Redrum

0
0
Deskripsi

Sinopsis:

3 orang wanita terjebak dalam insiden perampokan bank, tapi para pelaku perampokan malah tewas terbunuh semua. Ini adalah cerita prekuel pertama dari cerita REDRUM: NUMERIQ

Cerita oleh:

Dion

Ditulis oleh:

Dion

Klaim cerita:

Melodion 2016 — Cerita ini adalah fiksi, saking fiksinya, tidak ada fakta-faktanya!

post-image-676723663e8df.jpg
post-image-6767236c63d9c.jpg

 

REDRUM merupakan cerita pendek yang menceritakan pengalaman tak terlupakan bagi Ve, Viny dan Frieska.

WARNING : 17+

[ REDRUM ]

Hujan lebat telah membasahi tempat dimana aku berada sekarang, disebuah Bank yang pengunjungnya cukup bisa kuhitung pakai jari dikarenakan ini sore hari dan tidaklah banyak pengunjung. Aku berada disini untuk menyelesaikan kepentinganku untuk membuat ATM baru karena ATM ku sebelumnya telah hilang.

“Loh, Ve kan?”

Aku lalu menoleh kearah kanan tempat dimana aku duduk, dan aku sedikit terkejut walau tak lama.

“Eh-heei Frieska, kok disini?” “Mau ngambil duit, geser dong.”

“Masih banyak kursi kosong begini,” walau berkata seperti itu aku tetap bergeser sesuai permintaannya. Frieska kemudian duduk disampingku, dia ini salah satu teman sekelasku di kampus.

“Kamu ngapain disini Ve?”

“Mau buat ATM baru, kamu kesini pakai apa Fris? Masih lebat gak diluar?” “Pake motor tadi bareng Viny. Hmm jangan ditanya lagi, gak denger apa

suara hujan gede gitu?”

“Haha iya sih, lalu Viny nya mana?” tanyaku sambil celingak-celingukan mencari teman kampusku yang 1 lagi.

“Dia kesebelah sebentar mau beli permen katanya, nanti dia juga kesini.” “Oh ya, ya. Untung jam segini jadi gak terlalu lama ngantrinya hehe.”

“Iya,” senyumnya menyetujui omonganku.

Tak lama kemudian muncul Viny dari arah pintu bersama 2 orang lainnya, Viny yang melihat tempat aku dan Frieska berada langsung saja menghampiri.

“Eh Ve, kamu disini juga?”

“Iya, ayo duduk. Fries, geser sini Fries.” Aku lalu bergeser dan Frieska sekarang duduk ditempatku sebelumnya kemudian Viny duduk dibarisan kami duduk.

Kami bertiga akhirnya mengobrol sampai pada akhirnya kami bertiga kaget karena 2 orang yang tadi ikut masuk bersama Viny duduk dibarisan depan kami, kami kaget karena orang itu main langsung duduk saja dengan memberatkan tubuhnya.

Salah satu orang yang berambut acak-acakan menoleh kebelakang dan

tersenyum kearah kami. “Maaf, kaget ya? Soalnya saya sendiri juga kaget tadi pas duduk.”

 

“Iya, gak apa-apa Mas,” balas Frieska mewakili kami, dan aku membantunya dengan senyum tipis.

“Terima kasih, maaf ya sekali lagi,” sehabis meminta maaf dengan tersenyum orang itu kemudian kembali menghadap kedepan menunggu antrian.

“Nomor 245, harap ke loket 2. Sekali lagu nomor 245 harap ke loket 2,” suara Mikrofon berbunyi memberitahukan nomor antrian.

“Eh itu nomor aku, kalau begitu aku duluan ya Viny, Frieska.” Viny dan Frieska hanya mengangguk mengiyakan, aku lalu berdiri dan segera menuju ke loket 2.

Aku lalu membicarakan kepentinganku dengan pegawai di loket 2 sampai akhirnya dia menyuruhku untuk menunggu sebentar kedalam sambil membawa persyaratan yang aku bawa untuk membuat ATM baru. Aku lalu menoleh ketempat teman-temanku dan melihat Frieska bersama Viny sedang tertawa melihat Handphone yang dipegang Viny, aku rasa mereka sedang melihat sesuatu yang lucu di Internet. Sehabis itu aku melihat didepan mereka, pemuda yang tadi meminta maaf kepada kami sedang menguap dan mengucek matanya, aku sedikit menahan tawa melihat ekspresinya itu yang agak lucu.

