Saatnya mengganti pertanyaan "Kapan nih?" dengan tips berikut #17

0
0
Deskripsi

Udah cukup klik bait belum aku menulis judul? 

Udah mirip dengan website-website tips-tips? Hehee.. 

….

Kembali ke pembahasan ya, 

Akhirnya setelah banyak melewati pertanyaan “kapan” tibalah waktunya saya kena triger.Pertanyaan kapan yang selama ini saya lewati dengan mulus, akhirnya pada satu pertanyaan tertentu, menyentuh ketersinggungan saya.  Karena memang ketersinggungan seseorang itu ada spot-spot khususnya ya. Nggak tersnggung saat di tanya “kapan lulus?” tapi tersinggung saat ditanya “Kapan...

Orang kenapa sih kalau ketemu dengan seseorang yang udah lama nggak ditemui yang ditanayain adalah pencapaian- pencapaian yang belum di capai oleh orang yang ditanyain. Segala yang tidak ada malah menjadi perhatian. malah yang terjajar di depan mata nggak di gali lebih mendalam dan serius. 

Kesannya kayak senang sekali mencari dan mencari bagian mana nih yang perlu dikoreksi. 

Saat udah baper, lalu di counter dengan kata-kata “jangan baper dong wong cuma pertanyaan basa basi aja lho kok dianggep serius."

Atau jadi menyalahkan satu generasi tertentu, yang dianggap lembek, yang dianggap kurang tahan banting yang dianggap kurang sopan, yang dianggap lupa sopan santun. 

Mainnya kurang jauh, atau kebanyakan overthingking. 

Padahal jika saja, jika saja orang yang bertanya pertanyaan basa-basi itu bisa sedikit mengembangkan kemampuan bertanyanya, memodifikasi cara bertanya dan materi pertanyaan, aku pikir ketersinggungan itu akan sangat sedikit terasa. 

Pertanyaan basa-basi tentang “kapan” ini biasanya ditanyakan oleh orang yang sudah lama tidak ketemu. Niatnyaaaaa, niatnya nih ya supaya pertemuan tidak canggung dan ada pembahasan, sebuah upaya supaya pertemuan singkat itu terasa lebih akrab, (gitu katanya), mereka menanyakan perkembangan kehidupan kita udah sejauh apa. Sudah sejauh apa kita mengikuti pattern masyarakat pada umumnya, maksudnya ya. Jadi dipertanyakanlah pencapaian-pencapaian sosial, karir, vehicle yang belum kita capai. ini yang harus di garis bawahi. Yang dipertanyakan adalah yang belum kita capai. 

"Eh, udah ada rumah belum sih? "

“Eh, udah berapa lama ya kalian nikah? apa baru tahun kemarin? kapan nih punya anaknyaaaaa??”

“Kapan nih punya anak? aku kenalin yaa dukun pijat mujarab bisa membenarkan posisi rahim, jangan-jangan rahimnya geser ttuh, jadi spermanya nggak masuk dengan benar.” 

Eh, harusnya udah pakai mobil ya, kan udah ada anak, kasihan tahu kena angin kalau lagi ajak jalan. 

Ketika udah punya rumah “Eh, Aku lihat rumahnya ambil perumahan ya? bukannya sempit? cari lahan dong bikin yang gede."

Ketika udah ada mobil “Eh kenapa mobilnya pilih yang begini? harusnya jangan tipe ini, cupu sekali. Cari yang ini lho dan hars yang agak mudaan tahunnya, nanti supaya la la la la la la la la.”

Ketika nggak bareng istri, “Istri kemana? gak diajak. Ngapain sih dirumah aja, ajak dong main keluar.” 

Ketika yang dilihat anak cuma 1, “Eh, baru ini anaknya?” atau secara halus “Eh, adiknya aja nih yang ikut, kakaknya dirumah aja ya? sama siapa di rumah?” 

kalau sudah tahu anaknya cuma 1 “Eh, kapan ini ada adiknya? bikin lah… kasihan kalau sindirian kesepian, gak ada teman main. Kalau anak cuma satu nanti kalau udah tua kasihan ngerawat sendiri, gak ada teman curhat, gak ada teman buat gantian ngerawat, jagain shift." 

 

Apa yang diharapkan orang-orang terdekat maupun orang-orang jauh dari pertanyaan ini? pertanyaan ini jawabannya bukan untuk mereka, tapi kembali lagi untuk kita-kita yang ditanyain, meninggalkan sebuah jawaban besar yang bisa dipikirkan hingga berhari-hari. Jika toh pertanyaan itu tercapai degan jawaban, namun orang yang bertanya pun tidak akan mengapresiasinya dengan wah. Namun, lagi-lagi akan mencari hal-hal uyang belum kita capai. 

Melelahkan jika tidak menuruti pertanyaan dan sapaan basa-basi orang lain, namun jika tidak dituruti maka akan menimbulkan sebuah perasaan bahwa posisi kita selalu di bawah, merasa inferior kurang berpengalaan, kurang m emiliki posisi dalam masyarakat karena belum memenuhi apa-apa yang masyarakat inginkan. Apakah itu baik? apakah terus mempertahankan kondisi seperti itu baik? 

 

Coba lihat beberapa kasus di bawah ini. 

Pertanyaan ‘kapan’ yang menimbulkan ancaman nyawa. 

Lalu ini. 

Kasus yang sama

 

Dari pada menjalin hubungan, sebentar ketemu dan mengisi itu dengan pertanyaan basa-basi dengan pertanyaan yan aneh, yang menjawabnya juga sambil pringas-pringis terkesan bodoh, bingung mau menjawab apa, banyak berpikir malah jadinya canggung, dampak lebih buruk, yang ditanya malah jadi sakit mental maupun sakit fisik. Bukankah ini sangat merugikan orang lain? Mari mengedukasi diri dan lebih memperhatikan cara bertanya kita. Tentu aku sendiri masih belajar ya, dalam hal ini, mungkin aku aware penuh, dalam hal lain belum tentu, jadi ungkapan saling mengingatkan itu fungsinya disini. salaing melengkapi kesadaran tentnag masing-masing issue. 

Meski hanya pertanyaan basa-basi, tapi jika di formulasikan secara khusus mengikuti perkembangan awarness saat ini, percakapan biasa bisa menciptakan percakapan yang asik. 

Orang mengajukan pertanyaan itu kan supaya nggak diem-dieman ya, harapannya harusnya pertanyaannya atau hubungannya asik dong. Bukan malah jadi beban dari yang ditanya dan secara sadar maupun tidak disadari menjadi ketimpangan experience. Orang yang bertanya, yang mengoreksi karena yang lebih duluan merasakan pencapaian kehidupan. Lalu mengatasnamakan “pertanyaan gitu doang kok baper.” Pertanyaan itu menjadi sebuah pembenaran atau kewajaran. bertanya seperti itu merupakan kewajaran. Ini yang semestinya kita ubah, karena memang menjadi tidak wajar jika banyak yang merasakan ketersinggungan. 

Pertanyaan basa basi itu kan juga harapannya menimbulkan kesan baik. Bertanya pada seseorang dan membuka percakapan kan past tujuannya untuk meningggalkan kesan. namanya ada keinginan meninggalkan kesan, tentu kan kesan yang baik, bukan??  maka harusnya cara bertanyannya juga yang bisa meninggalkan kesan baik. 

Karena kalau memang tidak ingin Menimbulkan kesan apa-apa, harusnya tidak usah bertanya apapun. Biarkan pertemuan singkat itu tanpa ada basa-basi tanpa ada percakapan. 

Sebenarnya orang yang diam itu juga tidak masalah kok untuk nggak ditanyai-pun. apalagi mengenai hidup. Orang yang mengawali percakapan selalu orang yang merasa aneh ketika tidak ada percakapan. Tapi lupa bahwa orang yang tidak mengawali percakapan itu sebenarnya tidak masalah meski tidak ada percakapan. Namun ketika ditanya, ia akan memikirkannya sangat lama. 

Dari pada hanya mengisi waktu bertemu sebentar dengan basa-basi yang aneh. Lebih baik menggali lagi-dan menggali lagi kemampuan untuk peduli dengan seseorang yang ingin ditanyai, mempeprbaiki cara berkomunikasinya. Kalau memang tidak yakin tanyakan dengan sopan apakah menyinggung, apakah boleh bertanya demikian mengenai, kira-kira kapan punya anak lagi? kalau boleh bertanya kapan akan menikah?

Memang kan belajar tidak bisa berhenti di situ saja, semua hal harus ada inovasinya, bahkan dalam memahami generasi dan cara bertanya.  Semua hal tanpa terkecuali harus mengikuti perkembangan jaman, haruns mengikuti maunya jaman ini gimana, maunay anak jaman sekarang ini gimana sih. Gitu, 

Pahami, mengerti dan menjadi bagian dari perkembangan jaman dalam hal apa pun, dalam hal melek digital, melek media dan cara bekomunikasi.. jika memang tidak bisa ya kuasaki bagian yang bisa saja, kuasai bagian yang mampu saja. Diluar itu sebaiknya diam! Untuk hal-hal yang tidak dikuasai dengan baik. Gitu. 

Saya bisa nulis gini mungin juga tidak memiliki kemampuan dalam hal lain, tapi saya mencoba mengenali diri sendir dan diam juga untuk-hal-hal yang tidak dikuasai. 

“Kapan punya anak lagi?, kapan nih ada adeknya?”

Kenapa aku bilang pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang menimbulkan interaksi tidak asik? Karena sifatnya hanya satu pihak, pihak yang bertanya ingin mepetttttttt terus dan selalu ingin dianggap benar. Kebenaran hakiki, jadi yang ditanyain ini seperti kena musibah. Bagaimana tidak, di diem-diem bae.. nggak ngapa-ngapain, tiba-tiba ditanya. Mau di jawab dengan paradigma sistematis dan menggunakan teori-teori sosial ekonomi, psikologi, tetep aja di bantah dengan dalil rejeki, investasi, tabungan. Ya kasarannya anak adalah tabungan jangka panjnag, sebagai safety net dihari tua.  

Aku coba bikinin simulasi komuniasi dua arah yang sebenarnya semu ini ya. 

Kapan nih bikin adek? Biar si kakak ada temennya, nggak sepi kasihan. 

Udah berapa pertanyaan itu mengandung pertanyaan memojokkan. 

Kalau di jawab. 

Belum siap, nanti aja. 

Jangan kelamaan, nanti keburu tua. 

Kalau di jawab lagi,

Iya, nunggu nanti ada dananya. 

Di pepet lagi 

Tenang aja, yang kayak gitu udah ada rejekinya. Percaya sama Tuhan,lalu pembicarqan mendominasi masalah dalil, masalah syariat masalah keyakinan, masalah rejeki yang tidak boleh diragukan. 

Ditambahi lagi, hitungan dunia tidak sama dengan hitungan Allah, perhitungan manusia bisa meleset, perhitungan Allah tidak. Yakin anak akan membawa rejekinya sendiri. 

Aku selalu bingung apa yang dikejar dari orang-orang yang memepet terus orang lain untuk mengikuti keyakinannya. Kenapa seseroang yang paham mengenai hukum-hukum Tuhan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang ia yakini. Misal menambah anak ini, apa yang begitu penting dan mendesak bagi orang tersebut sehingga orang lain yang hanya kenal dekat, yang hanya kenal sambil lalu, yang mungkin mengenal baik tapi tidak ikut membiayai tagihan bulanan ini, bisa memiliki perasaan urgensi, kayak penting baget orang lain punya anak lagi. Apa manfaat bagi orang tersebut, aku selalu heran. Padahal ketemu lagi juga entah kapan nanti. 

Itulah sebabnya orang-orang yang ketemunya jarang, ini malah orang-orang yang seperti tidak puas dengan pencapaian diri kita. 

Lhooo.. kok.. lhoo kok… gitu aja komentarnya. Nggak bisa serta merta dipuaskan. Seorlah tidak ingin terlihat lebih diungguli. 

 

Oleh sebab itu jika ingin menjadi pribadi yang lebih menarik, akan lebih baik jika mempertimbangkan untuk memulai percakapan dengan labih asik. Meningfull, lebih menyentuh perasan yang ditanya. 

 

Tidak perlu menunjukka posisi lebih, lebih berpengalaman, lebih ngerti kehidupan dengan cara memojokkan, tapi lebih dewasa dengan mendengar, akan menimbulkan kesan baik pada ornag yang ditanya. 

Seperti simulasi berikut. 

 

“Lho ini Juni (sebut nama, biar kesan pedulinya dapet) sudah sekolah belum? sekolah dimana? suka nggak sekolah?" 

Atau seperti ini : 

 

 

Sekian tulisan kali ini. 

Kalau kamu suka dengan tulisanku, boleh kasih tip ya. sedikit atau banyak boleh. Supaya aku bisa spare waktu dan cari ide untuk tulisan selanjutnya. 

Terimakasih sudah membaca. 

See you…:)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Opini
Selanjutnya Jika melarang perempuannya memakai pakaian terbuka, kenapa laki-laki suka melihat perempuan lain dengan pakaian terbuka?
0
0
Pertanyaan ini sering ada di kolom komentar sosial media yang sedang membahas tentang ya, anjuran memakai baju tertutup. Pernah juga medengar wawancara Anya Geraldine, yang mengatakan bahwa ia menyukai perempuan yang tidak memberi-like di IG perempuan-perempuan. Pernyataan tersebut membuat realita yang makin valid bahwa laki-laki ternyata bener banyak yang suka lihat perempuan cantik apalagi seksi. Kenapa yaa… masi kita jabarkan. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan