Cinta Sendiri

1
0
Deskripsi

Bab 15&16

 

Bab 15

Amanda

Minggu pagi ini, aku mengajak Denawa mengunjungi rumah ibu yang sejak kemarin sore terus menerus mengomeliku karena sudah satu minggu ini tidak bertemu cucunya. Beberapa hari ini aku memang sengaja tidak membawa Denawa ketika mengunjungi ibu yang tengah terbaring sakit karena takut keberadaan Denawa malah akan mengganggu waktu istirahat ibu.

"Baru seminggu nggak ketemu aja reaksi ibu udah kaya gini. Gimana kalau sebulan." begitulah kira-kira omelan Arka pada ibu saat menyambut kedatangan kami. "Inget ya bu jangan berdebat lagi karena ibu itu baru aja sembuh." imbuhnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Arka. Memang akhir-akhir ini aku dan ibu sering sekali berdebat jika berhubungan dengan Denawa. Aku sering protes dengan pola asuh ibu yang terlalu memanjakan Denawa sementara aku lebih suka mendidik Denawa menjadi anak yang mandiri.

Tak jarang Arka bertindak sebagai penengah dan memberikan nasihat kepada ibu kalau yang aku lakukan pada Denawa itu sudah benar. Namun ibu selalu tidak terima dan merasa apa yang sudah dia lakukan tidak kami hargai.

"Ibu itu sudah berpengalaman membesarkan kalian, jadi ibu lebih tahu dari kalian."

Begitulah kira-kira ucapanya. dan kalau sudah begitu akhirnya aku dan Arka akan mengalah dan memberikan kebebasan pada ibu melakukan apa saja yang dia mau pada Denawa.

"Nawa...sini lihat nak, oma punya apa?" Ibu kemudian memberikan mainan yang dia pegang pada Denawa.

"Jangan dibeliin mainan terus bu." Protesku lagi dan lagi.

"Abisnya dia nggak pernah dibeliin mainan sih, padahal kan mamahnya banyak uang."

Nah kan...ibu mulai julid ketika aku melarangnya membelikan mainan pada Denawa.

"Aku bukannya nggak mau beliin bu. Tapi mainan Nawa udah banyak banget karena setiap minggu selalu ibu belikan. Belum lagi pemberian dari kak Dewa, Arka dan teman-temanku juga."

"Anak kecil gini kan memang suka mainan teh." Ucap ibu sambil membuka mobil-mobilan yang dia belikan.

"Betul bu, tapi masalahnya banyak banget mainan yang sampai sekarang masih terbungkus rapih dan belum Nawa buka. Makanya aku nggak pernah beliin karena aku pikir itu udah cukup." Aku kemudian menyuruh suster Emi untuk mengeluarkan mainan Denawa dari bagasi mobil.

"Sekarang aku lebih suka beliin Nawa mainan yang mengedukasi seperti ini, bu. Aku sengaja kasih dia mainan pasir ajaib karena banyak manfaat bagi tumbuh kembangnya. Salah satunya untuk melatih perkembangan sensorik dan motoriknya sekaligus bisa melatih kreativitas dan imajinasi dia."

Ibu mendengarkan semua penjelasanku dengan seksama sambil memperhatikan mainan pasir yang sedang di tata suster Emi.

"Jadi aku bukanya melarang ibu belikan Nawa mainan, sayang aja bu kalau nggak dipakai."

Ibu kemudian mengangguk, mengerti dengan penjelasanku. "Ya sudah, nanti kalau ibu belikan mainan lagi, ibu akan tanya teteh dulu mainan apa yang dibutuhkan cucu ganteng ibu ini." Ucapnya sambil mengelus kepala Denawa yang sedang asik bermain.

"Makasih ya bu, maafin Manda karena suka bikin ibu kesel. Manda tahu maksud ibu baik tapi anak sekarang beda sama anak jaman Manda dulu. Mainan jaman sekarang itu banyak sekali dan kita harus lebih selektif milihnya."

"Iya ibu juga ngerti kok. Maafin ibu juga ya suka maksain kehendak ibu sama teteh. Ibu lupa kalau teteh adalah mamanya yang lebih berhak atas Denawa."

Arka yang sejak tadi menguping pembicaraan kami pun ikut senang karena pada akhirnya ibu bisa mengerti.

Berbaring diatas karpet, aku membuka laptop untuk menonton drama korea yang menjadi favoritku sambil menemani Denawa yang sedang asik mencetak pasir. Sesekali pria kecil itu bertepuk tangan dan tertawa puas ketika berhasil mencetak bentuk-bentuk pasir yang dia inginkan.

Parasnya yang tampan, kulitnya yang putih dan sedikit bermata sipit membuat aku berangan-angan setelah besar nanti dia mirip seperti Lee Min Ho atau Song Joongki. Namun beberapa detik kemudian aku tertawa sendiri saat menyadari pikiran konyol itu. Bagaimana mungkin anakku mirip dengan mereka sementara bapak kandungnya adalah pak Garin, pria keturunan Surabaya Bandung yang tidak memiliki darah korea. Hemmm...ada-ada saja.

"Nawa sini nak kita makan dulu." ajak ibu.

Merasa namanya dipanggil, Denawa berdiri kemudian berjalan ke arah ibu dan mendudukan tubuh gempalnya di sebuah kursi mungil. Dia mengambil silicon bib lalu menyerahkanya kepadaku. Aku tersenyum melihat tingkahnya, rupanya dia sudah mengetahui fungsi dari semua peralatan yang sering dia gunakan. Aku segera membantu memasangkan bib itu kemudian mendekatkan meja yang sudah berisi cemilan buah milik Denawa.

"Nawa endut banget, dikasih makanya apa sih?" Tanya ibu.

Denawa yang sedang asik memakan buahnya hanya tertawa sambil memperlihatkan gigi putihnya yang baru tumbuh enam biji itu. Senyumnya yang sedikit menyipit tiba-tiba mengingatkanku pada sosok ayah kandungnya. Bukan Lee Min Ho ataupun Song Joongki melainkan Garin Danandjaya.

"Nawa tau nggak kalau Nawa itu mirip banget sama papah Garin, apalagi kalau lagi ketawa." ucap ibu sambil tersenyum jahil kepadaku.

"Papahh.." Denawa berceloteh mengikuti kata-kata yang di ucapkan ibu tadi.

Aku sempat tertegun mendengar celotehanya yang melafalkan sebuah kata yang merupakan panggilan khusus untuk seorang ayah yang selama ini tidak pernah aku ajarkan.

Ibu langsung menepuk pundaku saat melihat perubahan raut wajahku yang tiba-tiba. "Maafin ibu teh. Bukannya ibu ngingetin sama masa lalu tapi tiba-tiba ibu jadi inget nak Garin pas lihat Nawa senyum."

Aku menghela napas, mungkin sudah waktunya aku membicarakan soal kedatangan mas Garin dan keluarganya ke Bandung.

"Nggak masalah bu." Aku kemudian memanggil suster Emi untuk menemani Nawa karena aku perlu bicara empat mata dengan ibu.

"Ada apa?" Tanya ibu ketika kami sudah duduk ditaman belakang rumah.

"Aku mau ngasih tahu kalau Mas Garin dan keluarganya lagi ada di Bandung."

Mata ibu terbelalak, terkejut dengan informasi yang baru saja aku berikan. "Mereka ada disini?"

"Iya bu. Ibu masih ingat kan saudara mbak Nina yang mau tunangan? Yang dessert table-nya semua pesan ke aku? ternyata dia itu adalah mas Garin. Mereka itu sepupuan, bu. Mbak Nina juga ngajak mereka ke java coffee karena ingin memperkenalkan kami."

Ya ampun." ibu menutup mulutnya seolah tidak percaya.