“HEI APA-APAAN INI?!”

Suara teriakan itu membuatku tersentak dan segera menoleh kearah sumber suara. Terlihat satpam Bank dihajar dengan senjata laras panjang oleh 2 orang yang memakai topeng diwajahnya sedangkan yang 3 nya lagi memasuki Bank yang kemudian menodong kami semua dengan senjata yang tak jauh berbeda dengan 2 orang tadi.

“MENUNDUK KALIAN SEMUA!”

Aku gemetar, hal ini sering aku lihat di Film-film yang aku tonton dan sekarang hal ini terjadi kepadaku. Sebuah perampokan Bank.

“WOI! NUNDUK!” hardik salah satu perampok tadi kearahku, aku menurutinya karena aku takut.

Selama menunduk itu aku bisa mendengar suara langkah kaki perampok memasuki tempat pegawai Bank berada, aku yang khawatir dengan kondisi temanku kemudian mencuri pandang kearah tempat mereka berada. Terlihat Viny dan Frieska juga berlutut dan menunduk seperti aku dan nasabah-nasabah

 

lainnya lakukan. Mereka terlihat takut seperti aku, apalagi perampok itu terus menodong kami dengan senjata laras panjangnya.

“SEKARANG KELUARKAN BENDA-BENDA BERHARGA YANG KALIAN BAWA!

HP, DOMPET, APAPUN ITU! CEPAT!!”

Aku lalu dengan segera mengeluarkan apa yang diminta mereka karena salah satu perampok berdiri didekatku. Aku meletakkan Handphone dan dompetku tepat dihadapanku.

“WOI, JAGA PINTU YANG BENAR!” teriak perampok yang didekatku, tampaknya dia memarahi komplotannya yang sedang menjaga pintu. Aku tidak tahu pasti karena aku terus menunduk.

Dompet dan Handphoneku kemudian ditendang kearah perampok lainnya yang sedang memungut-mungut barang berharga milik nasabah lainnya.

“WOI, BARANG BERHARGA LO MANA? HAH?!” aku mendengar salah satu teriakan perampok dikejauhan.

“ADA APA?” tanya perampok yang ada didekatku.

“INI ORANG MASA MELETAKKAN TIKET ANTRIAN SAMA SEBUNGKUS ROKOK.”

“Cih,” setelah mengucapkan hal itu perampok yang ada didekatku kemudian berjalan dan dari kakinya aku melihat dia menghampiri teman komplotannya tadi. Aku lalu mencoba melihat siapa yang dimaksud perampok tadi.

Perampok itu lalu menginjak bahu pemuda tadi sampai-sampai pemuda itu sekarang seperti orang bersujud.

“BARANG LO MANA HAH?! DOMPET, HP.”

Tapi pemuda itu bukannya menjawab, tapi terlihat dia tertawa-tawa begitu juga temannya yang berada disampingnya.

“ANJING!” perampok itu lalu menendang muka teman pemuda itu sampai tersungkur sedangkan pemuda itu tampak menoleh kearah samping untuk melihat temannya.

Tapi bukannya khawatir atau bagaimana, tetapi dia malah tertawa dan suara tawanya sekarang sangat jelas seolah-olah itu sangat lucu dan menggelitik dirinya, dan bukan cuma suara dia saja. Temannya yang tadi ditendang juga ikutan tertawa sehingga suara tawa mereka memenuhi setiap sudut ruangan Bank.

 

“Kenapa mereka itu? Apa mereka berdua gila?” pikirku saat ini, disaat semua orang ketakutan hanya mereka berdua yang tertawa lepas seperti melihat suatu hiburan.

“KAU MAU CARI MATI APA, HAH?!” perampok itu tampak sangat marah dan menarik teman pemuda yang ditendang tadi lalu mencengkram kerah kemejanya dan menodongkan ujung senjata mereka kelehernya.

