Cinta Sendiri

3
0
Deskripsi

Bab 31&32

 

Amanda

Launching produk terbaru yang kuberi nama Mini Burnt Cheese Cake mendapatkan animo yang luar biasa dari masyarakat. Dalam beberapa hari ini, gerai sweet cake and cookies milikku yang tersebar di tiga kota yaitu Bandung, Bogor dan Jakarta dipenuhi sesak oleh para penggemar cake unik tersebut.

Menurut laporan data penjualan yang disampaikan kepadaku, ini merupakan penjualan terbaik kedua setelah lapis coffee cake yang aku luncurkan tiga tahun lalu.

"Selamat yaa sayang, produk barunya sukses besar. Maaf banget karena baru bisa ke Bandung hari ini." Ucap mas Garin sambil menyerahkan buket bunga favoritku.

"Makasih ya mas." Aku menghirup dalam-dalam harum bunga pemberiannya.

"Mamih sampai pusing loh ngerekap semua pesanan temen-temennya."

"Iya. Mamih udah telpon aku kok tadi pagi."

"Ngerepotin kan jadinya."

'Nggak lah. Aku malah seneng jualanku laku banyak."

"Maaf ya kalau mamih sama gengnya udah bikin kamu repot.

"Maklumin aja mas, namanya juga Ibu-ibu bringka."

"Apaan tuh?" tanya mas Garin penasaran.

"Ibu-ibu yang suka bring kaditu bring kadieu." jelasku hingga membuatnya tertawa.

"Mungkin pada bosen dirumah kali ya mas. Usia-usia segitu memang udah saatnya menikmati hidup."

"Bisa jadi. Mereka lebih seneng menghabiskan waktunya disalon, di mall dan bikin acara sendiri daripada di rumahnya." sarkas mas Garin.

Aku tertawa geli mendengar kejulidan mas Garin saat membicarakan mamih dan teman-temannya.

"Tapi mamih nggak gitu kan mas?"

"Hampir..tapi nggak selebay itu sih. Bisa ngamuk dong si papih."

"Maklum lah mas namanya juga ibu-ibu sosialita." Ucapku sambil mengambil beberapa kue lalu menghidangkanya dimeja.

"Dicoba mas. Kayaknya mas belum pernah nyobain kue ini deh." tawarku.

"Gimana penjualan di Bogor dan Jakarta?"

"Penjualannya bagus semua. Sebetulnya waktu aku ngeluarin Lapis Coffee Cake, penjualannya lebih-lebih dari ini loh mas. Sampai-sampai ada beberapa orang yang menawarkan jasa titip untuk pembeli yang berasal dari luar kota karena waktu itu geraiku cuma ada di Bandung aja."

"Wah berarti permintaan pasar kenceng banget dong yaa,  produksinya gimana?"

"Produksinya lancar dan nggak ada masalah sama sekali karena membuat cake itu jauh lebih simple dan lebih cepat dibandingkan membuat cookies. Jadi aku bisa bikin sesuai permintaan pasar."

"Aku bersyukur sekali karena ayah meninggalkan beberapa aset yang sangat membantu dalam menjalankan bisnisku. Salah satunya tempat ini. Aku bisa menempatinya langsung tanpa harus menyewa sehingga semua uang hasil penjualan bisa aku gunakan untuk merenovasi tempat ini dan membeli 2 ruko cabang, walaupun masih kredit."

Mas Garin manggut-manggut saat mendengar penjelasanku. "Luas yaa tempatnya sampai kamu bisa buka coffee shop juga."

"Aslinya sih luas tanah dan bangunannya dua kali lipat dari ini. Cuma sebagian lagi punya Arka."

"Arka udah ada rencana buka usaha apa disana?" Tanya mas Garin.

"Nggak ada mas, justru Arka berencana mau jual ke aku supaya toko kue dan coffee shop ku makin luas katanya."

"Kamu tertarik beli tempatnya Arka?"

"Aku udah kepikiran sih mau dijadiin apa."