"Bahkan tante Rossa mengundangku dan kak Dewa serta sahabat mas Garin lainnya untuk makan malam dirumahnya. Aku merasa nggak enak hati kalau nolak dan akhirnya kemarin malam aku pergi kesana."

"Apa yang kalian bicarakan? Apa Rossa menanyakan alasan kepindahan kamu?"

"Tante Rossa cuma menanyakan kabar aku selama tiga tahun terakhir ini. Dia juga nanyain ibu dan bilang ingin ketemu. Mengenai alasan kepindahanku, aku beralasan supaya dekat dengan toko dan kampusku."

"Bagaimana perasaan teteh saat ketemu nak Garin?" Tanya ibu.

Aku diam sejenak, mencoba mengingat kembali kejadian kemarin. "Aku merasa nggak nyaman ketemu dia. Aku takut kalau dia mengetahui tentang keberadaan Denawa."

"Hanya itu?"

Aku mengangguk mantap, memang hanya itu yang aku rasakan.

"Teteh nggak takut melihat nak Garin?"

"Seperti yang aku bilang tadi, aku ngerasa nggak nyaman aja ada didekat dia."

"Keberanian teteh datang kesana itu adalah point penting bahwa teteh sudah berhasil melawan ketakutan terhadap nak Garin. Walaupun sedikit masih merasa kurang nyaman, itu adalah hal yang wajar karena semua butuh proses." ucap ibu.

Ibu menatapku lekat seolah sedang menyelami perasaanku. "Apa teteh sudah siap membuka semuanya dan mempertemukan Denawa dengan ayah kandungnya? Menurut ibu mereka berhak tahu karena Denawa sebentar lagi tumbuh besar. Jangan biarkan dia kehilangan sosok ayah. Buang semua pikiran-pikiran egois untuk membesarkan dia sendirian. Biarkan nak Garin bertanggung jawab pada anak kandungnya sendiri. Kita berdosa kalau terus-terusan menyembunyikan hal ini."

"Nggak bu, aku masih belum siap menceritakan semua kejadian malam itu pada mereka. Aku..." Ucapanku terputus, tenggorokanku rasanya sudah tak sanggup lagi mengeluarkan suara.

"Kalau teteh nggak sanggup, izinkan ibu yang bicara pada mereka." Ibu kemudian memeluk tubuhku yang bergetar karena menahan tangis.

*****
 

Setelah menitipkan Denawa pada ibu, aku langsung pergi menuju salah satu resto yang terletak di sebuah mall daerah Sukajadi untuk menemui mbak Amelia, seorang editor senior dari PT Gradia, perusahaan penerbit yang akan menerbitkan kembali karyaku.

Mbak Amel itu bukan orang baru buatku karena aku sudah mengenalnya sejak masih sekolah dulu. Saat itu mbak Amel mengirim pesan disalah satu akun media sosialku, memperkenalkan dirinya sebagai editor PT Gradia dan menawarkan kerjasama denganku untuk membuat sebuah buku.

Awalnya aku menolak karena merasa tidak percaya diri namun mbak Amel terus saja memotivasi dan meyakinkanku kalau aku bisa, mengingat jumlah followerku yang sudah mencapai ratusan ribu.

Tapi sepertinya dewi keberuntungan belum berpihak padaku. Aku terpaksa harus menunda kerjasama kami setelah mengetahui bahwa aku tengah hamil. Wanita lain mungkin akan berteriak kegirangan saat tahu bahwa dirinya hamil tapi yang aku rasakan malah sebaliknya. Aku merasa duniaku runtuh, optimisme yang selama ini kubangun akhirnya hancur lebur dan berubah menjadi kekecewaan yang mendalam.

Aku menghubungi mbak Amel untuk meminta maaf dan menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Aku merasa tengah berada dalam titik terendah dalam hidupku saat itu. Namun diluar dugaan mbak Amel tidak meninggalkanku. Dia malah memberikan support untuk membangun semangatku kembali.

Setelah Denawa berumur 6 bulan, akhirnya aku kembali menulis dan merangkum semua resep buatanku menjadi sebuah buku yang kemudian diterbitkan oleh PT Gradia dan berhasil sukses meraih best seller pada tahun itu.

"Besok buku kedua kamu akan terbit. Sudah mulai didistribusikan dari beberapa hari yang lalu ke berbagai kota. Dan khusus untuk luar pulau jawa kita majukan jadwal pendistribusiannya dari minggu kemarin."

"Aku jadi deg-degan mbak, takut penjualan buku kedua ini nggak sebanyak buku pertama." keluhku pada mbak Amel.

Maklum, buku karyaku yang pertama sukses dipasaran melampaui ekspektasi kami. Semua gerai di beberapa kota malah sering kehabisan stok sehingga penerbit memutuskan untuk mencetak ulang.

"Aku malahan mau nantangin kamu supaya tembus mega best seller."

"Apa nggak salah mbak?"

"Nggak lah, buktinya yang pertama aja sukses parah kan?"

"Tapi aku takut nggak mencapai target. Yang lagi kita omongin ini mega best seller loh mbak."

"Inget nggak gimana kondisi kamu pas bikin buku pertama? waktu itu Denawa masih bayi tapi kamu pantang menyerah untuk menulis dan akhirnya buku kamu sukses dipasaran. Sekarang kondisi kamu jauh lebih baik. Harusnya nggak ada alasan buat kamu untuk nggak percaya diri. Mbak yakin buku kamu bisa mencapai target karena mbak tahu betul siapa kamu. Jadi buang semua ketakutan-ketakutan kamu itu. Rasanya bukan kamu banget deh."

"Sorry ya mbak. Mungkin karena aku terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini."

Teguran mbak Amel membuat aku tersadar, tidak seharusnya aku bersikap seperti ini.

"Buku kedua kamu ini keren loh. Resepnya lebih variatif dari yang pertama. Makanya kita optimis banget." ujar mbak Sekar, salah satu staf mbak Amel. "Selain dapet banyak resep, pembaca kamu juga bakalan dapet extra bonus. Mereka bisa mandangin anak ganteng ini sepuasnya." candanya sambil menunjuk foto cover aku bersama Denawa.

Buku resep kedua ku ini memang berbeda dari sebelumnya. Jika di cover buku yang pertama aku tampil seorang diri, kali ini aku tampil berdua bersama Denawa atas permintaan penerbit. Alasannya karena didalam buku tersebut aku juga menulis beberapa resep cemilan sehat dan bergizi untuk batita. Maka dari itu mbak Amel menyarankan agar Denawa yang menjadi partnerku.

Aku menambahkan sekitar 30 resep membuat cemilan sehat dan bergizi untuk batita kedalam buku. Tujuannya untuk mengedukasi para ibu supaya lebih variatif lagi menyajikan cemilan untuk putra-putrinya. Mereka bisa membuat dan berkreasi sendiri karena resepnya sangat mudah di mengerti.

 

 

Bab 16

Garin

Setelah selesai berolahraga pagi, Nina memanggil dan mengajakku bergabung bersama dia dan kedua orangtuaku untuk menikmati sarapan bersama. Pagi ini dia sengaja membuatkan menu sarapan favorit keluarga kami yaitu nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya.

"Yuk makan mas. Dietnya libur aja dulu hari ini, itung-itung cheat day." Godanya sambil melirik kearah piring yang berisi dua butir telur rebus dan segelas jus buah tanpa gula yang menjadi menu sarapan pagiku hari ini.

Aku mengalihkan pandanganku pada nasi kuning yang disajikan Nina. Jika melihat makanan lain, perutku masih bisa tahan. Tapi kalau yang ini rasanya sulit kutolak. "Kamu tuh racun banget Nin."