Teman pemuda itu hanya kembali terkekeh melihat ujung senjata perampok yang menempel dilehernya. “Mati? Mati gimana? Mati ditembak senjata mainan kalian? AHAHAHAHAHAHA.”

Aku kaget mendengar itu dan bukan hanya aku saja, kelihatannya orang- orang lain juga kaget dan mereka tampak sudah berani untuk tidak menunduk lagi. Para perampok itu pun tampak cemas karena nasabah lainnya mulai kasak- kusuk, tampaknya yang diucapkan teman pemuda itu benar.

Tapi darimana dia tahu kalau senjata laras panjang itu hanyalah bohongan? “UGHHH!!”

Teman pemuda itu ditinju salah satu perampok dan dia langsung dilempar kebagian tengah ruangan, tepat dihadapanku teman pemuda itu tergeletak. Aku merasa kasihan saat melihat wajahnya sudah memar karena ditendang tadi dan mulutnya juga sudah mengeluarkan darah.

Perampok yang melemparnya tadi lalu menghampirnya, perampok itu lalu mengeluarkan sebuah pisau tentara dan buru-buru kembali menempelkan pisaunya keleher teman pemuda tadi.

“Sekarang kau mau apa? Pisau ini asli dan siap menggerek leher kau!

JANGAN SOK PINTAR KAU JADI ORANG!!”

Aku kembali cemas karena perampok itu tampak tidak main-main, dan perampok lainnya pun mengeluarkan pisau yang sama. Besar dan tajam, seperti didesain khusus untuk membunuh.

“Kami memang tidak pintar, tapi kalian para perampok luar biasa gobloknya.”

Ucapan itu menarik perhatian kami, pemuda tadi dengan santainya mengucapkan kalimat yang memprovokasi para perampok lainnya. Dan benar saja sekarang dia ditarik untuk berdiri dan dihempaskan di pilar bangunan.

 

“Apa maksud kau?! KAU MAU MATI? HAH?!”

Tiba-tiba suara sirine mobil polisi terdengar dari luar yang bercampur bunyi hujan, aku yang mendengar itu mendapat sedikit harapan akan

pertolongan. Para perampok tampak panik dengan suara sirine itu, karena suara sirine bukan hanya 1, tapi banyak.

“PAKAI SATPAM ITU BUAT SANDERA, CEPAT!” perintah salah satu perampok keteman komplotannya yang menjaga pintu. Satpam yang tak berdaya itu kemudian ditariknya dan ditempelkannya di pintu masuk kaca.

“JANGAN MACAM-MACAM ATAU AKU BUNUH DIA!” teriak perampok

didepan pintu mengancam polisi.

“Lihat, aku membicarakan fakta. Kalian benar-benar goblok dan ancaman kalian itu basi.” Pemuda itu tersenyum kepada perampok yang terlihat cemas karena suara sirine tadi.

“BASI KAU BILANG?!” “YA!”

Pemuda itu berteriak dan langsung menendang selangkangan perampok itu, tak ayal perampok itu tampak kesakitan memegang selangkangannya.

“UAAAAAGGHH!!!”

aku lalu kembali menoleh kedepan arahku berada. Teman pemuda itu langsung mencekik leher perampok dan menahan pergelangan tangan perampok yang menempelkan. Perampok itu tampak kesakitan karena dicekik, tak lama kemudian kepala perampok itu langsung dihempaskannya dikeramik tempat dia terbaring sebelumnya. Teman-teman perampok itu terperanjat dan segera mau menolongnya tapi tiba-tiba ada suara yang menghentikan mereka

“Et et et et, jangan coba-coba.”

Aku lalu menoleh dan melihat pemuda tadi sudah berganti posisi menahan tubuh perampok yang ditendang selangkannya. Dia menahan tubuh perampok itu dari belakang dan menaruh pisau tajam itu dilehernya.

“Dion, bisa gak?” tanya pemuda itu kepada temannya yang sepertinya bernama Dion, itu dari cara dia memanggilnya tadi.

“Ya,” aku lalu melihat Dion mengambil pisau perampok yang dia hempaskan kekeramik barusan sambil menghapus darah yang keluar dari mulutnya. Dion lalu

 

menarik perampok tadi dan melakukan hal yang sama seperti pemuda itu lakukan.

