bibirnya. “Aku mau minta jenis service yang lain.”

Jeno menyerahkan beban tubuh ke sandaran sofa seraya mengamati raut wajah Naya. Seharian ini Naya bertingkah tidak seperti biasa. Naya minta pelayanan ranjang terlampau pagi sebelum sibuk mengurus urusan domestik. Naya juga minta pelayanan antar-jemput Jeno meski harus sedikit menunggu karena letak kantor Jeno yang agak jauh. Bagai belum cukup, Naya secara terang-terangan minta disuapi Jeno saat makan malam. Jeni dan Nono sampai bingung kenapa ibu mereka begitu.

“Perut kamu isi lagi?” Jeno mengusap perut Naya dengan gerakan berputar. “Waktu hamil Nono, kamu juga super duper manja kayak gini.”

“Bukan itu." Naya mengambil ponsel dan mengutak-atiknya sesaat, sebelum memperlihatkannya pada Jeno. “Ingat ini?”

Naya menunjukkan foto mereka berdua ketika masih muda. Foto itu diambil di tengah acara festival musik. Naya dan Jeno tersenyum lebar ke arah kamera dan tidak memedulikan keramaian sekitar. Di tengah lautan manusia, mereka memiliki dunia eksklusif berdua.

“Kamu masih simpan foto ini?” Jeno sungguhan takjub. “Aku pikir kamu sudah hapus semua hal tentang aku setelah sempat pacaran sama Julian.”

“Kemarin aku lagi beresin file di hard disk dan nemu foto ini.” Naya meletakkan ponsel di meja. Kedua lengannya terangkai di balik leher Jeno. “Aku kangen sama masa-masa itu. Seharian manja ke Kak Jeno, rasanya belum cukup.”

Jeno terkekeh. Matanya sampai tenggelam. Naya tak tahan untuk menanamkan kecupan di pipi suaminya. Jeno menyambut dengan penuh suka cita. Tanpa ragu, Jeno menginisiasi ciuman panjang yang menyenangkan.

“Kalau belum cukup, mau ngapain lagi?” tawar Jeno. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Naya yang sedikit membengkak.

“Pacaran, yuk." Naya buru-buru menambahkan seraya menutup mulut Jeno dengan sebelah tangannya. “Tapi, bukan pacaran olahraga kayak yang biasa kita lakukan setelah resmi pacaran.”

Jeno menurunkan tangan Naya. “Maksudnya … kamu mau mengulang masa-masa kita backstreet dulu?”

Naya mengangguk-angguk semangat. “Nggak lama setelah pacaran yang direstui Kakak, kita langsung menikah. Terus, tahu-tahu Jeni datang. Aku belum puas main berdua sama Kak Jeno.” Naya memainkan rambut di belakang kepala Jeno demi menutupi rasa malu. “Kehidupan berkeluarga capek banget, nggak, sih? Aku butuh rute short escape dan tempat healing.”

Kalimat terakhir sangat familier di telinga Jeno. Dia selalu berkata demikian jika sedang lelah oleh segala lukanya di masa lalu. Jeno yakin, permintaan Naya sekarang tidak main-main. Meskipun bukan berbentuk luka, Naya pasti butuh tempat pelarian dari rasa jenuh.

“Ayo, pacaran," sahut Jeno tanpa pikir panjang. “Mau bulan madu sekalian? Toh, tabungan ASI kamu masih banyak tuh di chiller. Persediaan buat Nono pasti aman.”

Naya bergelayut manja di bahu Jeno. “Aku lagi nggak mau mikirin anak-anak. Kak Jeno aja yang mikir.”

Ucapan Naya barusan dapat menjadi sasaran empuk bagi mulut nyinyir sebagian ibu-ibu di luar sana. Sifat keibuan Naya akan dipertanyakan. Namun, Jeno tidak begitu. Jeno sangat mengenal Naya, bahkan belajar banyak darinya. Naya selalu mendengarkan keluhan Jeno, seburuk apa pun itu, tanpa ada tendensi menghakimi.

Sejak putri mereka lahir hingga anak kedua berusia satu tahun, tidak sehari pun Naya tidak mencurahkan kasih sayangnya sebagai ibu. Meski jatuh sakit, Naya mengusahakan segalanya aman terkendali. Rengekan Naya barusan tidak mengurangi nilainya di mata Jeno. Selain sebagai ibu, Jeno ingin istrinya hidup sebagai dirinya sendiri.

Jeno mengecup kepala Naya. “Oke. Nanti aku pikirkan. Kamu tinggal bilang yes or no. Untuk rencana pacarannya, mau aku juga yang atur?”

“Kalau itu, susun bareng dong!” Naya mengusapkan keningnya di bahu Jeno, mencari kenyamanan di sana. “Aku mau nonton festival musik lagi, pakai dandanan gelap-gelap lagi, naik motor berduaan lagi.”

Keheningan menyergap keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meski saling diam, Jeno tetap meladeni keinginan Naya. Jeno berusaha keras memanjakan Naya yang betah sekali duduk meringkuk di pangkuannya dan membenamkan diri di pelukannya.

Ilfeel sama aku nggak, Kak?”

“Hm?” Jeno mengusap-ngusap punggung Naya  “Ilfeel kenapa?”

“Aku manja nggak tahu umur.”

“Kenapa harus ilfeel?” Jeno mendengkus, seakan itu adalah pertanyaan terkonyol sedunia. Dia tersenyum saat Naya mengangkat kepala dan memandangi matanya lamat-lamat. “Gantian. Let me take care of you. You just use my service to the fullest, Naya.” 

***

Pasangan Jeno-Naya adalah salah satu pasangan yang aku sayaaang banget. Hubungan mereka yang dulunya toxic (lebih sering komuniasi satu arah), berubah jadi pasangan yang sangat mengedepankan komunikasi setelah menikah 🥺

Sedih deh kalau ingat apa aja yang harus Jeno lalui supaya sampai ke titik sedewasa ini. Huhu, you did well my baby Alejandro 😖

Untuk yang mau tahu back story pendewasaan Jeno, novel versi yang belum disunting bisa dibaca di wattpad berjudul “A Book of Alejandro”. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Alejandro
Selanjutnya Dia Bukan Milikku
3
0
Extra Chapter dari buku “Come Back Home”.Bagaimana jika perundingan di bab ke-38 “Come Back Home” tidak berakhir dengan baik?— Special Edition: What if“Adek?” Haiyan membelalak. “Naya lagi hamil?”— Romance, slice of life
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan