
[rated 19]
JJ Grup saat ini masih menguasai dunia bisnis. Siapa yang tidak tahu JJ Grup? Jesko Jardin, yang sekarang menjadi ahli waris JJ Grup, tersenyum senang di meja kerjanya sambil menonton televisi yang terus menyoroti dirinya dengan segudang pencapaian cemerlang. Mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, dan tangan kirinya menumpu dagu, masih ada satu pencapaian yang harus ia dapatkan. AJ Grup.
Amara Jens, ahli waris AJ Grup, menyeringai ketika melihat Jesko Jardin yang terus bermunculan di televisi....
Ego Amara yang setinggi gunung, setelah dua minggu kejadian itu terjadi pun, ia masih tak berterimakasih pada Jesko. Amara kesal karena akhir-akhir ini dia selalu memikirkan Jesko tanpa mengenal waktu. Seperti saat ini, saat ia sedang sibuk bekerja, meeting mengenai promosi hotel dan pusar perbelanjaan milik AJ Grup, Amara tak bisa fokus. Semua orang tak berani menanyakan Amara melihat atasannya dengan wajah geram itu sambil mengepalkan tangan. Anne yang melihat beberapa staf yang celingak-celinguk heran, kemudian memberanikan diri untuk menepuk tangan Amara.
"N-Nona, bagaimana menurut nona presentasi kali ini? Apa bisa diterima dan dijalankan secepatnya."
"Oh, maaf. Apa boleh jelaskan sekali lagi pada saya?" Ujar Amara yang kembali mencoba fokus. Dengan perasaan sedikit takut, staf kembali mempresentasikan ide mereka pada Amara. Amara mengangguk dan menyetujui. "Ide bagus. Tapi sebaiknya ini kita promosikan bulan depan."
Staf yang mendatangi meeting mengangguk. Mereka kemudian beranjak dari kursi dan pamit, meninggalkan Anne dan Amara.
"Nona, apa nona sedang tidak enak badan?" Tanya Anne pada Amara.
Amara menggeleng. "Tidak, tidak. Aku hanya butuh es kopi susu favoritku. Kau bisa membelikannya, kan?" Anne mengangguk. Ia kemudian pamit pergi membeli es kopi susu pesanan Amara.
Amara terdiam sebentar sambil menyenderkan bahunya di kursi kerja. Ia menghela napas panjang. Kenapa si bodoh itu terus menghantuiku, sih?! Lagian, bagaimana dia tahu kalau aku menemui Xander? Apa dia memata-mataiku lagi? Berdecih, Amara beranjak dari duduknya menuju ruang kerjanya. "Aku harus tanya langsung agar aku bisa tenang dan tak lagi diganggu oleh si bodoh itu."
-
Waktu menunjukkan pukul lima sore, Amara pergi menuju Hotel Sky Blue untuk menanyakan langsung pada Jesko. Ia sudah tak tahan lagi ingin menanyakan hal yang ia pendam selama ini. Menunggu di bar, Amara memesan minuman ringan tanpa alkohol. Sudah mau jam tujuh malam, Jesko masih tak terlihat.
Amara kemudian pergi memesan makan malam di restoran hotel JJ Grup. Ia memesan krim pasta dan juga roti panggang yang diatasnya dilapisi butter, oregano, dan juga saus bolognese. Setelah makan malam, Amara kembali menunggu di bar.
Tak sabaran, ia terus melihat jam di tangan kirinya. Harus berapa lama lagi aku menunggu?! Geramnya pada diri sendiri. Penantian panjang itu akhirnya membuahkan hasil. Jesko mengunjungi bar dan duduk di tempat biasa. Amara segera mendekati Jesko.
"Hei." Sapa Amara singkat.
Respon Jesko hanya berdecak sebal tanpa melihat wajah Amara.
"Aku bicara padamu." Ucap Amara yang tak sabaran.
Jesko menatap Amara dengan tatapan kesal, marah, geram, semua bercampur menjadi satu. Alis Amara mengernyit tak mengerti. Yang harusnya marah kan aku, kenapa dia?! Amara tak menaikkan nada bicaranya, ia terus mencoba membuka percakapan dengan Jesko. Jesko tak menjawab apa-apa, mengabaikan Amara.
Belum sempat minuman yang ia pesan itu datang, Jesko beranjak dari duduknya dan menjauhi Amara.
"Hei! Hei! Tunggu!" Pekik Amara yang mengikuti Jesko.
Jesko terus melangkah tanpa merespon Amara.
"Hei!" Pekik Amara lagi. Untung saja jalan yang mereka lewati itu cukup sepi.
Langkah Jesko terhenti, ia kemudian menoleh ke arah Amara. "Mau apa?" Tanya Jesko acuh.
"Kupingmu itu tak bisa dengar dengan baik atau bagaimana?! Apa kau tidak dengar dari tadi aku memanggilmu?!" Geram Amara.
"Sudah, kau pulang saja. Melihatmu itu membuatku kesal." Ujar Jesko cuek dan kembali meninggalkan Amara.
Mulut Amara sedikit terbuka karena terkejut melihat respon yang ia dapat dari Jesko. Dadanya berdenyut terasa sedikit sakit, Amara tak mengerti. Amarah Amara yang tadinya menggebu-gebu pun perlahan menghilang. Bak hilang arah, Amara masih berdiri di sana menatap punggung Jesko yang perlahan menjauh, kemudian menghilang.
"A-apa itu tadi? Bukankah harusnya aku yang marah? Kenapa dia marah sekali padaku?" Gumam Amara pada dirinya sendiri. Lima belas menit mematung, Amara kemudian melangkahkan kakinya menuju parkiran kembali ke penthouse. Ia tak mengejar atau memaksa Jesko untuk menemuinya.
-
Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian tidur, Jesko merenung sebentar. Ia kembali mengingat wajah Amara yang baru saja ia temui tadi. Ada rasa bersalah menyelimuti Jesko setelah apa yang ia lakukan pada Amara. Namun Jesko tak bisa mengontrol perasaannya dengan baik setelah mengetahui Amara menemui Xander. Rasa marah, geram, khawatir, takut, semua bercampur menjadi satu. Ketakutan Jesko lalu terbukti. Jesko tak hanya marah pada Xander, tapi juga Amara. Ia masih tak menyangka Amara menemui Xander yang sudah jelas-jelas bukan lelaki sembarangan yang bisa ia temui.
Setelah menjenguk Amara kala itu, emosi Jesko menjadi-jadi. Ingin sekali ia bertanya pada Amara maksut dan tujuannya itu. Dia menolak JJ Grup hanya untuk bekerjasama dengan orang rendahan seperti itu? Jesko tak pernah bisa mengetahui isi otak Amara.
Ponselnya bergetar. Jesko membaca pesan singkat tersebut dan menghela napas lega. Saat menjauhi Amara, Jesko menyuruh orang suruhannya itu memata-matai Amara hingga Amara sampai di penthouse. Setelah mengetahui Amara pulang dengan selamat, Jesko memejamkan matanya untuk mencoba tertidur.
Sepuluh menit ia mencoba untuk tertidur, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal menelponnya. Jesko hanya melihat sejenak, mengabaikannya kemudian. Ia kembali mencoba untuk tidur.
Yang menelpon adalah Amara. Sampai di penthouse, perasaan Amara tidak tenang. Ia ingin segera bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada Jesko sehingga ia begitu marah. "Dulu kalau aku mengganggunya, marahnya pun tak seperti ini." Amara terus mengingat wajah Jesko yang baru saja ia temui.
"Tapi kalaupun dia marah, aku ini kenapa peduli sekali, sih?! Ya biarkan saja kalau dia mau marah atau tidak!" Amara menendang selimutnya berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, rasa sakit itu kembali menyelimutinya. Amara menghela napas panjang. "Ada apa denganku sebenarnya..." Tanyanya pada dirinya sendiri.
Amara merenung, bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Sampai tengah malam pun ia tak bisa tidur karena pikirannya sibuk memikirkan Jesko. Matanya memanas, air yang menumpuk itu akhirnya tak dapat terbendung lagi, tumpah mengenai pipinya. Amara menyeka air matanya menggunakan tangan. "Untuk apa aku menangis? Aku tidak pernah menangis sebelumnya." Tanyanya pada dirinya sendiri.
Amara menutup matanya untuk mencoba tertidur. Aku sudah merasakan kegagalan berkali-kali, dicurangi berkali-kali, tapi kenapa diabaikan seperti ini rasanya...ah aku tak peduli! Awas saja dia, akan ku balas nantinya!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