“WOI LEPASKAN TEMAN KAMI!” pinta kawanan sisanya, dan perampok yang menjaga pintu semakin cemas. Dia terus melihat kedepan untuk melihat polisi dan melihat teman-temannya yang sekarang disandera balik.

“Heh cewek, nih barang kalian,” pemuda itu lalu menendang tas yang berisi barang jarahan tadi kearah Frieska dan Viny.

“KALIAN JUGA, KEMBALIKAN BARANG YANG KALIAN AMBIL TADI DAN TARUH

DISITU,” aku melihat Dion meneriaki kawanan perampok lainnya untuk menaruh tas berisi barang rampasan tadi kearah Frieska dan Viny.

Aku sedikit lega dan senang karena melihat perampok itu menuruti perkataan Dion. Sedikit ada harapan perampokan ini akan segera selesai.

“OAARRGGGHHHHH AAAAAHHHHH,”

Aku dan yang lainnya menoleh kearah sumber suara dan aku mau muntah rasanya. Pemuda tadi tanpa belas kasihan langsung menggerek leher perampok yang dia pegang, darahnya itu bagaikan air mancur, terus mengalir dan mengalir.

“Apa-apaan ini. Ke-kenapa dia membunuh?” batinku bertanya dan aku kembali menunduk karena aku tidak kuat melihatnya.

“AAAAAAAAAAAAAA,” aku kemudian menoleh dan melihat Viny bersama Frieska berteriak bergidik ngeri melihat darah yang perampok yang mengalir didekat mereka saat. Darah itu terus mengalir sampai merembes ke tas dan meresap.

“A-ANDIKA!!!” salah satu perampok bertekuk lutut tak berdaya melihat temannya di gorok lehernya oleh pemuda itu. Sedangkan perampok sisanya juga tak berani berbuat macam-macam, mereka terlalu shock melihat temannya yang dibunuh dengan santai oleh pemuda itu.

“Enu, kenapa lu bunuh dia?” aku mendengar suara Dion bertanya kepada pemuda yang tampaknya bernama Enu.

“Ubah rencana, kelihatannya kalau ini kita bisa lebih cepat.” “Haaaah yaudah deh.”

 

Sekarang aku, Frieska, Viny dan nasabah lainnya sudah tidak perduli dengan perampok tadi. Kami semua sekarang takut dan bergidik ngeri melihat Enu yang dengan wajah kalemnya membunuh perampok tadi.

Perampok yang sudah mati itu lalu dilepaskan Enu dan saat mayatnya jatuh kebawah, Enu langsung menginjak-injak kepalanya terus-menerus.

“APA YANG KAU LAKUKAN!!!?” salah satu perampok membuka topengnya, terlihat matanya menangis melihat perlakuan Enu menginjak kepala temannya yang dia injak-injak.

“Jangan dibunuh dulu Nu,” suara Dion terlihat meminta dengan tenang.

Enu tampak mengiyakan dari ekspresi mukanya, sedangkan perampok yang menangis itu mulai berlari kearah Enu dan menghunuskan pisaunya. Disaat sudah dekat Enu cukup menghindar dan menahan tangan yang menghunuskan pisau tersebut, kemudian perampok itu ditariknya dan kepalanya dipertemukan dengan pilar bangunan.

“ARRGGGHHHHH,”

Perampok itu dibiarkan Enu untuk jatuh, Frieska dan Viny kembali berteriak karena perampok itu jatuh digenangan darah teman yang membuat cipratan darah yang mengenai wajah Frieska dan Viny.

“Ada yang mau lagi?” Enu lalu bertanya kesisa perampok.

Aku semakin takut, entah aku harus menoleh kearah mana. Bahkan ada nasabah yang terlihat menangis melihat kebrutalan Enu barusan, aku juga seperti itu. Aku tak kuat melihat manusia membunuh orang seperti membunuh binatang, aku kemudian menoleh kearah Viny dan Frieska. Mereka berdua saling berpelukan dan menangis karena mereka yang paling dekat ditempat Enu membunuh perampok tadi.

Sebuah benda berbentuk bulat menggelinding didekat Frieska, aku yang melihat itu langsung muntah. Itu adalah Bola Mata, aku rasa itu bola mata yang keluar gara-gara Enu menginjak-injak kepala perampok yang sudah mati itu. Aku akhirnya menangis karena merasa sial mendapatkan situasi seperti ini.

“Kau mau tau kenapa teman gue bilang kalian goblok tadi?” terdengar suara Dion seperti bertanya kepada perampok yang ditahannya sedari tadi. Perampok itu tidak menjawab tapi dari suaranya kelihatannya dia seperti menahan tangis atau sedang menangis.

 

Entah kenapa aku kembali menoleh kearah Dion dengan mataku yang sudah dipenuh air mata, aku melihat Dion melepaskan topeng perampok tadi dan kembali menempelkan ujung pisaunya keleher perampok itu.

“Kalian mau tau kenapa kami tau senjata kalian palsu?”

“Lama amat Yon, langsung bunuh aje,” terdengar suara Enu meminta Dion untuk cepat membunuh perampok yang dipegangnya.

“Ntar, ngasih tau mereka dulu. Jadi kau mau tau? Sekarang lo lihat kamera CCTV yang disitu, disitu, disitu, disitu dan disitu.” Dion lalu menadahkan kepala perampok untuk melihat kamera CCTV yang tersebar dalam Bank.

“Senjata kalian laras panjang dan pemakai peredam. Kalau aku jadi kalian yang aku lakukan pertama-tama adalah menghancurkan CCTV tersebut lalu keruangan monitor dan menghancurkan semuanya. Tapi, dari kalian masuk tadi kalian sama sekali tidak menembak CCTV yang sangat tinggi itu, noh, noh. Dan baru kali ini aku melihat ada senjata laras panjang tidak ada pelatuknya, Bego atau gimana kalian ini?”

Aku yang mendengar itu akhirnya sadar, aku rasa nasabah dan perampok itu juga baru menyadarinya.

“Yang kedua, jejak sepatu kaki kalian. Udah tau diluar hujan dan kalian memasuki Bank dengan kondisi sepatu berlumpur, dan sekarang coba kalian liat. Jejak sepatu kalian dimana-mana gara-gara itu, polisi dengan gampang itu menganalisa jejak sepatu kalian.” Dion kembali mengarahkan kepala perampok yang dilihatnya kejejak-jejak kaki mereka.

Aku juga melihat jejak sepatu perampok yang didekatku sebelumnya dan benar kata Dion, jejak sepatu kaki perampok itu tertempel jelas dikeramik terbentuk dari lumpur yang basah.

“Lalu…”

Tiba-tiba Enu yang berbicara.

“Ruangan direktur Bank, kalian masuk kesini tapi kalian masuk ketempat pegawai saja. Tapi kami berdua lihat kalian tidak memasuki ruangan direktur, jadi jangan heran kenapa banyak polisi sekarang diluar sana. IYA KAN PAK?!”

Tak ada jawaban dan aku kemudian melihat Enu tampak kesal. “MAU DISAMPERIN KESANA PAK?” teriak Enu.

 

“I-IYA IYA,” terdengar suara teriakan orang yang ketakutan dari dalam ruangan, tampaknya itu suara direktur Bank yang dimaksud.

Enu mendengus puas dan menginjak dada perampok yang dia hantamkan

tadi.

“Jadi kalian sadar diri seharusnya pas teman gue bilang kalian goblok tadi, kalian benar-benar perampok tergoblok yang kami pernah jumpai,” sehabis berkata begitu aku melihat Dion mendorong perampok yang ditahannya, perampok itu memutar dan melihat Dion dengan tatapan ketakutan.

“Dan rencana kami berdua kesini sebenarnya juga mau merampok secara terang-terangan, tapi berkat teman gue yang bernama Enu disana. Rencana

perampokan tadi berubah, jadi sekarang kami berdua akan membunuh kalian.” Dion kemudian menyeringai.

Aku bingung maksud ucapan Dion barusan, untuk apa dia mau merampok secara terang-terangan? Bukannya itu akhirnya dia malah lebih mudah ditangkap karena kamera CCTV merekam aksinya? Dan sekarang rencana dia malah ingin membunuh semua perampok, bukankah itu akan lebih berat hukumannya?

“Ke-kenapa harus kami.. kenapa,” perampok dihadapan Dion terlihat lemas lututnya dan berusaha menjauh dari Dion walau itu sudah tidak mungkin.

“Salah kalian sendiri, kenapa juga merampok pas kami disini? tapi berkat kalian juga kami mendapatkan ide bagus, dengan membunuh kalian tentu hukuman kami sangat berat.”

“Ka-kalian sengaja ingin dipenjara?”

Dion lalu berlutut dihadapannya dan menyeringai. “Ya, itulah rencana kami sebelumnya. Dan kau tau pisau ini? Hmm.”

Dion lalu mengarahkan kekanan dan kekiri pisau perampok tadi dihadapan perampok yang ada dihadapannya. Aku melihat Dion benar-benar seperti orang yang kurang waras dari rencananya yang dia sebutkan tadi, orang seperti apa yang menginginkan masuk penjara dengan sengaja melakukan perbuatan seperti ini?

“Pisau ini didesain bukan untuk mengancam kau tau? TAPI UNTUK INI !!!” dengan pisau yang dipegangnya dia langsung saja menancapkan pisau itu dikepala perampok itu.

 

Aku langsung menutup mata dan aku bisa mendengar orang-orang berteriak ketakutan melihat apa yang diperbuat Dion barusan. Aku juga mendengar teriakan Frieska dan Viny dan aku langsung mengalihkan mata untuk melihat mereka sebentar, terlihat mereka menangis dan menutup mata menghindari pandangan mengerikan yang sedang Dion lakukan.

Aku bisa mendengar suara pisau terus menerus digunakan untuk menusuk kepala perampok, aku semakin ketakutan dan tak berani melihat.

“2 orang lagi Nu,”

Aku kembali melirik Dion dan aku muntah, aku tak sengaja melihat mayat perampok yang sudah hancur wajahnya ditikam-tikam oleh Dion yang sudah tergeletak dihadapanku.

“TO-TOLOOONGGGGG!!”

Ke 2 perampok sisanya langsung melarikan diri

Perampok yang didekat pintu langsung membuka pintu masuk Bank dan melarikan diri, sedangkan perampok satunya lagi terjatuh akibat Enu melemparkan pisau kearahnya dan mengenai pundaknya. Perampok itu terjatuh dan meringis kesakitan, Enu tampak menghampirinya.

“Mau lari kemana? teman lo yang kabur tadi pasti sekarang sudah ditahan polisi diluar.”

“J-Jangaaaan tolong…,” perampok yang terkenal lemparan pisau tadi terlihat memohon, akan tetapi Enu menekan pisau yang menempel dipundaknya dan tanpa banyak bicara lagi langsung disobek pundak perampok terseput seperti sedang memotong daging sapi.

Tak ayal perampok itu melengking, aku yang mendengarnya saja sudah sangat bisa membayangkan sakitnya. Tak cukup sampai disitu Enu lalu mencabut pisaunya dan tampaknya dia menusuk-nusuk punggung perampok tersebut.

Perampok itu terus berteriak dan berteriak sampai pada akhirnya suara teriakannya itu tidak terdengar lagi. Aku sudah yakin perampok itu pasti sudah mati dibunuhnya. Enu lalu menghampiri perampok yang tadi dihantamkannya dipilar dan sepertinya dia mau membunuh perampok yang tak berdaya itu.

“JANGAN DIDEPAN MEREKA!!!” tanpa aku sadari aku langsung berteriak kearah Enu.

 

Enu dan Dion melihatku, Dion lalu menghampiriku dan menarik kerahku. Aku yang tak berdaya dengan gampang diangkatnya.

“Kenapa?” Dion langsung saja bertanya tanpa ekspresi. “Kumohon.. jangan bunuh orang itu didepan mereka, kumohon.”

Dion kemudian menoleh kebelakang, begitu juga Enu yang mengerti maksud ucapanku. Aku tidak ingin Enu membunuh perampok tadi tepat didepan Frieska dan Viny, aku tidak ingin teman-temanku kembali melihat sesuatu yang buruk lagi dan aku semakin tidak tega pas mendengar suara tangisan mereka walau aku sendiri juga menangis.

Dion lalu menatapku dan tertawa kecil.

“Kalau begitu kubunuh saja temanmu ya biar gak bisa melihat lagi?”

Aku kaget dan Dion langsung saja melepasanku sehingga aku kembali terjatuh, aku melihat Dion berjalan menghampiri Frieska dan Viny.

“JANGGAAAAAAAN, FRIESKA VINY, LARIIIIII,”

Aku mencoba berteriak untuk menghentikan niat Dion, dan aku bisa mendengar suara teriakan Frieska dan Viny saat Dion sudah menghampiri.

“JANGAAAAAAAAAAAAAAAAAN!!!!”

Disaat itu mentalku benar-benar jatuh dan aku pingsan.

[ REDRUM ]

Sebuah suara sirine polisi berhasil membangunkanku, aku mulai membuka sedikit mataku.

“VE, VE!!!”

Aku semakin sadar sepenuhnya dan melihat Frieska dan Viny memelukku.

Aku kaget dan juga senang karena ternyata mereka berdua masih hidup.

“Viny, Frieska..” aku membalas pelukan mereka sambil menangis, aku sudah sangat ketakutan dengan ancaman Dion sebelumnya yang tak mempunyai perasaan bersalah dan dengan santainya membunuh orang.

“Sekarang udah gak apa-apa Ve, 2 orang tadi udah menyerahkan diri kepolisi,” kata Viny memberi informasi.

 

Aku tak perduli tentang itu, aku makin memeluk mereka dengan erat karena aku sangat takut terjadi apa-apa sama mereka.

“Mbak nya sudah mendingan?”

Aku lalu menoleh dan melihat polisi berseragam menanyaiku, aku pun mengangguk. Polisi itu kemudian meminta sedikit keterangan dariku, tapi karena kondisiku polisi hanya menanyaiku seperlunya saja sehabis itu dia meminta maaf dan pergi.

“Viny… Frieska… aku tadi takut banget kalian dibunuh orang tadi..” isakku berbicara kepada mereka.

“Kami juga pikir begitu, tapi orang itu sengaja mengangkat pisau itu agar kami berdua menutup mata dan disaat itulah temannya yang satu lagi membunuh perampok yang lagi terbaring..”

Aku cukup tertegun mendengar penuturan Viny barusan. “Lalu kalian gak diapa-apain?”

Frieska dan Viny menggeleng. “Enggak… orang itu terus menutupi pandangan kami dan kami disuruh memutar arah agar tak melihat mayat yang sedang ditikam-tikam temannya.”

“Gitu…” aku bernafas lega, sepertinya aku dibohongi oleh orang bernama Dion tadi. Viny kemudian melanjutkan omongannya.

“Orang itu juga yang membopong kamu kesini Ve.. dia ngeliat kamu pingsan dan dia langsung saja menggendongnya disini. dideket-deket kami.”

Aku hanya tertegun, aku bingung sendiri jadinya orang itu masih punya hati atau tidak. Tapi dari cara dia membunuh tadi aku hanya bisa menyimpulkan kalau dia itu Psikopat atau semacamnya.

Aku lalu melihat sekitarku, tampaknya tadi aku berbaring dikursi tunggu tadi. aku lalu mengecek dan melihat bercak darah berbentuk tangan di lenganku. Aku berusaha menghapusnya tapi agak sulit karena darahnya mengering, dan sepertinya kata Viny benar kalau orang bernama Dion itu membopongku disini.

Aku, Viny dan Frieska kembali berpelukan dan mengucap syukur kalau tidak terjadi apa-apa terhadap kami.

[ REDRUM ]

 

3 bulan sejak kejadian itu tiba-tiba aku dihebohkan dengan berita di TV. Tentang kasus pembunuhan napi-napi penjahat kelas kakap yang terbunuh hanya dalam 1 hari saja. Dan jumlah korbannya ada 30 orang lebih dengan kondisi kepala tertembak dan leher tergorok.

Aku yang trauma dengan hal ini kemudian berniat memindahkan saluran TV tapi ada satu hal yang membuatku tertarik karena Tag Line beritanya menyebutkan “Pelaku Terungkap.”

Aku lalu fokus mendengar ucapan pembaca beritanya.

“Pelaku berinisial E dan D ini merupakan tersangka dari kasus pembunuhan perampok Bank yang terjadi beberapa bulan yang lalu.

Tak diketahui secara jelas darimana mereka mendapatkan Senjata Api dan juga kunci penjara tiap sel, tapi menurut dugaan sementara mereka berdua berhasil mencuri benda tersebut dari petugas yang lalai saat bertugas.

Untuk info lebih lanjut kita tersambung dengan rekan kami Fahlevi yang berada di tempat.”

Aku tercengang saat mendengar itu. “E dan D… Enu, Dion? Aku rasa itu memang mereka berdua.” Pikirku saat ini.

Frieska yang juga sedang berada dirumahku lalu ikut bergabung denganku, aku lalu menceritakan kasus yang terjadi di TV dan Frieska tampak tertarik.

“Aku rasa itu memang mereka berdua Ve.”

“Iya aku juga berpikir begitu, apalagi tadi disebukan E dan D tersangka kasus pembunuhan perampok Bank beberapa bulan yang lalu.”

“Tapi kenapa mereka suka banget membunuh ya? Gila 1 hari 30 orang lebih, itu benar-benar gila untuk seukuran 2 orang. Kenapa gak ledakin diri saja biar

semuanya mati?” “Aku gak tau.”

Aku dan Frieska terus menonton berita itu, aku tiba-tiba teringat dengan kejadian di Bank.

“Fris, Fris, jangan-jangan alasan mereka masuk penjara ini emang sengaja buat ngebunuh-bunuh para napi dipenjara? Penjara ini kan terkenal dengan penjahat kelas kakapnya.”

 

“Eh? Iya ya, dulu mereka juga bilang mereka malah lebih senang mendapatkan kasus yang lebih berat menimpa mereka karena itulah mereka membunuh perampok-perampok itu.”

“Iya, tapi aku kok gak habis pikir. Buat apa mereka melakukan itu? apa hanya untuk bersenang-senang saja membunuh penjahat? Atau mereka benci penjahat?”

“Aku gak tau Ve, tapi iya ya. Yang mereka bunuh dulu kan perampok..” “Mungkin mereka merasa puas hanya dengan membunuh penjahat. Tapi aku

gak habis pikir loh apa motivasi mereka untuk itu.” aku lalu menepuk-nepuk kepalaku sendiri karena tidak mengerti.

“Udah-udah jangan dipikirin, mending kita jalan-jalan yuk? Mumpung belum sore ini.” Ajak Frieska kepadaku.

“Hmm bener juga, yuk.”

Aku lalu mau mematikan TV tapi tiba-tiba sesuatu yang menghentikanku dan juga Frieska.

Pembaca acara TV bilang salah satu rekannya tak sengaja merekam salah satu tersangka pembunuh lainnya.

 

Tak lama kemudian munculah cuplikannya, terlihat orang beramai-ramai berusaha mewancarai 2 orang yang kepalanya ditutup dengan handuk menuju mobil polisi, dan salah satu tersangka itu tampak menyadari kamera yang berada didekatnya.

Walau matanya tertutup aku masih bisa mengenal bentuk bibir dan dagunya, ya itu Dion. Dion kemudian mendekatkan diri kekamera yang merekam dia lalu dia berbicara sambil tersenyum.

“Redrum.”

[ REDRUM ]

Writter : Dion

Ada yang bingung arti REDRUM ? coba baca hurufnya dari kanan, dimulai dari huruf M.

© Melodion 2016

post-image-676723783263d.jpg

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Gratis
Selanjutnya Redrum: Supremacy
1
0
Sinopsis:Seorang wanita menjadi saksi pembunuhan keji, namun dia tidak bisa melakukan apa-apa, terlebih pembunuhnya menemui dia di rumahnya. Ini adalah prekuel ke-2 untuk cerita REDRUM: NUMERIQ.Cerita oleh:DionDitulis oleh:DionKlaim cerita:Melodion 2016 — Cerita ini adalah fiksi, saking fiksinya, tidak ada fakta-faktanya!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan