
“Mas kalo mau makan bisa kok ke unit saya, jangan sungkan Mas. Saya setiap hari masak.” — Diana.
“Ish, pokoknya lo gak boleh bilang kalo lo udah nikah.” — Chacha.
5. Tetangga Baru
.
.
"Nanti lembur?"
Hanan yang sedang membuat omelete menoleh sebentar pada Chacha yang sedang memeluk dirinya. Pemuda itu menghela nafas pelan.
"Gatau, tapi ya gitu. Kerjaan lagi banyak, mau ada kontrak baru. Jadi ya banyak yang harus disiapin.."
Chacha langsung memajukan bibirnya. Gadis itu menyandarkan kepalanya di punggung Hanan. "Nanti video call, pokoknya kalo gue telpon harus lo angkat."
Hanan terkekeh pelan. "Mending lo ikut ke kantor aja. Hem? Gimana?" tanyanya dan berbalik menatap Chacha.
Chacha menggeleng. "Lagi males, gak pengen kemana-mana."
"Yaudah kalo gitu, nanti kalo gak ada meeting kita video call terus.."
"Heem.."
Hanan meletakkan omelete buatannya ke atas piring. Pemuda itu meraih gelas berisi susu hamil yang tadi sudah dia buatkan untuk Chacha. "Sarapan dulu abis itu minum susunya.." ucapnya sambil menatap Chacha.
Chacha tersenyum, dia tadi memang meminta Hanan untuk membuat omelete karena dia ingin memakan omelete buatan suaminya itu.
"Mau makan di mana?"
"Di depan tv, mau nonton Ultraman." jawab Chacha sambil tersenyum lebar.
Hanan menggeleng pelan, pemuda itu berjalan menuju ke ruang tengah dengan membawa piring berisi omelete dan juga susu hamil untuk Chacha. Chacha pun berjalan mengikutinya di belakang.
"Makan yang banyak.." kata Hanan sambil meletakkan piring ke atas meja.
Chacha yang baru saja menyalakan tv menoleh pada Hanan. "Suapin.." ucapnya manja.
Mereka berdua duduk di bawah beralaskan karpet. Lebih nyaman karena Chacha bisa meluruskan kakinya. Gadis itu bersandar pada sofa dengan mata yang menatap lurus ke arah layar televisi yang menampilkan Ultraman.
"Wush! Wush! Wush! Monsternya pasti kalah! Liat-liat, itu Ultramannya mau ngeluarin jurus andalan!" kata Chacha dengan penuh semangat menunjuk layar televisi.
Hanan hanya menghela nafas maklum dan menyuapkan omelete pada Chacha. "Mulutnya buka dulu, sambil makan ya. Aaak!"
Chacha menoleh dan membuka mulutnya. "Aakk!" sahutnya.
Hanan langsung menyuapkan sendok berisi omelete yang dia pegang ke dalam mulut Chacha.
"Waaah! Liat Bi, gedungnya hancur lagi. Hem, itu nanti gimana ya? Kan gedungnya banyak yang hancur, nanti yang ganti rugi siapa?" tanya gadis itu setelah menelan omelete yang ada di dalam mulutnya.
Matanya menatap Hanan penasaran. Meminta jawaban pada pemuda itu. Sedangkan Hanan sendiri bingung, dia tidak tau. Dia bukan pakar Ultraman yang bisa tau siapa yang akan mengganti semua gedung yang rusak itu.
"Gue gatau Cha.."
Chacha berdecak kesal dan langsung menyilangkan tangan di depan dada. "Ih, kok gak tau sih? Lo harusnya tau dong, gimana sih?!"
Hanan mengusap dada pelan. Sabar, Chacha emang makin aneh kelakuannya sejak hamil. Udah biasa, udah paham kok Hanan.
"Nanti ya gue cari tau di google dulu. Kalo udah ketemu jawabannya langsung gue kasih tau.." kata Hanan sambil mengusap kepala Chacha sayang.
Chacha mengangguk pelan. Dia kemudian mengambil sendok di atas piring. "Lo juga makan, nanti kalo gak makan di kantor lemes..." ucapnya sambil menyuapkan omelete pada Hanan.
Hanan tersenyum dan membuka mulutnya menerima suapan dari Chacha. "Nanti gue bisa beli makan di kantin. Tenang aja.."
"Nanti pulangnya beliin gado-gado yang di kantin kantor ya? Gue udah lama gak makan itu..." kata Chacha.
"Iya, mau nitip yang lain gak?" tanya Hanan.
Chacha menggeleng. "Emm enggak deh, tapi nanti kalo pengen sesuatu gue chat."
"Oke. Lanjut dulu makannya, abisin dulu. Abis itu minum susu, kalo udah istirahat aja. Jangan pecicilan, gausah ngerjain yang berat-berat. Baju nanti gue aja yang nyetrika, terus kalo ke kamar mandi jangan lupa pake sendal yang anti slip. Okey?"
Chacha memajukan bibirnya. "Ih, bosen banget Bi. Masa gue gak ngapa-ngapain sih? Gue main aja ya ke Akbar? Boleh ya?"
Hanan menatap Chacha yang tengah memohon padanya, gadis itu menekuk bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hanan tentu saja lemah dan tidak tega melihat itu. Dia akhirnya menghela nafas. "Yaudah, boleh main ke Akbar.."
"Yeyyy!"
"Tapi inget, jangan pecicilan."
Chacha mengangguk semangat. "Siap papa!" jawabnya.
Hanan tersenyum dan mengusap pipi Chacha. "Bagus.."
Tok! Tok! Tok!
Chacha dan Hanan refleks menoleh ke arah pintu. "Siapa ya?"
"Akbar kali.." sahut Chacha.
Pasalnya yang sering berkunjung ke apartemen mereka di saat pagi hari seperti ini adalah Akbar. Jadi mungkin saja yang saat ini tengah mengetuk pintu adalah pemuda itu.
"Bentar, gue liat dulu." kata Hanan berdiri hendak menuju ke arah pintu.
"Ikuuut!" sahut Chacha dan langsung meraih tangan Hanan.
Hanan menoleh sebentar dan mengangguk. Dia membantu Chacha berdiri dan berjalan bersama menuju ke arah pintu.
"Bentar!" kata Chacha mencegah Hanan yang akan membuka pintu mereka.
"Kenapa?" tanya Hanan menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Gue liat dulu siapa yang dateng." kata Chacha mendekatkan matanya ke door viewer mereka.
Gadis itu menyipitkan matanya melihat siapa tamu yang datang berkunjung. Hanan memang sengaja meminta agar pintu mereka dipasangi Door Viewer agar saat dia bekerja dan Chacha sedang sendirian gadis itu tidak asal membuka pintu. Untuk berjaga-jaga Chacha bisa melihat terlebih dahulu siapa yang datang melalui door viewer.
"Siapa Cha?" tanya Hanan yang penasaran karena Chacha tidak kunjung menjauhkan matanya dari door viewer mereka.
"Cha?"
Chacha menegakkan badannya. Dia menatap Hanan. "Gatau, gak pernah liat. Tapi cewek, lo kenal?" tanyanya.
Hanan pun melihat melalui door viewer. Setelah beberapa saat pemuda itu menatap Chacha. "Itu mbak-mbak semalem, yang minta tolong supaya kran air dia dibenerin."
Chacha menaikkan sebelah alisnya. Gadis itu kembali melihat 'tamu' mereka melalui door viewer sebentar.
Setelahnya dia tiba-tiba tersenyum lebar menatap Hanan. Hanan yang melihat itu jadi heran. "Kenapa sih?"
"Lo nanti yang buka pintu, gue sembunyi di sini. Jangan sampe dia tau gue ada di sini." kata Chacha.
Hanan semakin bingung, maksud Chacha apa sih?
"Tap----..."
"Ish, cepetan buka pintunya." kata Chacha.
Hanan berdecak dan akhirnya menoleh, pemuda itu membuka pintu apartemen mereka.
"Hai Mas Hanan. Selamat pagi..."
Hanan berdehem sebentar dan mengangguk. "Hm, iya selamat pagi juga Mbak Diana.."
Perempuan yang dipanggil Diana itu tersenyum pelan. "Panggil Diana aja mas, gausah pake Mbak." ucapnya.
Hanan menggaruk pipinya pelan. "Ah iya. Ngomong-ngomong ada apa ya? Kok pagi-pagi dateng ke sini? Krannya macet lagi?"
Diana langsung menggeleng. "Enggak Mas, em ini saya mau ngasih makanan buat Mas. Anggep aja sebagai ucapan makasih saya karena semalem Mas Hanan udah benerin kran saya." kata gadis itu menyodorkan rantang kecil pada Hanan.
Hanan mengusap lengannya. "Aduh, kebetulan saya udah sarapan."
"Gapapa mas, bisa dimakan nanti kok. Makanannya gak gampang basi." kata Diana.
Hanan nampak bingung. Pemuda itu memudurkan kepalanya dan menoleh pada Chacha, meminta pendapat gadis itu.
Chacha yang sedari tadi mendengarkan obrolan Hanan dan Diana mengangguk dan mengatakan 'Ambil aja' tanpa suara.
"Mas?"
Hanan kembali menegakkan kepalanya. "Oh iya, makasih kalo gitu." kata Hanan mengambil rantang yang di berikan oleh Diana.
Diana tersenyum. "Iya Mas sama-sama. Saya yang makasih banget ke Mas Hanan karena udah benerin kram saya semalem."
"Namanya tetangga kan emang harus saling tolong menolong." kata Hanan.
"Iya Mas."
"Em kalo gitu saya permisi masuk dulu ya. Udah jam segini, takut nanti telat masuk kerja." kata Hanan. Jujur saja dia malas berurusan dengan perempuan di depannya ini.
"Ah iya Mas, kalo gitu saya permisi dulu. Mungkin lain kali kita bisa makan bareng, kan tetangga harus saling kenal ya Mas?"
"Hah? Ah iya-iya.." sahut Hanan.
Diana tersenyum. "Kalo gitu saya permisi."
"Iya."
Diana pun membalikkan badannya dan bersamaan dengan itu Hanan juga langsung menutup pintunya.
"Eh Mas, itu-- eh udah di tutup.." kata Diana menatap pintu apartemen Hanan yang sudah tertutup rapat.
"Tck, baru juga mau deketin cowok ganteng. Suka gue, sama cowok modelan kayak dia.." kata Diana sambil menatap pintu apartemen Hanan. Gadis itu tersenyum pelan dan langsung berjalan kembali ke unitnya.
Sedangkan di dalam apartemen, Hanan langsung meletakkan rantang pemberian Diana. Dia berdecak menatap Chacha yang tengah berdiri sambil menatapnya.
"Lo tuh ngapain sih? Biasanya lo yang nanggepin kalo ada cewek lain yang kek gitu ke gue." kata Hanan dengan sedikit kesal.
Chacha malah tersenyum lebar. "Kayaknya dia suka sama lo deh." ucapnya.
Hanan langsung menaikkan sebelah alisnya. "Ya kalo lo tau harusnya lo tadi langsung muncul terus bilang dong kalo lo istri gue. Tadi lo malah diem aja, ngumpet lagi."
Chacha berdecak pelan. "Ish, pokoknya lo gak boleh bilang kalo lo udah nikah." kata gadis itu.
Hanan menatap Chacha. "Kenapa? Lo mau gue di gatelin sama tuh cewek?"
Chacha menggembungkan pipinya. "Pokoknya jangan bilang. Terus jangan sampe dia tau kalo gue ada di sini. Pokoknya dia gak boleh tau."
Hanan memijat dahinya, bingung dengan keinginan Chacha. Padahal dia sangat malas meladeni perempuan seperti Diana itu. Dia tau, dari gerak gerik dan juga cara perempuan itu melihat dirinya pasti Diana memiliki niat lain.
"Terserah lah Cha, sebahagia lo aja. Gue mau berangkat kerja. Susu jangan lupa di minum." kata Hanan mengambil jasnya yang tersampir di sisi sofa.
Chacha mengekori Hanan yang sudah berjalan sampai di depan pintu. "Biii~" panggilnya sambil memegang ujung jas Hanan.
Hanan yang akan membuka pintu berbalik dan menatap Chacha. "Apa?"
Chacha berdecak dan memukul lengan Hanan kesal. "Ih lo mah!"
Hanan kembali bingung. Kenapa Chacha malah marah begini? Dia melakukan kesalahan?
"Kenapa Cha?"
Chacha menyilangkan tangan di depan dada. "Belom cium." sahutnya.
Hanan yang mendengar jawaban Chacha tertawa pelan. Astaga, dia lupa.
"Ohh minta cium, sini dong mukanya. Kalo gak hadep sini gimana gue mau nyium? Sini cepetan.." kata pemuda itu.
Dengan pipi yang masih menggembung Chacha menoleh pada Hanan.
"Uluh-uluh, bumil satu ini makin gemes ya kalo pipinya gede gini.." kata Hanan sambil menarik pipi Chacha pelan.
"Bi ih! Cium dulu!"
"Gak sabaran.."
"Biiiii~"
"Iya-iya.." kata Hanan langsung menangkup wajah Chacha. Pemuda itu mengecup mulai dari dahi hingga dagu Chacha.
"Bibirnya mana bibirnya? Belom cium loh.." kata Hanan.
Chacha langsung memajukan bibirnya dan disambut oleh kecupan dari Hanan. Setelahnya pemuda itu menunduk dan mengecup perut Chacha.
"Dek, jangan nakal. Tapi kalo mama kamu nakal gapapa deh kamu nakal juga, biar mama kamu diem gak petakilan terus." kata Hanan.
"Ish jahat banget." kata Chacha memukul bahu Hanan kesal.
Hanan terkekeh pelan. Pemuda itu mendongakkan kepalanya. "Ini juga cium hehe.." ucapnya sambil mencium dada Chacha bergantian.
"Heh modus!"
Hanan langsung tertawa. "Gue berangkat ya, inget jangan aneh-aneh. Kalo ada apa-apa langsung telpon gue."
Chacha mengangguk dan mencium tangan Hanan. "Iya.."
"Yaudah.."
"Eh nanti itu makanan, gue kasih Akbar aja ya.." kata Chacha sebelum Hanan membuka pintu.
"Iya kasih aja, takut gue itu makanan di kasih pelet. Si Akbar suruh doa sebelum makan, ntar dia yang kena pelet kalo gak hati-hati." kata Hanan sambil tertawa.
"Iyaa.."
.
.
"Cha, tau gak di sebelah gue ada tetangga baru. Kayaknya dia kemaren pindahan." kata Akbar sambil menatap Chacha yang tengah bermain game Snake Xenzia bersama Yoda.
"Cewek apa cowok Bar?" tanya Doni yang sedang bermain game bersama Juna di depan televisi.
Akbar yang tengah bersandar pada sofa menatap Doni. "Cewek, mbak-mbak sih tapi kayak tante-tante. Lu tau si Aulia kan? Yang anak kampus kita? Nah dandanan dia mirip kek gitu." jawab Akbar.
"Anjir, bedak tebel, lipstick merah, bulu mata tebel dan sepanjang jalan kenangan dong kalo kayak si Aulia." sahut Juna sambil tertawa.
Akbar mengangguk. "Nah iya, tapi lebih parah dikit. Soalnya tuh mbak-mbak pake pensil alis warna item jadi udah kek ada cicak nemplok di mukanya."
Semua yang ada di dalam unit Akbar langsung tertawa mendengar ucapan pemuda itu.
"Heh, itu makanan yang kalian makan tadi dari mbak-mbak itu tau. Hiii, kalo kalian kena peletnya mampus tuh hahaha.." kata Chacha menunjuk ke arah mereka sambil menakut-nakuti.
Keempat pemuda itu langsung melotot dan menatap rantang kosong di atas meja. Sialan, mereka sudah menghabiskan makanan yang ada di dalamnya.
"Anjir Cha! Gue kira dari lo itu makanan, ternyata dari itu mbak-mbak. Wah, gue abis ini harus di ruqyah kayaknya biar efek peletnya gak mempan." kata Akbar sambil menatap Chacha kesal.
"Mbak Chacha kok tega sih, kita masa dijadiin tumbal gini." kata Juna.
"Pantesan rasanya agak aneh, beda dari masakan Mbak yang biasanya. Ternyata emang bukan dari Mbak Chacha." kata Yoda.
"Wah gue abis ini harus boker biar makanannya keluar semua, bahaya kalo sampe kena pelet beneran." kata Doni.
Chacha kembali tertawa. "Yaelah, tenang aja. Tuh mbak-mbak kayaknya gak nyebutin nama kalian pas ngasih pelet. Lagian kan gue tadi udah bilang sebelom makan berdoa dulu, jangan asal ngunyah aja."
Juna menghela nafas. "Untung gue tadi pake bissmilah pas makan." ucapnya.
"Gue lupa gak baca lagi," sahut Akbar sambil berdecak.
Yoda berbalik dan menatap Chacha. "Tapi kok dia ngasih makanan sih? Emang abis kenalan sama Mbak Chacha?" tanya pemuda itu.
Chacha menggeleng dan mengambil buah jeruk yang ada di atas meja. "Enggak, semalem kan Hanan bantuin dia benerin kran terus tadi pagi dia tiba-tiba dateng nganter itu. Dari yang gue denger sih kata dia itu sebagai ucapan terima kasih." jelasnya.
Akbar menyandarkan punggungnya pada sofa. "Iya-iya, semalem dia nyamperin ke sini juga. Tapi karena gue gak punya alat buat bantuin ya gue bilang gak bisa bantu. Eh ternyata dia ke lo Cha..."
Chacha menelan buah jeruk yang ada di mulutnya dan mengangguk. "Iya, tadi pagi-pagi udah nyamper. Mana ngajakin Hanan makan bareng juga kapan-kapan."
Juna langsung menatap Chacha. "Terus gimana Mbak? Langsung Mbak Chacha ulti gak? Langsung gampar gak?" tanya pemuda itu antusias.
Chacha menggeleng. "Enggak, gue sembunyi aja dengerin mereka ngobrol." jawabnya.
Juna berdecak. "Kok gitu sih? Gak seru ah, harusnya langsung Mbak Chacha ulti aja, lempar kek pake piring."
Chacha mendengus. "Lo tuh emang sama kek Juan, gak heran sih emang masih satu keluarga. Demennya liat orang ribut."
"Yakan seru ya guys, lagian kek gitu udah jelas mau deketin Bang Hanan. Pelakor itu." kata Juna sambil mengulurkan tangan meminta jeruk pada Chacha.
Chacha memberikan jeruk yang dia pegang pada Juna dan menghela nafas. "Biarin aja ah, seru gue liatnya."
Yoda ikut menoleh pada Chacha, agak sedikit bingung dengan perkataan gadis itu. "Seru gimana? Masa suami di deketin cewe lain malah seru? Mbak Chacha ini agak aneh ya.."
"Ish, dia kan gak tau kalo Hanan udah punya istri. Pokoknya mau gue biarin aja, gue mau liat perjuangan dia deketin Hanan hehehe. Seru juga keknya.." kata Chacha sambil nyengir.
Doni menggelengkan kepalanya heran. "Baru kali ini gue liat ada istri yang bilang kalo suaminya di deketin cewek lain itu seru."
Akbar berdecih pelan. "Gausah heran lo pada, Hanan sama Chacha emang agak beda. Agak gak beres aja pikiraanya, makanya suka aneh gitu."
"Sembarangan lo Bar." kata Chacha mendorong bahu Akbar pelan.
Yoda memiringkan badannya dan menatap Chacha sambil memakan oreo. "Emang dia belom liat Mbak Chacha ya? Kok dia gak tau kalo Bang Hanan udah nikah?"
Chacha menggeleng. "Enggak, gue kan ngumpet. Pokoknya nih ya kalo misal kalian ketemu sama tuh mbak-mbak terus dia nanya Hanan punya pacar apa enggak, jawab aja enggak. Terutama lo Bar, gue sih yakin kalo dia pasti bakal kepoin tentang Hanan ke lo." kata Chacha kembali memasukkan jeruk ke dalam mulutnya.
Akbar mengusap pipinya pelan. "Dosa ah Cha, boong gue."
Chacha menaikkan sebelah alisnya. "Boong sebelah mananya? Emang Hanan punya pacar? Enggak kan, emang gue pacarnya Hanan? Bukan, kan?"
"Ya iya sih, emang bukan pacar." kata Akbar.
"Nah kan, pokoknya bilang aja Hanan gak punya pacar. Kalo dia nanya yang lain jawab aja gak tau." kata Chacha.
Akbar menggaruk tengkuknya. "Yaudah deh iya."
Chacha mengacungkan jempolnya. "Nah sip, gitu."
Drttt! Drttt!
"Hp lo Cha, Hanan tuh nelpon." kata Akbar menunjuk ponsel Chacha yang ada di atas meja. Terlihat ada panggilan dari Hanan.
Chacha langsung mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan itu. "Halo Bi.."
'Halo, dimana?'
"Di tempat Akbar, lagi ngumpul nih. Ada Juna, Yoda sama Doni juga.." jawab Chacha.
'Oh, jangan pecicilan di sana. Inget ya, jangan ikutin tingkah gak bener mereka. Lo duduk aja, jagain adek.'
Chacha menghela nafas pelan. "Iyaa, gue diem aja dari tadi. Tadi cuma maen Snake Xenzia aja sama Yoda." jawabnya.
'Bagus deh. Nanti gak usah masak, gue beli makan di luar. Mau beli nasi rawon yang deket kantor, lo mau gak? Atau mau makanan lain? Nanti gue cariin?'
Chacha nampak berfikir sebentar. "Iya deh, mau rawon juga. Tapi nanti beli cilok isi juga ya, yang Mang Iin itu."
'Oke deh, minumnya mau apa?'
"Nanti aja lah di apart gue bikin jus aja.." jawab Chacha..
'Yaudah kalo gitu, gue kerja dulu. Gue usahain pulang lebih cepet hari ini.'
Chacha tersenyum senang. "Oke, gue tunggu. Cepet pulang."
'Iya, yaudah ya kalo gitu. Assalamualaikum'
"Waalaikumsalam.."
Chacha kembali meletakkan ponselnya ke atas meja setelah panggilannya dengan Hanan berakhir.
"Mbak Chacha abis ditelpon sama Bang Hanan langsung nyengir teruuus.." kata Juna.
Chacha menoleh pada Juna, "Biarin lah, namanya juga abis di telpon suami. Ya seneng kan, bebas mau nyengir."
"Iya deh iyaa.."
Chacha tiba-tiba berdiri. "Udah ah, mau balik gue. Mau tidur sambil nungguin suami pulang kerja." ucapnya berjalan menuju ke arah pintu unit apartemen Akbar.
"Iya deh yang punya suami.." sahut Juna.
Chacha menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa Jun? Mau punya suami juga?" tanyanya sambil terkekeh.
"Kagak lah anjir, gue ya maunya punya istri. Yakali suami. Masih normal ya gue Mbak." sahutnya cepat.
Chacha tertawa dan langsung membuka pintu unit Akbar. "Kirain lo udah belok, gak doyan cewek Jun."
"Enggak lah. Gue masih 100% dijamin suka cewek."
"Tapi kok masih jomblo terus?"
Juna berdecak. "Ya itu udah jalannya Mbak, belom waktunya jodoh gue dateng." sahutnya.
"Makanya suruh naik gojek biar cepet sampe." sahut Akbar mengejek.
Juna mendengus. "Sesama jomblo gak boleh gitu ya anjir!"
Chacha tertawa kencang mendengar perdebatan kedua pemuda itu. Dia langsung keluar dari unit Akbar dan membiarkan keduanya terus berdebat.
.
.
Hanan tersenyum sambil berjalan memasuki lobi apartemennya. Pemuda itu membawa banyak kantong plastik berisi makanan dan jajanan pesanan Chacha.
"Mas Hanan!"
Hanan yang awalnya begitu bersemangat berjalan, langsung berdecak malas melihat Diana yang berlari ke arahnya.
"Mas Hanan pulang kerja atau dari belanja? Kok bawannya banyak banget?" tanya gadis itu begitu sampai di dekat Hanan.
"Pulang kerja." jawab Hanan.
Diana mengangguk. "Ohh, sekalian belanja ya Mas?"
"Iya, sekalian beli makan." jawab Hanan.
"Oh makanan toh, yaudah Mas kita naiknya bareng aja. Saya juga baru belanja tadi." kata Diana menggoyangkan tangannya yang juga berisi dua kantong plastik besar.
"Iya." sahut Hanan.
Mereka pun berjalan bersama menuju ke arah lobi apartemen. Hanan melirik Diana yang terlihat kesusahan membawa barang belanjaannya. Tentu lebih banyak dari barang yang dia bawa. Tapi dia tidak ada niatan membantu gadis itu, dia tidak mau terlihat seperti memberi perhatian lebih padanya.
"Mas, kerja di mana?" tanya Diana.
"Di kantor."
"Udah lama Mas?"
Hanan mengangguk, "Lumayan sih, gak lama setelah lulus kuliah langsung kerja di sana."
"Ooh, bagian apa Mas?"
"Staff biasa."
Mereka berdua memasuki lift, Hanan memencet tombol menuju ke lantai tempat mereka tinggal.
Diana meletakkan barang bawaannya. "Mas, udah lama tinggal di apartemen sini?"
"Udah, dari kuliah saya udah di sini." jawab Hanan sambil menatap layar ponselnya, membalas pesan Chacha.
"Wah, lumayan lama juga ya. Enak ya Mas, tinggal di sini?"
"Iya, deket kalo mau ke mana-mana."
Diana mengangguk paham. Gadis itu melirik Hanan beberapa kali. Dia ingin bertanya banyak hal untuk bisa lebih dekat dengan Hanan tapi pemuda itu terlihat cuek sekali menanggapinya. Dia jadi agak bingung sendiri.
"Em, Mas beli makanan banyak banget. Buat stok ya?" tanya Diana berusaha mencari topik pembicaraan baru.
"Buat is--- ekhem! Iya buat stok, males keluar lagi kalo udah di apart." jawab Hanan.
Pemuda itu menghela nafas lega saat berhasil mencari meralat ucapannya. Hampir saja dia keceplosan mengatakan kalau makanan itu untuk istrinya. Kalau sampai itu terjadi, Chacha pasti akan marah.
Dia sangat heran dengan istrinya itu. Kenapa malah menyuruhnya merahasiakan status mereka? Tck, ah sudahlah. Kalau tidak aneh memang bukan Chacha namanya.
Diana mengangguk. "Iya juga sih Mas, saya juga kalo udah masuk apartemen udah males mau keluar lagi. Tapi kalo saya sih masak sendiri, jarang beli makanan di luar."
"Ooh..."
Dia menoleh menatap Hanan. "Mas kalo mau makan bisa kok ke unit saya, jangan sungkan Mas. Saya setiap hari masak."
"Saya udah biasa beli, kalo gak gitu Mama saya juga nganter makanan ke apart. Lagian gak enak kalo numpang makan di tempat orang." kata Hanan.
"Ya gapapa Mas, kan sama tetangga sendiri."
Hanan hanya tersenyum kecil menanggapi Diana. Dia bingung harus mengatakan apa, rasanya malas sekali menanggapi gadis itu.
Begitu lift berhenti dan pintunya terbuka Hanan langsung berjalan keluar meninggalkan Diana. "Saya duluan.." ucapnya.
Hanan langsung berjalan cepat menuju ke unitnya tanpa menoleh ke belakang. Dia langsung membuka pintu dan masuk.
Hanan berdiri sambil bersandar pada pintu, Chacha yang sedang menonton tv menatap suaminya itu heran.
"Lo kenapa?"
Hanan mengatur nafasnya dan berjalan menghampiri Chacha. Dia meletakkan semua makanan pesanan Chacha ke atas meja.
"Kan tadi udah gue bilang di chat, itu si mbak-mbak sebelah ngepoin gue mulu. Gue tadi pas liftnya kebuka langsung keluar terus jalan cepet-cepet ke sini." jawabnya.
Chacha yang mendengarnya tertawa. "Hiii dikejar sama mbak-mbak. Untung gak dipegang-pegang lo."
Hanan berdecak kesal. "Males ah gue Cha, gue bilang aja lah ya kalo udah punya istri. Beneran males gue kalo dia deketin gitu, mana sok deket lagi.."
"Heh! Gak boleh! Nanti aja biar dia tau sendiri. Awas lo, jangan bilang pokoknya." kata Chacha.
Hanan menghela nafas. "Cha, lo tuh ah elah. Suami lo di deketin cewek laen loh, kenapa lo malah kek seneng gitu sih. Mana gak boleh bilang kalo udah punya istri lagi. Lo maunya apa sih Cha?" tanya Hanan bingung.
Chacha menggembungkan pipinya. "Gue mau liat perjuangan tuh mbak-mbak deketin lo. Pokoknya sebelum gue suruh lo ngasih tau dia kalo lo udah nikah lo diem aja."
Hanan memijat pelan keningnya. "Yaudah iya, terserah lo aja." sahutnya.
Chacha mengangguk. Dia sebenarnya juga kesal dengan Diana, tapi dia masih ingin melihat cara apa yang akan dilakukan oleh Diana untuk mendekati Hanan. Dia penasaran.
"Mau makan sekarang?" tanya Hanan.
Chacha mengangguk.
"Rawon apa gado-gado?"
"Gado-gado dulu. Rawonnya buat nanti.." jawab Chacha.
"Yaudah, gue ambil sendok sama piring dulu ke dapur." kata Hanan dan berjalan menuju dapur.
Chacha membuka bungkusan gado-gado sembari menunggu Hanan. Setelah Hanan kembali Chacha langsung meletakkan gado-gadonya ke atas piring.
"Makan yang banyak.." kata Hanan saat Chacha mulai memakan gado-gadonya. Pemuda itu mengusap-usap kepala Chacha pelan.
"Lo gak makan?" tanya Chacha menatap Hanan.
"Nanti aja, liatin lo makan kek gini aja gue udah berasa kenyang Cha.."
Chacha mendengus, dia langsung mendekatkan sendok berisi gado-gado pada mulut Hanan. "Aaaaak!"
Hanan langsung membuka mulutnya, kalau dia menolak pasti Chacha akan marah. Jadi dia harus menuruti apa yang istrinya ini mau.
"Nanti malem mau cuddling, elus-elus sampe tidur ya.." kata Chacha sambil menatap Hanan.
"Tetenya dielus-elus?"
Chacha mengangguk. "Iya, nanti sambil pukpuk juga ya?"
"Iya, bilang aja pengen diapain. Pokoknya kalo bisa bakal gue lakuin semua."
"Yeeeeey! Sayang Papa Hanan banyak-banyak!" kata Chacha berteriak senang. Dia langsung mendekat dan mengecup pipi Hanan.
Hanan terkekeh pelan karena kelakuan Chacha. "Sayang Mama Chacha banyak-banyak juga!" ucapnya.
To Be Continue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
