
“Cup..cup..cup jangan nangis dong. Malu ah sama Adek. Masa papanya cengeng gini..” — Chacha.
“Lain kali jangan gitu lagi, gue takut banget..” " Hanan.
21. Kram
•
•
"Hanan! Nan! Argh! Hanan!" Chacha memegangi perutnya yang terasa sakit. Dia menggoyangkan lengan Hanan agar pemuda itu segera bangun.
"Hanan! Shh.."
Hanan yang awalnya masih tidur langsung membuka matanya. Pemuda itu langsung duduk dan menoleh pada Chacha.
"Cha! Lo kenapa? Apanya yang sakit?" tanyanya panik.
Chacha meringis pelan sambil terus memegangi perutnya. "Sakit Bi.."
Hanan menatap perut Chacha panik. "Lo mau lahiran?" tanyanya.
Chacha menggeleng. Keringat sudah mengalir di dahinya. "Enggak, baru juga delapan bulan!" jawabnya.
"Terus kenapa? Cha, aduh. Gimana?" tanya Hanan panik. Tangannya menggenggam erat tangan Chacha.
"Perut gue kram. Argh sakit!" kata Chacha meringis kesakitan.
Hanan semakin panik, dia ikut berkeringat dingin. Tanpa ragu dia mengangkat tubuh Chacha, setelah meraih ponselnya yang ada di atas nakas dia langsung berjalan ke depan.
"Pak Arif! Pak Arif! Pak!" Hanan berteriak begitu sampai di halaman.
Pak Arif yang mendengar teriakan Hanan langsung berlari. "Iya den, Ya Allah non Chacha kenapa den?" tanyanya ikut panik.
"Pak tolong bukain pintu mobil, saya mau ke rumah sakit.." kata Hanan yang sudah begitu panik.
Mendengar suara rintihan Chacha membuatnya langsung berkeringat dingin. Jantungnya sudah berdetak tak karuan. Apalagi melihat Chacha yang terus meringis menahan sakit.
Pak Arif dengan tergopoh langsung membukakan pintu mobil, Hanan dengan hati-hati mendudukkan Chacha di sana. Dia langsung mengatur posisi kursi agar Chacha merasa lebih nyaman.
Setelahnya dia langsung masuk dan duduk di kursi pengemudi. Hanan langsung menjalankan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Dia sangat takut dan panik.
Sepanjang perjalanan dia terus mengusap tangan Chacha. Menenangkan gadis itu dan mengecup tangannya berkali-kali.
Rintihan dan ringisan Chacha benar-benar membuatnya takut. Dia takut terjadi sesuatu pada Chacha dan juga bayi mereka.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Hanan tidak pernah berhenti untuk berdoa.
Dan begitu sampai di rumah sakit tujuannya Hanan langsung memarkirkan mobilnya. Pemuda itu langsung turun dan menggedong Chacha memasuki rumah sakit itu.
Beberapa perawat dengan sigap langsung membawa brankar menghampiri Hanan.
"Sakit Bi.." rintih Chacha sambil memegangi perutnya. Dia sekarang sudah berbaring di atas brankar yang kini tengah di dorong menuju suatu ruangan.
"Maaf Pak, silahkan tunggu di luar dulu ya.." kata seorang perawat menghentikan Hanan yang akan ikut masuk ke dalam ruang UGD.
Hanan hanya mengangguk lemah. Dia menatap ruang UGD yang kini sudah tertutup. Dia sangat panik, pikirannya langsung kacau. Dia bahkan sudah menangis sekarang. Jujur saja dia sangat takut sesuatu yang buruk terjadi pada Chacha dan juga anaknya.
"Ya Allah semoga Chacha sama Adek gapapa.." ucapnya pelan.
Hanan langsung mengambil ponselnya, dia menghubungi keluarganya dan juga keluarga Chacha. Di saat seperti ini tentu dia harus menghubungi orangtua mereka kan.
Beberapa saat kemudian Hanan melihat Dokter Nindy yang masuk ke dalam UGD. Dia memejamkan mata dan berdoa semoga semua baik-baik saja. Pikirannya terus menepis hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Sekitar 20 menit kemudian Mama Jihan dan Papa Herdi datang. Disusul oleh Papa Bima dan juga Mama Renata yang ikut datang.
"Ya Allah Nan, ada apa? Chacha kenapa?" tanya Mama Jihan panik. Wanita itu langsung duduk di samping Hanan.
Hanan menoleh dan langsung memeluk mamanya itu. "Tadi—tadi pas bangun Chacha kesakitan ma. Dia bilang pe—perutnya kram. Dia kesakitan banget.." jelas pemuda itu.
Mama Jihan menghela nafas dan mengusap-usap punggung Hanan. Dia dapat merasakan pundaknya yang mulai basah. Pasti Hanan sedang menangis.
"Nan, Chacha pasti kuat. Kamu yang tenang.." kata Mama Renata ikut menenangkan Hanan.
"Iya Nan, kamu jangan nangis gitu." kata Papa Herdi.
Hanan melepas pelukannya pada Mama Jihan dan mengusap air matanya. Pemuda itu mengangguk.
Mama Jihan menggenggam tangan Hanan. "Kita berdoa aja semoga Chacha sama Adek gapapa ya.." ucapnya lembut.
Hanan kembali mengangguk.
"Kamu pasti panik banget ya Nan, sampe gak pake baju gini.." kata Papa Bima.
Hanan tersentak. Dia langsung menunduk melihat penampilannya. Astaga, saking paniknya dia sampai tidak ingat untuk memakai baju. Saat ini dia hanya memakai celana piyama saja tanpa atasan.
Papa Bima menghela nafas dan melepas jaketnya. Dia memberikannya pada Hanan. "Pake ini Nan.." ucapnya.
Hanan mendongak dan mengambil jaket yang dipegang oleh Papa Bima. "Makasih pa.." ucapnya setelah memakai jaket itu.
Mama Renata menepuk punggung Hanan pelan. "Tenang aja Nan, Chacha pasti gapapa.." ucap wanita itu.
Hanan mengangguk lemah.
Mereka semua menunggu di depan ruang UGD, berdoa agar Chacha dan sang jabang bayi baik-baik saja.
Dan saat mereka tengah berharap-harap cemas pintu ruang UGD terbuka. Dokter Nindy keluar dari sana dan menghampiri mereka semua.
Hanan langsung berdiri. "Dok gimana? Chacha sama Adek gapapa kan Dok? Mereka baik-baik aja kan?" tanyanya.
Dokter Nindy melepas maskernya dan tersenyum. "Tenang ya. Mbak Chacha dan Adek bayi baik. Tadi cuma kram aja.." kata wanita itu.
"Terus sekarang gimana Dok? Kita udah boleh liat?" tanya Mama Renata.
"Sebentar ya bu, biar dipindah dulu ke ruang rawat. Nanti bisa langsung dijenguk.." jawab Dokter Nindy.
Mama Jihan mengusap lengan Hanan. "Iya Dok.." jawabnya sambil tersenyum.
Dokter Nindy mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu ya pak, bu. Nanti kalo Mbak Chacha sudah pindah ke ruang rawat saya periksa lagi."
"Iya, makasih ya Dok.." kata Mama Renata.
"Sama-sama bu, saya permisi dulu."
"Silahkan Dok.."
Dokter Nindy pun pergi meninggalkan mereka. Tak lama dua orang perawat keluar dari ruang UGD sambil mendorong brankar Chacha untuk menuju ke ruang rawat.
.
.
"Cha, gue takut banget lo sama Adek kenapa-napa.." kata Hanan sambil menggenggam erat tangan Chacha.
Chacha yang sedang berbaring di atas ranjang rawatnya tersenyum. "Maaf ya udah bikin khawatir.." ucapnya pelan.
Mata Hanan kembali berair. Pemuda itu langsung memeluk Chacha dan membenamkan wajahnya pada pundak gadis itu. "Gue takut banget.." ucapnya serak.
Chacha mengusap-usap punggung Hanan. "Cup..cup..cup..jangan nangis dong. Malu ah sama Adek. Masa papanya cengeng gini." kata Chacha disertai kekehan pelan.
"Biarin.." sahut Hanan tanpa melepas pelukannya.
Mama Renata mendekati Chacha. "Kamu kenapa sih Cha? Kok bisa sampe gini?" tanyanya.
"Gatau ma, pas bangun tadi perut aku sakit banget. Kram.." jawabnya.
"Mama tadi panik banget pas Hanan nelpon kalo kamu masuk rumah sakit.." kata Mama Jihan sambil mengusap perut Chacha.
"Maaf ya ma, pa udah bikin kalian khawatir.." kata Chacha menatap orangtua dan juga mertuanya bergantian.
Papa Herdi tersenyum. "Gapapa, yang penting kamu baik-baik aja Cha.." kata pria itu.
"Iya Cha, liat tuh Hanan sampe nangis-nangis gitu khawatir sama kamu.." kata Papa Bima sambil terkekeh.
Chacha ikut tertawa pelan. Dia masih mengusap-usap punggung Hanan. "Emang cengeng dia pa.."
"Selamat siang, gimana Mbak Chacha? Udah enakan perutnya?" tanya Dokter Nindy memasuki ruangan itu.
Semuanya langsung menoleh, Mama Renata dan Mama Jihan bergeser agar memberi ruang bagi Dokter Nindy.
"Udah Dok.." jawab Chacha.
Dokter Nindy tersenyum. "Kalo gitu saya periksa sebentar ya. Cuma mau ngecek.." kata Dokter itu.
Chacha mengangguk. Dia menepuk pelan punggung Hanan. "Bentar dulu Bi, Bu Dokter mau meriksa." ucapnya.
Mama Jihan menghela nafas. "Nan, awas dulu. Biar Chacha diperiksa sama Bu Dokter." kata wanita itu.
Hanan dengan berat hati melepas pelukannya. Dia menegakkan badannya dan berdiri di samping Mama Jihan. Mama Jihan langsung mengusap pipi Hanan yang masih basah karena air mata.
"Maaf Dok, suami saya emang agak cengeng." kata Chacha.
Dokter Nindy tersenyum. "Gapapa mbak, malah bagus itu. Artinya Mas Hanan ini sayang banget sama Mbak Chacha."
"Iya Dok, tapi emang agak alay sih." kata Chacha.
Dokter Nindy terkekeh pelan. Wanita itu langsung memeriksa detak jantung Chacha menggunakan stetoskop. Setelahnya dia juga memeriksa perut Chacha. Setelah memastikan bahwa semua sudah baik-baik saja wanita itu mengangguk-angguk pelan.
"Dok, kenapa ya kok Chacha bisa kram gitu?" tanya Mama Renata.
Dokter Nindy menoleh menatap Mama Renata. "Sebenarnya wajar di usia kehamilan 8 bulan kalau merasakan kram di perut. Biasanya karena perubahan ukuran rahim, semakin bertambah usia kehamilan rahim juga ikut menyesuaikan. Jadi jaringan ikat atau ligamen yang menghubungkan tulang panggul dan rahim akan meregang, sehingga rahim terasa kencang dan memicu terjadinya kram perut.."
Dokter Nindy mengusap perut Chacha pelan. "Tapi kalau Mbak Chacha ini sepertinya juga karena ada faktor kelelahan makanya sampai kramnya sakit sekali. Kalo boleh tau Mbak Chacha habis melakukan aktifitas apa saja?"
"Kemarin saya ikut senam Dok, terus setelahnya saya main sama anak-anak di taman.." jawab Chacha.
"Pasti gara-gara lo kemaren lari-larian. Jadi kecapekan gini.." kata Hanan.
Kemarin setelah kelas senam ibu hamil Hanan dan Chacha memang berjalan-jalan di taman dulu. Dan di situ ada banyak anak kecil, Chacha langsung ikut bermain dengan mereka. Berlarian sampai Hanan panik dan takut karenanya.
"Maaf.." kata Chacha sambil menunduk.
Dokter Nindy menghela nafas pelan. "Lain kali jangan diulangi lagi ya Mbak, usia kehamilan mbak ini udah trimester akhir. Tolong dikurangi kegiatan-kegiatan yang agak berat. Boleh senam tapi setelah selesai kalau bisa istirahat dulu. Dan perbayak minuk air putih sama vitamin."
"Baik Dok.."
"Tapi selain itu Chacha sama Adek bayi gapapa kan Dok?" tanya Mama Renata.
Dokter Nindy tersenyum. "Tidak apa-apa bu, aman semua. Mbak Chacha hanya kelelahan saja. Dan untuk Adek bayi yang ada di dalam perut sehat dan aktif sekali." jawabnya.
Semua langsung menghela nafas lega. "Alhamdulillah.."
"Mbak Chacha kan sebentar lagi melahirkan, kalau bisa untuk makanan dan minuman tetap dijaga ya nutrisinya. Perbanyak konsumsi buah dan sayur. Nanti akan saya tambah resep untuk vitaminnya juga." kata Dokter Nindy.
"Baik, makasih ya Dok.." kata Chacha.
"Sama-sama mbak.." sahut Dokter Nindy sambil tersenyum dan menuliskan resep untuk Chacha.
"Apa perlu rawat inap Dok?" tanya Papa Bima.
Dokter Nindy menggeleng. "Tidak pak, nanti kalau keadaan Mbak Chacha sudah pulih bisa langsung pulang kok.."
"Baik dok.."
"Baik kalau begitu, ini resep untuk vitaminnya. Nanti silahkan diambil dulu sebelum pulang. Saya permisi ya, masih ada pasien lain.." kata Dokter Nindy memberikan resep yang sudah dia tulis kepada Mama Jihan.
"Makasih ya Dok.."
"Sama-sama, saya permisi dulu.."
"Iya Dok.."
Dokter Nindy pun pergi meninggalkan ruangan rawat Chacha.
Chacha menoleh, menatap Hanan yang masih saja mewek. Dia langsung menggelengkan kepala pelan. "Ya ampun Bi, udah ah. Malu nangis gitu.." ucapnya.
Hanan menarik kursi dan duduk di samping brankar Chacha, dia langsung menidurkan kepalanya sambil mengusap-usap perut Chacha.
"Biarin aja Cha.." kata Mama Jihan.
"Hanan tadi tuh khawatir banget loh Cha ke kamu, dia sampe gak pake baju. Itu aja pake jaket papa.." kata Mama Renata.
Chacha langsung menunduk dan menatap Hanan. "Ih dasar, bisa-bisanya gak pake baju dulu." ucapnya sambil tertawa.
Hanan mengangkat kepala dan menatap Chacha. "Gimana mau pake baju dulu, lo udah kesakitan gitu. Gue panik Cha. Takut banget.."
Chacha tersenyum dan mengusap kepala Hanan pelan. "Maaf ya.."
Hanan mengangguk. "Lain kali jangan gitu lagi, gue takut banget.."
"Iya.."
.
.
"Ya Allah non, non kenapa? Kata si bapak non tadi dibawa ke rumah sakit..." tanya Bi Parti yang langsung menghampiri Chacha.
Chacha sudah di bawa pulang, setelah menebus obat dan keadaannya yang sudah membaik dia ingin langsung pulang. Tidak betah lama-lama di rumah sakit.
Chacha tersenyum menatap Bi Parti yang menatapnya begitu khawatir. "Gapapa bi, tadi cuma kram aja.." jawabnya.
Bi Parti mengusap dadanya lega. "Alhamdulillah non, bibi khawatir banget pas bapak tadi bilang gitu. Syukur kalo non gapapa sekarang."
"Maaf ya bi kalo saya bikin bibi khawatir.." kata Chacha.
"Gapapa non, yang penting sekarang non udah gapapa. Udah gak sakit kan non?"
"Iya bi, udah gapapa kok.."
Bi Parti tersenyum lega. "Yasudah kalau begitu saya ke dapur dulu mau bikin minum buat semuanya. Sebentar ya.." kata wanita itu.
"Iya bi.."
Bi Parti berjalan menuju dapur guna membuat minum untuk semuanya.
"Cha, kayaknya mama mau tinggal di sini dulu sampe kamu lahiran. Khawatir mama.." kata Mama Renata.
Mama Jihan mengangguk. "Aku juga mikir gitu Ren, kayaknya kita harus nemenin Chacha. Apalagi kandungan dia udah 8 bulan. Gak lama lagi dia lahiran.."
Chacha menatap kedua wanita itu. "Terus kalo mama berdua di sini nanti papa gimana?" tanyanya.
"Papa gapapa Cha, papa jago masak loh. Kalo mama mau disini jagain kamu dulu gapapa." kata Papa Herdi.
Mama Jihan mengangguk. "Iya Cha, papa kan juga bisa ke sini. Kamu gausah khawatir."
"Kalo papa kamu kan di rumah ada Mbok Nah. Gak bakal kenapa-napa. Mama pengen jagain kamu, udah 8 bulan Cha kandungan kamu.." sahut Mama Renata.
Papa Bima mengangguk. "Iya bener Cha, biarin aja mama kamu di sini. Lagian kan deket juga dari rumah, papa bisa mampir ke sini kapan aja."
Chacha mengangguk dan tersenyum. "Yaudah kalo emang gitu.."
Hanan menyandarkan kepalanya di pundak Chacha. Pemuda itu terus saja mengusap-usap perut Chacha. Dia benar-benar khawatir tadi.
"Ihh lo meler ya?" tanya Chacha saat Hanan beberapa kali mengusap hidungnya.
"Namanya abis nangis pasti meler lah." sahut Hanan.
"Ihh jorok.." kata Chacha.
"Kamu tuh Nan, sana mandi. Bersih-bersih biar segeran." kata Mama Jihan.
Hanan menatap mamanya itu. "Mau sama Chacha." sahutnya.
"Ya ampun Nan.."
"Gapapa ma, aku juga kebetulan belum mandi kok. Kata Dokter Nindy tadi kan juga disuruh berendem air anget.." kata Chacha menoleh pada Mama Jihan.
Mama Jihan menghela nafas. "Yaudah kalo gitu, kamu mandi juga Cha.."
Chacha mengangguk dan hendak berdiri. Hanan dengan sigap langsung mengangkat tubuh Chacha.
"Gue bisa jalan sendiri." protes Chacha.
"Sttt diem.." kata Hanan dan berjalan membawa Chacha menuju ke kamar mereka.
"Mandi ya kalian! Jangan aneh-aneh dulu! Inget Chacha jangan sampe kecapekan!" teriak Mama Renata.
"Iya maaaa!" sahut Hanan.
To Be Continue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