"Resto?" Tanya mas Garin penasaran.

"Bukan." Jawabku cepat. Aku memang belum cerita sama mas Garin tentang rencanaku membeli tempat milik Arka dan ingin mendirikan tbk disana.

"Aku mau buka toko bahan kue mas. Aku mau memanjakan pembeliku dengan tempat yang luas, produk yang komplit, pegawai yang banyak dan pelayanan yang memuaskan. Supaya mereka santai dan enjoy saat belanja."

"Wow..ide brilian." ucap mas Garin takjub. "Kamu itu selalu aja punya ide keren kalau menyangkut urusan bisnis." pujinya sementara aku menanggapinya dengan senyuman.

"Aku cuma ngikutin kata hati dan keinginanku aja. Dan ternyata Tuhan kasih aku kemudahan untuk mendapatkan semuanya."

"Maaf yaa sayang. Seharusnya mas ada disamping kalian waktu kamu lagi merintis usaha ini. Kamu pasti kerepotan ngurus semuanya disaat lagi hamil besar." Sesalnya dengan roman muka yang tiba-tiba berubah sendu.

Aku merasa tidak enak hati melihat ekspresi yang ditunjukan mas Garin. Aku sadar betul kalau dia tidak sepenuhnya bersalah karena aku juga turut andil dengan sengaja menyembunyikan kehamilanku darinya.

Aku berjalan menuju sebuah lukisan bergambar Denawa yang masih bayi. "Kita sama-sama salah mas." Ucapku sambil menyentuh kanvas itu. "Tapi kita berdua akan menebus kesalahan itu. Aku dan kamu akan terus menemani Denawa sampai kita tua nanti. Tidak akan ada mama atau papah lain yang hadir dikehidupan Denawa. Hanya ada kita berdua."

Yaa...Setelah beberapa kali melakukan pendekatan dengan mas Garin, akhirnya aku memutuskan untuk menerima dan menjalin hubungan serius dengannya. Kami berdua sama-sama sepakat untuk memulainya dari awal dan membuka kembali lembaran kertas baru yang siap untuk dibubuhi tinta-tinta kebahagiaan di masa depan.

Keputusanku ini bukan karena Denawa semata, melainkan karena hatiku juga. Setelah mendengar kata hati dan saran dari orang-orang terdekat kami, aku semakin mantap mensejajarkan diriku untuk melangkah bersisian dengan mas Garin menuju masa depan.

Aku terkejut saat mendapati kedua tangan mas Garin sudah melingkar di atas perutku dengan posisi dia yang berada tepat dibelakangku. Aku menyukai pelukan seperti ini karena terasa intim dan begitu nyaman.

"I love you, Amanda." Bisiknya sambil mendaratkan kecupan lembut dipuncak kepalaku. "Orangtua Denawa cuma kita berdua. Mama Manda dan papah Garin. Nggak ada yang lain."

"Yaaa..." lirihku sambil menyandarkan kepala didada bidangnya.

"Kalau gitu ayo kita percepat pernikahanya."

"Kenapa?" tanyaku sedikit heran karena pernikahan kami akan dilaksanakan setelah aku lulus.

"Mau nunggu apa lagi? Mau nunggu mas jadi om-om dulu? Lagian Nawa udah makin gede sayang..nggak baik kalau kita tunda."

Aku membenarkan semua ucapan mas Garin. Tapi sebetulnya bukan itu masalahnya. "Kalau kita nikah, kuliah aku gimana mas?"

"Kita bisa pake pengaman atau KB dulu selama kamu masih kuliah. Mas nggak masalah kok. Lagian Nawa juga masih kecil dan masih butuh perhatian kita. kasian juga kalau cepet-cepet punya adek." jawab mas Garin seakan paham dengan apa yang kupikirkan.

"Jadi kita nunda punya anak dulu?" tanyaku memastikan ucapannya.

"Ya. Tapi bukan berarti nunda bikinnya kan?" Goda mas Garin yang berhasil membuat pipiku merona.