Nina terkekeh sambil mengisi piring dengan nasi kuning dan lauk pauknya lalu menyerahkanya kepadaku. "Boleh makan kok mas, asal nasinya sedikit."

"Mana bisa sedikit, nasi kuning buatan kamu tuh juara tahu. Kapan lagi aku bisa makan ini."

Aku kemudian menambahkan nasi dengan porsi dobel kedalam piringku lalu mulai memakannya.

"Katanya kalau pagi-pagi nggak mau makan karbo, kok ini malah makan sepiring." Ejek papih.

Aku mendengus kesal karena mereka semua kompak mengejekku. Namun aku tidak peduli dan tetap menikmati sarapan lezatku pagi ini.

"Enak banget Nin. Kenapa kamu nggak jualan nasi kuning aja depan komplek, pasti laku."

"Ishhh..aku tuh wanita sibuk tau, mana ada waktu jualan."

"Cie sibuk." Goda Pras yang langsung dihadiahi lemparan mentimun oleh Nina.

"Oh ya Nin, ibu kamu cerita sama tante kalau sekarang kamu jarang pulang ke rumah dan lebih memilih tinggal di apartemen."

"Iya tan, aku memang udah jarang tidur di rumah, soalnya rumah ibu jauh. Belum lagi kalau kejebak macet, bisa satu jam lebih aku nyampe kantor. Makanya aku putusin beli apartemen yang dekat kantor supaya nggak kelamaan dijalan."

"Tante percaya kamu sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri. Tapi pesan tante jangan lupa pulang ke rumahmu soalnya kamu ini kan anak satu-satunya. Kasian ibu dan bapakmu pasti kangen sama anaknya."

"Iya tan."

"Terus gimana ceritanya sampai akhirnya tertarik bisnis EO juga, apa nggak repot ngurus dua-duanya?"tanya kedua orangtuaku pada Nina.

Setahun terakhir ini, Nina memang menjadi trending topik dikeluarga kami karena kesibukan serta bisnisnya yang makin berkembang.

"Aku kan pegang WO udah lima tahunan. Lama-lama aku pengen berkembang dengan memulai bisnis lain. Akhirnya aku memutuskan untuk terjun di EO karena menurutku bisnis ini masih dalam lingkup yang sama sehingga tidak terlalu banyak kesulitan. Dan aku bersyukur sekali karena setahun ini aku bisa menghandle keduanya dengan baik."

"Syukurlah kalau begitu. Ternyata ponakan tante ini luar biasa. Wanita jaman sekarang tuh hebat-hebat yaa. Amanda sama kamu tuh mirip, sama-sama berjuang dari bawah."

"Amanda jauh lebih hebat dari aku. Dia punya keahlian soal selera dan cita rasa yang nggak bisa disaingi. Sementara aku kan hanya penjual jasa yang nggak punya keterampilan. Makanya aku harus bener-bener memberikan service terbaik jika ingin bersaing."

"Asalkan mau terus belajar dan berusaha kamu pasti akan berhasil karena kerja keras itu yang paling menentukan kesuksesan." ujarku.

"Awalnya aku masih ragu sih mas, apa bisa menjalani keduanya. Tapi untungnya Manda support banget dan mau menjadi client pertamaku dengan mempercayakan acara pesta ulang tahun Denawa sama aku."

"Siapa Denawa?" Tanya mamih yang sepertinya lebih tertarik dengan nama itu dibanding cerita Nina.

"Anaknya Amanda tante."

"Amanda? Amanda mana, Amanda Greya maksud kamu?"

"Iya lah tante, Amanda mana lagi memangnya?"

"Amanda..Amanda udah punya anak?"

Bukannya menjawab, Nina malah terlihat sama bingungnya dengan kami. "Memangnya tante sama om nggak tahu kalau Manda udah punya anak? Mas juga?" Tanyanya padaku.

Kami kompak menjawab tidak, buat kami ini adalah kabar yang sangat mengejutkan.

"Pras kamu tahu sesuatu tentang Amanda, kalian kan dekat?" Mamih kemudian melempar pertanyaanya pada Pras.

"Aku juga nggak tahu mih. Setelah pindah ke Surabaya kami masih tetap berkomunikasi kok, tapi dia nggak pernah cerita apa-apa sama aku. Malah lima bulan yang lalu aku sempat pulang kesini karena ada undangan reuni. Aku menghubungi Manda buat ngajak ketemuan tapi waktu itu dia lagi ada di Bali sama keluarganya."

"Dari kemarin-kemarin pun, Amanda nggak cerita sedikit pun ke tante kalau dia udah menikah dan punya anak. Memangnya dia nikah sama siapa Nin? Kamu kenal suaminya?"

"Aku juga nggak tahu sih siapa suaminya karena sama sekali belum pernah ketemu. Yang jelas Manda nggak terlalu suka membicarakan masalah pribadi dan keluarganya kalau kami ketemu."

"Jangan-jangan Manda sudah bercerai mih. Soalnya mas Dewa nggak mungkin berani deketin dia kalau Manda masih terikat pernikahan. Suami mana yang rela istrinya dekat dengan pria lain."

"Masuk akal juga analisa kamu Pras. Anaknya Manda laki-laki atau perempuan Nin, usia berapa tahun kira-kira?"

"Laki-laki tan. Namanya Denawa, umurnya kira-kira dua tahun lebih."

"Dua tahun? Kalau anaknya sudah dua tahun sepertinya  Amanda menikah setelah kita pindah ke Surabaya. Tapi kenapa Amanda dan Tia nggak gundang kita yaa atau setidaknya mereka berbagi kabar bahagia. Apa jangan-jangan?" Ucap mamih menggantung.

"Huss..jangan berpikir negatif dulu sebelum mengetahui faktanya." Sergah papih.

"Ya ampun maaf pih." Sesal mamih. "Apa sebaiknya kita ke rumah Amanda saja, sekalian lihat anaknya."

Papih nampak berpikir dan terlihat seperti keberatan. "Apa nggak salah mih. Sedangkan Amanda saja belum sedikit pun cerita sama kita tentang kehidupan pernikahanya. Papih pikir sebaiknya kita hormati privasi Amanda dan bersikaplah seolah tidak tahu apa-apa."

"Apa yang dibilang papih itu betul mih. Selama Manda tidak mengatakan apapun lebih baik kita bersikap tidak tahu saja karena dia pasti punya alasan kenapa tidak mau bercerita."

Mamih terlihat kecewa dengan keputusan papih yang melarangnya.  "Baiklah, mamih pikir juga begitu. Lebih baik mamih telpon Tia saja dulu untuk menanyakan kabarnya. Kebetulan kami sudah lama nggak ketemu. Siapa tahu dia mau cerita sama mamih."

"Boleh mih. Tapi ingat ucapan papih tadi, jangan terlalu ingin tahu dan mencampuri urusan orang lain, sesuai porsinya saja. Walaupun dulu mamih dekat dengan mereka tetap saja ada batasan-batasan yang harus kita jaga dan kita hormati."

Aku setuju dengan pemikiran papih. Amanda pasti punya alasan khusus kenapa tidak mau menceritakan perihal pernikahanya. Mungkin saja karena dia memang tidak mau berbagi tentang kehidupan pribadinya. Bagaimana pun juga, kami ini sudah lama tidak bertemu dan otomatis hubungan yang terjalin diantara keluarga kami pun menjadi tidak sedekat dulu.

Namun yang pasti, banyak sekali pertanyaan yang mengganjal dibenakku perihal pernikahanya yang terkesan terburu-buru itu. Dan kenapa Dewa selalu dekat denganya? Apakah benar analisa Pras kalau Amanda memang sudah bercerai? dan siapakah pria yang sudah membuat dia menjadi janda secepat ini?

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Cinta Sendiri
1
0
Bab 17&18
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan