
Garin & Amanda ~
Amanda Greya si gadis tomboy yang sangat mencintai Garin Danandjaya, pria dewasa yang usianya terpaut delapan tahun dan sudah memiliki kekasih.
Garin Danandjaya merasa terusik dengan kehadiran Amanda yang akhir-akhir ini yang selalu mengganggunya. Setelah mengetahui kalau gadis itu menyukainya, dia pun berusaha menghindarinya.
Hingga suatu hari tanpa sepengetahuan Garin dan keluarganya, Amanda melahirkan seorang bayi berjenis kelamin laki-laki yang hadir akibat perbuatan yang...
Bab 1
Amanda
Sang fajar datang mengganti malam. Menyulap langit yang tadinya pekat berubah menjadi warna kemerahan, pertanda bahwa sang penguasa siang akan segera muncul dilangit timur.
Bertepatan dengan itu, bunyi alarm ponselku terdengar nyaring, mengingatkan agar aku segera menyudahi tidur dan bergegas menjauhi peraduan untuk menyambut rutinitasku dipagi hari.
Setelah berpakaian rapi dan menyiapkan beberapa keperluan yang harus dibawa, aku berlari kecil menuruni anak tangga menuju tempat dimana motorku berada dan menyimpan semua barang-barangku disana agar tidak tertinggal. Aku memang sudah terbiasa bergerak cepat karena jarak sekolahku yang cukup jauh menuntutku untuk berangkat lebih pagi.
Salah satu yang menjadi alasanku memilih sekolah tersebut adalah, ayahku. Sebelum berpulang, beliau sempat berpesan agar aku bisa lulus dengan nilai terbaik supaya bisa diterima di salah satu sekolah unggulan di kota ini. Aku kemudian berusaha keras demi mewujudkan keinginanya. Tidak ada waktu untuk bermain atau bermalas-malasan. Semua waktu aku habiskan hanya untuk belajar dan belajar hingga semua usahaku membuahkan hasil. Akhirnya aku lulus dengan nilai tertinggi dan berhasil diterima di SMU unggulan tersebut.
Tak terasa sudah empat tahun ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Kepergiannya membuat keadaan kami sempat terguncang waktu itu. Karena selain kehilangan sosok seorang suami dan ayah, kami juga kehilangan sosok yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga.
Ayah sebetulnya meninggalkan beberapa aset berbentuk rumah, tanah, tabungan dan juga uang pensiunannya untuk kami. Itu sudah lebih dari cukup untuk bisa membiayai kuliahku dan adikku serta membiayai kebutuhan kami sehari-hari. Tapi itu tidak menjadikanku malas dan berpangku tangan begitu saja. Aku yang dari kecil memang hobi membuat kue, mulai tergerak untuk menjalankan bisnis dibidang itu lalu menjualnya melalui akun media sosialku.
Awalnya ibu sempat melarangku karena khawatir jika kesibukanku akan mengganggu waktu belajarku yang sebentar lagi akan menghadapi ujian. Namun aku bersikeras dengan alasan kalau ini adalah hobiku. Dan berkat kegigihanku selama ini, usaha yang aku rintis akhirnya berkembang dan mulai banyak peminatnya sehingga mendorongku untuk lebih berkreasi dengan mencoba berbagai resep.
Meskipun sedikit repot, aku sangat menikmati prosesnya dan sama sekali tidak merasa terbebani saat mengerjakanya. Karena menurutku, apa yang aku lakukan ini seperti hobi yang dibayar.
"Sarapan dulu ya. Ibu udah buatin nasi goreng sama ceplok telur."
Aku duduk patuh disamping ibu dan mulai memakan sarapanku yang rasanya selalu lezat.
"Bu, pesanan mixer-ku nanti siang datang." ucapku mengawali pembicaraan kami pagi ini.
Raut wajah ibu berubah cepat, kekecewaan tergambar jelas disana. "Nggak cape gitu, masih bikin kue terus padahal sebentar lagi ujian."
"Aku sih bersyukur aja, berarti itu rezeki buat aku. Lagian ibu tahu sendiri kan kalau aku suka banget dengan pekerjaan ini."
"Tapi teteh nggak perlu kerja keras. Fokusnya harusnya belajar bukan mencari uang."
"Justru itu tantanganya. Aku pengen buktikan sama ibu, walaupun sibuk tapi aku juga bisa dapet nilai yang bagus."
Tidak ada jawaban. Suasana pun berubah menjadi hening kembali.
"Bu.." rengekku.
"Ya sudah terserah teteh aja kalau begitu. Yang penting jaga kesehatan jangan sampai sakit karena terlalu ngoyo."
Aku tersenyum lega dan langsung memeluk ibuku. Bersyukur sekali memiliki orangtua yang sangat pengertian. "Makasih ya, bu. Aku janji nggak akan mengecewakan ibu."
"Ingat yaa, harus bisa bagi waktu. Jangan pacaran dulu, nanti tambah pusing."
"Yaahh... kenapa nggak boleh. Padahal aku lagi ngecengin mas Garin loh." candaku.
"Huss jodoh orang itu mah, jangan halu."
Aku tergelak, bisa-bisanya aku menyukai pria dewasa yang jelas-jelas sudah ada yang punya.
"Becanda, bu." elakku.
"Lagian umur kalian itu beda jauh. Kok bisa suka sih? Ada-ada aja. Tapi kalau ibu perhatikan, justru teteh sama adiknya Garin yang kelihatannya deket."
"Aku sama Prasada cuma sahabatan."
"Tapi dari cara dia memperlakukan teteh itu beda loh. Ibu kan pernah muda juga jadi bisa ngerasain."
"Ahh, mungkin cuma perasaan ibu aja. Pras emang begitu orangnya. Dia lebih ramah dibanding mas Garin."
Ibu tampak berpikir, mungkin dia sedang membandingkan sikap dan watak dari kedua kakak beradik itu. Sebelum ibu membahasnya lebih jauh, aku memutuskan untuk segera berpamitan.
Aku menunggangi motor matic yang baru dua bulan menemani aktifitasku. Karena jalanan hari ini tidak terlalu macet, jadi aku bisa sedikit lebih santai dalam mengendarai. Saat melihat mas Garin, tetangga depan rumah yang baru saja aku bahas dengan ibu, sedang berdiri dipinggir jalan dengan tangan yang sibuk memainkan ponselnya, aku melambatkan laju motorku.
"Mas Garin lagi ngapain? kok berhenti dipinggir jalan?" Tanyaku.
"Mobilnya mogok." ucapnya singkat sambil terus berusaha menghubungi seseorang.
"Kok bisa mogok sih?"
"Kemarin mobil mas dipinjem Prasada. Jadi terpaksa deh pakai mobil yang ada di rumah. Ternyata mogok." jawabnya, sambil memandang mobil itu dengan wajah yang frustasi.
Tiba-tiba saja keinginan untuk menjadi peri baik hati langsung terlintas begitu saja dibenakku. "Ya udah tinggalin aja mobilnya. Mas bisa ikut dan bawa motorku aja. Tapi sebelumnya, antar aku ke sekolah dulu yaa." Aku segera turun membuka jok dan mengambil helm lainnya untuk diserahkan pada mas Garin.
"Nggak usah, biar mas naik ojol aja." ucapnya sambil menolak helm yang kuberikan.
Aku tidak terkejut sama sekali dengan penolakannya karena mas Garin memang seperti itu orangnya, suka sok jual mahal. "Mas punya aplikasinya kan?" tanyaku, hendak menyimpan kembali helm yang berada ditanganku.
Tiba-tiba dengan gerakan cepat, dia mengambil kembali helm itu dari tanganku dan langsung memakainya.
"Katanya mau naik ojol?" cibirku.
"Ternyata mas nggak punya aplikasinya." ucapnya, langsung mengambil alih motorku tanpa merasa malu.
"Cepet naik!" perintahnya, seolah-olah dialah pemilik motor ini dan aku cuma menumpang.
"Cuma nebeng tapi berasa yang punya." Sindirku.
Setelah duduk nyaman dibelakang mas Garin, aku mengaitkan kedua tanganku dipinggangnya.
"Siapa yang nyuruh peluk-peluk mas?" Protesnya sambil menoleh kearahku.
"Aku nggak peluk kok. Cuma pegangan aja biar nggak jatuh."
"Kaya anak SD aja takut jatuh." Protesnya sambil melepas kedua tanganku dengan paksa.
Aku membuang napas kesal setelah mendapatkan penolakan darinya. Padahal saat ini aku telah menjadi peri baik hati yang menolongnya dari kesusahan.
Aku membuka helm yang kupakai lalu menyerahkannya pada mas Garin saat kami sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah.
"Mas Garin nanti pulangnya jemput aku kan?"
"Aduh..keburu nggak yaa." gumamnya sambil melihat jam yang berada dipergelangan tangannya.
"Serius? Terus aku pulangnya gimana?"
"Kalau nggak keburu, nanti dijemputnya sama Pras aja, yaa. Kebetulan siang ini dia udah balik. Nggak apa-apa kan? soalnya mas sibuk banget hari ini."
"Nggak mau. Aku maunya dijemput sama mas Garin."
"Kalau telat gimana? Kasihan kamunya nunggu lama."
"Nggak apa-apa."
"Kenapa nggak mau dijemput Pras? Berantem lagi?" Tanya mas Garin yang sepertinya sudah hapal tentang kebiasaan kami.
"Iyaaa."
"Kebiasaan! Ya sudah kalau gitu mas usahakan bisa jemput kamu nanti sore. Agak telat sedikit nggak apa-apa kan?"
"Nah gitu dong harus tanggung jawab. Awas yaa kalau bohong, nanti aku aduin ke tante Rossa." ancamku sebelum pergi meninggalkannya.
Bab 2
Garin
Motor milik Amanda yang aku kemudikan melaju kencang menyusuri jalanan kota Bandung yang lumayan bersahabat hari ini, karena tidak sekali pun aku terjebak di kemacetan yang mengular.
Tujuanku adalah menemui Maya di rumahnya. Tadi malam dia memintaku untuk mengantarkannya ke suatu tempat karena mobil yang biasa dia pakai sedang berada di bengkel. Sebagai kekasihnya, tentu saja aku tidak akan menolak dan siap mengantarnya kemanapun tujuannya.
Sebelum kami menjalin hubungan, aku mengenal Maya sebagai adik dari sahabatku karibku, willy. Kebersamaan kami rupanya menimbulkan benih-benih cinta dihati Maya. Aku pun tak menolak dan menerimanya saat Maya menyatakan cintanya padaku. Dia cantik, seksi, pintar dan sangat peduli padaku. Bagiku itu semua sudah cukup menjadi alasan kenapa aku mau menerimanya.
Namun saat aku berniat untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius setelah Maya selesai di wisuda, dia menolak dengan alasan masih ingin melanjutkan pendidikannya. Walaupun sedikit kecewa, tapi aku coba untuk mengerti karena wanita pintar seperti Maya pasti haus akan ilmu. Jadi aku tidak mau menjadi penghalang cita-citanya dan bertekad untuk sabar menunggunya hingga siap.
Setelah tiba, Maya langsung menyambutku didepan rumahnya. Rupanya dia sudah siap dengan tampilan terbaiknya. "Loh, kok bawa motor sih?" Tanya Maya karena tidak pernah sekalipun aku membawa motor saat berkencan dengannya.
"Mobilku dibawa sama Pras."
"Terus kenapa nggak pake mobil lain aja, malah bawa motor."
"Tadi sebelum kesini sebenarnya aku pakai mobil. Tapi tiba-tiba mobilnya mogok dijalan, jadi terpaksa aku nebeng dan minjem motor tetangga."
"Jadi ini motor punya tetangga kamu? Malu-maluin banget sampai pinjem punya orang."
"Orangnya juga nggak masalah."
"Lagian main bawa aja. Aturan nanya dulu ke papih kamu atau dicek dulu kondisi mobilnya sebelum dipakai." omel Maya.
Tak ingin berdebat, aku pun langsung menaiki motor itu kembali. "Ayo buruan naik ntar telat. Mau diantar kemana?" tanyaku.
"Serius, kamu mau nganterin aku naik motor?"
"Sekali-sekali lah. Lagipula kamu mau naik apa coba, mobil kamu juga masih dibengkel kan?"
Dia tampak menimbang ajakanku, namun raut wajahnya terlihat ragu. Aku tahu betul siapa Maya, dia wanita yang sangat menjaga image dan anti sekali sama yang namanya motor.
"Kita nggak usah jadi aja deh perginya, mending kamu temenin aku dirumah aja."
Sudah aku duga sebelumnya kalau dia akan menolak. Padahal motor yang aku bawa ini adalah motor keluaran terbaru dan termasuk salah satu kendaraan yang sedang banyak digandrungi.
"Kenapa sih May kamu alergi banget naik motor, padahal kan ini motor bagus." tanyaku, tidak peduli Maya akan menafsirkan seperti apa ucapanku.
"Kamu tahu sendiri kan, rambut aku suka berterbangan kalau naik motor. Belum lagi wajahku bakalan kotor nantinya. Males ahh."
"Jadi kita nggak jadi jalan nih?" tanyaku, sedikit kecewa dengan penolakan Maya.
"Maaf.."
"Okay. Nggak masalah." ucapku lalu memarkirkan kembali motor milik Amanda. Mengingat Amanda, gadis centil itu sangat berbeda dari Maya. Jika maya tidak menyukai motor, gadis itu malah sebaliknya. Dia lebih nyaman kesana kemari menggunakan motornya tanpa merasa takut kepanasan atau kehujanan.
Amanda memang cuek dan terkesan tomboy tapi bukan berarti dia tidak memperhatikan penampilanya. Aku sering sekali melihatnya di salon kecantikan yang sama saat mengantar mamih melakukan perawatan disana.
Amanda lebih memilih bergaya casual dibanding feminin seperti kebanyakan wanita. Dia sangat menyukai tampil hanya dengan mengenakan celana jeans, kaos oblong yang dikombinasi dengan kemeja flanel yang dilengkapi assesories topi dan sneakersnya. Kalau aku tebak, bisa jadi koleksi kemeja flanel yang Amanda punya jauh lebih banyak daripada koleksi dilemariku karena aku lebih sering menggunakan kemeja polos untuk ke kantor.
Saat menyatakan cintanya pun sangat berbeda, Maya tampak malu-malu namun sangat tenang. Sedangkan Amanda, gadis itu sangat blak-blakan dan tidak tahu malu. Itulah kenapa aku sedikit menghindar darinya setelah mengetahui kalau dia menyukaiku. Bukan karena dia tidak cantik, bukan... Dia malah sangat cantik dan menggemaskan dengan bare face nya yang terkesan natural. Tapi aku pikir dia lebih cocok menjadi adikku dibanding pacarku, karena usianya yang delapan tahun lebih muda dariku. Tidak mungkin kan aku mengencani daun muda?
Aku tersenyum saat mengingat kalau Amanda pernah menyatakan cintanya padaku. Bisa-bisanya gadis kecil itu menyukaiku. Punya KTP saja belum, sudah sok-sok-an ingin menikahiku.
"Nanti siang jalan yuk ke mall, aku pengen beli buku."
Ajakan Maya membuyarkan lamunanku. Aku merutuki diriku karema bisa-bisanya mengingat Amanda ketika sedang bersama Maya.
"Masuk dulu yuk, dari tadi kamu diluar terus." Dia mengajakku masuk kedalam rumahnya yang sepi karena memang tinggal sendirian.
Taman belakang rumah Maya tampak gersang dan kering. Sepertinya dia jarang sekali merawat tanaman-tanamannya. Hanya ada hamparan rumput hijau dan beberapa tanaman yang tidak lebih dari lima pot saja yang berada disana. Sangat disayangkan, padahal tanahnya sangat luas sekali.
Maya sangat feminin dalam berpenampilan namun dia tidak menyukai berbagai kegiatan yang banyak dilakukan seorang wanita. Contohnya seperti memasak atau bercocok tanam. Karena menurut dia, itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumh tangga. Sedangkan dia tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Dia ingin menjadi salah satu dari sekian perempuan yang sukses dalam karirnya.
Maya kemudian datang dan memberikan satu buah minuman kaleng dingin kepadaku. Aku memperhatikan minuman bersoda itu dan langsung meringis saat membayangkan bagaimana lambung dan ususku akan menderita setelah meminumnya apalagi perutku belum terisi makanan sedikit pun pagi ini.
Aku sempat bertanya didalam hati, kenapa Maya memberiku minuman seperti ini dipagi hari? atau jangan-jangan untuk sekedar memberiku secangkir teh hangat saja, dia tidak punya persediaan.
"Ada teh hangat nggak May? nggak baik buat lambung kalau pagi-pagi minum ini. Lagian aku kan nggak minum soda."
Maya menggeleng pelan dengan wajah penuh rasa bersalah. "Sorry yang, aku belum belanja persediaan dapur. Mau nggak aku ambilkan air putih hangat aja?" tawarnya.
"Ya udah nggak apa-apa, air putih aja kalau begitu." pintaku.
Maya datang beberapa menit kemudian dengan secangkir air putih hangat, oh bukan, lebih tepatnya air putih panas karena begitu aku meminumnya, bibirku rasanya langsung melepuh saking panasnya.
Maya tampak panik saat melihat aku mengibas-ngibaskan tangan di bibirku.
"Kamu ngasih aku air panas, May?"
"Maaf sayang, tadi aku lupa. Harusnya, air panasnya dicampur pakai air dingin dulu." Ucapnya sambil membawa satu botol air putih dingin.
"Nggak usah..nggak usah." Tolakku. "Habis minum air panas terus dikasih air dingin, bibirku jadi apa nantinya."
"May, mulai sekarang kamu harus belajar untuk hal-hal seperti ini. Bukankah kita nanti akan menikah?" protesku, sedikit kesal karena untuk hal kecil seperti ini saja Maya terlihat kesulitan.
"Nikah?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.
"Iya nikah. Kamu mau kan kalau kita nikah?"
Maya mengangguk. "Mau"
"Makanya kamu harus belajar bagaimana tugas menjadi seorang istri. Nggak usah belajar masak dulu deh karena itu akan sulit dan membutuhkan waktu. Tapi setidaknya kamu bisa mengerjakan hal-hal kecil yang biasa dilakukan perempuan."
Maya hanya mengangguk. Aku tidak bisa mengartikan apa maksud dibalik anggukannya. Tapi yang terpenting, aku sudah memberitahu point-point awal sebelum kami menuju ke jenjang yang lebih serius lagi, yaitu pertunangan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