Aku menoleh ke arah mas Garin lalu menghadiahi ciuman lembut di pipinya. "Makasih ya sayang udah ngertiin aku. I love you too mas."

Mas Garin sedikit terkejut dengan keberanianku. "Sayang.. jangan coba-coba nantangin yaa."

"Siapa takut."

Perasaan asing menjalar disekujur tubuhku saat bibirnya menyentuh lembut bibirku. Ini memang bukan yang pertama namun ini pertama kalinya kami melakukanya kembali setelah sekian lama berpisah.

Perlahan jemari tangannya menarik lembut daguku hingga bibirku sedikit terbuka lalu melumatnya kembali, diiringi permainan lidahnya yang begitu memabukan.

Aku terengah karena benar-benar tidak diberi kesempatan untuk berhenti. Aku ini seperti candu baginya. Apalagi bercumbu dengan posisi seperti ini membuat adrenalin kami semakin terpacu dan tertantang sehingga permainan menjadi semakin nakal dan berbahaya.

"OMG...." seru Prasada yang saat ini sudah berada dibelakang kami.

"Bisa ngetuk pintu dulu nggak sih. Ngadep belakang sana!" Perintah mas Garin dengan nada kesal.

"Oke..oke..sorry... sambil merem nggak mas?" Tanya Prasada usil.

"Sekalian aja jedotin kepala lo ke pintu."

Aku menghampiri Prasada yang saat ini posisinya masih menghadap ke arah pintu sesuai perintah mas Garin. "Sini Pras, duduk yuk."

"Duuhhh kalian ini lagi pada ngapain sih tadi? Kalau gue nggak datang mungkin sekarang kalian lagi bikin adeknya Nawa kan?" ucapnya sambil berjalan kearahku.

"Huss..sembarangan." tegur mas Garin.

"Gimana otakku nggak mikir kesitu, soalnya pose kalian itu hot banget. Sampe nggak nyadar yaa itu bibir belepotan lipstiknya si Manda."

Aku langsung melihat ke arah mas Garin yang wajahnya sudah menegang dan langsung melarikan diri menuju toilet, hendak membersihkan semua sisa-sisa peperangan kami disana.

"Gila lo Pras ngerjain kakak sendiri. Mana ada lipstik gue belepotan." tegurku pada Prasada.

"Biarin aja. Kapan lagi coba aku bisa ngerjain dia." ucap Prasada santai.

"Gaji kamu bulan ini mas potong. Berani-beraninya ngerjain boss." ucap mas Garin masih dengan wajah kesalnya.

"Wahh kejam lo mas. Ini nih yang gue nggak suka dari lo karena dikit-dikit ngancamnya potong gajih. Lo bakalan tambah kaya sementara gue malah tambah miskin kalau gini caranya."

Mas Garin hanya mengedikan bahu tanpa berkata apapun.

"Dan ini adalah kedua kalinya kalian mencemari otak gue yang masih suci ini dengan pemandangan yang tidak senonoh." Protes Prasada.

"Jangan ngarang deh, kapan juga lo liat gue sama mas Garin begituan?"

"Alahhh.. pura-pura lupa. Waktu launching kantor di Jakarta kalian ngapain coba? Masa nggak inget, hayooo ngaku.." Ledeknya.

"Hah??" Aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Prasada.

"Aduduh... itu wajah sampe merah gitu kayak kepiting rebus. Santai aja kali, gue ngerti kok." Sindirnya yang jelas sekali ditujukan kepadaku.

"Ya udah deh gue cabut dulu. Kayaknya ini bukan waktu yang tepat ketemu sama lo. Silahkan dilanjutkan lagi kegiatannya tapi jangan lupa kunci pintu dulu yaa." pamitnya.

Mas Garin langsung menghembuskan napas kasar setelah kepergian Prasada. Mungkin dia lagi menekan perasaannya yang sedang menahan marah dan malu sekaligus.

"Udahlah mas, nggak usah prustasi gitu."

"Habis ini dia pasti bakal semena-mena sama mas." keluhnya.

"Masa sih?"

Mas Garin meraih ponselnya yang berbunyi kemudian memperlihatkan isi chat Prasada kepadaku. 

"Mas upgrade mobil gue yaa sama merk yang gue taksir kemarin. Gue janji bakalan tutup mulut."

Aku langsung tertawa kecil saat membaca pesan Prasada yang terkesan seperti sebuah pemerasan.

"Menurut kamu gimana sayang?" Tanya mas Garin.

"Kenapa nanya aku?"

"Kan uang mas, uangnya kamu juga. Jadi mas perlu pendapat kamu."

"Ya udah mau gimana lagi. Kasih aja lah dari pada mamih dan papih tahu." Saranku, seolah menegaskan kalau kami kalah dan menyerah.

"Kamu yang urus ya."

"Kok aku?"

"Mulai sekarang semua urusan keuangan diluar kantor tolong kamu handle yaa, Please. Termasuk urusan Prasada. Kamu tinggal komunikasi sama dia maunya mobil merk apa. Tapi jangan lupa suruh dia jual dulu mobilnya lamanya, sisanya baru kita tambahin." perintah mas Garin sambil memberikan kartu debitnya.

"Kartu yang mas kasih dulu kayaknya cukup deh. Apalagi cuma buat nambahin aja." Ucapku masih mengingat betul jumlah nominalnya yang aku yakini bisa digunakan untuk membeli satu unit mobil.

"Kartu yang mas kasih dulu itu khusus buat Nawa."

"Tapi..."

"Pegang aja Manda. Sebulan lagi kamu akan jadi istri mas. Dan mas mempercayakan sepenuhnya semua keuangan sama kamu."

Aku langsung menatap kartu itu. Aku tahu kalau benda yang berada ditanganku ini adalah salah satu tabungan mas Garin yang nominalnya sangat fantastis. Dan keputusan dia menyerahkan sebagian hartanya, bahkan disaat kami belum resmi menikah adalah hal langka dan itu cukup membuat jantungku bereaksi dengan cepat.

Aku terharu, bahagia dan bangga tentunya atas kepercayaan yang diberikan mas Garin. Tapi disisi lain aku juga merasa takut karena ini terlalu berlebihan bukan?

Bagaimana kalau pernikahan kami ternyata batal?
 

 

Bab 32

Garin

Aku memperhatikan Amanda yang sedang menyantap makan malamnya dengan lahap sambil memastikan kalau menu yang dia konsumsi aman untuk lambungnya.

Akhir-akhir ini aku sangat khawatir dengan kondisi kesehatan Amanda yang sering mengeluh sakit pada bagian perut dan kehilangan nafsu makan. Jadi hampir setiap hari aku selalu rutin memperhatikan pola makannya dari mulai sarapan, makan siang hingga makan malam.

"Perutnya masih sakit sayang?"

"Udah baikan mas. Obatnya juga habis."

"Jangan lupa yaa, walaupun kamu sibuk tapi harus tetap memperhatikan kesehatan. Makan pedesnya harus mulai dikurangi karena nggak baik buat perut."

"Iya mas. Aku udah nggak makan pedes lagi kok."

"Tadi pagi mas udah kirimin obat herbal, mungkin besok pagi nyampe. Katanya sih bagus buat lambung. Cobain dulu yaa barangkali cocok."

"Iya deh ntar aku cobain, walaupun rasanya pasti pahit." ucapnya sambil meringis membayangkan bagaimana pahitnya obat itu.

"Mas, makan sama apa?" Tanya Amanda.

"Ayam bakar, tahu tempe dan sayur-sayuran rebus." Aku langsung mengarahkan ponselku pada piring yang ada dihadapanku agar Amanda bisa melihat dengan jelas menu yang aku makan.

Kami berdua sedang makan malam secara virtual karena aku sedang berada di Jakarta sementara Amanda di Bandung.  Kami rutin melakukan ini untuk menjaga agar komunikasi diantara kami tetap terjalin.

Mungkin buat sebagian orang kebiasaan kami ini cukup aneh tapi menurut kami sebagai pasangan yang menjalani LDR justru hal seperti inilah yang menjadikan hubungan kami tetap awet dan romantis walaupun terpisah jarak.

"Kapan mulai kerja?" Tanyaku.

"Mungkin mulai besok. Aku mau lihat cara kerja beberapa karyawan baru yang aku tempatkan di bagian display dan kasir supaya pelayananya lebih baik dan lebih cepat."

"Keren..kamu selalu ngetreat pelanggan dengan baik."

"Harus dong mas. Apalagi aku itu lumayan deket sama mereka." Ucap Amanda yang memang sangat menjaga hubungan baik dengan pelanggannya.

"Mas kapan pulang ke Bandung? Nawa kangen sama papah katanya."

"Sepertinya besok. Tolong bilang sama Nawa semua pesenannya udah papah beliin."

"Pesanan apa sih?"

"Biasalah, kayak nggak ngerti aja. Ehh tapi, ini beneran cuma Nawa aja yang kangen papah, mamanya enggak?"

"Nggak ahh..santuy aja."

"Hemm..gimana nggak santuy, orang tiap hari video call-an terus dari pagi sampe malem. Sehari bisa tiga kali. Udah kayak minum obat." Protesku.

"Hahaha...bucin banget kita yaa." ucap Amanda dan kenyataannya memang begitu.

"Kamu mau dibawain apa besok?"

"Bawain cinta yang banyak aja."

"Serius, nggak mau dibawain apa-apa?"

"Nggak usah mas, aku bisa beli sendiri." ucapnya sambil mengeluarkan dua buah kartu pemberian dariku. "Kan ada ini."  Katanya, sambil mengedipkan mata.

"Hahaha..Iya sayang."

"Ini beneran buat aku?"

Aku langsung mengangguk mrmbenarkan. "Kita sebentar lagi menikah, Amanda."

"Mas nggak takut kalau aku kabur kaya mantan?"

Ya ampun, bisa-bisanya dia ngomongin Maya disaat begini.

"Nggak."

Amanda menyipitkan matanya. "Yakin?"

"Yakin lah, Kamu nggak akan bisa kemana-mana soalnya hati kamu udah mas sandera."

Amanda tergelak, mungkin dia merasa geli mendengar gombalanku yang garing.

"Oh yaa, besok malam temenin mas ke nikahannya Riky dan Mita yaa. Kamu nggak sibuk kan? Ini undangannya." aku memperlihatkan undangan pernikahan kedua sahabatku itu pada Amanda.

"Nggak nyangka akhirnya mereka nikah. Lucu aja gitu nikah sama sahabat."

"Temen- temen juga banyak yang nggak percaya kalau mereka akhirnya menikah. Mungkin pada patah hati kali karena Mita akhirnya milih Riky."

"Kok bisa patah hati?"

"Kamu tahu sendiri kan Mita orangnya gimana?"

Amanda mengangguk. "Iya sih, dia cantik, tinggi dan seksi."

"Nah itu...Mita kan tipe idaman banyak lelaki."

"Nggak semua laki-laki itu punya tipe cewek yang sama loh mas."

"Tapi kebanyakan laki-laki pasti terobsesi sama cewek body goals kaya Mita. No debat."

"Termasuk mas juga dong?"

Aku mengangguk sambil tetap mengunyah makananku. Namun saat aku kembali fokus pada Amanda, tiba-tiba raut wajahnya berubah seketika.

"Berarti aku bukan tipenya mas Garin dong."

Aku tersentak saat kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Amanda.

"Ehh.. enggak gitu juga sayang. Maksud mas.."

"Aku tutup ya mas, udah malam. aku mau ngecheck Denawa dulu." Amanda menutup video call kami secara sepihak, meninggalkan aku yang masih bingung dan berusaha mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

"Oh, shit!" teriaku saat menyadari sesuatu.

Aku salah bicara dan membuat Amanda jadi salah paham dengan ucapanku barusan.

Aku bergegas meraih kunci mobil dan langsung pulang ke Bandung malam ini juga untuk menemui Amanda dan mengakhiri kesalahpahaman kami.

"Bodoh banget sih lo." sepanjang perjalanan aku terus memaki diri sendiri atas semua kebodohan yang sudah aku lakukan.

Setelah menempuh perjalan selama dua jam lebih, akhirnya aku sampai di kota Bandung dan langsung menemui Amanda.

Aku memasuki kamar milik Amanda yang sedikit gelap namun masih bisa menangkap sosoknya yang terlihat masih terjaga. Aku mulai mendekat dan mendapati Amanda yang sedang duduk termenung diatas sofanya.

"Sayang..." panggilku lirih. "Belum tidur, hemmm." aku mengelus puncak kepalanya kemudian duduk disampingnya.

Amanda yang awalnya terkejut dengan kedatanganku kembali menormalkan ekspresinya. "Belum, mas ngapain malem-malem datang kesini?" Tanyanya sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah seperti sedang khawatir.

"Mas minta maaf kalau kata-kata tadi menyinggung perasaan kamu. Mas nggak bisa tidur karena merasa bersalah, makanya langsung ke sini malam-malam."

Amanda hanya geleng-geleng kepala melihat kenekadanku ini. Dia kemudian meraih gelas yang isinya terlihat masih mengepul lalu menyerahkannya kepadaku. "Diminum dulu mas biar badannya hangat. Ini baru aku buat dan belum diminum sama sekali."

Aku tersentuh, dalam keadaan marah pun Amanda masih saja mengkhawatirkan aku.

Aku meminum jahe hangat pemberiannya dan terasa nyaman sekali diperut. "Makasih sayang." 

Hening beberapa saat, tidak ada satu percakapan pun diantara kami berdua.

"Sayang..tentang pembicaraan kita tadi, sekali lagi mas minta maaf."

Amanda menghela napas berat, lalu mata sembabnya fokus melihat kearahku. "Aku nggak marah, hanya kesal aja denger mas bilang gitu."

Aku mengangguk, mengerti dan memahami apa yang sedang dia rasakan.

"Aku jadi ragu apa mas yakin mau nikah sama aku? Karena kenyataanya aku bukan tipe wanita yang bisa memenuhi obsesi mas Garin. Aku nggak seperti mantan-mantannya mas yang punya badan tinggi, anggun, terbiasa memakai pakaian seksi yang bisa mas Garin banggakan dan pamerkan pada orang lain. Aku cuma perempuan biasa yang berpenampilan sebaliknya." Amanda mengatakannya dengan santai. Namun kata-kata yang dia ucapkan cukup tajam.

Aku menggenggam lembut jemari Amanda lalu mencium punggung tanganya. "Nggak ada alasan yang membuat mas ragu untuk menikahi kamu. Please sayang, udahan yaa keselnya, mas bener-bener nggak sengaja ngomong begitu."

"Ungkapan spontanitas biasanya berasal dari alam bawah sadar kita loh mas. Disaat mulut, hati dan pikiran lagi kompak." Sindirnya, lagi-lagi membuat aku mati kutu.

Ucapan Amanda tidak sesantai sikapnya. Serangan halusnya ibarat pertanda kalau dia tidak sedang percaya diri.

"Jujur...hampir semua lelaki pasti menyukai wanita yang penampilan fisiknya, maaf...seksi. Termasuk mas juga." Ucapku, sambil menunduk pelan, takut kata-kata ku ini menyakitinya. "Tapi ketika memutuskan untuk mencari pendamping hidup, kriteria itu akan berubah dengan sendirinya. Karena bukan hanya kesempurnaan fisik saja yang dicari tapi juga kesempurnaan lainnya. Senakal-nakalnya laki-laki, ketika dia ingin menikah, pasti dia akan mencari wanita yang bisa menjadi istri dan ibu yang baik."

"Oh ya?"

Aku mengangguk cepat. "Apalagi biaya maintenance cewek seksi itu cukup tinggi. Bisa bangkrut kalau nggak sultan-sultan amat. Jadi kebanyakan laki-laki pasti berpikir dua kali untuk ngajak nikah."

Amanda melirikku tajam, mungkin sebal dengan kalimatku barusan.

"Oke aku ngerti, ada sisi lain dari mas yang nggak bisa aku jangkau yaitu obsesi lelaki. Dan aku nggak bisa memenuhi keinginan mas itu."

Sungguh, aku tidak mengira respon Amanda akan seperti ini. Aku pikir dia akan marah dan melemparku dengan bantal sofanya saat mendengar ucapanku yang nakal. Namun ternyata dia memahami sisi lain dari diriku yang juga dialami oleh semua pria normal.

"Semua kriteria wanita yang mas inginkan ada dalam diri kamu, Sayang. Kamu nggak hanya sempurna secara fisik tapi semua yang ada dalam diri kamu itu sempurna. Jadi buat apa masih cari yang lain kalau wanita yang mas idam-idamkan sudah ada didepan mata."

"Nggak usah gombal mas. Nggak mempan." Ejeknya.

Aku tersenyum saat mendengar nada bicaranya yang sedikit lebih tenang. Mengenal Amanda bertahun-tahun bahkan sejak dia masih kecil membuat aku hapal betul bagaimana karakternya. Aku tahu, saat ini Amanda tidak marah bahkan tidak pernah bisa marah. Tapi gengsinya yang tinggi seolah menjadikannya tameng untuk menutupi harga dirinya.

"Nggak apa-apa kalau masih kesel. Yang penting kamu tetap disamping mas, itu sudah cukup. Kita akan belajar dari kejadian hari ini dan sama-sama akan memperbaikinya. Ya kan sayang?" aku menatap Amanda dengan penuh permohonan.

"Jujur, mas takut banget kamu ngebatalin pernikahan kita. Bukan karena trauma. Tapi karena mas nggak bisa hidup tanpa kamu, tanpa kalian berdua. Kamu dan Nawa adalah tujuan hidup dan masa depan mas."

"Nggak ada yang perlu di khawatirkan. Semua baik-baik aja."

Aku menghela napas lega mendengar ucapanya yang singkat namun sarat pengertian. "Makasih sayang." kemudian mengecup keningnya.

"Udah malam dan sebaiknya mas tidur disini aja, biar aku siapin dulu kamar sebelah."

Amanda melangkah pergi meninggalkanku namun tetap memberikan harapan dan kepercayaan tinggi yang akan kugunakan sebaik-baiknya agar dia tidak pernah menyesal telah memberikan seluruh hatinya padaku.

Amanda adalah kunci dari kebahagiaan dan kedamaian hubungan kami. Sikapnya yang terbuka dan mau mendengar adalah salah satu alasan yang membuat hubungan kami jarang ada pertengkaran, walaupun terkadang ada sisi manja dan kekanak-kanakan yang muncul dalam dirinya. Itu tidak menjadi masalah, malah sebagai pelengkap untuk menepis kekakuan sebuah hubungan.

Malam ini, semua kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan Amanda sudah berakhir. Tidak perlu ada yang ditakutkan selagi masalah itu bisa dibicarakan dan dicarikan solusi terbaiknya.

Menjelang pernikahan, perselisihan akan selalu ada dan merupakan hal wajar bagi pasangan yang sedang menuju fase baru. Dan hari ini, Aku dan Amanda sudah berhasil melewatinya. Kami berdua siap menunggu hari selanjutnya, hari dimana kami akan mulai mengarungi kehidupan yang sesungguhnya di masa depan.
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta Sendiri
1
0
Bab 33&34
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan