
Awal Mula Pemerintahan di Jawa
W.P Groeneveldt dalam bukunya Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources, yang diterbitkan tahun 1880, Ia menterjemahkan catatan China yang menyebutkan bahwa pemerintahan/kerajaan di Jawa dimulai sejak tahun 65 SM. Namun kelanjutan dari laporan ini tidak ada, sehingga siapa yang memulai kita tidak pernah tahu.
Sebelum pendatang dari India mendirikan kerajaan Tarumanagara di Pulau Jawa abad ke-5, orang-orang Melayu yang berdatangan...
SERAT ANGGALARANG, PERSPEKTIF LAIN DALAM SEJARAH SUNDA
4
0
22
Berlanjut
Terdiri dari 55 Bab, Serat Anggalarang adalah penulisan ulang kisah masa lalu di Tatar Sunda sejak awal Masehi hingga keruntuhan Pajajaran namun dengan perspektif dan analisa yang berbeda. Silahkan kecewa karena Sunda bukan bangsa yang sudah ada sejak zaman sebelum masehi. Sunda sebagai identitas kesukuan baru muncul di abad 10-11. Kerajaan Salakanagara juga tidak pernah ada. Maharaja Sri Jayabhupati bukanlah orang Sunda dan dianggap sebagai penjajah. Kekuasaan Sunda dan Jawa pernah ada dalam satu naungan yang sama. Konflik antara Sunda-Jawa di masa lalu adalah nyata. Prabu Siliwangi dengan segala cerita-cerita dibaliknya adalah kisah fiktif dan banyak kekeliruan analisa terkait dengan tokoh Prabu Siliwangi. Urutan dan jumlah Raja-Raja Sunda di buku ini juga tidak sama dengan yang selama ini mungkin anda pernah lihat. DAFTAR ISIAji SakaAwal Mula Pemerintahan di JawaPtolomeus, Bangsa Eropa, dan Nama Salakanagara Yang Tak Pernah AdaBerdirinya TarumanagaraLokasi Istana, Wilayah, Agama dan Periode Waktu TarumanagaraPenggambaran Sosok PurnawarmanSundapura sebagai ibukota Tarumanagara?Raja Lain Setelah PurnawarmanKaitan Kutai dan TarumanagaraMunculnya Kerajaan Maju di SumateraDulu.. China Tak Pernah Menganggap Kita SetaraLetusan Krakatau, Munculnya Nama Banten, dan Kemunduran TarumanagaraSaat Inilah Sunda Bermula (Persaingan Politik Melayu – India)Gold, Glory, Gospel adalah LumrahPembangunan Candi di BatujayaGalunggung dan Kemunculan Kerajaan di TimurKonsep Putra Mahkota Tidak Jatuh Pada Anak PertamaWilayah Sunda dan Galuh, Kerajaan Tidak Mutlak Harus Memiliki Nama ResmiDimanakah Pusat Kerajaan Galuh?Prahara Keluarga WretikandayunTrarusbawa Penguasa BaruAgresi SriwijayaKudeta PurbasoraTrarusbawa Wafat, Balas Dendam SanjayaGalunggung Sebagai Induk KerajaanSanjaya Sang PenaklukKetika Galuh Berkuasa atas Jawa, Sumatera, dan SemenanjungPerjanjian Damai Sanjaya dan Sang SeuweukarmaSanjaya Berkuasa di MedangRakai Panangkaran dan Kekuasaan TunggalPemberontakan Rahyang Banga dan Legenda Ciung WanaraMedang Berjaya di Bawah Kekuasaan PanangkaranSuksesi Kepemimpinan MedangMunculnya Rahyangta Wuwus, Kemerdekaan Sunda Selama 72 TahunDyah Balitung dan Letusan Gunung MerapiEra Baru Sunda – Galuh, 43 Tahun Merdeka Di Bawah 4 MaharajaHukuman untuk Sunda – GaluhDari Politik Menjadi Eksklusivitas KesukuanSri Jayabhupati Bukan Orang SundaPerang Panjang Sunda-JawaSunda – Galuh Bangkit KembaliSingasari dan Kekecewaan Prabu DarmasiksaPendeknya Periode Kekuasaan Raja-Raja Sunda Galuh Pasca DarmasiksaGajah Mada dan Sumpah PalapaPerang Bubat Hanyalah Puncak Gunung EsKonflik Sunda-Jawa berakhirKemunduran Majapahit, keemasan Sunda-GaluhPrabu Siliwangi, Maung, dan Kisah FiktifPajajaran Yang SejajarPolitik Global, Islam dan PajajaranRangkaian Kisah dan Urutan Raja Pajajaran Hingga Masa Berakhirnya, Upaya Penggabungan Kisah Babad Dengan Sumber HistorisKota PakwanOrang Sunda Juga Pelaut dan PedagangGaya Berpakaian dan Budaya Lainnya di Zaman KerajaanUrutan Raja Sunda versi Serat Anggalarang PENDAHULUAN Mengintip hampir 1500 tahun peristiwa masa lalu yang terjadi di tatar Sunda (sampai dengan tahun 1579), bukanlah sesuatu yang mudah. Sumber-sumber primer yang ada, seperti peninggalan prasasti, arca maupun bangunan bersejarah di tatar Sunda, meninggalkan banyak “lubang” di sana-sini sebagai catatan peristiwa. Sehingga hal itu harus “ditambal” dengan sumber sekunder seperti catatan atau naskah, baik dari dalam maupun luar negeri, itu pun sangat-sangat tidak mencukupi, banyak peristiwa yang masih gelap dan tak terungkap.Adapun “sejarah” yang beredar di masyarakat, yang selama ini saya yakini sebagai sejarah ternyata sumbernya entah darimana. Setelah diteliti secara seksama, dengan membandingkan dengan sumber yang saya kategorikan sebagai sumber primer maupun sekunder, jelaslah sudah bahwa beberapa kisah yang beredar ternyata tidak memiliki landasan yang kuat. Atau meskipun itu bersumber, ternyata diambil dari sumber yang sebenarnya lebih bersifat karya sastra dibandingkan catatan historis.Setelah bertahun-tahun berkutat diantara kisah-kisah yang membingungkan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menyusun Serat Anggalarang, Perspektif Lain dalam Sejarah Sunda ini, tentunya dibatasi oleh sumber-sumber yang saya yakini valid saja, ditambah analisa pribadi sebagai pengembangan dari sumber yang dikumpulkan.Analisa dalam penyusunan peristiwa masa lalu adalah lumrah, sebenarnya banyak sekali sejarah yang berlandaskan analisa para ahli. Analisa tersebut kemudian dipahami sebagai kebenaran mutlak, padahal tidak demikian, sekalipun ia datangnya dari ahli, namun tetap tidak bisa disebut sebagai kebenaran mutlak.Saya memang tidak memiliki background dalam ilmu sejarah, hanya sekedar memiliki ketertarikan dengan sejarah, namun kali ini saya mencoba untuk “membebaskan diri” dalam meneropong dan menganalisa. Dalam beberapa hal, saya juga mencoba melepaskan dari pendapat siapapun. Serat Anggalarang adalah kemerdekaan berfikir pribadi. Saya tidak mengklaim catatan ini sebagai kebenaran sejarah, saya juga tidak berharap catatan ini untuk diikuti. Ini bukan buku sejarah, karena itu tidak disusun berdasarkan metodologi penulisan yang akademis. Catatan ini hanyalah cara saya dalam memandang masa lalu.51 Bab pertama, Serat Anggalarang disusun menurut kronologis waktu. Sementara bab selanjutnya hanyalah tambahan yang tidak terikat oleh waktu. Dalam menuliskan nama ibukota Kerajaan Sunda, buku ini menggunakan ejaan ‘Pakwan’, sebenarnya ini hanya masalah selera saja, jadi Pakwan atau Pakuan sebenarnya sama saja, dilafalkannya pun sama. Tidak ada yang lebih benar dari keduanya. Bandung, Januari 2022
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
BAB 3 - PTOLOMEUS, BANGSA EROPA, DAN NAMA SALAKANAGARA YANG TAK PERNAH ADA
1
0
Pomponius Mela, ahli Geografi dari Yunani. Membuat sebuah peta di tahun 43 M, dimana di bagian kanan atas peta terdapat nama Taprobana Insula (Pulau Srilanka), Solis Insula (Pulau Matahari), Chryse Insula (Pulau Emas) dan Argyre Insula (Pulau Perak). Apakah Pomponius Mela membuat peta berdasarkan pelayarannya? Sepertinya tidak. Dia hanya mencoba menggambarkan negeri-negeri yang dekat dan sudah dikenalnya, sementara untuk wilayah yang jauh hanyalah perkiraan. Ini jelas terlihat dari posisi dan besar/kecil pulau yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada.Untuk Pulau Srilanka tidak perlu diperdebatkan. Untuk pulau matahari, emas, dan perak sepertinya memang tambahan saja. Pulau Matahari adalah penamaan dari orang-orang dahulu, karena menganggap ada pulau di ujung timur, dimana timur adalah tempat terbit matahari.Gaius Plinius Secundus (hidup di kisaran tahun 23–79 M), seorang filsuf dari Romawi menulis bahwa Di luar mulut Indus adalah pulau Chryse dan Argyre, yang berlimpah logam, saya percaya; tetapi tentang apa yang dikatakan beberapa orang, bahwa tanah mereka terdiri dari emas dan perak, saya tidak begitu mau mempercayainya.”Perlu diketahui, pulau Chryse dan Argyre ini memang sudah dikenal oleh orang-orang Romawi dan Yunani karena ada didalam mitologi Yunani. Mereka percaya bahwa pulau tersebut berada jauh di lautan, sekitar yang sekarang dikenal sebagai Samudera Hindia.Jadi pulau emas dan perak berawal dari satu mitologi yang sama, kemudian menyebar ke berbagai bangsa dengan pemahaman dan bahasa yang akhirnya berbeda-beda. Salah satu contohnya adalah tentang pulau emas dan perak tertulis juga dalam kisah Ramayana di India.Legenda pulau emas dan perak ini terus ada sampai periode penjelajahan bangsa eropa di sekitar abad ke-15 - 16. Mereka terus berharap bahwa mitos itu benar-benar nyata. Beberapa tempat yang sempat dinamai oleh 2 nama tersebut ternyata kenyataannya tidak seperti itu. Keyakinan tentang Chryse dan Argyre sempat beralih ke wilayah kepulauan Jepang. Sampai akhirnya mereka sadar dan melupakan mitos tersebut.Ketika orang Eropa meninggalkan mitos mereka, orang Indonesia sampai kini justru membangkitkan kembali mitos tersebut. Argyre dianggap sebagai Salakanagara. Keberadaan Salakanagara sendiri hanya berdasarkan satu sumber yaitu naskah Wangsakerta yang oleh beberapa ahli dianggap kontroversial dan tidak bisa dijadikan rujukan sejarah. Namun untuk kasus Salakanagara, beberapa orang menganggap apa yang tertulis dalam Naskah Wangsakerta masih bisa diterima dikarenakan memiliki penguat dari catatan Ptolomeus. Konon Salakanagara berasal dari kata Salaka yang berarti perak. Pengertian inipun tidak diketahui dari bahasa apakah kata salaka tersebut? Apabila membaca secara keseluruhan naskah tersebut, bahwa pendiri Salakanagara berasal dari India yang tentunya menggunakan bahasa Sansekerta, maka penamaan negara pun akan lebih masuk akal jika mengambil dari bahasa tersebut. Namun salaka dalam bahasa sansekerta berarti tongkat kecil panjang, bisa berupa anak panah, pensil, tusuk gigi, dll. Jadi tidak ada hubungannya dengan perak.Lalu bagaimana dengan Claudius Ptolomeus (ahli geografi Yunani), benarkah menyebut kata Argyre? Mari kita simak penjelasan berikut secara runut.Setali tiga uang dengan Pomponius Mela. Ia tidak pernah benar-benar menginjakan kakinya ke negeri jauh, ia hanya mendapatkan informasi dari seorang pelaut Yunani bernama Alexandrus. Diapun mendapatkan pengaruh dari catatan para pendahulunya seperti Marinus of Tyre, yang sayangnya kini catatan tersebut hilang dan tidak pernah ditemukan.Namun keunggulan Ptolomeus membuat peta adalah disertai catatan lengkap dalam bukunya Geographike Gypehegesis (ditulis sekitar tahun 150 masehi). Yang terpenting dari karya Ptolomeus adalah semakin baiknya posisi kordinat walaupun belum benar-benar akurat. Beberapa Kartograf periode selanjutnya, menjadikan peta buatan Ptolomeus ini sebagai dasar yang kemudian disempurnakan.Dalam Geographike vol II halaman 169, tepat di bagian India Extra Gang.Aksara Yunani Kuno:28. Βαροῦδαι πέντε, ἐν αἷς ἀνδρωποφάγους εἶναί φασι τοὐς χατανεμομένους, τὀ δἐ μεταξὐ τῶν νή-σων ἐπέγει μοίρας ………… ρνβ Ῠ νότ.έ Ῠ Σαβαδεῖβαι νῆσοι τρεῖς 'Ανδρωποφάγων, ὧν τὀ μεταςὐ ἐπέγει μοίρας ρς νότουῆ 29. Ίαβαδίου (ῆ Σαβαδίου), ὃ σημαίνει ϰριδῆς͵νῆσοϛ· εὐφορωτάτη δἐ ζέγεται ἡ γῆσος εἶναι ϰαί ἔτιπλεῖστον λρυσὀν ποιεῖν, ἔζειν τε μητρόπολιν, ὄνομα Άργυρῆν, ἐπἱ τοῖς δυσμιχοί; πέρασιν·αὕτη μἐν οὖν ἐπἑζέι μοίρας ... ρξξ νότ. ῆτὀ δἐ ἐὤον τῆς νήσου πέρας ...... ρξδ νότ. ῆ Aksara Latin:28. Baroúdai pénte, en aís andropofágous eínaí fasi tous chatanemoménous, to de metaxy tón níson epégei moíras ......... rnv Y nót.é Y Savadeívai nísoi treís 'Andropofágon, ón to metasy epégei moíras rs nótouí 29. Íavadíou (í Savadíou), ó simaínei kridís͵nísoϛ: efforotáti de zégetai i gísos eínai chaí étipleíston gryson poieín, ézein te mitrópolin, ónoma Árgyrín, epi toís dysmichoí? pérasin:áfti men oún epezéi moíras ... to de Aeóon tís nísou péras ...... Terjemahan bebas:28. Baroudai terdiri dari lima pulau, anthropophage (kanibal dalam mitologi Yunani)ada keributan di antara mereka / antar pulau.Sabadabae terdiri dari tiga kelompok pulau di selatan, pemakan manusia.29. Iabadiou (Savadiou), artinya cridis (?), pulau. Tanahnya dihangatkan dengan baik; tersebar dengan baik, banyak rerumputan, metropolis.Argyryin, ada di barat? (kalimat tanya disini berarti Ptolomeus masih menduga-duga).Ini adalah akhir ... Aeóon tís nísou péras...... (Aeon sendiri adalah konsep yang berkembang di Yunani tentang kehidupan abadi, mereka meyakini tempat Aeon berada di balik dunia ini, peras adalah batas.. jadi kurang lebih pulau ini sebagai batas akhir dunia sebelum Aeon).Seperti peta di perpustakaan Vatikan dengan codex Urbinas Graecus 82, peta yang disinyalir datang dari abad ke 13 adalah rekonstruksi persis dari peta Ptolomeus. Masih berbahasa Yunani Kuno, tapi di peta tersebut tidak ditemukan pulau Chryses, Argyre, maupun Iabadiou (diartikan sebagai pulau Jawa) yang oleh beberapa orang di Indonesia mengklaim kata-kata tersebut ditemukan dalam peta Ptolomeus. Hanya Aurea Chersonesus (Semenanjung Malaya yang disebut mereka sebagai Semenanjung Emas) ditulis disana. Bahkan hingga kini Semenanjung Malaya dalam istilah Geografi masih ditulis Golden Chersonese. Pulau-pulau yang sekarang menjadi wilayah Indonesia sama sekali tidak tergambarkan. Mengenai Aurea Chersonesus dalam peta Ptolomeus, beberapa orang di Indonesia sering mengaitkan dengan Pulau Sumatera, karena memiliki pengertian yang sama dengan Svarnadvip (pulau Sumatera dalam bahasa sansekerta yang berarti pulau emas). Padahal seandainya mereka melihat peta tersebut, tentu pendapat tersebut akan sangat mudah terpatahkan. Kurang lebih 200 tahun kemudian, tepatnya tahun 1406. Peta tersebut untuk pertama kalinya disalin kembali sama persis namun sudah ditransliterasi kedalam huruf latin oleh Jacopo d’ Angelo. Sebuah peta turunan Ptolomeus kembali muncul di tahun 1467 karya Nicolaus Germanus. Di peta tersebut ia menambahkan beberapa pulau kecil di bawah semenanjung Malaya. Namun tidak semua yang diberi nama.Peta Nicoloaus Germanus kemudian dikembangkan lagi tahun 1474 oleh Florence Latin dan tahun-tahun berikutnya oleh Johannes Schnitzer dll. Sampai menjadi peta yang sempurna.Mulai dari peta Florence Latin (1474) itulah kita bisa menemukan nama Darule (digambarkan 5 pulau kecil. Secara kata mungkin maksud dari peta ini adalah Darul – merujuk kepada wilayah Aceh Darussalam), Labadite (bukan Iabadiou, diartikan sebagai Jawa) dan Sinde (bukan Sinda yang banyak orang sebut, diartikan sebagai Sunda) yang banyak orang klaim sudah tertulis sejak tahun 150 oleh Ptolomeus.Jika Labadite diartikan sebagai Pulau dengan tanaman biji-bijian, sinonim dengan Yavadvip dalam bahasa sansekerta, yang berarti merujuk Pulau Jawa itu sah-sah saja. Tapi perlu dicatat, dalam peta tersebut Labadite digambarkan 3 titik (pulau kecil) yang terpisah dengan Sinde (yang sama-sama digambarkan 3 titik kecil). Jadi tidak menggambarkan kondisi riil. Hal ini membuktikan bahwa sampai tahun 1474, bangsa Eropa terutama yang menjadikan Peta Ptolomeus dan turunannya sebagai patokan, adalah mereka yang belum mengenal secara pasti wilayah di Indonesia. Mengenai perubahan dari Iabadi menjadi Labadi (perhatikan huruf awal yang tadinya “i” besar menjadi “L”. Saya tidak menemukan alasan yang memuaskan sepanjang penelusuran. Karena itu saya menganalisa bahwa huruf “i” kapital dibaca salah, sehingga dianggap itu adalah “L” kecil. Jika memang iya begitu, rasanya memang terlalu konyol.Sekarang kita menggunakan pengertian umum untuk Sinde. Menurut bahasa Yunani Kuno, Sinde tidak memiliki arti, jadi nama tersebut murni nama sebuah kawasan. Namun kata Sinde dalam artian wilayah bisa ditemukan dalam buku A Military Dictionary and Gazetteer karya Thomas Wilhelm tahun 1881. “Sinde disebut juga Sindh, atau Sindia, dan Sinday, dari sindhoo, atau sindhu, yang berarti kumpulan air". Sebuah wilayah yang luas dari British India, termasuk dalam kepresidenan Bombay, terdiri dari hilir dan delta Indus. Itu dilalui oleh orang Yunani di bawah Alexander, sekitar 326 SM; ditaklukkan oleh orang-orang Muslim Persia pada abad ke-8; anak sungai dinasti Ghaznevide pada abad ke-11; ditaklukkan oleh Nadir Shah, 1739; dikembalikan ke kerajaan Delhi setelah kematiannya, 1747……….”Dari uraian diatas menyatakan bahwa Sinde adalah sebagian wilayah India (sekarang menjadi wilayah Pakistan). Tapi mengapa Sinde dalam peta berada di lautan bukan berada di daratan sebelah barat laut India? Sinde itu Sunda ataukah Pakistan? Memang membingungkan.Itu menjelaskan bahwa Ptolomeus dan orang-orang sesudahnya di Eropa memang tidak memahami kondisi wilayah di timur jauh. Mereka mungkin hanya mengenal nama tapi tidak tahu persis letak wilayahnya. Ketika peta ditulis abad 15, kerajaan Sunda jelas sudah eksis. Jadi mungkin mereka menganggap Sunda yang ada disini masih sama dengan Sinde yang ada di daratan India. Atau saya juga menemukan analisa lain yang datang dari Yang Bowen (peneliti yang salah satunya meneliti catatan China Zhao Ru Gua), ia menganalisa bahwa nama Sinde kemungkinan maksudnya adalah sebuah teluk di pulau Flores, yang memang bernama Teluk Sindeh.Kerancuan dari peta-peta turunan Pomponius Mela dan Ptolomeus terus berlanjut sampai tahun 1578. Dimana seorang Belgia bernama Mercator kembali mendaur ulang peta tersebut. Sinde tetap ada mencakup 3 pulau kecil, kemudian ia menambahkan Barousse (maksudnya wilayah Barus, Sumatera Utara) menggantikan penamaan Darule dari peta Florence Latin. Baik Aceh sebagai Darussalam maupun wilayah Barus memang sudah dikenal sejak lama. Namun lagi-lagi mereka tidak mengetahui secara persis lokasinya, sehingga di peta digambarkan sebagai pulau-pulau kecil. Yang lebih aneh adalah Labadite diganti menjadi Sabadibe (Swarnadvipa? yang merujuk kepada Pulau Sumatera dalam bahasa Sansekerta). Untuk hal ini saya menduga, orang-orang Eropa sudah berinteraksi dengan orang-orang China, dimana catatan China periode-periode awal (kurang lebih sampai abad ke-6) tentang Jawa dan Sumatera disebut dengan penamaan yang sama yaitu Saba. Pokoknya semua yang ada di selatan negeri mereka adalah Saba! Mengapa demikian? Karena daratan Jawa dan Sumatera memang masih menyatu sampai akhirnya terpisah di tahun 535 (akan dijelaskan secara terpisah).Maksud dan tujuan dari penulisan uraian diatas adalah bahwa mengklaim sesuatu tanpa ditelaah sumber aslinya adalah sesuatu yang tidak tepat. Boleh saja kita beranggapan bahwa pulau Jawa, Sunda dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia adalah bangsa besar di zaman dahulu, tetapi apabila penulisan sejarah diambil dari sumber yang tidak akurat, tentu hal tersebut akan berdampak kepada kerancuan-kerancuan berikutnya pada penyusunan sejarah.Lalu bagaimana dengan sebutan wilayah dalam peta seperti Sunda Besar, Sunda Kecil, yang dianggap sebagian orang memiliki kaitan dengan kebesaran Sunda masa lalu? Istilah Sunda shelf atau Sundaland atau paparan Sunda. Kisahnya bermula dari George Windsor Earl di tahun 1845. Beliau adalah pelaut berkebangsaan Inggris. Dia merasakan keanehan dengan beberapa jenis hewan di wilayah yang sekarang disebut Indonesia dan Australia. Hewan-hewan tersebut ada yang berjenis sama walau terpisahkan oleh lautan. Akhirnya dia membagi kedua wilayah tersebut dengan istilah Great Asiatic Bank dan Great Australia Bank.“Keanehan” tersebut kemudian dikembangkan melalui penelitian yang lebih serius di tahun 1859, ketika seorang ilmuwan bernama Alfred Russel Wallace membagi beberapa kawasan berdasarkan kelompok fauna. Teorinya tersebut melahirkan sebuah garis imajiner yang lebih presisi dan dikenal dengan sebutan Wallace Line. Garis tersebut berdasarkan penelitian tentang daratan besar purba di masa sebelum pencairan di zaman es (4 juta sampai 10 ribu tahun yang lalu) yang mengakibatkan adanya kesamaan dan perbedaan jenis fauna di beberapa daerah. Penamaan kedua kelompok wilayah tersebut masih menggunakan istilah yang digunakan oleh George Windsor Earl.Sampai pada tahun 1949, seorang Belanda bernama Reinout Willem van Bemmelen dalam bukunya Geography of Indonesia, dialah yang pertama kali menggunakan istilah Sunda shelf atau paparan Sunda menggantikan istilah Great Asiatic Bank. Sementara Great Australia Bank ia ubah menjadi Sahul shelf atau paparan Sahul. Pertanyaan yang paling mendasar, mengapa Reinout Willem menggunakan istilah Sunda? Tidak lain dan tidak bukan karena ia menggunakan referensi dari peta turunan Ptolomeus.Nama Sundaland atau Sunda Shelf hingga kini masih bisa dijumpai dalam Peta International, sementara di Indonesia sendiri nama itu sudah diganti pada era Muhammad Yamin menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sesuai Undang-undang Darurat No.9 tahun 1954 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 8 tahun 1958. Perlu diketahui bahwa Muhammad Yamin adalah seorang tokoh bangsa yang sangat menjunjung tinggi persatuan. Maka atas dasar persatuan itulah (menghindari istilah besar dan kecil dalam wilayah di Indonesia), wilayah Sunda Kecil berganti nama menjadi Nusa Tenggara. Sementara wilayah Sunda Besar memang tidak pernah digunakan secara resmi sebagai nama wilayah adminstratif dalam pemerintahan Indonesia.Dari beberapa uraian termasuk bagian-bagian sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa nama Sunda (apabila masih beranggapan bahwa Sinde diartikan sebagai Sunda) baru digunakan oleh orang Eropa (geng Ptolomeus) sejak tahun 1474. Nama Jawa sudah digunakan oleh orang Eropa (geng Marco Polo) sejak tahun 1296.Jadi penamaan Jawa bagi bangsa Eropa sudah lebih dahulu dibandingkan dengan Sunda. Apalagi penamaan Sundaland / Sunda Shelf yang baru muncul di tahun 1949.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan