Cerita Pendek Tentang Toko Kue

7
0
Deskripsi

Cerpen pertamaku yang menggunakan sudut pandang orang kedua. Eksperimen!!!

Setiap sore, selepas kerja kau selalu menyempatkan datang ke toko kue di ujung jalan hanya untuk menikmati sepotong cupcake moka yang menurutmu memiliki rasa istimewa.

Langkahmu terhenti tepat di sebelah pintu kaca toko kue itu. Kau menoleh ke samping, memastikan penampilanmu. Setelah yakin kau sempurna, kau memasuki toko itu.

Sebuah etalase berisi macam-macam kue menyambutmu. Kau menundukkan badan sambil mencari-cari di mana cupcake moka favoritmu.

Seorang pelayan yang sudah hapal dengan kedatanganmu berkata, "Cupcake moka? Lima menit lagi ya, mbak."

"Saya tunggu di kursi sebelah jendela itu ya," ucapmu sambil menunjuk ke sebuah meja di sudut ruangan. 

Sebelum sampai di meja, kau menghentikan langkah sembari melirik ke arah dapur yang dibatasi oleh kaca. Setelah itu kau menoleh lagi ke arah kasir. "Hot chocolate ya, mbak," imbuhmu kepada pelayan yang tadi. Matamu masih mencari ke dalam dapur. Belum kau temui apa yang kau cari.

Kau berjalan kembali ke meja. Dari situ kau bisa melihat dapur dengan leluasa.

Tak lama kemudian, pelayan wanita tadi menghampirimu dengan sebuah nampan berisi cupcake moka dan cokelat panas yang asap tipisnya masih mengepul ke udara. Aromanya menguar, baik cupcake dan cokelat panasnya, perpaduan yang sangat sempurna.

"Silahkan dinikmati ... " ujar pelayan wanita.

"Terima kasih banyak, mbak Meta," balasmu sambil melirik papan nama di bajunya, memastikan bahwa dirimu tak salah sebut nama.

Pelayan itu berlalu. Kau melirik jam di tangan kananmu, pukul 4.30 sore. Kau meraih cupcake moka dan menggigitnya. Rasa istimewa itu seketika lumer di lidahmu dalam satu gigitan.

"Benar. Ini pasti buatanmu. Aku yakin kau pasti ada di dalam," batinmu.

Kau menggigitnya lagi hingga tandas.

Bunyi ponsel dari dalam tas mengusikmu. Ada panggilan tak terduga yang mengharuskanmu segera pergi dari tempat itu. Kau menyeruput cokelat panas yang masih penuh, setelah itu langsung beranjak pergi dengan perasaan tak utuh.

Suara dari dalam dapur masih normal seperti biasa, namun hatimu terasa berbeda.

Langkahmu terhenti, padahal tak ada yang menghalangi di depan. Hatimu masih tertinggal di dalam dapur. Perasaanmu masih menyatu dengan setiap harum adonan yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan.

Sejurus kemudian tanganmu meraih ponsel dan mulai mengetik sebuah pesan bahwa kau akan datang sedikit terlambat.

Setelah pesan terkirim, kau segera membalikkan badan dan kembali ke mejamu saat seorang pelayan sedang membereskannya.

"Eh mbak, maaf. Ada yang tertinggal?" tanya pria itu dengan sopan.

"Enggak ada, kok, Mas. Ternyata saya masih mau disini," jawabmu.

Laki-laki itu menjadi ragu untuk melanjutkan tugasnya. Ia terdiam sepersekian detik.

"Nggak papa, Mas. Di bereskan saja. Nanti kalau saya lapar, saya pesan lagi," ujarmu.

"Maaf ya, mbak."

Kau mengangguk sambil tersenyum. Matamu masih tertuju pada tempat yang sama, dapur.

Tiba-tiba, sosok yang selama tiga puluh menit terakhir kau tunggu muncul. Darahmu berdesir kencang.

"Sudah cukup hari ini!" ucapmu pada diri sendiri.

Sebelum kau meninggalkan tempat itu, kau curi-curi melirik ke dalam dapur. Tanpa sengaja kau bertemu pandang dengannya. Kau terkejut bukan main. Secara spontan kau berlari keluar tanpa melihat sekelilingmu.

Tiba-tiba

Brak ...

Kau merasakan sakit di sekujur tubuh. Pandanganmu kabur. Beberapa orang mengerumunimu setelah kau terlempar beberapa meter akibat hantaman sebuah minibus tepat di depan toko kue. Sayup-sayup kau mendengar suara di sekitarmu hingga semua benar-benar hilang dan gelap.

Beberapa orang keluar dari toko kue, termasuk laki-lakimu. Saat itu ia berkata, “Ada apa ribut-ribut? Sudah, ayo kembali kerja!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Curhat Tengah Malam (Part 1)
3
0
Perempuan itu harus mandiri. Kalau nanti menikah, terus kalian cerai atau suamimu meninggal siapa yang mau membelikanmu tas Channel keluaran terbaru?—Calon manten galauNah, sekarang aku sudah bisa melamarmu?Kami berdua duduk di tepi kolam air mancur di salah satu lobi mall sambil menyedot boba. Kedua mataku silau oleh kilatan cahaya yang terpantul dari sebuah cincin berlian yang Aidan surukkan ke arahku. Benda yang Aidan bawa itu bukan hal baru sebenarnya. Meski demikian, aku selalu dibuat terkejut setiap kali benda itu disodorkan oleh Aidan kepadaku. Sudah tujuh kali aku melihatnya dengan format berbeda.Yang pertama, waktu itu aku baru ulang tahun yang ke 25. Saat itu Aidan sudah 31. Dia langsung datang ke rumah sambil membawa cincin berlian yang menyilaukan mata mamaku. Maklum, yang berkilau-kilau begitu memang kesukaan mamaku. Sejak saat itu mama terus mendesakku untuk segera menikah dengan Aidan sebelum ia disamber orang. Ditambah lagi, satu bulan sebelumnya sahabat baikku Diani juga baru menikah dengan pengusaha batu bara. Bertambahlah bahan perbandingan Mama. Tuh kayak Diani dong. Pintar cari suami pula. Tunggu apa lagi, Aidan udah nungguin dari kamu umur 15 tuh. Bahaya kalau dia ketemu yang lain, ucap Mama panjang kali lebar kali tinggi setiap kali kami duduk di meja yang sama.Karena saat itu aku sedang menikmati masa-masa menjadi budak korporat paling berdedikasi segedung, kuminta Aidan untuk menunda rencana itu sebentar saja. Aku memberi tekanan penuh pada kata sebentar. Bahkan sampai menggunakan jempol dan telunjuk untuk mengisyaratkan bahwa kata sebentar itu memang sebentar sekali. Mama bagaimana? Jangan ditanya. Ia emosional sekali. Beruntung Papa masih bisa memaklumi keputusanku. Mungkin juga karena Papa takut kehilangan anak perempuan mereka satu-satunya setelah mama melahirkan tiga orang bodyguard-ku.Cincin berlian itu kulihat lagi saat aku berumur 26 kurang 1 hari. Sebentar bagi Aidan ternyata cuma tahan 1 tahun ya? Sementara aku merasa setahun itu kurang lama. Seperti baru kemarin saja. Dan menurut Aidan, ia hampir karatan menunggu momen hari itu.Jadi waktu itu Aidan membawa cincin berlian yang sama dengan tahun lalu. Ia menjemputku ke kantor yang ada di kawasan SCBD. Omong-omong kantor dia ada di Cikarang. Ceritanya dia mau kasih kejutan. Tapi ternyata aku meeting sampai malam. Alhasil dia harus menungguku sampai kusut di kedai kopi yang ada di lobi kantor.Ixora! serunya sesaat setelah aku melenggang santai melintasi kedai kopi tempat Aidan menunggu. Aku terperangah mendapati Aidan ada di sana. Ia berlari ke arahku dan berjongkok dengan satu kaki menempel lantai. Ia mengangkat kotak merah mungil ke hadapanku sambil berkata, Ixora, will you marry me?Orang-orang di sekitarku otomatis merekam. Seleb bukan, pejabat juga bukan, tapi kami direkam. Pertanyaanku, apakah habis ini kami jadi viral? Tentu saja aku terkejut lagi saat itu. Itu adalah saat-saat yang paling dinantikan setiap wanita kepada pasangannya kan? Kali itu aku tercenung. Teringat obrolanku bersama Diani dan Renata. Mereka berdua itu sahabat karibku. Teman baikku. Dan temanku memang cuma mereka berdua, sih. Satu hari sebelum Diani menikah, ia mewanti-wanti kami. Perempuan itu harus mandiri. Kalau nanti menikah, terus kalian cerai atau suamimu meninggal siapa yang mau membelikanmu tas Channel keluaran terbaru? ucapnya sambil membanggakan diri karena berhasil mutasi ke Palangkaraya agar bisa selalu bersama suaminya. Minimal kita mesti punya pemasukan sendiri. Terserah lo mau ngapain, yang penting lo punya duit sendiri. Paham?! Kedua mata Diani memelotot. Telunjukknya terangkat memperingatkan aku dan Renata. Kami berdua pun mengangguk-angguk macam anak ingusan diperingatkan ibunya.Will you mary me, Ixora? Ternyata Aidan masih menunggu jawaban. Orang-orang yang ikut merekam momen itu pun ikut-ikutan tegang. Yang benar saja, memangnya kami ini tontonan?Absolutely, yes!!! ucapku. Semua orang bertepuk tangan. Sebelum Aidan melingkarkan cincin di jari manisku, aku langsung menarik ia berdiri dan hampir melumat bibir tipisnya—tapi nggak jadi karena enak saja orang-orang ini menonton adegan hot gratisan—akhirnya aku memeluknya, setelah itu menyeretnya ke parkiran.Yang barusan itu, enggak benar-benar 'Yes' Aidan, kataku saat Aidan dengan sumringahnya menggenggam tanganku menuju basement.Aidan berhenti melangkah. Ia menatapku dalam-dalam sambil tersenyum simpul. Kamu ngomong apaan, sih?Mana mungkin aku bilang enggak di atas sana, Aidan. Aku enggak mau kamu malu, akuku tanpa melihat wajahnya. Aku tidak tega. Aku belum siap, Aidan.Aidan meraih tanganku. Kemudian ia menyentuh daguku dan meluruskan pandangan kami lurus-lurus. Dengar Xora, aku sudah siap. Di saat aku siap, tidak perlu ada lagi yang kamu ragukan. Apa yang kamu khawatirkan, Xora? Rumah? Mobil? Jalan-jalan ke luar negeri? Bahkan kalau kamu mau melanjutkan studimu, silakan. Gimana? Aku sudah sempurna, kan? Tidak ada yang perlu kamu takutkan, Xora.Nah itu. bagaimana kalau nanti tiba-tiba Aidan sudah nggak sayang sama aku? Terus dia cari wanita idaman lain? Bagaimana kalau di pertengahan jalan Aidan meninggalkanku? Atau bagaimana kalau kami sedang bertengkar, lalu aku mengancam untuk pulang ke rumah orangtuaku, dan Aidan tidak menyusulku? Aidan, bisa tunggu sebentar lagi?Tsk. Tunggu apa lagi, Ixora? Aidan bertanya dengan emosional.Aku belum siap.Ah kata-kata itu kan sudah kusebutkan tadi. Ayo berpikir Ixora ... cari alasan yang lebih bisa diterima Aidan. Aku sebenarnya ... ehm ... lagi sakit. Whaat?! Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri. Kenapa bisa kepikiran sakit, sih?Raut wajah Aidan yang sebelumnya emosional berangsur-angsur melembut. Kemudian berubah jadi khawatir. Sakit apa? Kok kamu enggak pernah bilang sama aku, sih?Begitulah drama yang kubuat. Cuma bertahan dua hari karena setelah itu Aidan bicara pada Mama. Aku pun harus mengaku kalau alasan yang sebenarnya adalah, 'Belum siap'. Mama murka lagi. Setelah itu, setiap kali Aidan mau melamar, ia cuma bertanya, Udah boleh belum?Omong-omong, aku pernah sampai kabur dari rumah karena Mama marah besar setelah lagi-lagi aku menolak lamaran Aidan. Entah lamaran yang ke-4 atau ke-5. Aku sampai kabur dari rumah waktu itu. Dramatis sekali sampai aku bingung sendiri mau kabur ke mana. Renata juga baru saja menikah dan pindah ke Medan mengikuti suaminya. Aku tidak punya tempat berlindung. Hotel banyak sih. Cuma waktu itu yang ada di otakku hanya Aidan.Kamu kabur karena enggak mau nikah sama aku, tapi kaburnya ke tempatku. Ini konsepnya gimana ya kalau boleh tahu? oceh Aidan saat menyiapkan kamar tidurnya untuk kutempati. Aku cuma menyengir lebar menanggapi omelan Aidan. Mau langsung aku kawinin aja malam ini? Mama Papamu mungkin bakalan senang. Aidan tertawa menyebalkan. Ini termasuk merendahkan nggak ya? Atau aku sebenarnya sedang merendahkan diriku sendiri. Ah bodo amat.Jadi gimana? Ini lamaran yang kedelapan kalau aku enggak salah hitung. Pertanyaan Aidan menyadarkanku dari lamunan. Ia bertanya sambil menyedot bobanya yang tinggal sepertempat. Tangan kanannya masih menggenggam cincin legendaris itu. Saat aku akan menjawabnya, lampu mall tiba-tiba reduh. Kemudian terdengar sayup-sayup suara gesekan biola. Lantas pandangan orang-orang terpusat pada kami berdua. Kayaknya jadi de javu. Perlahan cahaya menyinari kami berdua. lalu bergeser ke air mancur. Oke, ternyata sekarang tepat pukul delapan malam. Saatnya air mancur di belakang kami berdansa dengan cahaya warna-warni dan juga iringan musik klasik yang indah.Aku mengajak Aidan bergeser agak tidak jadi pusat perhatian. Namun lelaki kesayanganku itu bergeming. Gila, jangan drama lagi Aidan...Saat Aidan akan merunduk seperti dulu, aku langsung menarik lengannya dan menyenggol tangan Aidan.Plung.Kotak merah imut berisi cincin berlian itu nyemplung ke dalam kolam air mancur yang berdansa seolah mengejek kami.   
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan